Asal Usul Saham Gorengan
Suatu hari di bulan Agustus 2010,
sebuah perusahaan yang terdaftar di Singapura (tapi pemiliknya orang Indonesia)
dengan nama Ramba Energy Ltd (Ramba), mengakuisisi 51% saham PT Sugih
Energy, Tbk (SUGI), sebuah perusahaan kecil penyedia jasa industri migas di
Indonesia yang secara teknis sudah bangkrut karena tidak lagi beroperasi, dengan
nilai $1 juta saja. Selang setahun kemudian, tepatnya pada 27 Desember 2011, Ramba
mengakuisisi 80.4% saham PT Hexindo Gemilang Jaya, pemilik 100% kepemilikan di Blok
Lemang, sebuah ladang minyak di Provinsi Jambi. Namun pada tanggal yang
sama, tepatnya persis sesaat sebelum Hexindo diakuisisi oleh Ramba, Hexindo melepas
49% kepemilikannya di Blok Lemang ke sebuah perusahaan dengan nama Eastwin
Global Investment, sebuah perusahaan yang terdaftar di British Virgin
Island, senilai $1.6 juta. Sehingga dengan demikian, Ramba, melalui Hexindo, hanya
memegang 41% kepemilikan di Blok Lemang (80.4% x 51% = 41%).
Kemudian dalam rangka mengambil
alih sisa kepemilikan di Blok Lemang yang dipegang oleh Eastwin, maka Ramba
juga harus mengakuisisi Eastwin, dan kali ini Ramba melakukan akuisisi tersebut
melalui SUGI sebagai anak usahanya. Lalu berapa nilai akuisisinya? $230 juta!
Lho kok mahal sekali? Bukannya tadi disebutkan bahwa Hexindo menjual 49%
kepemilikannya di Blok Lemang ke Eastwin pada harga $1.6 juta saja? Well, itu
benar. Tapi Kalau dihitung berdasarkan potensi cadangan minyaknya yang belum
dieksplorasi, nilai kepemilikan Ramba di Blok Lemang yang sebesar 41% saja
sudah bernilai US$ 193.7 juta. Sehingga wajar jika Eastwin dihargai $230 juta,
atau setara Rp2.1 trilyun, berdasarkan kurs saat itu. Tidak ada
informasi soal Eastwin ini siapa, tapi yang jelas, SUGI sekarang harus
mengakuisisinya pada harga $230 juta.
Okay, lalu dari mana Ramba, atau
dalam hal ini SUGI, memperoleh dana $230 juta untuk akuisisi tersebut? Dari
right issue yang dilakukan oleh SUGI, dimana SUGI akan menerbitkan 24.3 milyar
lembar saham baru (belum termasuk waran), dengan harga pelaksanaan Rp100 per
saham. Sehingga SUGI akan memperoleh suntikan modal hingga Rp2.4 trilyun, dimana
Rp2.1 trilyun diantaranya akan langsung digunakan untuk mengakuisisi
Eastwin. Menariknya, Ramba itu sendiri tidak mengambil hak-nya sebagai
pemegang saham pengendali di SUGI, atau dengan kata lain sama sekali tidak
menyetor tambahan modal ke perusahaan, sehingga saham baru yang diterbitkan
tersebut nyaris sepenuhnya dilempar ke investor publik. Tapi bagaimana kalau publik
tidak membeli saham baru yang diterbitkan oleh SUGI? Bukankah dengan demikian
tidak akan diperoleh dana Rp2.4 trilyun tadi? Well, itu gak masalah, karena sejak
awal Eastwin sudah setuju untuk diakuisisi oleh SUGI, sehingga transaksi
akuisisinya dianggap sudah terjadi, bahkan meski right issue-nya belum
dilakukan, dan juga tidak ada uang sepeserpun yang berpindah tangan. Tapi
dari sinilah, pasca right issue-nya, pada laporan keuangan SUGI akan muncul ‘tambahan
modal disetor’ Rp2.4 trilyun, dan aset tidak lancar berupa blok minyak Lemang
dengan ‘nilai perolehan’ Rp2.07 trilyun. Kronologis lengkap soal ‘how to create
$230 million out of nothing’ ini, bisa dibaca lagi
disini.
Repo Lagi, Repo Lagi!
