Dibalik Skandal Garuda Indonesia

Ketika Garuda Indonesia (GIAA) menggelar IPO dengan harga perdana Rp750, tahun 2011 lalu, maka setelah mempelajarinya, penulis simpulkan bahwa sahamnya tidak layak invest karena hal-hal berikut: Bisnis maskapai penerbangan itu biayanya mahal terutama di harga beli pesawat dibanding harga tiket penerbangan itu sendiri (semurah-murahnya harga pesawat ukuran kecil adalah Rp400 milyar per unit, jadi dengan harga tiket katakanlah Rp1 – 2 juta per orang per perjalanan, maka bisa dibayangkan butuh waktu berapa lama buat balik modal, belum lagi biaya operasional yang mahal), dan biaya bahan bakar, terutama karena harga minyak dunia ketika itu masih diatas $100 per barel. Kemudian GIAA juga harus bersaing dengan low cost carrier (LCC) seperti Lion Air dan Air Asia, yang harga tiketnya hanya setengahnya. Dan memang ketika itu, GIAA terus mencatatkan kerugian nyaris saban tahun. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.


Jadi ketika GIAA kemudian langsung drop ketika sahamnya melantai di bursa, maka penulis tidak heran dengan hal tersebut, dan kita kemudian mengabaikan GIAA ini. Hingga pada tahun 2012, penulis mulai melirik lagi GIAA ini karena melihat bahwa manajemennya banyak melakukan reformasi dengan menerapkan strategi berikut: 1. Meningkatkan dominasi atas pasar domestik, 2. Meningkatkan pelayanan di pasar internasional, 3. Masuk ke pasar low cost carrier (penerbangan murah) melalui PT Citilink Indonesia, 4. Meremajakan dan menambah armada pesawat, 5. Memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan, 6. Meningkatkan efisiensi biaya, 7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada titik ini saya masih belum tertarik untuk membeli saham GIAA, karena perusahaan masih merugi, tapi penulis berharap bahwa dalam 2 – 3 tahun berikutnya, GIAA mungkin akhirnya akan profit juga. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

Waktu berlalu, dan bagaimana realisasinya? Well, sampai tahun penuh 2018 lalu, GIAA ternyata masih saja merugi $179 juta (dan itu adalah angka rugi yang sangat besar, mengingat ekuitas perusahaan hanya $683 juta). Dan meskipun pada Kuartal III 2019 ini GIAA membukukan laba, tapi mengingat kinerja historisnya yang sangat tidak stabil dimana perusahaan sering membukukan laba di kuartal tertentu, tapi berbalik jadi rugi di kuartal berikutnya, maka penulis ragu apakah tahun 2019 ini GIAA bakal tetap membukukan laba, apalagi manajemen GIAA pernah ketahuan merekayasa laporan keuangannya untuk tahun 2018 lalu.

Lalu kenapa kok GIAA ini rugi terus? Well, entahlah. Karena kalau kita lihat lagi environment dari industri transportasi udara itu sendiri, maka tidak semestinya Garuda merugi. You see, antara tahun 2014 – 2018, GIAA rata-rata mengangkut 19 juta penumpang setiap tahunnya, yang turun sedikit menjadi 18 juta pada tahun 2018 karena kenaikan harga tiket pesawat, dan kemungkinan turun lagi pada tahun 2019 ini. Namun mengingat kenaikan harga tiket tersebut sangat signifikan (hampir dua kali lipat) dibanding penurunan jumlah penumpang yang terjadi, maka pendapatan GIAA harusnya tetap naik signifikan, dan memang tahun 2018 kemarin GIAA mencatat rekor pendapatan $4.3 milyar, yang kemungkinan akan kembali naik menjadi $4.7 milyar di tahun 2019 ini (pendapatan $3.5 milyar di Q3, disetahunkan). Disisi lain, harga minyak dunia sudah sejak tahun 2016 lalu drop ke level $50 – 60 per barel dan tidak pernah naik lagi, sehingga logikanya biaya bahan bakar bakal turun. Dan terakhir, karena GIAA sekarang punya dua unit usaha di segmen LCC yakni melalui Citilink dan Sriwijaya Air, maka pangsa pasar GIAA otomatis menjadi lebih luas, dan harusnya perusahaan akan mampu bersaing dengan LCC lainnya.

