Daftar Lengkap Saham-Saham yang Dibeli Asabri
Minggu lalu, tepatnya hari
Selasa, 7 Januari, penulis memenuhi undangan dari Kantor Staf Presiden (KSP) di
Istana Negara, Jakarta, untuk menjadi narasumber dalam diskusi membahas
perkembangan pasar saham, termasuk soal kasus Jiwasraya. Diskusi tersebut dihadiri oleh oleh para deputi dan staf ahli presiden, dan penulis adalah satu dari tiga narsum yang hadir. Nah, ketika kita
membahas soal skema penyelamatan Jiwasraya, maka penulis katakan bahwa Jiwasraya
bisa diberikan bantuan likuiditas oleh BUMN keuangan yang lain, entah
itu BUMN bank, asuransi, dana pensiun dst, dan dengan demikian Jiwasraya akan bisa
melunasi kewajibannya kepada para nasabah pemilik dana.
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus Paling
Menguntungkan Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18
Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info
selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta
sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Ebook Analisa IHSG & Info buy/sell saham edisi Januari 2020 sudah
terbit! Dan anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk
subscriber, dan masih tersedia diskon khusus awal tahun.
***
Lalu ketika giliran narsum lainnya
yang berbicara, maka ia memberikan jawaban yang lebih spesifik. Pertama, ia setuju
bahwa Jiwasraya tidak perlu di-bail out menggunakan APBN, karena dia
bisa dibantu oleh BUMN lain yang sehat, entah itu dalam bentuk penyertaan
modal, atau Jiwasraya menerbitkan obligasi yang kemudian diambil oleh BUMN-BUMN
yang sehat tersebut. Karena meski nilai kerugian yang dialami Jiwasraya ini
tampak fantastis/mencapai belasan trilyun Rupiah, namun angka segitu sebenarnya
tidak terlalu besar dibanding nilai aset dari BUMN-BUMN di bidang keuangan (bank
dll) yang sehat, yang totalnya mencapai Rp7,000-an trilyun.
Namun kedua, ia tidak setuju
dengan rencana pembentukan holding asuransi yang diajukan oleh Menteri BUMN,
karena faktanya BUMN asuransi yang bermasalah/kesulitas likuiditas bukan hanya
Jiwasraya, melainkan yang lainnya juga. Jadi gimana caranya Jiwasraya
bisa sehat, jika dia digabung dengan BUMN-BUMN asuransi lain yang sama saja
sakitnya? Narsum ini kemudian menyebut beberapa nama institusi yang bermasalah
tersebut, diluar Jiwasraya. Salah satunya? Yep, Asabri. Diskusi kemudian
berlanjut dengan membahas masalah yang dialami oleh Asabri, dimana kronologisnya
mirip-mirip dengan Jiwasraya: Asabri banyak membeli saham-saham berfundamental
buruk pada harga sangat tinggi, lalu menderita kerugian karena saham-saham
tersebut anjlok gila-gilaan, beberapa diantaranya turun hingga 90%. Hanya
bedanya dengan Jiwasraya, Asabri tidak menerbitkan produk ‘tabungan’ yang
menjanjikan bunga fix, melainkan hanya menyediakan produk asuransi murni, sehingga
tidak atau belum ada kasus gagal bayar. Tapi dalam hal kesulitan likuiditas,
maka Asabri sama bermasalahnya dengan Jiwasraya (baca lagi soal fakta
Jiwasraya, disini).
Nah, ketika giliran penulis lagi
untuk berbicara, maka saya bilang, kami pelaku pasar sebenarnya sudah tahu soal
Asabri ini sejak dulu, karena nama Asabri jelas sekali muncul sebagai pemegang
saham dengan kepemilikan lebih dari 5%, pada sejumlah perusahaan Tbk yang
sahamnya melejit secara tidak wajar pada tahun 2016 – 2017 lalu. Dan saya
juga pada bulan Juni 2016 sudah menulis tentang pergerakan yang tidak
wajar dari saham-saham tertentu, terutama BUMN (baca lagi ulasannya
disini), dimana ditengarai bahwa itu adalah karena ulah bandar. Tapi kami ketika
itu belum bisa ngomong karena faktanya, Asabri gak ada masalah gagal bayar atau
semacamnya. Namun karena di forum ini nama Asabri sudah disebut, maka ya sudah,
kami mohon izin untuk menjelaskan.