Pasca semua transaksi diatas,
Ramba kemudian memegang penuh kepemilikan di Blok Lemang, dan SUGI sekarang memiliki nilai buku $230 juta, plus 24.3
milyar lembar saham baru, yang siap untuk digoreng. Lalu gimana cara
gorengnya? Well, pemilik SUGI (yang di laporan keuangan perusahaan dicatat
sebagai ‘pemegang saham publik’) kemudian mulai menawarkan saham SUGI yang ia
pegang ke investor-investor institusi seperti dana pensiun, dan asuransi, dimana
transaksinya dilakukan dengan mekanisme repo (penjelasan repo baca lagi disini).
Dan hasilnya, terdapat setidaknya tiga institusi yakni Jiwasraya, Asabri, dan Dana
Pensiun Pertamina, yang membeli repo tersebut senilai masing-masing sekian
ratus milyar Rupiah. Dana yang terkumpul itu kemudian digunakan untuk
memperjual belikan saham SUGI di pasar, agar harganya naik terus. Pemilik SUGI
juga kemudian banyak menyebar berita di media bahwa prospek SUGI sangat cerah
bla bla bla, agar investor ritel juga ikut membeli sahamnya di market. Hasilnya,
saham SUGI kemudian melesat naik hingga sempat menyentuh level 400-an, sekitar
setahun setelah right issue-nya.
Tapi masalahnya, SUGI sejak awal nyaris
tidak memiliki pendapatan karena Blok Lemang-nya belum berproduksi! Yup,
ketika diambil alih oleh Ramba pada tahun 2011, Blok Lemang masih dalam tahap
eksplorasi. Dan meski blok minyak tersebut akhirnya berproduksi pada tahun
2017, tapi volume produksinya sangat kecil, sehingga tidak menutup biaya
pengeboran dll yang sudah dilakukan, dan alhasil Ramba (dan juga SUGI) terus
merugi. Imbasnya, ketika bandarnya sudah tidak kuat lagi untuk mengangkat
sahamnya, maka saham SUGI turun dengan sendirinya karena investor publik jelas
ogah untuk masuk, dan bahkan hari ini sahamnya sudah di-suspen tanpa adanya
kejelasan kapan suspensinya bakal dibuka (karena tambah kesini, perusahaannya
tambah bermasalah, coba googling saja), sehingga menyisakan kerugian entah
berapa trilyun Rupiah milik investor ritel dan juga institusi, yang terjebak
membeli SUGI ini. Kasus ini pula yang kemudian menggiring ayah kandung dari
pemilik Ramba (saya gak mau nyebut nama, anda bisa googling sendiri), plus mantan
Direktur Dapen Pertamina, ke balik jeruji besi, dengan tuduhan telah merugikan negara
Rp600 milyar sekian. However, mengingat yang nyangkut di SUGI ini bukan cuma
Dapen Pertamina, tapi juga Jiwasraya, Asabri, dan mungkin juga institusi-institusi
lain, plus entah berapa banyak investor perorangan, maka sebenarnya nilai
kerugiannya jauh lebih besar lagi dari sekedar sekian ratus milyar Rupiah, dan
harusnya yang masuk penjara tidak hanya dua orang diatas.
Pangkal Mula Masalah
Apa yang dilakukan Ramba diatas
adalah praktek umum yang dilakukan perusahaan yang memiliki properti/aset
tertentu yang diharapkan bisa menghasilkan pendapatan dan laba di masa yang
akan datang, tapi mereka butuh dana besar untuk mengembangkan aset tersebut
agar bisa menghasilkan. Sehingga perusahaan ini kemudian cari dana kesana
kemari, dan salah satu caranya adalah dengan 1. Akuisisi perusahaan Tbk untuk
dijadikan ‘perusahaan cangkang’, 2. Menggelar right issue melalui perusahaan
Tbk tadi dengan nilai sekian, tinggal ngarang sendiri saja angkanya mau berapa
trilyun? 3. Akuisisi aset tadi (yang sebenarnya sejak awal dimiliki oleh perusahaan
yang sama, sehingga sama sekali tidak ada dana yang berpindah tangan), dan terakhir
4. Me-repo-kan saham baru yang diterbitkan ke dana pensiun dll, untuk meraup sejumlah
dana. Ini sebenarnya bukan praktek yang mudah, karena diperlukan relasi yang kuat
antara pemilik perusahaan dengan para petinggi dana pensiun dll sebagai ‘calon
korban’. Dalam kasus Ramba, ayah dari pemilik Ramba memang kenal secara pribadi
dengan Direktur Dapen Pertamina, sehingga si direktur manggut-manggut saja
ketika diminta setor duit, yang sebenarnya bukan milik dia juga (itu kan milik
para pegawai di Pertamina!).
