Hanson International vs OJK

Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satuan Tugas Waspada Investasi, mengumumkan bahwa mereka telah memanggil direksi PT Hanson International, Tbk (MYRX), untuk meminta penjelasan terkait aktivitas penghimpunan dana milik masyaratakat dalam bentuk tabungan, yang dilakukan oleh perusahaan, padahal MYRX bukanlah lembaga keuangan atau bank, melainkan perusahaan properti. Kepala Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing, mengatakan bahwa aksi penghimpunan dana tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2016, dimana ‘nasabah’ dijanjikan bunga 10 – 12% per tahun, dan dana yang terkumpul dikatakan akan digunakan untuk mengembangkan usaha properti milik perusahaan.

***

Ebook Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan edisi Kuartal III 2019 akan terbit tanggal 8 November mendatang, dan anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon preorder bagi yang memesan sebelum tanggal 8 November. Info lebih lanjut, telp/whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Tak lama setelah beritanya beredar, MYRX langsung mengumumkan di koran bahwa mereka tidak lagi menerima dana dalam bentuk tabungan, deposito, dan/atau jenis lainnya terhitung sejak tanggal pengumuman ini diterbitkan. Nah lho, berarti memang bener MYRX selama ini beroperasi layaknya sebuah bank yang menerima setoran deposito, padahal dia bukan bank? Lalu perusahaan apa MYRX ini sebenarnya??


Nah, dalam hal ini penulis mengajak anda untuk membaca lagi artikel tentang Grup MNC, dimana penulis katakan bahwa Grup MNC merupakan satu dari sekian banyak grup usaha di Indonesia, yang keahliannya bukan dalam hal mengelola perusahaan dengan baik dan benar hingga menghasilkan keuntungan secara operasional, yang pada akhirnya menumbuhkan nilai riil perusahaan tersebut, melainkan dalam hal menghimpun dana dari masyarakat, baik itu investor ritel, investor institusi, hingga bank, entah itu dalam bentuk setoran modal (IPO, right issue, private placement), utang obligasi, hingga utang bank. Grup dengan cara kerja seperti ini tidak pernah menganggap kita semua, yakni investor ritel, sebagai sesama pemegang saham/pemilik perusahaan, melainkan justru menganggap kita sebagai ‘sapi perah’ yang mereka bisa mengambil keuntungan darinya. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

Namun demikian, ternyata ada juga beberapa grup yang punya keahlian yang sama, yakni menghimpun dana masyarakat, tapi dengan cara yang, well.. bisa dibilang melanggar hukum. Maksud penulis adalah, ketika perusahaan Tbk menggelar right issue, maka prosesnya harus melalui persetujuan dari BEI dan OJK, sehingga pengumpulan dana masyarakat melalui mekanisme right issue tersebut adalah legal, termasuk perusahaan yang bersangkutan harus menerbitkan prospektus yang menjelaskan semua prospek dan risiko, yang bisa dipelajari oleh investor sebelum mereka memutuskan untuk ikut right issue-nya atau tidak. Tapi bagaimana kalau perusahaan yang bukan bank secara sengaja mengumpulkan dana tabungan dari masyarakat? Sejak kapan perusahaan properti memiliki izin untuk menerima setoran deposito??

Kenyataannya adalah, modus ‘menerima setoran tabungan’ ini baru satu dari sekian banyak metode penghimpunan dana dari masyarakat yang bersifat ilegal/tidak menerima izin dari otoritas terkait. Modus lainnya adalah repo saham, dimana perusahaan ‘meminjam dana’ dari investor dengan jaminan aset keuangan tertentu, misalnya saham, obligasi, hingga surat utang negara, dengan janji bahwa perusahaan akan membeli kembali saham tersebut, sehingga si investor akan memperoleh uangnya kembali (baca lagi penjelasannya disini). Masalahnya, saham yang dijaminkan dalam transaksi repo ini seringkali merupakan saham dari perusahaan berfundamental buruk, yang eventually akan turun lagi meski sebelumnya sudah dikerek naik, sehingga investor pemegang repo-nya akan menderita kerugian.

Dan pada artikel tentang repo ini, penulis mengambil contoh kasus saham PT Rimo International Lestari, Tbk (RIMO), yang sempat melejit dari 100 ke 700 hanya dalam 4 bulan, tapi setelah itu balik lagi ke 100-an, dan alhasil meninggalkan kerugian bagi investor yang kebetulan beli di harga atas. Menariknya, RIMO dan MYRX dimiliki oleh grup yang sama, dan demikian pula beberapa ‘saham gorengan’ lainnya yang juga disebut-sebut menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk repo, seperti PT Sinergi Megah Internusa, Tbk (NUSA), PT Armidian Karyatama, Tbk (ARMY), dan PT Bliss Properti Indonesia, Tbk (POSA), juga dimiliki oleh grup yang sama. Jadi bisa kita katakan bahwa pelaku dari aksi penghimpunan dana dari masyarakat secara ilegal ini, sebenarnya ya mereka-mereka juga. Menariknya lagi, untuk tiga perusahaan Tbk yang disebut terakhir, mereka baru IPO dalam 1 – 2 tahun terakhir. Jadi bagaimana bisa BEI dan OJK meloloskan ketiga perusahaan itu untuk melantai di bursa, padahal owner-nya sejak awal sudah bermasalah?

Anyway, seperti yang pernah penulis sampaikan, ketika kita masuk pasar lalu kecopetan, maka kita tidak bisa begitu saja menyalahkan mas-mas hansip yang sedang berjaga, melainkan kita sejak awal harus waspada agar si copet tidak bisa melakukan aksinya, misalnya dengan tidak menaruh dompet di saku belakang celana. Demikian pula di pasar saham, penulis selalu mengingatkan agar kita selalu waspada, salah satunya dengan tidak beli saham hanya karena saham itu tampak naik banyak, sedangkan disisi lain fundamentalnya/kinerja perusahaannya tidak mendukung, dan/atau valuasinya sudah kelewat mahal, karena cepat atau lambat sahamnya akan drop lagi. Dan untuk perusahaan-perusahaan yang disebut diatas, bisa penulis katakan bahwa kinerja mereka memang zonk semua, sehingga sahamnya sejak awal tidak layak invest. Untuk MYRX sendiri, perusahaan membukukan laba bersih Rp77 milyar di Kuartal III 2019, turun dibanding periode yang sama tahun 2018 sebesar Rp182 milyar, dan laba tersebut sangat kecil dibanding nilai ekuitas perusahaan, yang tercatat Rp7.1 trilyun.

However, setelah mencuatnya kasus ‘perusahaan mengaku bank padahal properti’ ini, maka mungkin penulis harus menambahkan: Hati-hati kalau ada orang dari perusahaan tertentu, yang datang menawarkan ‘tabungan’, atau ‘deposito’, atau apapun itu namanya, dengan iming-iming bunga yang menarik (10 – 12% per tahun jelas menarik, karena itu jauh diatas bunga deposito bank), termasuk jika perusahaan mengaku ‘memperoleh izin dari OJK’. Sebelumnya, modus MYRX ini memang canggih: Sebagai perusahaan Tbk, ia memang memiliki izin dari OJK untuk melantai di bursa, tapi makerting perusahaan menyulap izin tersebut menjadi seolah-olah bahwa OJK mengizinkan mereka untuk menghimpun dana dari masyarakat layaknya sebuah bank, dan mereka tidak segan-segan mencantumkan logo OJK di surat penawaran yang mereka buat. Ini artinya, kalau ‘dana tabungan’ yang dihimpun kemudian macet/tidak bisa ditarik kembali oleh para nasabahnya, maka manajemen bisa berkelit dan malah menyalahkan OJK, sebagai otoritas yang memang bertugas melindungi masyarakat. Padahal sejak awal OJK tidak pernah memberikan izin apapun!

Dan memang penulis sendiri beberapa kali ditawari ‘skema investasi’ seperti itu, yang tentu saja semuanya saya tolak karena penulis sudah sangat paham bahwa, kalaupun kita sempat untung dari skema investasi yang ditawarkan, tapi ujungnya tetap bakal bad ending, atau kerugian yang diperoleh sejatinya berasal dari kerugian investor/nasabah lain (jadi kaya skema ponzi gitu). Nah, lalu bagaimana dengan anda sendiri? Pernahkah anda ditawari juga investasi, tabungan, atau apalah itu namanya, dari perusahaan-perusahaan yang aneh-aneh seperti MYRX ini? Dan apakah anda mengambil tawaran tersebut? Anda bisa ceritakan pengalamannya melalui kolom komentar dibawah.

Untuk artikel minggu depan, kita akan coba gali laporan keuangan MYRX, karena penulis barusan menemukan akun kewajiban sebesar Rp2.5 trilyun, yang dicatat sebagai 'pinjaman individual' (jadi perusahaan bukan ngutang ke bank, melainkan entah ke siapa) tanpa jaminan. Dan mungkin kita juga akan coba kupas LK dari RIMO, NUSA, ARMY, dan POSA. Well, minggu depan yap.

Komentar

adil mengatakan…
apa yang terjadi apabila ekuitas tinggi atau besar tapi laba kecil, sebetulnya apa yg terjadi di perusahaan yg LK nya seperti ini, mohon tanggapannya pa teguh
halley mengatakan…
Papa saya pernah ditawari kenalan katanya o** sekuritas cabang ambon ada skema mirip deposito dengan tawaran bunga 1% sebulan. Alias 12% setahun. Tapi karena terlihat "ajaib" akhirnya ditolak saja.
Milhan mengatakan…
bagaimana dengan saham HELI pak teguh.... kabarnya perusahaan ini mau mengakuisisi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perawatan pesawat terbang
Gagah mengatakan…
Iming-iming kaya dengan cepat dan mudah memang selalu memakan korban, entah sudah berapa banyak kasus serupa terjadi sebelumnya.
Ayub Tj mengatakan…
Terimakasih sharenya, dari awal jg saya melihat saham2nya Ben*** pada ga beres.. makasih dibahas pak teguh
MG mengatakan…
Selama tdk ada yg di rugikan tdk ada masalah... Dan hanson group yg saya tahu banyak lahan2 yg di beli dari harga Rp 50.000-75.000an/m2 dan skg harga lahannya sudah berkisar Rp. 1 jt-2 jt... Dgn keuntungan yg ribuan % lebih dan perush memberikan investor hanya 10-12% sangat kecil sekali. Yg penting perush happy dan investor happy.
Eka mengatakan…
Anda percaya ada perubahan yg menawari bunga deposito 12% ketika rata2 bunga deposito di Indonesia hanya 5%?
Nunu mengatakan…
Walau bgaimanapun saya tetap respek sama Benny Tjokro, dia pemain di pasar modal yg layak disegani karena ksuksesannya.
herry mengatakan…
Apakah bisa disebut sebuah kesuksesan, jika mendapat untung dengan cara memakan korban investor retail yang tidak mengerti apa apa. Saya pikir, predator seperti ini pantas dihukum mati!

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?