Prospek Unicharm Indonesia u/ Investasi Jangka Panjang
Dari sekian banyak IPO di tahun
2019 kemarin, IPO PT Uni-Charm Indonesia, Tbk (UCID) adalah yang paling
menarik perhatian investor karena setidaknya dua hal: 1. Perusahaan bergerak di
bidang produksi barang kebutuhan sehari-hari (pembalut wanita dll), dengan merk
produk yang cukup populer (Charm), dan 2. Nilai IPO-nya paling besar yakni
Rp1.2 trilyun, sedangkan UCID sendiri termasuk perusahaan besar dengan aset Rp7.3
trilyun sebelum IPO. Nah, tapi bagaimana dengan kinerja perusahaan itu sendiri?
Apakah benar bahwa UCID ini, kalau melihat model bisnisnya, maka sahamnya layak untuk investasi jangka panjang?
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus Paling Menguntungkan
Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18 Januari, Jakarta Sabtu
1 Februari 2020. Info selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
***
Sejarah PT Uni-Charm Indonesia
dimulai ketika pada tahun 1998, Unicharm Corporation (UC) bekerja sama dengan
Grup Sinarmas (melalui PT Purinusa Ekapersada) untuk membuka pabrik pembalut
wanita di Indonesia, dimana Uni-Charm Indonesia didirikan dengan komposisi saham
74% UC, dan 26% Purinusa. UC sendiri merupakan perusahaan asal Jepang yang memproduksi
barang-barang kebutuhan bayi dan wanita, produk kesehatan, produk hewan
peliharaan, dan makanan, yang berdiri dan beroperasi sejak tahun 1961, dan saat
ini sudah beroperasi di banyak negara di Asia (plus Brazil dan Mesir), termasuk
di Indonesia melalui UCID. Pada tahun 2000, UCID berekspansi dengan membuka
pabrik popok bayi, dan pada perkembangannya, pendapatan perusahaan kemudian
lebih didominasi oleh penjualan popok bayi ketimbang pembalut, dengan komposisi
kurang lebih 70% popok, dan 30% pembalut. Memasuki dekade 2010-an, UCID sekali
lagi berekspansi dengan memproduksi popok dewasa, dan tisu bayi. Perusahaan juga
fokus mengembangkan merk untuk tiap-tiap produknya, sehingga pada hari ini,
masyarakat sudah cukup hafal dengan merk-merk seperti ‘MamyPoko’, ‘Charm’, dan ‘Lifree’.
Hingga pada tahun 2018, UCID
sudah menjadi pemimpin pasar untuk hampir kesemua jenis produknya, dengan
pangsa pasar masing-masing sebagai berikut: Pembalut wanita (termasuk pantyliners)
42.1%, popok bayi 49.8%, dan popok dewasa 46.0%. Perusahaan juga sudah memiliki
empat pabrik terpisah di Karawang, Jawa Barat, dan Mojokerto, Jawa Timur, dan
jaringan distribusi yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Kesuksesan UCID market
leader, salah satunya adalah karena perusahaan mampu menciptakan banyak
variasi produk yang menyasar semua segmen konsumen yakni premium, menengah, dan
ekonomis (dengan harga jual yang disesuaikan), sehingga produknya diterima oleh
semua kalangan. Pendapatan perusahaan sendiri pada tahun 2018 mencapai Rp8.3
trilyun, atau sudah lebih besar dibanding asetnya yang Rp7.3 trilyun, which
is good. Untuk kedepannya, manajemen berencana untuk mengembangkan bisnis
popok dewasa-nya, yang saat ini baru menyumbang kurang dari 10% pendapatan
perusahaan, dan penulis sendiri setuju dengan hal tersebut karena, di
Indonesia, produk popok bayi sudah ada banyak, tapi yang jualan popok dewasa
masih sangat sedikit, karena orang dewasa disini masih enggan mengenakan popok.
Padahal menurut ilmu kedokteran, adalah normal bagi orang dewasa tertentu,
terutama lansia, jika mereka kesulitan menahan buang air kecil (sama normalnya
dengan rambut yang memutih, dll), sehingga popok ini mutlak diperlukan. Thus,
tantangannya disini adalah bagaimana cara perusahaan meyakinkan konsumen,
bahwa there is nothing wrong kalau mereka mengenakan diapers, dan
penulis percaya bahwa itu cuma soal waktu. Sebab kalau di negara maju seperti
Amerika Serikat dan Jepang, penggunaan adult diapers ini sudah cukup
umum karena masyarakatnya sudah cukup teredukasi. Dan jika masyarakat Indonesia
pada akhirnya nanti juga sudah bisa menerima produk popok dewasa ini, maka
hampir pasti nilai penjualan UCID akan meledak. Just remember: Berbeda
dengan pembalut wanita yang hanya dibutuhkan selama seminggu dalam sebulan,
maka yang namanya popok harus dikenakan setiap hari, sehingga kebutuhannya
lebih besar.
Sehingga kesimpulannya, UCID ini
bagus, dan prospeknya juga cerah. Tapi hey, bagaimana dengan laba bersih
perusahaan? Karena pada ulasan diatas, yang sudah dibahas baru pendapatannya
saja?
Kinerja Keuangan UCID: Gak bagus!
Sayangnya, laba UCID terbilang
sangat kecil dibanding nilai penjualannya (marginnya kurang dari 5%), dan juga juga
tidak konsisten dimana pada tahun 2016 perusahaan merugi Rp278 milyar. Sebenarnya,
berdasarkan fakta bahwa UCID ini perusahaan produsen, yang sudah memiliki jaringan
distribusi yang luas dan lengkap, merk produknya terkenal, dan sejumlah
produknya dijual pada harga premium, maka dalam bayangan penulis sebelumnya,
dari penjualan katakanlah Rp1 trilyun, perusahaan mestinya bisa meraup laba
bersih Rp200 milyar (margin labanya 20%). Namun karena perusahaan harus
mengimpor hampir seluruh kebutuhan bahan bakunya (pulp, polimer, kain non-woven
dst) pada harga yang relatif mahal, maka beban pokok penjualan perusahaan
terbilang besar, bisa mencapai 90% dari pendapatannya. Diluar itu, UCID juga menanggung
beban-beban lain seperti beban keuangan hingga rugi selisih kurs, yang angkanya
juga tidak kecil dimana pada tahun 2018, perusahaan membukukan rugi kurs Rp183
milyar, berbanding laba bersihnya yang hanya 181 milyar (sehingga kalau gak ada
rugi kurs ini, laba UCID harusnya dua kali lebih besar).
Kondisi diatas menyebabkan laba
bersih UCID tidak hanya menjadi kecil, tapi juga bisa fluktuatif dari waktu ke
waktu, tak peduli meski pendapatannya naik terus, termasuk rugi di tahun 2016
lalu bisa kembali terulang di masa yang akan datang. Dan kalau kita lihat lagi
neraca perusahaan, maka akan kelihatan kenapa UCID banyak menanggung beban-beban
tertentu yang sebenarnya tidak perlu: Per Kuartal II 2019, perusahaan membukukan
utang Rp4.3 trilyun, berbanding ekuitas Rp2.9 trilyun, sehingga bisa dikatakan
bahwa perusahaan memiliki utang cukup besar. Namun hampir separuh dari utang
tersebut, yakni Rp1.9 trilyun, merupakan pinjaman ke Unicharm Corp (UC) sebagai
induk perusahaan, dimana tidak ada penjelasan duit sebanyak itu digunakan untuk
apa, dan UCID seharusnya memang tidak membutuhkan pinjaman tersebut, karena
posisi kas-nya sendiri sangat besar yakni Rp1.4 trilyun.
Sehingga tujuan dari pemberian
utang tersebut adalah untuk mentransfer keuntungan dari UCID ke UC dalam bentuk
beban bunga pinjaman, dan ini belum termasuk biaya lisensi sebesar 1 – 2% dari
nilai pendapatan, yang harus dibayar UCID ke UC. Problem lainnya, UC memberikan
pinjaman dalam mata uang US Dollar dan Japan Yen, sehingga otomatis UCID akan
menderita rugi kurs, yakni jika Rupiah sewaktu-waktu melemah terhadap dua mata
uang tersebut.
Sehingga kesimpulannya, terdapat
setidaknya tiga faktor yang menyebabkan kinerja UCID, dari sisi perolehan laba
bersih, kemungkinan tidak akan konsisten di masa yang akan datang: 1. Ketergantungan
perusahaan akan bahan baku impor, yang harganya mahal dan bisa sangat
fluktuatif (di prospektus disebutkan bahwa untuk pembelian bahan baku ini, UCID
bergantung pada negosiasi yang dilakukan oleh UC terhadap supplier, sehingga
ada kemungkinan bahwa sebenarnya UC membeli bahan baku pada harga murah, tapi
dijual kembali ke UCID pada harga mahal, sekali lagi sebagai bentuk transfer
keuntungan), 2. Besarnya beban operasional perusahaan, termasuk beban bunga
pinjaman untuk UC, dan 3. Fluktuasi kurs Rupiah. Actually, jika dibandingkan
dengan kinerja Unicharm Corp itu sendiri di Jepang sana, dimana ROE-nya cukup
stabil di rentang 10 – 15% per tahun, maka kinerja UCID terbilang buruk. Kinerja
UCID mungkin bisa bisa lebih baik di masa yang akan datang jika UC berhenti
menjadikannya sebagai cashcow, tapi penulis tidak melihat adanya
kemungkinan perubahan kebijakan tersebut.
Kesimpulan akhirnya, well, bad
news sodara-sodara, UCID ini gak bagus, apalagi sahamnya juga sudah mahal.
Dan kinerja UCID yang seperti diatas mengingatkan penulis akan kinerja dari
perusahaan-perusahaan tekstil di BEI, yang juga rugi melulu, dan sepertinya
bukan kebetulan kalau pemilik mereka adalah juga berasal dari Jepang. Problem lainnya,
UCID pernah terlibat perkara hukum dengan distributornya, dan beberapa kali
menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dari Dirjen Pajak, yang tentu saja menunjukkan
GCG yang kurang baik. Sayang memang, karena sebenarnya kalau dari sisi
operasional, UCID ini perusahaan bagus, dan akan terus berkembang seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dalam hal ini mungkin Pemerintah harus
mengeluarkan peraturan yang melarang perusahaan asing memberikan pinjaman berbunga
kepada unit usahanya di Indonesia, atau semacamnya, agar unit usahanya tersebut
beneran untung, dan juga membayar pajak penghasilan sebagaimana mestinya.
Anyway, sambil menunggu peraturan
seperti itu keluar, maka kita bisa ambil saham yang lain saja dulu. Untuk
minggu depan, ada usulan kita bahas saham apa yang bagus?
PT Uni-Charm Indonesia, Tbk
Rating Kinerja Q2 2019: BBB
Rating Valuasi Saham pada harga 1,795:
BB
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus Paling Menguntungkan
Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18 Januari, Jakarta Sabtu
1 Februari 2020. Info selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Btw, ulasana bapak di artikel ini sangat baik sekali pak, terima kasih.
Kalp boleh saran bahas saham CCSI pak..
Terima kasih
usul pak untuk bahas saham ADMG ... menarik mnrtku dgn harga yg terbilang murah jg..
Kalau boleh saya mau nanya prospek saham SMKL. Terima kasih.
seprti MDLN dll.....
Hatur nuhun
Menurut saya, memang untuk saat ini masih mahal dengan ROE yang dibawah 10%.
Beberapa waktu lalu, saya mencoba untuk membandingkan NPM dan ROE UC dengan NPM dan ROE UCID berdasarkan FS Quarter 3/2019:
UC
NPM: 8,67% (Annualized: 11,56%)
ROE: 10,02% (Annualized: 13,36%)
UCID
NPM: 5,67% (Annualized: 7,02%)
ROE: 10,56% (Annualized: 14,08%)
Untuk bisnis yang dijalankan UC dan UCID dengan ROE belasan masih cukup wajar, menurut saya.
Tapi jika UC dibandingkan dengan Kao Corporation, agak sulit, karena Kao Corp tidak fokus pada bisnis sanitary saja seperti UC, tetapi juga ada bisnis lain.