Kenapa Jiwasraya Beli Saham Gorengan? Dan Siapa Itu Predator Pasar Modal?

Dalam kamus Investopedia, tidak dikenal istilah ‘saham gorengan’. Namun berdasarkan definisi bahwa saham gorengan adalah saham yang harganya dinaik turunkan oleh bandar, maka hal itu dikenal dengan istilah pump and dump, dimana mekanismenya adalah sebagai berikut:  Suatu individu atau perusahaan tertentu, sebut saja A, memiliki saham X dalam jumlah besar (A ini bisa merupakan pemegang saham mayoritas/pemilik dari emiten X tersebut, tapi bisa juga pihak lain). A kemudian menyebar rumor/sentimen positif melalui Grup Whatsapp dll bahwa prospek X bagus bla bla bla, dengan harapan investor ritel akan tertarik untuk membeli sahamnya, dan di waktu yang bersamaan memperjual belikan saham X miliknya sendiri di market, dimana setiap transaksi dilakukan pada harga yang lebih tinggi dari transaksi sebelumnya (pump).

***

Ebook Analisa IHSG & Info buy/sell saham edisi Januari 2020 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber, dan masih tersedia diskon khusus awal tahun.

Jadwal Seminar Value InvestingSurabaya Sabtu 18 Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info selengkapnya baca disini, masih tersedia diskon earlybird untuk peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Januari. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Alhasil, saham X naik terus. Misalnya tadinya saham X harganya cuma 100, setelah ‘digoreng’ seperti itu maka bisa naik sampai 500. Dan A inilah yang sering disebut dengan istilah ‘bandar’, sedangkan saham X itu sendiri disebut saham gorengan. Tindakan bandar yang memasang bid pada harga tinggi untuk membeli saham X, padahal yang jual/yang pasang offer adalah juga si bandar itu sendiri (tentunya pake rekening atas nama pihak lain, itu mudah sekali), disebut sebagai artificial demand. Tujuannya adalah, ketika saham X harganya sudah sangat tinggi, dan sudah ada banyak investor ritel yang ikut pasang bid (karena berpikir bahwa sahamnya akan naik lebih tinggi lagi), maka ketika itulah si bandar akan mulai jualan pada harga tinggi tersebut (dump), dan kemudian meraup keuntungan substansial. Biasanya, setelah bandar selesai jualan dan sudah tidak lagi pegang barang, maka kesemua rumor positif terkait perusahaan tiba-tiba menghilang, dan saham X akan turun dengan sangat cepat. Biasanya pula, saham X yang digoreng ini adalah saham tidak likuid (penny stock) dari perusahaan kecil gak jelas dan berfundamental buruk, sehingga sahamnya tidak diminati dan tidak banyak dipegang oleh investor publik, tapi justru karena itulah si bandar bisa dengan mudah ‘menyetel’ sahamnya pada harga berapapun.

Nah, sejak 2010 lalu, di blog ini kita sudah banyak membahas saham-saham gorengan yang sempat ramai diperbincangkan. Seperti Sugih Energy (SUGI), Trada Maritime (TRAM), Energi Mega Persada (ENRG), Sekawan Intipratama (SIAP), Rimo International (RIMO), dan yang paling baru, Sri Rejeki Isman (SRIL). Bagi temen-temen yang masih bingung definisi ‘bandar’, dan ‘saham gorengan’, maka boleh baca-baca lagi link artikel-artikel diatas, dimana pada artikel SRIL penulis juga menawarkan definisi saham gorengan sebagai berikut: Itu adalah saham yang naik turunnya tidak mengikuti faktor fundamental (kinerja perusahaan, dan valuasi sahamnya), dan mekanisme pasar (misalnya ikut naik ketika IHSG/pasar naik, dan turun ketika IHSG turun) yang wajar, melainkan suka-suka bandarnya saja.

Dan korban dari saham gorengan ini biasanya memang investor ritel yang belum bisa membedakan saham berfundamental bagus dan jelek, sehingga yang mereka lakukan hanya melihat monitor saja, dimana kalau ada saham yang harganya naik banyak plus diiringi berita-berita bagus, maka itulah yang mereka kejar. Atau, si investor sebenarnya ngerti bahwa saham X itu jelek, tapi dia sengaja/iseng spekulasi saja, siapa tahu sahamnya bakal dikerek naik lebih tinggi lagi. Faktanya, tidak semua pemain gorengan ini menderita rugi, melainkan ada juga yang cuan, seringkali pula dengan waktu hold yang amat sangat singkat (beli hari ini, besoknya langsung jual). Biasanya pemain gorengan ini hanya berani pakai dana terbatas, maksimal ratusan juta Rupiah. Karena kalau mereka beli sahamnya dalam jumlah besar maka hal itu akan kelihatan oleh bandarnya (istilahnya ‘penumpang gelap’), dan harga sahamnya justru akan diturunkan, agar si penumpang gelap ini keluar.

