Ciri-ciri Saham Anti Resesi/Koreksi Pasar

Di tulisan minggu lalu kita sudah membahas tentang dua strategi untuk memaksimalkan keuntungan, ketika pasar/IHSG jatuh. However, meskipun strateginya cukup jelas, penulis juga sudah menyampaikan bahwa dalam prakteknya, strategi tersebut sulit untuk diterapkan, karena dalam hal ini si investor harus mampu melawan rasa panik yang timbul ketika pasar turun. Jadi bagaimana kalau gini saja: Kita sejak awal belinya saham-saham yang anti atau tahan terhadap koreksi pasar, yang tidak ikut jatuh ketika IHSG jatuh! Eh, tunggu, memangnya ada saham seperti itu??

***

Jadwal Seminar Value Investing: Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu, 26 Oktober 2019. Info selengkapnya baca disini, atau Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia juga kelas advanced di hari minggu, 27 Oktober. Hingga Senin, 21 Oktober, masih tersedia kursi untuk 7 peserta lagi.

***

Jawabannya, yes, ada. Faktanya, dalam menganalisis saham, para investor dan analis mengenal satu indikator yang disebut beta, yang menjelaskan tingkat pengaruh fluktuasi pasar terhadap naik turunnya sebuah saham. Simpelnya, jika saham A memiliki beta 1.0, maka naik turunnya saham A relatif identik dengan naik turunnya IHSG. Jika saham B memiliki beta 0.4 kali, maka naik turunnya IHSG hampir tidak berpengaruh terhadap naik turunnya saham B, dimana ketika IHSG drop 5%, maka saham B bisa saja malah tetap naik. Sedangkan jika saham C memiliki beta 2.0, maka naik turunnya IHSG berpengaruh sangat besar, dimana jika IHSG drop 1%, maka saham C bisa turun 3 – 4%.

Sehingga jika anda hendak memilih saham yang tahan terhadap fluktuasi IHSG, maka pilihlah saham dengan beta yang kecil. Dan meski rumus menghitung beta ini agak ribet, tapi untungnya datanya ada lengkap di Yahoo Finance. Contohnya saham Astra International (ASII), kelihatan beta-nya 1.08 (coba klik link-nya, cari tulisan ‘Beta’). Atau saham Adhi Karya (ADHI), yang kita tahu sangat mudah dipengaruhi oleh naik turunnya IHSG, beta-nya 2.44. Sedangkan saham Adira Dinamika Multi Finance (ADMF), dimana sahamnya relatif tidak terlalu dipengaruhi oleh IHSG, beta-nya 0.89.

Meski IHSG naik turun, tapi dalam sembilan bulanan terakhir, saham ini disitu-situ saja (10,000-an)

Selain dengan melihat beta, saham-saham yang tahan koreksi pasar biasanya punya beberapa ciri berikut. Pertama, perusahaannya punya historis kinerja yang bagus, dimana katakanlah dalam 5 – 10 tahun terakhir ekuitas serta labanya secara konsisten bertumbuh. Biasanya investor membeli saham seperti ini untuk tujuan investasi jangka panjang/legacy stock. Sehingga logikanya, ketika IHSG turun, atau terdapat tanda-tanda bahwa IHSG akan turun, maka investor akan melepas sejumlah saham mereka dalam rangka menyiapkan cash, namun yang mereka jual bukanlah saham legacy stock ini, karena sejak awal si investor sudah komitmen untuk memegangnya as long as possible. Dan kalau investor tidak ramai-ramai menjual saham A, maka tentunya tidak ada alasan bagi saham A itu untuk turun.

Kedua, sahamnya biasanya tidak likuid, dan juga tidak fluktuatif. Saham yang tidak likuid cenderung tidak diminati oleh para trader jangka pendek, tak peduli sebagus apapun fundamentalnya, karena biasanya para trader ini khawatir akan kesulitan untuk menjualnya (karena bid-nya nggak ada). Namun tidak adanya partisipasi trader ini justru menyebabkan sebuah saham tidak mudah turun ketika IHSG turun, karena sejak awal saham tersebut tidak banyak dipegang oleh investor/trader, dan kalaupun ada maka biasanya mereka investor jangka panjang, yang tidak akan melakukan panic selling hanya karena pasar turun. Sehingga jika fundamental dari saham yang bersangkutan memang bagus, maka investor yang memegangnya bisa tetap santai, tak peduli pasar naik atau turun.

Terakhir, ketiga, sahamnya kurang populer di kalangan trader, bahkan meski merk perusahaannya mungkin cukup terkenal di masyarakat umum. Seperti disebut diatas, sebuah saham yang tidak likuid biasanya otomatis tidak populer dan jarang dibicarakan di komunitas trader, karena mereka lebih antusias membicarakan ‘saham terbang’ atau semacamnya. Sedangkan ketika sebuah saham tahan terhadap koreksi pasar, alias tidak turun ketika IHSG turun, maka biasanya dia juga tidak naik ketika IHSG naik. Bagi banyak orang, saham-saham seperti ini tampak membosankan karena ‘gak gerak-gerak’. Namun jika seorang investor bisa melihat bahwa dalam 5 – 10 tahun terakhir, atau bahkan 1 tahun terakhir, sebuah saham berfundamental bagus sejatinya sudah naik cukup signifikan (meski, sekali lagi, saham tersebut tampak gak gerak-gerak selama katakanlah beberapa bulan terakhir), maka saham tersebut tetap menarik untuk dibeli, dan bonusnya adalah, ia tidak perlu khawatir soal naik turunnya IHSG.

