Meraup Cuan dari Saham Dividen

Di Bursa Efek Indonesia (BEI), ada sejumlah saham yang bisa kita sebut sebagai ‘saham dividen’, yakni saham yang perusahaannya membayar dividen dalam jumlah besar, dalam hal ini lebih dari separuh laba bersihnya dalam satu tahun (dividend payout ratio-nya lebih dari 50%), sedangkan disisi lain harga sahamnya relatif rendah dibandingkan dengan nilai dividen itu sendiri per lembar sahamnya, sehingga dividend yield-nya lebih besar dibanding saham-saham lain pada umumnya.

***

Ebook Bulanan Analisis IHSG & Rekomendasi saham pilihan (‘Ebook Market Planning’) edisi November 2019 sudah terbit! dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member. Info telp/whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Nah, sebenarnya ketika perusahaan menghabiskan lebih dari separuh laba bersihnya untuk membayar dividen ke pemegang saham, maka prospek jangka panjangnya akan kurang bagus dibanding saham lain yang perusahaannya menginvestasikan kembali sebagian besar laba bersihnya, karena tingkat pertumbuhan riil dari perusahaan yang ‘royal dividen’ ini tentunya akan relatif lambat dari tahun ke tahun, atau bahkan stagnan. Contohnya Unilever Indonesia (UNVR), yang dalam lima tahun terakhir ekuitasnya stagnan di level Rp5 trilyun sekian ketika di periode waktu yang sama, ekuitas dari perusahaan-perusahaan besar lainnya terus tumbuh signifikan. Dan itu adalah karena UNVR menggunakan hampir 100% laba bersihnya setiap tahun, sebagai dividen.

Namun demikian, jika harga saham yang bersangkutan cukup murah sehingga dividend yield-nya mencapai katakanlah 5% (sebagai perbandingan, yield dari saham-saham big caps di BEI berkisar di level 2 – 2.5%), sedangkan fundamental perusahaan tetap bagus seperti biasanya (labanya naik, ROE-nya 15% atau lebih), maka berdasarkan pengalaman, sahamnya akan naik banyak pada akhir tahun hingga awal tahun berikutnya, yakni karena adanya ekspektasi dari pelaku pasar bahwa perusahaan akan kembali membayar dividen besar di tahun depan, persisnya pada bulan Maret – Mei.

Dan yang menarik adalah, kenaikan dari harga saham ini seringkali lebih besar dibanding nilai dividen itu sendiri. Jadi sebut saja saham A, sahamnya berada di level Rp1,000, dan diperkirakan akan membayar dividen Rp70 tahun depan (yield-nya 7%). Maka biasanya saham A ini akan naik 150 – 200 hingga ke posisi Rp1,150 atau 1,200, sebelum kemudian turun lagi setelah tanggal cum dividennya.

Karena alasan inilah, saban akhir tahun, dalam hal ini ketika memasuki bulan November atau Desember, penulis secara rutin menyisihkan sejumlah dana untuk dibelikan saham-saham dividen ini, untuk nanti dijual lagi beberapa bulan berikutnya. Yang kita incar disini adalah capital gain dari kenaikan harga sahamnya, bukan dividen itu sendiri. Metode investasi jangka pendek ini bahkan relatif aman dari risiko koreksi pasar/penurunan IHSG. Karena berbeda dengan pergerakan IHSG yang tidak bisa diprediksi, pembayaran dividen di tahun depan yang kemudian akan memicu saham yang bersangkutan untuk naik jauh hari sebelumnya, itu bersifat nyaris pasti, terutama jika perusahaan secara rutin membayar dividen besar di tahun-tahun lalu, dan perusahaan juga masih membukukan kinerja baik/labanya masih bertumbuh di tahun 2019 ini.