Sehingga pertanyaannya sekarang, kenapa Jiwasraya yang notabene investor institusi besar dengan dana kelolaan puluhan trilyun Rupiah malah beli saham gorengan ini juga? Apa mungkin manajer investasi (MI) disitu gak ngerti cara baca laporan keuangan, untuk kemudian mengetahui bahwa saham-saham yang mereka beli berfundamental buruk, atau valuasinya kelewat tinggi? Tapi let say mereka tahu bahwa saham-saham itu jelek/harga belinya kemalahan, maka bagaimana mungkin mereka sengaja berspekulasi menggunakan dana milik nasabah??

Window Dressing Ala Jiwasraya

Ketika pada tahun 2013, manajemen Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan yang menjanjikan bunga 6.5%, maka tujuan awalnya tentu agar perusahaan cuan, dan janji bunga 6.5% tadi sebenarnya juga tidak terlalu besar, mengingat rata-rata kenaikan IHSG sebelum tahun 2014 mencapai 10 – 12% per tahun, kemudian banyak juga obligasi yang memberikan bunga 10 – 11% per tahun.



Namun karena pasar saham di Indonesia cenderung lesu dalam lima tahun terakhir, dimana compound annual growth rate (CAGR) IHSG sejak akhir 2014 sampai akhir 2019 hanya 3.8% per tahun, sedangkan pasar obligasi juga lesu/tingkat bunga yang ditawarkan turun karena suku bunga perbankan di Indonesia/BI Rate sekarang ini lagi rendah-rendahnya, maka produk JS Saving Plan ini justru menyebabkan Jiwasraya menderita kerugian. Sehingga ketika IHSG drop 12.1% di tahun 2015, direksi Jiwasraya mestinya sadar bahwa penjualan produk JS Saving Plan harus dihentikan, dan perusahaan kembali ke bisnis tradisionalnya yakni jualan asuransi jiwa.

Tapi jika demikian maka omzet/pendapatan premi Jiwasraya bisa dipastikan bakal anjlok, dan komisi yang diterima oleh direksi, pegawai, serta agen/marketing perusahaan otomatis ikut anjlok juga. Nah! Dari situlah direksi kemudian melakukan improvisasi. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam bidang asuransi, komisi yang diterima seorang agen termasuk sangat besar, bisa lebih dari 10% dari nilai premi yang dibayar nasabah, dan ini juga kenapa banyak ‘kisah sukses agen asuransi’. Jadi jika seorang agen asuransi saja bisa sukses menjadi kaya raya, maka bisa dibayangkan berapa pendapatan komisi yang diterima direksi sebagai pucuk pimpinan perusahaan? Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan agen Jiwasraya (yang jumlahnya bertambah dari 3,000-an di tahun 2013, menjadi 10,000-an agen di tahun 2016), karena mereka biasanya gak ngerti apa-apa soal IHSG yang stagnan dll, melainkan hanya mengikuti arahan dari pimpinan perusahaan untuk terus kejar omzet.

Lalu seperti apa improvisasi-nya? Ya dengan membeli saham-saham tertentu dalam jumlah besar, kemudian menaikkan harganya hingga akhir tahun, sehingga Jiwasraya kemudian bisa mengakui keuntungan ‘kenaikan nilai wajar atas efek-efek’ di laporan keuangannya, dan alhasil LK-nya membukukan keuntungan, padahal sebenarnya rugi. Sehingga dalam hal ini, Jiwasraya bukanlah korban di saham gorengan, melainkan justru mereka-lah bandarnya. Tapi berbeda dengan bandar saham lain yang menggoreng saham dengan tujuan agar bisa jualan ke investor ritel di harga atas, maka manajer investasi (MI) di Jiwasraya menggoreng saham dengan tujuan sebatas agar LK-nya tampak profit saja, alias ‘window dressing’. Tapi bagaimana kalau dalam jangka panjang Jiwasraya ini akhirnya rugi juga, yakni ketika saham yang digoreng itu turun lagi dengan sendirinya? Ya itu nanti jadi urusannya direktur yang baru lah! Kan ketika itu terjadi, maka saya (maksudnya si MI) juga sudah gak kerja lagi disitu toh? Karena direksinya juga sudah diganti. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa berbeda dengan perusahaan swasta dimana direkturnya bisa menjabat selama mungkin (karena itu terserah owner perusahaan, atau si owner itu sendiri yang jadi direkturnya), maka masa jabatan direksi BUMN dibatasi maksimal dua periode, masing-masing 5 tahun. Alhasil dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan seorang direktur tidak peduli apakah BUMN yang ia pimpin bakal untung atau rugi dalam jangka panjang, yang kinerja perusahaan tampak ‘bagus’ ketika ia menjabat, plus kocek pribadinya bertambah tebal.

