Setelah Jiwasraya & Asabri, Siapa Lagi?
Masih dari acara diskusi yang
dihadari penulis sebagai narasumber di Kantor Staf Presiden, tanggal 7 Januari
ini, ada pertanyaan seperti ini: ‘Dalam kasus Jiwasraya & Asabri, disebutkan
ada korupsi senilai sekian trilyun. Dimana korupsinya? Dan siapa pelakunya?’
Penulis jawab, ‘Kita tahu bahwa penyebab Jiwasraya gagal bayar adalah karena
kesulitan likuiditas, karena dana investasi milik perusahaan nyangkut di
saham-saham berkualitas rendah. Dalam hal manajer investasi (MI) di Jiwasraya
membeli saham-saham itu karena tidak tahu/tidak bisa menganalisa bahwa perusahaannya
memang jelek, maka memang tidak ada unsur korupsi, dan MI itu bisa dihukum
sebatas karena kelalaian’.
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus
Paling Menguntungkan Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18
Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info
selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta
sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
***
‘Namun’, penulis melanjutkan, ‘Sangat
kecil kemungkinan MI tidak bisa menganalisa, atau membeli saham-saham yang ada di
BEI secara acak layaknya investor pemula yang nggak ngerti apa-apa. Karena
kalau kita lihat profil dari dewan direksi dan komisaris Jiwasraya, maka isinya
adalah figur-figur yang sudah sangat berpengalaman baik itu di bidang asuransi,
maupun investasi pasar saham. Sedangkan MI atau staf pegawai di Jiwasraya tidak
akan bisa begitu saja membeli saham ini dan itu tanpa adanya izin dari direksi.’
‘Jadi yang lebih mungkin adalah
adanya unsur kesengajaan. Dan menurut Undang-Undang, pengertian korupsi
adalah perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Sekarang, ketika Jiwasraya beli saham ini
dan itu, maka siapa yang menjual dan menerima uangnya? Jika yang
menerima uangnya tersebut memperoleh keuntungan, tapi disisi lain Jiwasraya
menderita kerugian karenanya (dan karena Jiwasraya ini BUMN, maka yang
dirugikan adalah negara), maka disitulah korupsinya!’
‘Sehingga dalam hal ini pelakunya
ada dua: Pihak internal Jiwasraya, dan pihak luar. Because it takes two to
tango, alias kedua belah pihak yang terlibat transaksi jual beli saham itu sama-sama
harus bertanggung jawab, bahkan meskipun pihak penjual tidak menerima
keuntungan apa-apa (tapi ini juga gak mungkin sih, melainkan pasti ada fee atau
semacamnya). Lalu soal siapa pelakunya, maka tinggal dicek siapa-siapa
saja direksi Jiwasraya, bukan ketika Jiwasraya mengalami gagal bayar pada tahun
2018, melainkan ketika transaksi-transaksi pembelian saham itu terjadi,
yakni sejak 2013 sampai 2018 lalu. Dan dari mereka maka akan ketahuan, siapa
saja yang menerima uangnya.’
Setelah itu penulis nggak ngomong
lagi, karena giliran dua narsum lainnya untuk berbicara, tapi pada intinya
mereka juga berpendapat yang sama: Yang (kemungkinan) bersalah dalam kasus
Jiwasraya, dan juga Asabri, tidak hanya para pimpinan perusahaan, tapi juga
pihak ketiga yang terima duitnya. Bedanya, jika penulis dan satu narsum lainnya
tidak menyebut nama, maka satu narsum lagi secara jelas menyebut dua nama diluar
jajaran direksi Jiwasraya, yang pada hari Selasa, 14 Januari kemarin akhirnya
dua orang ini resmi ditahan oleh Kejagung.
Unfortunately, diskusi di Istana kemarin
itu hanya 4 jam. Tapi jika waktunya diperpanjang, maka kemungkinan akan ada
pertanyaan-pertanyaan lanjutan sebagai berikut, plus jawabannya.
Hubungan Antara Jiwasraya &
Asabri
Jika di Jiwasraya ada unsur
korupsi, lalu bagaimana dengan Asabri?
Kasus Jiwasraya ini kan jadi rame
karena korbannya ada banyak, yakni para nasabahnya yang tidak bisa lagi menarik
dana mereka. Tapi kita tahu bahwa inti masalahnya bukan di gagal bayarnya,
melainkan karena Jiwasraya sejak bertahun-tahun sebelumnya banyak beli
saham-saham gorengan gak jelas. Dalam hal ini, maka Asabri juga punya masalah
yang sama, karena di portofolionya ada banyak saham-saham seperti itu juga.