Tapi Ramba/Sugih Energy tidak
sendirian. Beberapa tahun lalu, sebuah konsorsium dengan bendera PT Graha Sakti
Cemerlang, PT Graha Sakti Prima, dan PT Antaboga Delta Sekuritas, mengakuisisi PT
Sekawan Intipratama, Tbk (SIAP) yang kemudian pada tahun 2014 menggelar
right issue dengan menerbitkan 23.4 milyar lembar saham baru senilai Rp4.7
trilyun, dimana dananya digunakan untuk ‘akuisisi’ perusahaan batubara
bernama PT Indo Wana Bara, yang juga dimiliki oleh konsorsium yang sama
(sehingga sekali lagi, tidak ada dana yang berpindah tangan, dan SIAP sejatinya
tidak menerima setoran modal sepeserpun). Pemilik SIAP kemudian me-repo-kan
sahamnya kesana kemari, dan mereka sukses meraup sejumlah dana. However,
tambang batubara yang dimiliki SIAP tidak pernah berproduksi, dan SIAP itu
sendiri sekarang sudah ditendang keluar dari bursa. Tapi lucunya, berbeda dengan
kasus SUGI, maka dalam kasus SIAP ini, tidak ada seorangpun yang dipenjara, dan
tidak ada ganti rugi apapun terhadap dana investor yang entah sudah menguap
berapa trilyun.
Selain SUGI dan SIAP, masih ada
banyak lagi kasus yang melibatkan perusahaan Tbk lainnya dengan kronologis
serupa, dan dengan nilai kerugian yang bervariasi mulai dari belasan milyar
hingga trilyunan Rupiah per kasus, tapi tidak pernah terungkap ke publik, dan
alhasil pelakunya kemudian lepas tanggung jawab begitu saja. Dan pangkal mula
dari terjadinya kasus-kasus tersebut adalah ketika perusahaan Tbk memperoleh
pernyataan efektif/izin dari OJK, untuk menggelar right issue (atau IPO)
senilai sekian, tapi perusahaan Tbk itu sebenarnya tidak pernah menerima
setoran dana sebesar nilai right issue-nya, karena perusahaan/aset yang
diakuisisi sejak awal adalah milik mereka sendiri. Cara ini pula yang
berkali-kali dilakukan oleh tokoh ‘legenda saham gorengan’ yang kemarin
akhirnya dicokok Kejaksaan Agung, melalui buanyak sekali perusahaan Tbk-nya di
bursa, yang sekarang mati berjamaah di gocapan.
Sehingga maksud penulis adalah,
jika sejak awal OJK tidak mengizinkan IPO-IPO/right issue jahanam ini, maka tidak
akan pernah ada ‘saham anyar dari perusahaan gak jelas yang melejit sekian kali
lipat, lalu anjlok lagi, mati di gocap, dan akhirnya bangkrut’, yang kemudian
menyeret jatuh Jiwasraya, Asabri, dan nanti entah siapa lagi, dimana ini semua
pada akhirnya membuat pasar modal Indonesia tidak pernah cukup nyaman untuk
para investor, karena isinya predator semua. Jika diperinci, berikut adalah
beberapa poin yang bisa dilakukan oleh OJK, sebagai penegak hukum di pasar modal,
dan industri keuangan secara keseluruhan.
- Sebuah right issue baru akan menerima pernyataan efektif jika ada pembeli siaganya, dan ada sejumlah dana tunai yang benar-benar disetor ke perusahaan yang melakukan right issue tersebut. Hal yang sama berlaku untuk IPO.
- Investor institusi, terutama yang memegang dana kelolaan milik masrayakat (dapen, asuransi, aset manajemen), diwajibkan untuk melapor ke OJK jika mereka ditawari repo saham oleh perusahaan tertentu, dimana OJK kemudian memberikan penilaian independen terkait apakah repo itu aman atau tidak. OJK juga harus membentuk unit kerja khusus yang independen, termasuk independen dari pengaruh internal OJK itu sendiri, untuk tugas menerima laporan tawararepo, dan melakukan penilaian tersebut.