Okay Pak Teguh, lalu bisakah anda langsung kasih contoh saham-saham yang tahan koreksi pasar ini? Tentu saja bisa, misalnya ADMF diatas, Sido Muncul (SIDO), Indofood CBP (ICBP), Ultrajaya (ULTJ), dan seterusnya. Mungkin perlu dicatat bahwa meski saham-saham perbankan (Bank BRI dkk) sejatinya juga layak untuk investasi jangka panjang, tapi likuiditas mereka yang sangat tinggi menyebabkan ada banyak trader jangka pendek ikut masuk dimana mereka kemudian secara aktif melakukan transaksi jual beli, dan alhasil sahamnya menjadi fluktuatif/mudah dipengaruhi oleh naik turunnya IHSG. Sehingga jika anda secara psikologis masih mudah dipengaruhi oleh kondisi bull and bear pada pasar (panik ketika pasar turun, euforia ketika pasar naik), maka saham-saham perbankan justru tidak direkomendasikan.

Baiklah Pak Teguh, jadi apakah dengan demikian kita sebaiknya hanya membeli saham-saham ‘tahan koreksi pasar’ itu saja? Well, itu juga tidak disarankan, karena itu tadi: Benar bahwa ADMF dkk tidak akan turun, atau hanya turun sedikit ketika IHSG turun, tapi sebaliknya, mereka juga tidak akan naik, atau hanya naik sedikit ketika IHSG naik. Sedangkan kita tahu bahwa pasar tidak akan selamanya turun, melainkan nanti juga akan ada masanya dia naik lagi, dan ketika pasar kembali bullish maka investor yang memegang ADMF dkk mungkin akan ketinggalan kereta.

Jadi kalau gitu sebaiknya gimana? Nah, kalau penulis sendiri biasanya menjadikan saham-saham tahan koreksi diatas sebagai ‘bemper’, dimana kita mengalokasikan 20 – 30% portofolio di saham-saham tersebut, tapi tidak lebih dari itu. Sedangkan selebihnya bisa tetap dialokasikan untuk membeli saham berfundamental bagus pada harga murah, sambil tentunya menjaga posisi cash sesuai kondisi pasar. Dengan cara inilah, ketika pasar turun maka saham-saham yang (masih) dipegang tidak semuanya turun, sehingga kinerja porto kita tetap lebih baik dibanding pasar, dan kita masih punya cadangan cash untuk belanja lagi (cash dari mana? Baca lagi ulasan minggu lalu). Secara psikologis, memiliki saham-saham bemper ini juga bisa membuat kita lebih optimis menghadapi arah pasar, karena ketika saham-saham kita yang lain nyangkut semua (karena IHSG-nya turun), maka ADMF dkk ini tetap tidak bergeming. Dan ketika kemudian pasar naik lagi, sedangkan kita juga sudah belanja, maka kita akan dapat memanfaatkan kenaikan pasar tersebut untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah anda memegang ‘saham bemper’ ini di portofolio anda? Saham apakah itu?

***

Buku kumpulan 30 saham pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal III 2019 akan terbit tanggal 8 November mendatang, dan layanan preordernya sudah dibuka. Info selengkapnya baca disini, tersedia diskon preorder bagi yang memesan sebelum tanggal 8 November. Ada pertanyaan, boleh telp atau whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

halley mengatakan…
Kalau myor malah beta ny minus gmn tuh?
Untouchable Investor mengatakan…
MYOH, betanya 0,58
kamilcell mengatakan…
Mantap pak ulasanny, kalau sy hampir 40% di saham2 bamper tersebut (ACES, BTPS, ULTJ, SIDO, SMSM, ICBP) dan jadi legacy stok. Kalau pak teguh, saham2 bamper trsebut apakah dpegang lbh dr 5tahun? karena sy dnger msh pegang UNVR yg pmbelian 2013
Anonim mengatakan…
Unvr termasuk saham bemper?
Paulino Kurniawan mengatakan…
Thanks Pak Teguh..

Tapi Pak, kita asumsikan resesi 2020 benar terjadi, bukankah emiten pertama yang terkena dampak adalah dari sektor finance/banking. Which is ADMF.

Mohon pencerahannya pak
Lutfi mengatakan…
Pak, bagaimana dengan hasil beta nya minus ? apakah tahan juga atau malah economic moat ? terima kasih
Teguh Hidayat mengatakan…
Kalau beta-nya minus, artinya pergerakan sahamnya KEBALIKAN dengan pergerakan IHSG. Jadi ketika IHSG turun, maka MYOR cenderung naik dan sebaliknya, ketika IHSG naik maka MYOR cenderung turun. Ini kalau beta-nya negatif diatas 1. Kalau negatif nol koma, maka pergerakan MYOR tidak terlalu berhubungan dengan pergerakan IHSG.
Aris Setiawan mengatakan…
Terima kasih pak Teguh untuk ilmunya. pertanyaan saya dimana ya kita bisa melihat beta saham nya pak?
Anonim mengatakan…
ICBP n UNVR sangat2 likuid tahun ini. Bak roller coaster.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?