Apa Itu Trailing Stop Loss, Dan Bagaimana Cara Melakukannya

Menurut Investopedia, trailing stop loss (TSL) adalah sebuah sistem dimana pihak broker/sekuritas akan secara otomatis menjual saham yang dipegang seorang investor, yakni jika si investor sebelumnya sudah memasukkan perintah untuk menjual saham tersebut kalau harganya turun sekian persen. Contoh, anda membeli saham A pada harga 1,000, dan TSL-nya ditetapkan pada level 10%. Maka jika saham A kemudian langsung turun dari harga 1,000 tersebut sampai menyentuh 900 (turun 10%), pihak broker akan otomatis jual cut loss. Sedangkan jika saham A naik dulu sampai 1,200, tapi kemudian balik arah dan turun sampai 1,080 (turun 10% dari 1,200 tadi), maka sahamnya juga akan otomatis dijual, namun kali ini dalam posisi profit karena modalnya tadi di 1,000.

***

Buku Kumpulan Analisa & Rekomendasi 30 Saham Pilihan edisi Kuartal III 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Info lebih lanjut, telp/whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Dari penjelasan diatas maka kita bisa melihat tujuan dari TSL ini: Untuk mencegah agar kerugian yang terjadi tidak terlalu signifikan, dan/atau untuk ‘mengunci’ profit yang sudah diperoleh agar tidak hilang lagi.

Dan khususnya di Indonesia, TSL ini sangat berguna karena seperti yang kita ketahui pergerakan saham-saham disini sangat fluktuatif, dimana sebuah saham pada satu waktu bisa naik sangat tinggi, tapi kemudian anjlok di waktu yang lain. Contohnya Indika Energy (INDY). Pada tahun 2017 lalu, INDY terbang dari 750 pada awal tahun, hingga sempat menyentuh 4,520 pada Januari 2018, sehingga mencetak keuntungan ratusan persen bahkan bagi mereka yang baru masuk katakanlah pada harga 1,000 atau 2,000. Namun memasuki Februari 2018, INDY mulai turun dimana pada bulan Maret-nya dia sudah berada di 3,300 lagi, dan kemudian terus turun sampai hari ini. Nah! Jadi kalau ada investor yang memasang TSL 10% di INDY ini, maka dia akan sudah otomatis menjual sahamnya ketika INDY turun ke 4,060 (turun 10% dari 4,520), tak peduli posisinya untung ataupun rugi (kalau dia belinya di harga 4,500, maka dia rugi, tapi kalau dia belinya di 2,000, atau 1,000, maka dia untung).


Tapi sekarang anda bayangkan bagaimana jika ada investor yang beli INDY ini di harga 4,500 tadi, dan dia tidak menggunakan TSL sehingga masih hold sahamnya sampai sekarang: Maka sudah berapa persen kerugiannya?? Karena pada hari ini, INDY sudah di 1,000-an lagi. Demikian pula bagi investor yang pada tahun 2017 lalu sudah beli INDY di harga 1,000 atau lebih rendah lagi, tapi juga tidak pakai TSL ini sehingga mereka tidak sempat profit taking ketika satu setengah tahun lalu INDY berada di posisi tertingginya, dan justru masih hold sampai sekarang. Maka, meskipun posisinya masih profit, tapi profitnya tentu terlalu kecil dibanding jika si investor sudah profit taking pada awal tahun 2018 lalu.

Dan tidak hanya INDY, tapi dalam 3 – 4 tahun terakhir ini ada banyak saham-saham lain yang juga sempat terbang, tapi kesininya drop dan balik lagi ke posisi sebelum dia naik, atau bahkan lebih rendah lagi. Sebut saja, Harum Energy (HRUM, dari 1,000 ke 3,500, lalu ke 1,300), Indomobil Sukses Makmur (IMAS, dari 850 ke 4,500, lalu ke 1,000), hingga Indah Kiat Pulp & Paper (INKP, dari 3,000 ke 20,000 lalu ke 7,000). Berbeda dengan saham-saham IPO gorengan atau saham Grup Hanson yang terbang tinggi lalu setelah itu jatuh dan mati di gocap karena ulah bandar, maka saham-saham yang disebut diatas bukanlah gorengan (penulis sendiri sempet beli, dan cuan), dimana mereka naik karena faktor fundamental (valuasinya murah, dan kinerjanya bagus/lebih baik dari kinerja sebelumnya), dan mereka kemudian turun juga karena faktor fundamental. Contohnya INDY, yang labanya naik banyak pada tahun 2017 lalu, sehingga sahamnya juga otomatis terbang. Tapi seiring dengan penurunan harga batubara, kesininya laba INDY turun lagi, dan sahamnya praktis ikut turun.

Cara Menerapkan Trailing Stop Loss

Sehingga dengan penggunaan TSL ini, maka diharapkan tidak akan ada lagi kasus ‘Saya beli POSA di harga 500, masih di-hold sampai sekarang’, atau semacamnya. Batas TSL ini juga tidak harus sahamnya turun 10%, melainkan bisa 5%, 15%, tergantung input yang dibuat si investor itu sendiri.