Jadi dengan kondisi seperti diatas, harusnya GIAA sudah profit sejak lama, dan sahamnya mungkin sudah di level 1,500-an. Tapi nyatanya, meski pendapatan perusahaan memang kembali mencetak rekor tertinggi tahun ini, tapi tidak hanya biaya bahan bakar tidak turun, GIAA juga harus menanggung banyak biaya yang tidak perlu. Contohnya, pada Q3 2019, perusahaan mencatat biaya operasional hotel $24 juta, sedangkan pendapatannya dari usaha hotel cuma $12 juta. Sehingga pertanyaannya ada dua: 1. Ngapain GIAA punya hotel? Dan 2. Kalau hotelnya merugi, kenapa masih dipertahankan sampai sekarang? Kemudian, GIAA mencatat beban komisi tiket, penjualan dan promosi dengan angka yang sangat besar, $243 juta, dan biaya pelayanan penumpang $202 juta, dimana kalau kita bandingkan dengan laporan laba rugi dari PT Airasia Indonesia, Tbk (CMPP), maka kedua jenis biaya ini tidak ada! Okay, memang kalau kita naik Garuda, itu dikasih makan, sedangkan kalau naik AirAsia harus puasa. But let see: Tahun 2018, GIAA mengangkut 18.9 juta penumpang, dan perusahaan harus membayar biaya ‘pelayanan penumpang’ hingga $292 juta, sehingga biayanya adalah sekitar $15, alias Rp220,000 per penumpang. Nah, really? Memangnya kalau kita naik Garuda dikasih makan lobster gitu?? Mungkin perlu juga dicatat bahwa, di LK GIAA, beban pelayanan penumpang ini berbeda dengan beban yang sudah ada seperti bahan bakar, biaya bandara, biaya perawatan pesawat, biaya administrasi, dan seterusnya, dimana di LK CMPP juga ada beban-beban tersebut. Tapi sekali lagi, di LK CMPP, tidak ada beban ‘komisi’, ataupun beban pelayanan penumpang secara terpisah (itu masuknya beban operasional penerbangan, dan dengan angka nominal yang juga jauh lebih kecil).

Sehingga kesimpulannya, problem di GIAA ini bukan terletak di industri transportasi udara itu sendiri, tapi lebih ke manajemennya yang, entah disengaja atau tidak, banyak membebankan biaya yang aneh-aneh ke perusahaan. Dan hal ini tentu saja sangat merugikan GIAA itu sendiri. Secara logika saja, kalau memang maskapai penerbangan itu rugi semua, maka gak mungkin Om Rusdi Kirana, atau Pak Cik Tony Fernandes masuk Majalah Forbes. Padahal dalam banyak aspek, posisi Garuda jelas lebih unggul dibanding Lion Air, ataupun Air Asia.

Anyway, seperti yang disebut diatas, problem yang dialami GIAA ini kemungkinan merupakan cerminan dari problem umum yang dialami semua BUMN di Indonesia, yakni: Perusahaannya sangat tidak efisien, salah satunya karena ada banyak sekali biaya-biaya yang sebenarnya tidak perlu, atau angkanya lebih besar dari yang seharusnya. Sebab BUMN yang merugi selama ini gak cuma GIAA, tapi ada banyak lagi yang lain seperti (berdasarkan LK Kuartal III 2019) Krakatau Steel (KRAS), Indofarma (INAF), Timah (TINS), dan seterusnya. Khusus untuk TINS, perusahaan bahkan sejatinya diuntungkan dengan peraturan dari pemerintah yang menyebabkan pendapatannya tahun 2019 ini naik dua kali lipat (baca lagi analisanya disini), tapi gak ngerti gimana ceritanya, tetep aja ujung-ujungnya dia rugi juga! Bagi penulis sendiri, ini agak menjengkelkan, karena kita jadi kehilangan peluang untuk berinvestasi. Dan sebenarnya, hal ini tidak hanya dialami oleh BUMN, tapi perusahaan-perusahaan swasta tertentu juga banyak yang mencantumkan beban-beban yang tidak perlu di LK-nya, sehingga ujung-ujungnya mereka membukukan rugi, atau labanya kelewat kecil. Tapi jika kita anggap bahwa Grup BUMN adalah seperti grup-grup lainnya yang ada di Indonesia (Astra, Sinarmas, Lippo, dst), maka dengan total aset lebih dari Rp8,000 trilyun, grup BUMN merupakan grup konglomerasi terbesar di Indonesia, sehingga sayang sekali kalau di grup yang sangat besar ini mayoritas perusahaan anggotanya justru merugi semua, sehingga kemudian sahamnya menjadi tidak layak invest.