Asabri memang belum mengalami gagal bayar, tapi jika hal ini dibiarkan, maka
cepat atau lambat mereka akan gagal bayar juga. Dan ketika gagal bayar itu terjadi
maka dampak sosialnya akan lebih buruk lagi. Karena berbeda dengan nasabah Jiwasraya
yang rata-rata berasal dari kelompok ekonomi menengah keatas, nasabah Asabri
adalah para pensiunan TNI/Polri dan abdi negara, yang bisa jadi dana yang tersimpan
di Asabri adalah merupakan tabungan mereka satu-satunya.
Tadi disebutkan dua nama dari
pihak luar yang kemungkinan terlibat dengan Jiwasraya. Untuk Asabri, kira-kira
siapa pihak luarnya?
Ada kemungkinan orang yang sama.
Karena, pertama, seperti halnya Jiwasraya yang mulai banyak beli saham-saham
gorengan sejak 2013, Asabri juga melakukan hal yang sama pada waktu yang tidak
jauh berbeda, yakni setahun kemudian alias 2014. Kedua, ada sejumlah saham,
atau surat utang berkualitas rendah yang dibeli Jiwasraya, yang juga dibeli
oleh Asabri. Mengingat dewan direksi Jiwasraya dan Asabri sepenuhnya diisi oleh
orang-orang yang berbeda dan tidak saling berhubungan satu sama lain, maka
terlalu kebetulan jika mereka membeli saham-saham yang sama, dan pada waktu
yang juga hampir sama, kecuali jika pihak penjualnya adalah orang/korporasi yang sama.
Lalu bagaimana solusinya?
Untuk Jiwasraya, dia tidak perlu
di-bail out pake APBN seperti Bank Century di tahun 2008 lalu karena, pertama,
kita sekang tidak sedang dalam kondisi krisis seperti tahun 2008 tersebut.
Kedua, Jiwasraya ini asuransi, bukan bank. Kalau ada satu bank gagal bayar,
maka hampir pasti akan timbul dampak sistemik dimana nasabah dari bank-bank
lain akan menarik dana mereka karena panik (bank rush), dan itu akan
menyebabkan bank-bank lain tersebut ikut kolaps. Sedangkan asuransi, jika dia
gagal bayar maka nasabahnya sebatas akan berhenti bayar premi saja, tapi dia
tidak bisa serta merta menarik dananya jika dana tersebut belum jatuh tempo.
Dan kalau si nasabah tidak mengalami peristiwa tertentu (sakit, atau meninggal
dunia) yang mengharuskan perusahaan asuransi membayar klaim, maka juga tidak
akan terjadi penarikan dana.
Jadi Jiwasraya bisa dibantu
pendanaan dari BUMN lain yang sehat, dimana meski prosesnya mungkin tidak bisa
cepat seperti kalau pake APBN, tapi dalam hal ini kita tidak perlu buru-buru,
karena yang penting Jiwasraya bisa mulai membayar kewajibannya saja dulu kepada
para nasabah. Sedangkan untuk Asabri, masalahnya bisa dilempar saja dulu ke
media, agar direksi disana kemudian melakukan pembenahan dengan sendirinya,
sehingga gagal bayar seperti yang dialami Jiwasraya tidak turut terjadi. Ini
kan ibaratnya, Jiwasraya ini sudah sakit sejak dulu, tapi dia gak juga mau
pergi ke dokter. Sehingga ketika sakitnya sudah kronis, mau tidak mau pemerintah
harus turun tangan. Sedangkan untuk Asabri, sakitnya masih belum parah,
sehingga dia masih bisa menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan kita (Pemerintah)
mengingatkan mereka untuk pergi ke dokter.
Jika dikatakan bahwa Jiwasraya
sudah bermasalah sejak 2013, lalu kenapa kasusnya baru ramai sekarang?
Karena memang tidak segampang itu
untuk melihat rekayasa laporan keuangan dll yang dilakukan oleh manajemen.
Faktanya, berdasarkan laporan keuangannya, kinerja Jiwasraya terus mengalami
pertumbuhan hingga puncaknya perusahaan meraih rekor laba bersih Rp2.4 trilyun
di tahun 2017, yang bahkan menyebabkan Jiwasraya memperoleh penghargaan sebagai
‘Product Development Terbaik’ di BUMN Branding & Marketing Award, di tahun
2018-nya. Tapi begitu jajaran direksi Jiwasraya diganti di tahun 2018 itulah,
baru kelihatan semua laba bersih itu cuma manipulasi, dan Jiwasraya
selama itu terpaksa menjalankan skema ponzi untuk membayar nasabahnya, karena
dana investasi mereka sebenarnya sudah nyangkut parah semua sejak
bertahun-tahun sebelumnya.
Tapi belajar dari kasus Jiwasraya
inilah, maka OJK, atau otoritas manapun yang berwenang, mulai sekarang harus secara
rutin mengecek portofolio investasi dari perusahaan-perusahaan keuangan, baik
itu BUMN maupun swasta, jadi jangan tunggu mereka gagal bayar dulu.
Atau, mulai sekarang Pemerintah harus
mewajibkan perusahaan-perusahaan keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat,
untuk secara rutin mempublikasikan laporan keuangan versi lengkap di
website mwereka masing-masing, dan mereka akan menerima sanksi jika LK-nya
belum terbit. Dengan cara ini, maka OJK akan dibantu oleh analis-analis
independen yang membaca LK tersebut.
Setelah Jiwasraya dan Asabri,
selanjutnya perusahaan apa lagi yang mungkin punya masalah yang sama?
Kecurigaan paling awal tentu
menyasar pada BUMN asuransi lainnya, seperti Taspen, BPJS Kesehatan, dan BPJS
Ketenagakerjaan (Bumiputera juga, tapi Bumiputera ini bukan PT, sehingga agak
sulit mengauditnya). Dan data yang kami miliki adalah dari PT Taspen (Persero),
yang memang bakal gawat kalau perusahaan juga mengalami masalah yang serupa,
karena nilai asetnya jauh lebih besar dibanding Jiwasraya maupun Asabri, yakni Rp231.9
trilyun per akhir 2018. Beruntung, Taspen jauh lebih banyak menempatkan
investasinya pada instrumen berisiko rendah, seperti obligasi, sukuk, dan
deposito. Sedangkan untuk portofolio sahamnya, Taspen memegang secara langsung
saham-saham berikut, dengan nilai pasar total Rp13.0 trilyun per 31 Desember
2018.
Nah, untungnya berbeda dengan Jiwasraya
maupun Asabri, saham-saham yang dibeli PT Taspen terbilang ‘normal’, dan tidak
ada diantara mereka yang harganya jatuh sampai ke gocap, ataupun perusahaannya
bangkrut. Meski memang, kalau melihat angkanya dimana 40 dari 55 saham yang
dibeli Taspen posisinya nyangkut semua, maka mungkin MI-nya harus ditendang
keluar. Sebab di tahun 2017-nya, dimana pada tahun tersebut IHSG naik 20.0%, maka
porto milik PT Taspen ketika itu juga sama nyangkutnya.
Anyway, jika dibanding Jiwasraya
ataupun Asabri, maka Taspen relatif masih aman karena sekali lagi, mayoritas
investasinya ditempatkan di obligasi dan deposito. Namun sayangnya, tidak ada
data untuk BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, sehingga dalam hal ini penulis
harus kembali menyampaikan: Pemerintah harus mewajibkan dua institusi ini untuk
merilis laporan keuangan versi lengkap, karena kalau mereka bermasalah maka
nilai kerugiannya bisa jauuuuh lebih besar lagi dibanding kasus Jiwasraya
ataupun Asabri, karena nilai aset mereka sangat besar. Contohnya BPJS Ketenagakerjaan,
untuk program Jaminan Hari Tua-nya saja, total asetnya Rp235.0 trilyun per
akhir tahun 2017. Mengingat kinerja institusi-institusi tersebut menyangkut
kepentingan rakyat banyak, maka sekali lagi, mereka harus diwajibkan untuk
merilis laporan keuangannya.
Bagaimana dampak kasus Jiwasraya
dan Asabri, terhadap industri asuransi, dan pasar modal itu sendiri?
Yang pertama jelas, kepercayaan
publik terhadap perusahaan asuransi akan turun, tidak hanya terhadap dua itu
tapi juga perusahaan asuransi lainnya, dan itu bisa menyulitkan para pekerja di
bidang asuransi, dan bidang lain yang terkait. Tapi disisi lain, jika kasus ini
bisa ditangani dengan baik, dan para nasabah kembali memperoleh hak-nya, maka
dampaknya tentu akan positif. Sebab sebelum kejadian Jiwasraya ini, maka kasus
gagal bayar entah itu oleh perusahaan asuransi atau lainnya, termasuk kasus
saham gorengan yang melejit secara tidak wajar lalu kemudian anjlok
gila-gilaan, dan menimbulkan kerugian luar biasa dari investor ritel, itu sudah
sering terjadi sejak dulu, hanya saja nominalnya kecil-kecil sehingga kurang
terekspos, dan alhasil tidak ditangani oleh Pemerintah. Sehingga kasus
Jiwasraya ini justru bisa menjadi momentum ‘pembersihan’, yang dalam jangka
panjang akan membuat iklim investasi di Indonesia menjadi lebih baik.