Nah, karena sebentar lagi kita akan memasuki bulan November, maka strategi ‘meraup cuan dari saham dividen’ diatas menjadi relevan. Hanya pertanyaannya sekarang, saham apa yang bisa dipertimbangkan? Well, anda bisa mempertimbangkan Bank Jatim (BJTM), sebuah bank pembangunan daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang kebetulan sudah merilis lapor keuangan Kuartal III 2019. Secara fundamental, BJTM sukses membukukan kenaikan laba secara konsisten dalam lima tahun terakhir, ROE-nya konsisten di level 16 – 18%, angka net NPL rendah di 0.6 – 0.7%, dan juga struktur permodalan yang kuat, dengan CAR selalu diatas 20%. Dan pada harga saham 675, yang mencerminkan PER 6.6 dan PBV 1.1 kali, maka BJTM jelas murah terutama jika dibandingkan dengan big four Bank BCA, Bank BRI, Bank Mandiri, dan Bank BNI, sedangkan fundamentalnya tidak kalah bagus dibanding keempat raksasa tersebut.

Namun memang, bukan tanpa alasan pasar menghargai BJTM pada valuasi rendah. Yup, karena perusahaan menggunakan lebih dari 50% laba bersihnya setiap tahun untuk membayar dividen, bahkan mencapai 70% pada tahun-tahun tertentu, maka seperti yang disebut diatas, pertumbuhan aset bersih BJTM dalam jangka panjang menjadi lambat, dan bank ini tentunya juga tidak se-populer keempat bank yang disebut diatas.

Tapi disisi lain, rendahnya harga saham BJTM membuat dividend yield-nya menjadi tinggi. Tahun 2019 ini, berdasarkan perolehan laba perusahaan di tahun 2018, BJTM membayar dividen Rp46 per saham, sehingga berdasarkan harga saham Rp675, maka yield-nya mencapai 6.8%. Inilah yang menyebabkan BJTM hampir selalu naik banyak pada setiap akhir tahun. Tahun lalu, tepatnya antara 15 Oktober 2018 hingga 21 Januari 2019, BJTM naik 24% dari 605 hingga 750, sebelum kemudian turun lagi, namun kenaikan 24% tersebut jelas lebih tinggi dibanding dividen yield-nya tadi.

Sehingga kesimpulannya, kecuali manajemen melakukan perubahan kebijakan yang ekstrim terkait dividen ini, maka besar kemungkinan BJTM akan kembali membayar dividen jumbo pada awal tahun depan, dan sahamnya juga akan mulai naik sejak beberapa bulan sebelum tanggal cum.

Selain BJTM, pilihan lainnya yang juga bisa dipertimbangkan adalah Adira Dinamika Multi Finance (ADMF), yang juga sudah merilis LK Kuartal III 2019, dimana hasilnya masih sangat baik dengan ROE yang terjaga di level 25.4%. Awal tahun ini, ADMF membayar dividen Rp908 per saham, sehingga berdasarkan harga sahamnya Rp10,750, maka dividend yield-nya 8.4%, even bigger dibanding yield BJTM tadi, sehingga sejatinya ADMF ini lebih menarik, hanya saja sahamnya kurang likuid sehingga kurang disarankan jika anda pegang cicis gede. Namun karena beta ADMF lebih kecil dibanding BJTM (apa itu beta? Baca lagi penjelasannya disini), maka jika anda masih ragu-ragu terkait arah pasar/IHSG kedepannya, maka ADMF lebih disarankan karena sahamnya ‘tahan koreksi’. Cem mana kalau kita ambil dua-duanya sahaja? Ya itu juga boleh.

Baiklah Pak Teguh, lalu diluar dua saham itu, masih ada pilihan saham lainnya? Ya nanti kita tunggu dulu para emiten merilis LK-nya lah, sebentar lagi.

***

Ebook Bulanan Analisis IHSG & Rekomendasi saham pilihan (‘Ebook Market Planning’) edisi November 2019 sudah terbit! dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member. Info telp/whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Disclosure: Ketika artikel ini diposting, Avere sedang dalam posisi memegang BJTM di average 665, dan ADMF di average 10,150. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Follow penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Dermawan Asali mengatakan…
HMSP bisa di pertimbangkan di harga sekarang.. Dengan harga penutupan hari jumat kemaren di Rp 2170/lembar dan dengan asumsi pembagian dividen tahun depan sebesar Rp 120/lembar,dividen yield nya bahkan mencapai 5.7%,jelas Sangat tinggi untuk saham sekelas bluechip yang lebih minim resiko
Unknown mengatakan…
Kalo saya sih lebih baik PTBA
Anonim mengatakan…
Saya pilih PTBA prediksi 4rb-5rb

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?