Setelah itu penulis pulang ke
Bandung. Tiga hari kemudian, yakni Jumat, 10 Januari, Pemerintah melalui Menko
Polhukam menyampaikan kepada media terkait dugaan korupsi di Asabri, dengan
perkiraan nilai kerugian yang tidak kalah besarnya dibanding Jiwasraya.
Okay, lalu bagaimana sebenarnya
masalah yang dihadapi oleh Asabri? Dan apakah benar nilai kerugiannya mencapai
Rp10 trilyun?
Kronologis Asabri
PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, atau Asabri (Persero), berdiri pada tahun 1971 sebagai penyedia
asuransi jiwa, asuransi kecelakaan kerja, tunjangan pensiun, dan tunjangan hari tua bagi Anggota TNI/Polri, dan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kementerian Pertahanan
dan Polri, beserta keluarganya. Pendapatan perusahaan berasal dari iuran wajib Anggota TNI/Polri, yang otomatis dipotong dari gaji pokok setiap bulannya, atau
dibayar oleh Pemerintah. Sehingga berbeda dengan Jiwasraya, Asabri tidak perlu
repot-repot promosi produk, tapi pendapatannya akan naik terus hampir setiap
tahun. Sebelum tahun 2014, perusahaan biasanya menempatkan dana iuran anggotanya
pada instrumen-instrumen investasi berisiko rendah, seperti deposito, obligasi
pemerintah & korporasi, dan reksadana campuran. Asabri ketika itu ada juga
beli saham langsung, tapi nilainya hanya di kisaran puluhan milyar Rupiah, alias
relatif kecil jika dibanding nilai total investasinya, yang pada tahun 2013 sudah
tembus diatas Rp10 trilyun.
Hingga pada tahun 2014, Asabri mulai
berinvestasi di saham dengan membeli langsung (diluar investasinya yang melalui
reksadana), dengan nilai penempatan Rp1.5 trilyun, yang terus meningkat di
tahun-tahun berikutnya. Menariknya,
dana yang digunakan adalah dana iuran tunjangan hari tua, yang bisa
disebut sebagai ‘uang dingin’ karena baru akan dicairkan lama kemudian, yakni
ketika si anggota TNI/Polri yang membayar iuran THT tersebut memasuki masa
purnabakti, paling tidak 10 tahun sejak ia pertama kali membayar iuran tersebut
(jadi ini beda dengan katakanlah iuran asuransi kecelakaan kerja, yang klaimnya
bisa dibayarkan setiap saat, yakni ketika si nasabah mengalami kecelakaan kerja
tersebut). Inilah kenapa Asabri tidak mengalami masalah gagal bayar seperti
yang dialami Jiwasraya, bahkan kalaupun dananya nyangkut di saham-saham yang
mereka beli, karena polisnya memang belum jatuh tempo, dan tidak akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Okay, tinggal pertanyaannya, ketika
Asabri memulai ‘debut’ mereka di stock market pada tahun 2014, maka mereka beli
saham apa saja? Well, mereka ada beli beberapa saham BUMN, yang nilai pasarnya
tercatat Rp65 milyar pada akhir tahun. Sedangkan selebihnya, yakni Rp1.4
trilyun, ditempatkan pada saham-saham perusahaan swasta, sebagai berikut, klik
gambar untuk memperbesar:
Nah, ketika melihat tabel diatas,
maka penulis sendiri terus terang kaget. Karena, meski memang Asabri ada beli
saham-saham yang ‘normal’ seperti Bank BCA (BBCA), atau Astra International
(ASII), tapi alokasi dananya sangat kecil, hanya beberapa milyar Rupiah
saja. Sedangkan pegangan terbesar mereka justru di saham-saham dari perusahaan
yang kinerjanya extremely terrible, manajemennya bermasalah, dan beberapa
diantaranya malah hari ini sudah bangkrut! Sebut saja Laguna Cipta Griya
(LCGP), Hanson International (MYRX), Sekawan Intipratama (SIAP), Sugih Energy
(SUGI), hingga Agis (TMPI).
Hanya memang, pada tahun 2014
tersebut, Asabri masih membukukan keuntungan dari ‘investasi’-nya pada saham-saham
diatas, dengan total capital gain (baik itu yang sudah direalisasi, maupun belum) Rp240 milyar. Mungkin karena itulah, perusahaan di tahun
berikutnya (2015) menempatkan lebih banyak lagi investasi di saham,
namun kali ini saham yang ‘tidak perform’ seperti BBCA disingkirkan. Per akhir
tahun 2015, nilai investasi saham Asabri sudah tembus Rp3.5 trilyun,
dimana hanya Rp207 milyar diantaranya yang ditempatkan di saham BUMN, dan
selebihnya ditempatkan di saham-saham swasta, dengan rincian sebagai berikut:
Seperti yang bisa anda lihat
diatas, maka sedikit berbeda dengan tahun 2014, Asabri kali ini berkomitmen
penuh untuk hanya berinvestasi pada saham-saham yang ‘bisa terbang 20% dalam
sehari, dan sebaliknya bisa drop 20% juga dalam sehari, tak peduli kinerja
perusahaannya bagus atau jelek’. Dan keuntungan sebesar Rp910 milyar pada tabel
diatas (dari modal Rp2.6 trilyun) tentunya tampak luar biasa, mengingat di
tahun 2015 itu IHSG anjlok 12.1%, sehingga Asabri kembali melanjutkan strategi
investasinya tersebut. Namun memasuki tahun 2016, beberapa saham yang dipegang
turun signifikan sehingga perusahaan harus mengakui kerugian, dimana datanya
bisa dilihat pada tabel berikut:
Seperti yang bisa dilihat diatas,
meski beberapa sahamnya nyangkut tapi Asabri secara keseluruhan masih
membukukan keuntungan meski sangat kecil, yakni hanya Rp14 juta. Dan mungkin karena
itulah, manajer investasi (MI)-nya sedikit mengubah strategi: Masih di tahun
2016, Asabri mulai membeli banyak saham-saham BUMN, dan hasilnya memang cuan
dimana saham-saham itu naik banyak. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Kemudian pada tahun 2016 ini pula, selain dana iuran tunjangan hari tua, Asabri juga mulai menggunakan dana iuran tunjangan pensiun milik para nasabahnya untuk belanja saham, yang nilai pasarnya tercatat total Rp6.3 trilyun pada akhir tahun, dan dengan komposisi porto yang juga terkonsentrasi pada saham-saham seperti INAF, ANTM, KAEF, dan MYRX. Sebelumnya perlu diketahui bahwa meski sama-sama dibayarkan ketika seorang anggota TNI/Polri pensiun, namun tunjangan pensiun berbeda dengan tunjangan hari tua, dimana tunjangan pensiun dibayarkan secara bertahap setiap bulan sejak si anggota pensiun hingga ia meninggal dunia, sedangkan tunjangan hari tua dibayarkan secara sekaligus sebanyak satu kali saja, yakni ketika si anggota pensiun. Jadi jika seorang anggota TNI/Polri ingin menerima keduanya, maka ia juga harus membayar dua jenis iuran yang berbeda.
Sehingga untuk tahun 2016 itu, Asabri total memegang portofolio saham senilai Rp11.4 trilyun (menjadi Rp11.8 trilyun setelah adanya penyesuaian penyajian kembali laporan keuangan) yang sebagian besar terkonsentrasi pada saham-saham seperti Indofarma (INAF), Semen Baturaja (SMBR), dan Hanson International (MYRX). Memasuki tahun 2017, nilai investasi saham Asabri untuk dana iuran tunjangan hari tua-nya stagnan di angka Rp5.3 trilyun, tapi komposisinya berubah drastis dimana penempatan di saham-saham BUMN berkurang hingga setengahnya, sedangkan penempatan di saham-saham swasta naik signifikan. Pada laporan keuangan tahun 2017 ini, Asabri tidak lagi merinci saham-saham apa saja yang mereka pegang, sedangkan pada laporan arus kasnya ada ‘penempatan investasi’ sebesar Rp861 milyar. Sehingga penulis mengambil kesimpulan: Asabri kemungkinan mulai menderita kerugian serius dari strategi investasinya diatas, tapi perusahaan masih bisa mengakali hal tersebut dengan kembali membeli saham-saham lainnya dalam jumlah besar, kali ini saham swasta terutama yang baru IPO. Seperti yang kita ketahui, pada tahun 2017 lalu ada banyak saham pendatang baru di bursa (totalnya 27 saham baru), dimana mayoritas dari saham-saham IPO ini kemudian terbang secara tidak wajar. Dan data registrasi efek menunjukkan bahwa sampai hari ini, Asabri masih memegang dua saham yang IPO pada tahun 2017 tersebut, yakni Hartadinata Abadi (HRTA), dan Alfa Energi Investama (FIRE). Khusus untuk FIRE, setelah IPO pada harga 500, pada bulan Juni 2017, sahamnya sukses terbang hingga ditutup di posisi 1,285 pada akhir tahun 2017. Sehingga dengan asumsi Asabri sudah mulai koleksi sahamnya sejak tahun 2017 tersebut, atau perusahaan dapet jatah IPO-nya, maka kenaikan nilai investasinya di saham-saham swasta untuk tahun 2017, menjadi bisa dijelaskan.
Sehingga untuk tahun 2016 itu, Asabri total memegang portofolio saham senilai Rp11.4 trilyun (menjadi Rp11.8 trilyun setelah adanya penyesuaian penyajian kembali laporan keuangan) yang sebagian besar terkonsentrasi pada saham-saham seperti Indofarma (INAF), Semen Baturaja (SMBR), dan Hanson International (MYRX). Memasuki tahun 2017, nilai investasi saham Asabri untuk dana iuran tunjangan hari tua-nya stagnan di angka Rp5.3 trilyun, tapi komposisinya berubah drastis dimana penempatan di saham-saham BUMN berkurang hingga setengahnya, sedangkan penempatan di saham-saham swasta naik signifikan. Pada laporan keuangan tahun 2017 ini, Asabri tidak lagi merinci saham-saham apa saja yang mereka pegang, sedangkan pada laporan arus kasnya ada ‘penempatan investasi’ sebesar Rp861 milyar. Sehingga penulis mengambil kesimpulan: Asabri kemungkinan mulai menderita kerugian serius dari strategi investasinya diatas, tapi perusahaan masih bisa mengakali hal tersebut dengan kembali membeli saham-saham lainnya dalam jumlah besar, kali ini saham swasta terutama yang baru IPO. Seperti yang kita ketahui, pada tahun 2017 lalu ada banyak saham pendatang baru di bursa (totalnya 27 saham baru), dimana mayoritas dari saham-saham IPO ini kemudian terbang secara tidak wajar. Dan data registrasi efek menunjukkan bahwa sampai hari ini, Asabri masih memegang dua saham yang IPO pada tahun 2017 tersebut, yakni Hartadinata Abadi (HRTA), dan Alfa Energi Investama (FIRE). Khusus untuk FIRE, setelah IPO pada harga 500, pada bulan Juni 2017, sahamnya sukses terbang hingga ditutup di posisi 1,285 pada akhir tahun 2017. Sehingga dengan asumsi Asabri sudah mulai koleksi sahamnya sejak tahun 2017 tersebut, atau perusahaan dapet jatah IPO-nya, maka kenaikan nilai investasinya di saham-saham swasta untuk tahun 2017, menjadi bisa dijelaskan.
Lalu ditambah investasi sahamnya yang menggunakan dana iuran tunjangan pensiun sebesar Rp8.2 trilyun, maka totalnya Asabri memegang saham senilai Rp13.5 trilyun pada akhir 2017. Dan meski perusahaan tidak lagi menyebutkan saham-saham apa saja yang mereka pegang, tapi penulis perkirakan masih tidak jauh-jauh dari INAF, MYRX, dst, karena saham-saham tersebut tidak likuid sehingga sulit untuk menjualnya, apalagi Asabri memegangnya senilai lebih dari Rp1 trilyun untuk tiap-tiap saham (and indeed, hingga akhir 2019, Asabri tercatat masih memegang saham-saham diatas).
However, memasuki tahun 2018, saham-saham yang dipegang Asabri mulai berjatuhan, karena memang sekali lagi, sejak awal fundamentalnya tidak mendukung. Contohnya SMBR, yang sempat lanjut naik sampai menyentuh 4,100 di awal tahun 2018, tapi setelah itu longsor terus menerus hingga akhirnya ditutup di level 1,750 pada akhir tahun. Memasuki 2019, kondisinya semakin buruk dimana kali ini giliran INAF yang turun, dan hampir semua saham yang dipegang Asabri diatas satu per satu berjatuhan, bahkan tidak sedikit diantaranya yang mati di gocap, di-suspen, atau perusahaannya bangkrut! Penulis tidak tahu berapa sisa nilai investasi Asabri di saham-saham tersebut pada hari ini, karena LK-nya untuk tahun 2019, dan juga 2018 belum keluar. Tapi kalau melihat posisi harga terkini dari saham-saham yang dulu dibeli Asabri (dan data registrasi pemegang efek menunjukkan bahwa Asabri sekarang ini masih memegang saham-saham tersebut), maka sulit untuk membayangkan bahwa investasi senilai Rp13.5 trilyun milik Asabri di tahun 2017 lalu, pada hari ini masih utuh. Lebih buruk lagi: Ketika saham-saham yang dipegang mulai turun sejak tahun 2018 lalu, maka bukannya cut loss, MI di Asabri justru beli lagi saham-saham tersebut, dimana hal itu kelihatan dari persentase kepemilikan Asabri di INAF, misalnya, yang meningkat dari 7.1% di tahun 2017, menjadi 13.9% pada akhir tahun 2019.
However, memasuki tahun 2018, saham-saham yang dipegang Asabri mulai berjatuhan, karena memang sekali lagi, sejak awal fundamentalnya tidak mendukung. Contohnya SMBR, yang sempat lanjut naik sampai menyentuh 4,100 di awal tahun 2018, tapi setelah itu longsor terus menerus hingga akhirnya ditutup di level 1,750 pada akhir tahun. Memasuki 2019, kondisinya semakin buruk dimana kali ini giliran INAF yang turun, dan hampir semua saham yang dipegang Asabri diatas satu per satu berjatuhan, bahkan tidak sedikit diantaranya yang mati di gocap, di-suspen, atau perusahaannya bangkrut! Penulis tidak tahu berapa sisa nilai investasi Asabri di saham-saham tersebut pada hari ini, karena LK-nya untuk tahun 2019, dan juga 2018 belum keluar. Tapi kalau melihat posisi harga terkini dari saham-saham yang dulu dibeli Asabri (dan data registrasi pemegang efek menunjukkan bahwa Asabri sekarang ini masih memegang saham-saham tersebut), maka sulit untuk membayangkan bahwa investasi senilai Rp13.5 trilyun milik Asabri di tahun 2017 lalu, pada hari ini masih utuh. Lebih buruk lagi: Ketika saham-saham yang dipegang mulai turun sejak tahun 2018 lalu, maka bukannya cut loss, MI di Asabri justru beli lagi saham-saham tersebut, dimana hal itu kelihatan dari persentase kepemilikan Asabri di INAF, misalnya, yang meningkat dari 7.1% di tahun 2017, menjadi 13.9% pada akhir tahun 2019.
Tapi karena saham-saham itu terus
saja turun, maka itu justru menyebabkan nilai kerugiannya menjadi lebih
besar lagi! Sehingga ketika dikatakan bahwa nilai kerugiannya mencapai Rp10
trilyun, maka meski belum ada bukti yang menunjukkan hal tersebut (masih tunggu audit BPK), tapi itu adalah perkiraan nilai kerugian yang masuk
akal.
Anyway, kesemua ulasan diatas
menimbulkan banyak pertanyaan berikutnya: Kenapa Asabri pada tahun 2014
tiba-tiba saja ‘berinisiatif’ untuk membeli saham langsung, padahal sebelumnya
mereka aman-aman saja berinvestasi di instrumen berisiko rendah? Dan kenapa saham
yang dibeli adalah dari perusahaan yang gak ada bagus-bagusnya? Adakah pihak
ketiga yang terlibat? Lalu adakah hubungannya dengan Jiwasraya, mengingat Jiwasraya
juga membeli beberapa saham yang sama? Dan bagaimana dampak dari kesemua gonjang
ganjing terkait Jiwasraya, Asabri, dan nanti entah apa lagi, terkait
bursa saham itu sendiri??
Tapi karena ulasan kali ini sudah
cukup panjang, maka selebihnya kita bahas minggu depan. Just stay tune!
***
Jadwal Seminar Value Investing, Metode Paling Santai Sekaligus Paling
Menguntungkan Dalam Investasi Saham: Surabaya Sabtu 18
Januari, Jakarta Sabtu 1 Februari 2020. Info
selengkapnya baca
disini, tersedia diskon jika mendaftar untuk dua peserta
sekaligus. Info telp/Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Jadwal Kelas Private: JW Marriott Surabaya, Jumat 17 Januari 2020. Info lengkap baca disini.
Jadwal Kelas Private: JW Marriott Surabaya, Jumat 17 Januari 2020. Info lengkap baca disini.
Ebook Analisa IHSG & Info buy/sell saham edisi Januari 2020 sudah
terbit! Dan anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk
subscriber, dan masih tersedia diskon khusus awal tahun.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Makasih sharingnya pak..