- OJK harus memberikan sanksi yang tegas pada repo-repo yang gagal bayar, termasuk kepada sekuritas atau pihak manapun yang menjadi agen penjualan repo tersebut, minimal dengan menyebut nama institusi/perusahaannya ke media sehingga masyarakat jadi waspada. Jangan biarkan sekuritas dengan gampangnya menyatakan tidak lagi bertanggung jawab atas penjualan repo A, B, C, dst, hanya karena mereka sekarang sudah tidak lagi menjual repo-repo tersebut.
- Perkuat edukasi ke masyarakat tentang risiko transaksi repo, bisa dengan postingan di media sosial, video Youtube dst, dan
- Dalam kasus Jiwasraya, Asabri, dan Dapen Pertamina, maka pelakunya bisa ditangkap karena memang terjadi kerugian negara alias korupsi, karena ketiga institusi diatas dimiliki oleh negara. Tapi sebenarnya yang dirugikan dari kasus-kasus repo ini tidak hanya negara, melainkan juga pihak swasta dan masyarakat umum! Dan dengan nilai kerugian yang, jika diakumulasikan, juga amat sangat besar. Sehingga dalam hal ini OJK harus mengadakan perjanjian kerjasama formal dengan BEI, Kepolisian, Kejaksaan, BPK, PPATK, hingga KPK untuk menjerat para predator ini, tidak hanya yang merugikan negara tapi juga yang merugikan orang banyak. Atau jika sudah ada, maka kerjasama itu harus lebih intensif lagi. Sebab memang, OJK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana maupun perdata, melainkan hanya sanksi administratif. Tapi hal itu bisa dilakukan oleh lembaga lain yang memiliki kewenangan tersebut.
Okay Mas Teguh, tapi kok sarannya
banyak sekali? Dan juga kelihatannya sulit untuk dilakukan? Well, saya ‘nda
bilang bahwa itu akan mudah, dan pasti akan ada perlawanan dari mereka yang
periuk nasinya terganggu. Tapi kalau bukan ke OJK, terus kita berharap ke siapa
lagi?? Sedangkan dengan jumlah karyawan hampir 4,000 orang, dan anggaran yang
diambil dari duit pajak rakyat sebesar hampir Rp5 trilyun per tahun
(saya gak tau gaji di OJK berapa?? Yang pasti bukan UMR), maka OJK punya sumber
daya yang lebih dari cukup untuk menjaga agar industri keuangan, khususnya
pasar modal, menjadi lebih aman dibanding sekarang. Penulis tidak berharap
bahwa kesemua masalah saham gorengan dll yang ada di bursa sekarang ini, yang memang
sudah terjadi sejak entah berapa belas tahun lalu, akan langsung tuntas semua
dalam waktu singkat. Namun berhubung sekarang memang pasar modal sedang dalam
momentum ‘bersih-bersih’ terkait kasus Jiwasraya dan lainnya, maka ini juga
harusnya bisa menjadi momentum bagi OJK untuk berbenah diri, dan agar kelak benar-benar
menjadi pelindung bagi masyarakat. Ingat pula bahwa anjloknya sejumlah reksadana sejak November 2019 lalu (bahkan ada yang NAV-nya anjlok sampai 70%), salah satunya juga karena manajer investasinya terjebak masuk ke saham-saham yang terbang (tapi kemudian jeblok lagi) karena saham tersebut sebelumnya di-repo-kan. Sehingga dalam hal ini, korbannya jadi lebih buanyak lagi.
Terakhir, biar tulisan ini lebih dibaca oleh
Pemerintah, maka bagi anda yang punya pengalaman kejebak repo atau semacamnya,
silahkan itu disampaikan di kolom komentar dibawah.
Komentar
Padahal dari dulu pbv unvr selalu tinggi tapi harga saham selalu naik. Kenapa tiba2 sekarang berbeda?
Apakah karena asing obral unvr dalam beberapa tahun terakhir sementara bbca diborong asing?
"Sekitar 90% investor saham indonesia gagal" ini kata lukas setia atmadja.
Banyak hal yang bisa kita baca di buku. Analisa fundamental. Analisa teknikal. Tapi pengalaman memang guru yang paling baik. Terutama pengalaman rugi dan cutloss. Saran saya terus belajar dan tingkatkan modal sesuai kemampuan anda menelan resiko. Karena 90% orang yang gagal itu riil. Tapi 10% orang yang sukses itu juga riil.
Salut buat pak Teguh yang bisa sedalem itu analisa + sarannya..
Semoga kedepannya korban-korban saham terbang gini bisa semakin berkurang ya pak..
bongkar..... berantas semua predator