However, penggunaan TSL ini bukannya tanpa kelemahan, dan dalam banyak kasus, TSL ini bukannya membantu investor untuk stop loss, tapi justru loss taking. Penjelasannya begini: Berdasarkan pengalaman, ketika sebuah saham turun signifikan sebanyak sekian persen, maka seringkali itu merupakan awal dari penurunan yang lebih lanjut. Sehingga dalam hal ini, TSL membantu investor untuk membatasi kerugian yang terjadi.

Namun demikian, sering juga terjadi sebuah saham hanya turun sebentar, sebelum kemudian naik lagi. Contohnya, seiring dengan penurunan IHSG dalam beberapa bulan terakhir (dan hingga artikel ini ditulis, IHSG masih belum naik lagi), maka ada banyak sekali saham-saham di BEI yang turun lebih dari 10%. Salah satunya adalah Bank BNI (BBNI), yang pada September 2019 kemarin sahamnya berada di 7,500, dimana pakai teknik valuasi sederhana saja, harga segitu sudah cukup murah terutama untuk ukuran saham bluechip (PER 8.8 kali, PBV 1.2 kali). Tapi di bulan Oktober-nya, IHSG kembali kumat dengan drop sampai dibawah 6,000, dan BBNI ikut terseret turun sampai 6,675, alias turun 11%. Nah, kalau seorang investor beli BBNI di 7,500, lalu ia memasang TSL 10%, maka ia akan otomatis menjual BBNI pada harga 6,750, tapi justru setelah itu BBNI naik lagi, dan sekarang sudah di 7,500-an lagi. Inilah yang penulis maksud dengan TSL ini bukannya stop loss, melainkan malah loss taking, alias merealisasikan kerugian yang sebenarnya tidak perlu.

Karena itulah, meski TSL ini bisa membantu kita sebagai investor untuk meminimalisir risiko kerugian, atau untuk merealisasikan profit yang sudah diperoleh, namun tetap ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, TSL lebih cocok digunakan untuk saham-saham dengan kriteria berikut:
  1. Perusahaannya bergerak di industri yang cyclical, alias bisa booming pada waktu-waktu tertentu, tapi sebaliknya bisa berbalik lesu pada waktu-waktu lain,
  2. Sahamnya bisa naik banyak (multibagger), yakni ketika bisnisnya booming, tapi sebaliknya bisa turun banyak juga, yakni ketika bisnisnya lesu.
Dengan kata lain, TSL tidak cocok digunakan pada saham-saham yang perusahaannya membukukan kinerja bagus serta konsisten dalam jangka panjang. Ini adalah kelompok saham-saham yang biasanya hanya akan turun kalau pasarnya sedang turun, dan/atau kalau ada rumor negatif tertentu terkait perusahaannya. Dan kalau itu yang terjadi, sedangkan secara fundamental tidak ada masalah apa-apa/kinerja laporan keuangan perusahaannya masih bagus, maka itu merupakan kesempatan untuk beli lagi sahamnya, atau minimal hold saja. Karena nanti ketika pasar naik lagi, dan biasanya itu tidak akan butuh waktu lama (paling lama hanya hitungan bulan, jadi tidak akan sampai bertahun-tahun), maka sahamnya akan naik lagi.

Sedangkan kalau anda pegang saham batubara lalu anda melihat bahwa harga batubara turun, dan saham anda ikut turun, maka disinilah TSL akan sangat berguna, karena saham batubara yang anda pegang tersebut bisa anjlok sangat signifikan dan butuh waktu sangat lama untuk naik kembali, atau bahkan saham tersebut tidak akan pernah balik lagi ke harga awalnya. Pada salah satu sesi seminar dengan BEI Jawa Barat di Bandung, beberapa waktu lalu, seorang peserta yang bercerita bahwa ia membeli saham Harum Energy (HRUM) di tahun 2012 pada harga 8,000-an, dan masih di-hold sampai sekarang, dimana kondisi ‘nyangkut menahun’ ini seharusnya tidak akan terjadi kalau pada saham HRUM ini diterapkan TSL.

Itu pertama. Kedua, TSL hanya cocok diterapkan dalam kondisi pasar yang naik/bullish, atau minimal normal/tidak sedang terkoreksi. Sebab dalam kondisi pasar naik inilah, maka saham apapun yang anda pegang biasanya juga naik banyak. Tapi jika pasar kemudian balik arah dan turun, maka saham tadi bisa bablas anjlok sekalian, terutama jika valuasinya memang sudah mahal. Contohnya? Well, pada Oktober 2018 – April 2019 lalu, IHSG naik dari 5,700-an sampai 6,500-an, dan BBNI juga ikut lompat dari 6,700 sampai hampir saja tembus 10,000. Namun karena pada level 10,000 itu valuasi BBNI, meski belum terlalu mahal, tapi sudah tidak lagi murah (PER-nya sudah diatas 10 kali), maka pada kondisi inilah kita bisa pasang TSL untuk BBNI ini, misalnya TSL 5%. Sehingga ketika BBNI turun ke 9,000 – 9,500, maka kita akan otomatis menjualnya, dan dengan demikian mengamankan profit yang sudah diperoleh. Perlu diperhatikan bahwa dalam hal ini, kita tidak langsung pasang TSL di BBNI ketika kita membeli sahamnya (pada harga 6,700), melainkan kita baru pasang TSL tersebut ketika sahamnya sudah naik signifikan hingga valuasinya, setelah kita hitung, sudah tidak terlalu murah lagi, sehingga bisa turun lagi sewaktu-waktu, tak peduli meski fundamentalnya no problem. Understand tidak?

Disisi lain, jika anda memasang TSL ini pada kondisi pasar yang sedang terkoreksi/sudah turun signifikan dibanding beberapa waktu sebelumnya, maka anda mungkin akan mengalami kondisi dimana anda beli saham murah, tapi kemudian menjualnya pada harga yang lebih murah lagi, alias loss taking (bukan cut loss). Contohnya, pada Agustus 2015 lalu, IHSG drop hingga mentok di 4,164 (dari posisi 5,500-an di awal tahun), dimana salah satu saham yang penulis incar, yakni Astra International (ASII), juga sudah turun sampai dibawah 6,000, tepatnya 5,600, tapi penulis sendiri ketika itu beli ASII ini di harga 6,000. Namun tak disangka, hanya sebulan berikutnya yakni di bulan September 2015, IHSG kembali kumat dan bahkan turun lebih rendah lagi yakni sampai mentok 4,120, dan ASII tanpa ampun lanjut turun sampai hampir saja tembus dibawah 5,000! Nah! Jika saja penulis ketika itu pasang TSL, maka saya akan menjual ASII ini dalam posisi rugi di harga 5,500 atau dibawahnya, tapi untungnya penulis ketika itu tetap hold.

Hingga ketika pasar akhirnya pulih, beberapa bulan kemudian, maka ASII juga ikut naik sampai 7,500 – 8,000, dan barulah ketika itu penulis profit taking. Contoh kasus koreksi pasar pada Agustus – September 2015 diatas juga relevan dengan kondisi pasar hari ini, dimana pada awal Oktober 2019 kemarin IHSG sempat drop sampai dibawah 6,000 sebelum kemudian naik lagi, tapi tiba-tiba pada akhir November, IHSG sekali lagi drop sampai dibawah 6,000. Dan alhasil ada banyak saham yang sudah turun signifikan pada bulan Oktober, tapi di bulan Novembernya turun lebih dalam lagi, sehingga bisa jadi ada banyak investor yang loss taking (sekali lagi, bukan cut loss) pada akhir November tersebut, karena mereka pasang TSL tadi. Sehingga dalam kondisi inilah, penggunaan TSL justru menyebabkan kerugian yang tidak perlu.

Okay Pak Teguh, jadi kalau panjenengan sendiri ada pake trailing stop loss ini? Nggak, dan saya bahkan gak tau kalau OLT yang kita gunakan ada tombol TSL-nya atau nggak (karena kita selama ini beli dan jual saham dengan menelpon broker). Namun kalau ada saham yang kita pegang yang turun katakanlah 10%, maka penulis akan analisa ulang saham tersebut sebelum kemudian ambil keputusan, apakah hold saja atau jual. Yup, jadi kita bisa dibilang pake TSL juga, tapi nggak otomatis langsung cut loss, karena khawatirnya itu malah jadi loss taking. However, jika anda masih bingung cara menghitung valuasi saham, cara membedakan mana saham yang cyclical dan yang tidak dst, maka boleh juga pake TSL ini, apalagi sekarang ini lagi musim banyak saham gorengan gak jelas yang kalap naiknya, tapi kalap juga turunnya (contoh paling baru, Mas Murni Indonesia/MAMI), dimana anda bisa saja ikut membeli salah satu dari saham-saham tersebut, sehingga TSL ini tentunya akan mencegah situasi dimana anda terpaksa menjadi ‘investor jangka panjang’ di saham-saham gocapan yang gak jelas kapan akan naik lagi. Well, jangan sampe lah!

***

Jadwal Seminar Value Investing, Surabaya 18 Januari, dan Jakarta, 1 Februari 2020 (hari Sabtu). Info selengkapnya baca disini, atau Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Untuk Seminar Value Investing Advanced, jadwalnya adalah Surabaya 19 Januari, dan Jakarta 2 Februari 2020 (hari Minggu), dan infonya bisa dibaca disini. Tersedia pula rekaman seminar dengan biaya yang tentunya lebih murah, namun dengan materi yang sama lengkapnya.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Martin mengatakan…
Seluritas apa saja ya Pak yg bisa pasang TSL? Apakah mansek bisa?
Gagah mengatakan…
terimakasih pak teguh untuk pembahasannya. appreciate it.
Rasyid mengatakan…
Saham manipulasi seperti mami dan gorengan lainnya tidak bisa pakai TSL, ketika distribusi atau repo selesai bid langsung hilang, otomatis sistem akan kalah cepat, semua orderan TSL hanya masuk di antrian Offer. TSL lebih cocok untuk saham yang bid dan offer setiap harinya normal tanpa rekayasa.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?