Prospek BUMN Setelah Skandal Garuda

Dan problem di BUMN diatas kemungkinan memang sudah terjadi sejak jaman Sandiwara Saur Sepuh masih bisa kita dengar di radio, boleh dibilang tanpa adanya upaya perbaikan sama sekali, dan dampak negatifnya sebenarnya sangat terlihat dimana ada banyak BUMN kita yang hanya jalan di tempat, atau lebih buruk lagi, cuma bisa bertahan hidup dari subsidi pemerintah. Contohnya, Perusahaan Gas Negara (PGAS) adalah perusahaan migas yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, tepatnya tahun 1850. Tapi ketika Royal Dutch Shell yang sama-sama didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907, dan pada hari ini sudah menjadi salah satu oil giant kelas dunia, maka PGAS ya masih gitu-gitu saja. Lalu Pertamina, yang pada tahun 1960-an sempat menjadi ‘guru’ bagi Petronas Malaysia, tapi sekarang sudah jauh ketinggalan dibanding anak didiknya tersebut, dan sampai hari ini juga Pertamina masih disubsidi oleh negara (pada tahun 2018, Pertamina membukukan laba $2.5 milyar, tapi itu termasuk pendapatan subsidi $5.6 milyar, sehingga kalau gak ada subsidi ini, maka Pertamina sejatinya merugi). Nah, kalau mengingat Indonesia itu jauh lebih besar dibanding Belanda dan juga Malaysia, dan dengan jumlah penduduk yang juga jauh lebih besar sehingga PGAS dan Pertamina harusnya bisa maju pesat bahkan meskipun mereka hanya beroperasi di dalam negeri, maka tentu ada something wrong disini.

Namun demikian, ada harapan bahwa kondisi diatas akan segera berubah. Yup, ketika pada 21 Oktober lalu diumumkan daftar kabinet yang baru, maka untuk nama-nama menteri yang lain penulis no comment, tapi saya termasuk yang antusias ketika melihat nama Menteri BUMN yang baru (saya sampai posting fotonya di Instagram, boleh anda cek sendiri), and why is that? Karena beliau ini jenius (kalo gak pinter, gak akan kaya lah), idealis, dan juga tipikal aktif pekerja keras. Penulis tidak akan memperinci kenapa saya bisa beranggapan demikian, karena artikel ini bukan tentang beliau.

Tapi intinya adalah, ketika dalam beberapa waktu ini Pak Menteri banyak melakukan perombakan di BUMN-BUMN, terutama dengan mengganti jajaran direksi dan komisarisnya dengan orang-orang yang lebih kompeten, maka itu memang sesuai dengan harapan penulis sebelumnya, yakni bahwa beliau akan bekerja keras membereskan ratusan BUMN di Indonesia. Sudah tentu, tidak ada jaminan bahwa para direktur dan komisaris yang baru ini akan bekerja lebih baik dibanding pendahulunya, tapi itu lebih baik daripada membiarkan direksi yang sudah ada, sedangkan para direksi ini tidak mampu, atau bahkan mungkin tidak peduli, ketika BUMN yang mereka pimpin terus saja merugi. Termasuk ketika Direktur Utama Garuda Indonesia ketahuan menyelundupkan motor Harley Davidson cuma karena tidak mau bayar bea masuk Rp50 juta, maka penulis sendiri ragu kalau ini adalah kasus pertama, melainkan kemungkinan hal ini sudah 'lumrah' dilakukan sejak dulu, tapi baru ketahuan sekarang saja. Dan kalau saja penulis yang jadi Menteri BUMN, maka saya tidak akan berhenti menyelidiki hanya sampai kasus Harley itu saja, tapi saya juga akan interogasi manajemen GIAA secara keseluruhan, ini kenapa kok biaya pelayanan penumpang sampai Rp220,000 per penumpang? Dan apa yang dimaksud biaya 'komisi' disini? Kenapa kok angkanya besar sekali sampai $150 juta sendiri??

Anyway, penulis kira skandal Harley ini sudah cukup sebagai shock therapy bagi para petinggi di lingkungan BUMN itu sendiri. Sehingga jika Pak Menteri bisa melanjutkan kinerjanya, maka dalam beberapa waktu kedepan, kita mungkin akan melihat ‘skandal-skandal Harley’ berikutnya, yang bisa jadi melibatkan BUMN lainnya lagi (karena skandalnya memang sudah dilakukan, cuma belum ketahuan saja). Sedangkan dalam jangka panjang, maka jika semuanya lancar, dalam lima hingga sepuluh tahun kedepan kita akan menyaksikan para BUMN membukukan kinerja yang jauh lebih efisien, gak ada lagi biaya yang aneh-aneh, dan laba bersihnya juga menjadi besar seperti yang sudah seharusnya. Di BEI sendiri saat ini ada sekitar 20-an emiten BUMN, tapi hanya kurang dari separuhnya yang cukup layak untuk investasi, dan yang layak untuk legacy stock alias investasi jangka panjang, jumlahnya lebih sedikit lagi. Tapi jika trend ‘bersih-bersih’ ini terus berlanjut, maka suatu hari nanti kita mungkin akan melihat salah satu BUMN naik kelas menjadi world class corporation, dan kita sebagai investor tentunya akan bisa menikmati kenaikan harga sahamnya yang konsisten dalam jangka panjang, plus bonus dividen. Mudah-mudahan!