Kedua, dengan ditangkapnya para ‘bandar’
kemarin, maka kemungkinan volume transaksi pasar akan sepi, dan saham-saham di
BEI tidak akan bergerak fluktuatif lagi seperti dulu. Hal ini tentu nggak bagus
untuk investor/trader saham jangka pendek, tapi bagi investor jangka panjang
sebenarnya no problem. Karena kalau sebuah saham memang berfundamental bagus,
maka meski dalam waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan dia tampak susah
gerak, misalnya karena ‘gak ada bandarnya’, tapi eventually dia akan naik
juga. Contohnya? Well, yang pernah kita bahas di blog ini, Adira
Dinamika Multifinance (ADMF), Samindo
Resources (MYOH), dan Ultrajaya
(ULTJ). Perhatikan bahwa volume transaksi ketiga saham tersebut cenderung
sepi, jauh lah dibanding MYRX atau semacamnya, tapi toh tiga-tiganya tetap naik
signifikan dalam beberapa tahun terakhir, meski gak ada yang mengerek naik. Dan
diluar tiga itu maka masih ada banyak lagi saham lainnya yang tidak ada
indikasi gorengan, tapi tetap menghasilkan cuan dalam jangka panjang. Tapi
memang, kalau anda beli saham model gini lalu dieeem aja gak jual-jual, maka
broker anda akan cemberut karena gak dapet fee.
Sehingga jika ada sejumlah pihak
yang justru khawatir ketika para ‘predator pasar modal’ pada dikandangin, maka
penulis bisa memahami hal itu. Tapi kalau bagi kami sebagai investor, maka ya nda' ada masalah. Dan actually, penyebutan istilah ‘predator’ oleh Menteri Keuangan
sebenarnya masih terlalu halus. Karena kalau kita lihat harimau, misalnya, maka
kalau dia berburu rusa lalu memakan dagingnya sampai kenyang, maka ya sudah,
dia akan berhenti berburu selama beberapa hari hingga beberapa minggu sampai
nanti dia lapar lagi. Sementara predator pasar modal? Well, kalau melihat profil
mereka kemarin, mereka bukan orang susah, dengan nilai kekayaan puluhan milyar Rupiah atau lebih. Tapi kenapa mereka terus saja
menggasak duit orang-orang, termasuk milik para pensiunan dll di Jiwasraya dan
Asabri? Ya karena berbeda dengan harimau, mereka gak ada kenyangnya, dimana
semakin besar duit yang mereka ambil, mereka justru semakin penasaran untuk mengambil
lebih besar lagi!
Sehingga istilah predator disini memang
kurang tepat. Eh, tapi istilah apa yang tepat kalau begitu?
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus
Paling Menguntungkan Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18
Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info
selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta
sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Pak Teguh...,jika memungkingan tolong dibantu ulas Dana Pensiunan PLN.
Apakah termasuk dalam batas wajar, abnormal atau bagus.
Terima kasih Pak Teguh.
Furthermore, mereka tll tamak dan siap masuk neraka juga. Sekarang pak Jokowi emang waktunya bersih2... semua organisasi milik negara!
"Saat ini, total dana kelolaan BP Jamsostek sebesar Rp 431,7 triliun, yang meningkat sebesar 18,3% dari kelolaan dana tahun lalu. Alokasi dana tersebut pada Surat Utang sebesar 60%, saham 19%, deposito 11%, reksadana 9%, dan investasi langsung 1%", tambahnya.
Utoh menjelaskan, terkait penempatan dana pada instrumen saham mayoritas merupakan saham kategori blue chip atau LQ45 yang mencapai sekitar 98%. Namun ada juga saham yang pernah di LQ45, namun sudah keluar, seperti antara lain saham PGAS dan ANTM. Jumlah saham non LQ45 tersebut hanya sekitar 2% besarannya dari total portofolio saham BP Jamsostek
https://m.detik.com/finance/moneter/d-4867165/investasi-jiwasraya--asabri-jadi-sorotan-bagaimana-bp-jamsostek
Ijin edar utk kedua produk jg pernah di tunjukan marketingnya.
Apakah nasib nya bisa seperti jiwasraya? Krn sdh berjalan dr 2009.
Trimakasih