Anyway, berbekal LKnya yang tampak profit, maka perusahaan bisa terus jualan produk JS Saving Plan-nya, sehingga duit komisi dll yang diterima direksi juga naik terus. Kemudian mungkin ada pertanyaan: Jika LK Jiwasraya sejatinya sudah rugi paling tidak sejak tahun 2016, lalu kenapa ketika itu perusahaan tetap bisa membayar nilai pokok investasi plus bunga kepada nasabahnya, dan baru gagal bayar di tahun 2018? Jawabannya karena sebelum tahun 2018, Jiwasraya membayar kewajibannya ke nasabah lama menggunakan pendapatan premi yang diperoleh dari nasabah baru, alias menggunakan skema ponzi. Awalnya soal skema ponzi ini hanya kecurigaan penulis saja, tapi hal ini kemudian dibenarkan oleh dirut perusahaan, Hexana Tri Sasongko.

Namun karena menyadari bahwa skema ponzi ini cepat atau lambat akan meledak, maka ketika terjadi pergantian direksi di tahun 2018, direksi yang baru dibawah pimpinan Asmawi Syam (dirut Jiwasraya sebelum Mr. Sasongko) segera mengambil langkah berbeda dengan mengumumkan penundaan pembayaran polis ke nasabah. Daaaaan ending-nya adalah seperti yang terjadi hari ini.

Siapa Itu Predator Pasar Modal?

Sebagai praktisi pasar modal dan investor itu sendiri, penulis banyak kenal dengan temen-temen MI dari dana pensiun, asset management, hingga asuransi. Dan apa persamaan dari mereka semua? Yep, mereka hampir tiap hari disamperin/ditelpon orang-orang yang menawarkan repo (baca lagi tentang repo disini). Actually, gak cuma MI institusi, tapi penulis sendiri juga beberapa kali dihubungi orang yang menawarkan repo tersebut. Dan ketika kondisi pasar lagi lesu seperti lima tahun terakhir, dimana para MI kesulitan membukukan profit dari strategi investasi saham yang wajar, maka tawaran repo ini akan lebih gencar lagi, entah itu yang menjanjikan bunga sekian persen, atau beli saham A yang di pasar harganya 1,000, pada harga 750 saja.

Nah, jadi seperti yang disebut diatas, ketika IHSG drop pada tahun 2015 lalu, maka manajemen Jiwasraya mestinya menghentikan penjualan JS Saving Plan, dan mungkin manajemen awalnya memang akan melakukan itu. Tapi kemudian muncul bandar-bandar yang pegang saham perusahaan tertentu dalam jumlah besar, yang kemudian menawarkan ‘solusi alternatif’ dengan cara goreng saham agar Jiwasraya bisa tetap profit, setidaknya di laporan keuangannya, sehingga perusahaan kemudian bisa terus jualan JS Saving Plan. If that's the case, maka yang bersalah dalam kasus Jiwasraya tidak hanya lagi manajemen perusahaan, melainkan juga para bandar ini. Dan mereka-mereka inilah yang disebut oleh Menteri Sri Mulyani sebagai ‘predator pasar modal’, karena mereka mengambil keuntungan dari kerugian investor, baik itu ritel maupun institusi, termasuk Jiwasraya. Contoh kasus terbaru, saham Totalindo Eka Persada (TOPS), yang awalnya dikerek gila-gilaan dari harga IPO 310 sampai tembus 4,000, dan setelah itu muncul para agen yang menawarkan repo dengan bunga menggiurkan (bisa sampai 15% per tahun), dengan jaminan saham TOPS ini. Tapi yah, ending-nya mudah ditebak: Sekarang TOPS tiba-tiba saja sudah di 250 perak, dan otomatis para pemegang repo-nya menderita kerugian luar biasa.

Problemnya, kalau penulis ngobrol dengan temen-temen investor senior, kasus repo saham ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1990-an, dengan jumlah korban yang juga tidak sedikit. Tapi karena sampai sekarang hampir tidak ada tindakan apapun dari otoritas, maka ya praktek repo ini terus saja berjalan, dan korbannya terus berjatuhan. Penulis sendiri tidak pernah menjadi korban repo ini, karena saya cukup beruntung dengan sudah ter-edukasi sejak awal bahwa repo seperti itu berbahaya. Tapi diluar sana, ada banyak pemilik dana yang tidak seberuntung itu.

Nah, jadi ketika Pemerintah mencanangkan tahun 2020 sebagai ‘tahun pembersihan pasar modal dari para manipulator’, maka penulis optimis bahwa itu bisa memperbaiki kondisi pasar dalam jangka panjang. Karena memang, ketika OJK dkk selama ini seperti dibiarkan bekerja sendirian tanpa dukungan langsung dari pemerintah (OJK adalah lembaga independen, jadi posisinya bukan dibawah Kementerian Keuangan atau lembaga lain manapun) maka hasilnya ya seperti Jiwasraya itu. Sudah tentu muncul sejumlah kekhawatiran, seperti likuiditas pasar mungkin akan turun, dan belum tentu juga campur tangan pemerintah ini akan menghasilkan ‘pasar modal bersih’ seperti yang diharapkan (bisa jadi malah tambah semrawut). But still, dibanding dengan jika kondisi ini dibiarkan sehingga korban-korban terus berjatuhan, maka perhatian pemerintah ini memberikan harapan akan adanya perbaikan, dan mungkin suatu hari nanti BEI tidak lagi dipandang oleh fund manager internasional sebagai ‘tempat sampah’, karena isinya cuma saham gorengan gak jelas semua. We’ll see!

***

Ebook Analisa IHSG & Info buy/sell saham edisi Januari 2020 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber, dan masih tersedia diskon khusus awal tahun.

Jadwal Seminar Value InvestingSurabaya Sabtu 18 Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info selengkapnya baca disini, masih tersedia diskon earlybird untuk peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Januari. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Febri mengatakan…
Pak teguh, apakah pemegang saham repo bisa menuual saham nya setelah serah terima dam setor uang, atau menunggu jika terjadi gagal bayar uang pinjaman baru bisa menjual saham repi
Anonim mengatakan…
Menurut sy bpk argumen saja,tanpa tahu kepastian sebenarnya.Terutama klaim muncul ny bandar besar yg merugikan Jiwasraya.Seolah2 manajemen Jwsraya itu bersih.Sy jg bisa berasumsi sbnr nya ada invisble hand/pengendali yg sengaja merampok jiwasraya,dari intenal perusahaan sndiri atau pun pihak luar yg sdh bekerjasama.btw, org internal pemerintah sj sdh dibuktikan bersih belum dr kasus ini??jangan menggiring opini.
Teguh Hidayat mengatakan…
Terima kasih koreksinya. Betul, setelah saya baca lagi tulisannya, terdapat kesan bahwa saya membela manajemen Jiwasraya, padahal maksudnya tidak demikian. Tulisannya sudah diperbaiki yap.
halley mengatakan…
Jiwasraya memang sangat aneh bisa menjanjikan keuntungan tinggi dan fix. Kalau selain itu saya kira normal2 saja. Jual beli saham itu memang tidak menjanjikan pasti untung. Bahkan saham bluechip sekalipun bisa rugi juga. Saham bumn? Banyak jg yg aneh seperti agro atau smbr yang tiba2 bisa meroket kemudian sekarang terjun lagi ke bawah. Yang sekarang sedang hot seperti btps dan brpt apakah ada yang berani bilang itu manipulasi? Atau yang sempat hot seperti inkp dan tkim. Saya kira itu cuma ucapan kosong saja mau bersih2. Karena kalau adidas dan nike kw saja banyak beredar bebas gak diapa2 kan. Apalagi saham yang resmi beredar dan sudah melalui proses legal sebelum masuk bursa. Jadi dalam hal saham tidak ada paksaan membeli dan tidak ada jaminan keuntungan, maka individu yang berani membeli harus menanggung akibatnya. Akibatnya bisa untung atau bisa rugi. Jangan lupa selalu menanyakan resiko yang anda tanggung dari setiap keputusan finansial anda. Langsung pergi kalau anda mendengar "pasti untung".
Anonim mengatakan…
@Febri: cmiiw, bisa asal ya bisa dibalikin lagi sih. Misal kalo beli repo 1000, jual 100, tinggal 900. Berarti harus beli lagi 100 buat nutupin yang tadi dibeli jadi ketika repo transaction-nya ditutup, jumlah barang tetep 1000
Panji Tumanggor mengatakan…
Terima kasih Pak Teguh atas tulisannya. Teruslah mengedukasi investor-investor retail terutama yang masih pemula. Terima kasih banyak atas ilmu dan pengalamannya. Semoga selalu dalam limpahan rahmat dan berkah dari Allah SWT. Aamiin. Allah yang balas kebaikan bapak.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?