***

Ebook Kumpulan Analisa & Rekomendasi 30 Saham Pilihan edisi Kuartal III 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

felix mengatakan…
Tahun 2018 harga tiket Jakarta - Padang atau Padang - Jakarta sekitar 1,2 juta - 1,5 juta.

Dengan biaya pelayanan per penumpang 220.000. Saya dapat nasi kotak, puding, air putih, dan minuman lain (jus, susu, kopi, teh).

Tahun 2019 harga tiket menjadi 1,7 juta - 2,1 juta

Bulan puasa dikasih makan cookies TLJ, mixed nuts, roti 3rban, dan air mineral cleo yang mini. Saya kira ini karena bulan puasa saja makanya dikasih makanan yang praktis dan sedikit. Eh rupanya makin lama makin jelek. Cuma dikasih roti 3rban, mixed nuts, dan air mineral Cleo mini.
vanheiden mengatakan…
Luar biasa pak, saya sangat menikmati tulisannya. Semoga bapak panjang umur dan selalu diberi kesehatan. Jadi saya bsa selalu menikmati artikel2 bapak yang renyah ini. Terima kasih banyak
Sri sardjananto mengatakan…
Menambahkan keterangan saja bahwa layanan penumpang dimulai dari pre-flight, disini ada layanan ticketing ada komponen biaya komusi agen GDS dan sistem IT untuk passanger dan operation sehingga jadwal pesawat busa tepat waktu dan aman.
Inflight ada latanan intertainment, makanan, toiletries, cabin equipment, kenyamanan kursi dgn jarak yg nyaman.
Post flight adanya GAmiles,ground handling dll. Skyteam
Knp sampai 220 ribu? Kita bisa check satu satu mana yg cost besar dan benefit ke penumpang sedikit. Sistem passanger saat inu hosting ke amadeus di german...ini yg punya cist tinggi. Mungkinkah diefisienkan? Jwbnnya mungkin. Perdayakan anak perusahaan IT garuda untuk take over sistem itu. Itu salah satu contoh untuk menekan biaya latanan penumpang. Makanan dari studi hanya maksimal 5% harga tiket. Demukian terima kasih
Adi Sastrawijaya mengatakan…
setuju dengan penulis, menurut saya keadaan bumn juga merupakan cerminan keadaan kantor2 negara yang lain
Milhan mengatakan…
sebagian besar pesawat yang dilabeli perusahaan seperti Garuda dsb itu sewa.. bukan milik sendiri
Bayu bay mengatakan…
Bagus sekali pak tulisannya,

Btw saya baru beli 2 buku bapak the calm investor dan value investing
Me mengatakan…
Beban komisi tiket kayaknya ada hubungannya dengan kasus AirAsia VS Online Travel Agent (tiket.com, Traveloka, dll) pak. Kalo kita lihat dalam setahun ini, di 2 platform tersebut harga dan diskon utk tiket Garuda, Citilink, dan Sriwijaya nya gila2an. Harga tiket nya bahkan bisa lebih murah drpd yang di travel Agent offline. Memang seperti tiket.com kita bs liat ada iklannya di pesawat2 grup Garuda. Tapi hadirnya beban komisi yang besar ini bisa jadi menandakan bahwa apa yang Grup Garuda dapat dari online travel Agent lebih kecil drpd yang musti mereka bayar.
Unknown mengatakan…
Setahuku Indofarma itu kodenya INAF, Sedangkan KAEF itu untuk Kimia Farma, entah yg rugi terus itu yg mana?
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, di paragraf 7, kode saham Indofarma bukannya INAF (tertulis KAEF) ya.. :)
Anonim mengatakan…
sorry to say pak
dari dulu emang BUMN kelakuannya kaya parasit
terutama GIAA, manajemennya toxic... harusnya dibuat swasta aja biar mulai mikir dapet untung itu perusahaan

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia