Beli Saham Sendiri vs Telpon Broker, Lebih Enak Mana?
Pada sesi kelas private, beberapa
waktu lalu, seorang peserta bertanya, ‘Saya dengar Pak Teguh kalau beli atau
jual saham, itu pake broker, jadi nggak eksekusi sendiri melalui software
online trading (OLT). Kenapa begitu pak? Dan bukannya kalau kita transaksi via
broker, trading fee-nya lebih mahal?’
***
Jadwal Seminar Value Investing,
Basic & Advanced: Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu & Minggu 26 - 27 Oktober
2019. Info selengkapnya baca
disini, atau Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia diskon earlybird
untuk peserta yang mendaftar sebelum tanggal 14 Oktober.
***
Sebelumnya, penulis sendiri memang sejak tahun 2012 lalu, hampir tidak pernah lagi melakukan transaksi jual beli saham sendiri, melainkan selalu via broker (atau disebut juga equity sales), dimana biasanya saya kirim pesan Whatsapp ke si broker, ‘telpon gue’, kemudian dia yang telpon (pake telp kantor) untuk menanyakan mau beli/jual saham apa. Atau bisa juga komunikasinya hanya via chat WA saja. Penulis tetap ada install software OLT di laptop, tapi itu hanya digunakan untuk tarik dana saja, karena transaksi seperti itu tidak bisa dilakukan oleh broker.
Okay, lalu apa sih untungnya beli
saham via broker? Here it is: Pernahkah anda pagi-pagi mau beli saham A pada
harga 1,000, misalnya (dan sehari sebelumnya, saham A tersebut memang ditutup
di posisi 1,000), tapi anda memutuskan untuk antri saja dulu di harga 990,
siapa tau dapet. Dan sore harinya ketika anda cek lagi, saham A sudah naik ke
1,050, tapi anda gak dapet barangnya karena saham A tersebut gak pernah turun dulu
ke 990, melainkan langsung naik. Besoknya, anda memutuskan untuk ‘mengejar
kereta’ karena setelah anda hitung lagi, saham A di harga 1,050 itu masih undervalue,
tapi lagi-lagi anda pasang antri di 1,040. Dan kembali, saham A malah naik
sampai 1,090, dan anda masih tidak pegang barangnya. Pada hari ketiga, akhirnya
anda hajar kanan di saham A tersebut pada harga 1,090, tapi apa yang terjadi?
Saham A malah turun ke 1,050 sehingga posisi anda jadi nyangkut! Dan anda
sekarang jadi waswas karena rencana awalnya adalah, anda masuk ke saham A itu
di harga 1,000, bukan di 1,090. Pada hari keempat, saham A kembali turun ke 1,035,
dan anda akhirnya memutuskan untuk cut loss dulu, untuk nanti masuk lagi di
harga 1,000, tapi apa yang terjadi? Ternyata meski saham A sempat turun lagi
sampai 1,025, tapi dia tidak pernah kembali lagi ke 1,000 itu, dan justru kembali
naik.. dan terus naik, hingga tembus 1,400, yang memang merupakan target harganya
secara valuasi.
Nah, apakah anda pernah mengalami
situasi seperti diatas? Well, penulis pernah, dulu waktu saya masih pemula. Dan
kerugian karena situasi seperti diatas, itu lebih menjengkelkan dibanding
kerugian karena kita memang salah pilih saham, atau sahamnya bener tapi harga
belinya kemahalan. Maksud penulis adalah, kalau kita beli saham gorengan gak
jelas lalu rugi, maka kalau kita sejak awal sadar bahwa keputusan untuk masuk
ke saham gorengan tersebut merupakan spekulasi, maka kerugiannya bisa kita
terima. Atau kalau kita pegang saham kemudian harganya turun karena IHSG-nya juga sedang turun, maka itu juga wajar. Tapi bagaimana kalau kita sudah capek-capek screening sana sini hingga
akhirnya ketemu saham bagus, dan sudah menunggu cukup lama hingga akhirnya
saham tersebut berada di harga murahnya, dan beberapa waktu kemudian memang bener
sahamnya naik banyak, tapi bukannya untung, kita malah rugi juga??
Dari pengalaman diatas lah,
penulis kemudian belajar satu hal: Jangan lagi antri kalau kita mau beli
ataupun jual saham. Jadi biasakan untuk hajar kanan! (atau hajar kiri, kalau
jual). Masalahnya, itu ternyata juga gak gampang. Ketika kita buka OLT, maka
semua angka-angka IHSG, Dow Jones, berita-berita, langsung bermunculan, dan
entahlah dengan anda, tapi itu bikin penulis bingung. Misalnya ketika kita mau
hajar kanan saham A, tapi kebetulan IHSG sedang turun, jadi bagaimana kalau
saham A ikut turun? Kalo gitu antri saja dulu lah! Kemudian kalau kita mau
hajar kanan saham A di harga 1,000, misalnya, tapi ada yang pasang offer gede
banget di 1,010 (jadi kaya ganjel gitu), maka bisa jadi kita kemudian jadi ragu
sehingga akhirnya antri saja dulu di 980. Eh, ternyata besoknya saham A itu
tetap naik, dan kita nggak punya barangnya.
Demikian seterusnya, hingga
akhirnya penulis sadar bahwa, ketika kita hendak mengekseksusi beli atau jual
saham, maka itu sama pentingnya dengan ketika kita menganalisis saham itu
sendiri. Dan seperti halnya menganalisa sebuah saham butuh psikologis yang
kuat, misalnya kita sudah yakin saham A bagus dan juga sudah murah tapi bagaimana
ini beritanya kok jelek semua? Maka melakukan aksi jual beli saham itu juga
butuh kekuatan mental, butuh rasa percaya diri untuk langsung hajar kanan,
butuh keberanian untuk menerima kerugian ketika akan cut loss, dan seterusnya.
Ketika kita membaca-baca laporan keuangan dll, maka itu seperti Jurgen Klopp duduk
di ruang kerja di rumahnya, mengatur strategi untuk pertandingan selanjutnya
bagi Liverpool. Dan ketika kita membuka OLT untuk melakukan transaksi pembelian
(atau penjualan) saham, maka itu seperti kita berada di samping lapangan ketika
pertandingan berlangsung. Thus, menganalisa dan membeli saham, itu adalah
dua hal yang berbeda, tapi dua-duanya sama-sama membutuhkan kekuatan mental,
diluar kemampuan untuk menganalisa saham itu sendiri. Pada tahun-tahun awal
sebagai investor pemula, penulis boleh dibilang tiap hari hari buka OLT, karena
somehow itu menyenangkan, apalagi jika porto lagi ijo. Tapi beberapa
waktu kemudian, saya sadar bahwa itu tidak membuat kinerja porto jadi lebih baik.
Hingga sekitar bulan Oktober
2011, penulis masih ingat, IHSG ketika itu sempat nyungsep 8.88% dalam sehari, yang
otomatis membuat saya gak berani lagi buka OLT karena sudah pasti saham-saham
pada nyangkut semua. Jadi ketika beberapa waktu kemudian penulis hendak membeli
saham, saya telpon broker, dan mas broker ini mengingatkan bahwa trading fee kalau
dia yang pencetin buy, itu sedikit lebih mahal dibanding kalau saya sendiri
yang pencet tombol buy tersebut (0.25 berbanding 0.20%). Saya bilang, nda papa
lah! Lha wong rugi saya juga udah gede banget, jadi ‘tambahan rugi 0.05%’ udah gak
ngaruh.
Dan selanjutnya, penulis kemudian
lebih banyak transaksi via broker, karena itu tadi: Saya tidak perlu lagi
deg-degan ngeliatin harga saham, dan si broker itu juga gak perlu deg-degan ketika
membeli atau menjual saham karena toh, itu bukan duit dia. Dalam jangka
panjang, hal ini ternyata berpengaruh positif terhadap kinerja porto penulis,
dimana kita nggak pernah/sangat jarang mengalami ‘udah antri tapi gak dapet
barangnya’ seperti yang diceritakan diatas, atau semacamnya. Ketika penulis sudah
menyerahkan tugas-tugas seperti ‘ngeliatin saham seharian, dari pagi sampe sore’,
atau baca-baca berita, analisa pasar dll ke broker, maka jobdesk saya sebagai
investor sudah berkurang hingga separuhnya, dan saya bisa sepenuhnya fokus
ke pekerjaan menganalisa, termasuk menyusun investment plan (dan
menggunakan sisa waktu yang ada untuk menikmati hidup). Dengan melakukan
transaksi via broker, maka penulis juga bisa berdiskusi, untuk meminta second
opinion tentang saham yang akan kita beli (tapi anda hanya bisa seperti ini
kalo dapet broker yang berpengalaman, karena banyak juga broker yang masih fresh
grad). Ingat pula bahwa trading fee yang kita bayarkan ke sekuritas, itu tidak
murah, setahunnya bisa sekitar 5% dari total nilai portofolio (jadi kalau modal
anda Rp100 juta, maka total trading fee-nya 5 juta), bahkan bisa lebih kalau
anda termasuk aktif trading. Jadi kalau anda tidak memanfaatkan jasa broker
secara maksimal, maka itu seperti mereka dapet duit gratis tanpa bekerja. Biarkan saja si broker itu (dan temen-temen kerjanya di kantor sekuritas) yang heboh sendiri ketika saham A terbang, saham B nyungsep, dst. Kita mending pergi mancing saja.
Kata Dilan, dua puluh sembilan tahun kemudian, 'Investasi saham itu berat, kamu gak akan kuat. Biar aku saja..' |
Oke Pak Teguh, tapi biar gimana
trading fee kalo transaksi via telpon broker, itu lebih mahal kan? Well, karena
penulis selama ini jarang trading, maka jatohnya tetep murah. Actually, banyak
sekuritas yang kasih fee murah, misalnya 0.10%, tapi dengan syarat tertentu,
misalnya harus transaksi minimal Rp500 juta setiap hari (jadi ujungnya mahal
juga). Tapi bagaimana kalau broker ada beli atau jual saham tanpa perintah atau
tanpa sepengetahuan kita sebagai pemilik dana? Nggak, broker tidak akan membeli
atau menjual saham tanpa adanya perintah dari nasabah. Perlu diketahui bahwa
setiap kali kita chat di Whatsapp ‘tolong buy saham A’, maka chat-nya disimpan,
demikian pula kalau kita memberikan perintah via telpon, maka telponnya direkam.
Jadi kalau misalnya anda lihat portofolio dan disitu ada saham A, sedangkan
anda tidak merasa pernah menyuruh broker untuk membeli saham A tersebut, maka si
broker akan kasih rekaman, atau screenshoot chat Whatsapp, bahwa anda kemarin
pernah menyuruh membeli saham A. Bahkan kalaupun anda bilang, ‘Udahlah, gua
pusing! Terserah elu aja beli atau jual saham apa’, maka broker tetap tidak
akan melakukan itu, karena lisensi WPPE-nya tidak mengizinkan ia untuk
bertindak layaknya manajer investasi, melainkan hanya perantara saja.
Tapi kalau kita gak buka OLT,
nanti kita gak bisa track portofolio kita dong? Gak tau kalau sekarang
kita udah cuan atau rugi berapa persen? Nah, boleh anda cek lagi, pihak
sekuritas setiap bulan kirim email dengan attachment PDF berisi posisi
portofolio terbaru (per akhir bulan sebelumnya), plus data transaksi selama
sebulan sebelumnya, dan itulah yang penulis jadikan bahan analisa serta evaluasi,
untuk strategi investasi kedepannya. Yup, jadi penulis hanya perlu melihat
portofolio sebulan sekali, dan tidak perlu juga khawatir kalau ada saham kita
yang naik atau turun sebelum satu bulan tersebut, karena kita akan otomatis
tahu sendiri tanpa membuka OLT (karena orang-orang pasti ribut ketika IHSG
turun, misalnya), sehingga kita bisa melakukan tindakan buy or sell, jika
memang diperlukan.
Terakhir pak, apakah ini juga
alasan kenapa Pak Lo Kheng Hong selalu membeli dan menjual saham pake telpon broker?
Nah, itu penulis nggak tahu, karena dulu waktu belum ada OLT, semua transaksi
memang via telpon broker, sedangkan Pak LKH sudah invest sejak tahun 1990-an. Tapi
memang, tidak hanya LKH, sejumlah investor senior lain yang penulis kenal juga gak
pernah pake OLT (atau bahkan gak punya laptop, gokil lah), dan di ponsel mereka
hampir tidak pake internet kecuali untuk whatsapp dan Youtube. Well, penulis
sendiri kayanya gak akan bisa kalau harus seperti mereka, tapi intinya sekali
lagi bahwa, transaksi via broker ini akan mengurangi beban pekerjaan kita sebagai
investor, dan juga mengurangi beban psikologis, dimana dalam jangka panjang,
dampaknya akan sangat positif. What? Di sekuritas anda sekarang gak dikasih brokernya,
bahkan customer service juga gak ada? Kalau gitu pertimbangkan untuk tutup rekening
dan pindah ke sekuritas lain.
***
Jadwal Seminar Value Investing, Basic & Advanced: Jakarta, Amaris Hotel Thamrin City, Sabtu & Minggu 26 - 27 Oktober 2019. Info selengkapnya baca disini, atau Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia diskon earlybird untuk peserta yang mendaftar sebelum tanggal 14 Oktober.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar