Prospek TINS Pasca Peraturan Menteri ESDM Terkait Ekspor Timah
Hingga Sabtu, 14 September, PT
Timah, Tbk (TINS) masih belum merilis laporan keuangan (LK) untuk periode
Kuartal II (Q2) 2019. Namun ada yang menarik kalau kita telisik LK Q1
perusahaan: Pendapatannya melonjak dua kali lipat menjadi Rp4.2 trilyun, dan
demikian pula laba bersihnya tercatat Rp301 milyar, alias mencapai Rp1.2
trilyun jika disetahunkan. Bisa dibilang bahwa tahun 2019 ini adalah kali
pertama perusahaan membukukan kenaikan laba yang signifikan setelah selama lima
tahun sebelumnya (atau lebih lama lagi), perolehan laba TINS cenderung stagnan di
kisaran Rp500-an milyar per tahun, dan memang ada satu peristiwa penting yang
menjelaskan kenaikan laba tersebut. Peristiwa apakah itu?
***
Penulis membuat Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook Investment Planning) berdasarkan laporan
keuangan Kuartal II 2019. Dan anda bisa memperolehnya
pada link
berikut.
Jadwal Seminar Value Investing: Untuk saat ini belum ada jadwal lagi, tapi
anda bisa memperoleh rekaman seminarnya (rekaman terbaru bulan Agustus 2019
kemarin) pada link
berikut.
***
PT Timah, Tbk, seperti yang kita
ketahui, adalah BUMN tambang spesialis timah yang sudah berdiri dan beroperasi
sejak zaman Pemerintah Kolonial Belanda, ketika itu untuk mengeksploitasi
sumber daya timah yang melimpah di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep. Logam
timah itu sendiri merupakan bahan baku utama untuk pembuatan barang-barang
elektronik, seperti solder, baterai, kaleng, dan untuk dicampur dengan logam lainnya
seperti tembaga (copper alloy). Pada tahun 1968, Pemerintah RI
menasionalisasi perusahaan tambang timah milik Belanda menjadi PN Tambang
Timah, dimana nama perusahaan terakhir menjadi PT Timah, Tbk pada tahun 2017.
Di tahun 2017 ini pula, dalam rangka pembentukan holding pertambangan, saham
Pemerintah di TINS dialihkan ke PT Inalum, sebuah BUMN di bidang produksi
alumunium yang 100% dimiliki oleh Pemerintah (jadi TINS masih tetap dimiliki
oleh negara, tapi melalui Inalum). Namun sesuai PP No.72 Tahun 2016, maka untuk
hal-hal yang bersifat strategis dan/atau menyangkut hajat hidup orang banyak,
maka TINS tetap dikendalikan langsung oleh Pemerintah.
However, diluar partisipasinya
dalam pembentukan holding tambang, maka sejak perusahaannya dinasionalisasi
hingga tahun 2017 lalu, boleh dibilang perusahaan tidak mengalami perkembangan atau
ekspansi yang berarti, dimana perusahaan tetap hanya menggali bijih timah terutama
di Pulau Bangka dan Belitung, mengolahnya menjadi logam timah, lalu dijual. Volume
produksi dan ekspor logam timah milik perusahaan juga segitu-gitu aja, malah
cenderung turun, dimana pada tahun 2008 lalu TINS pernah mengekspor 44 ribu ton
timah, tapi pada tahun 2018 kemarin volume ekspor itu tinggal dua pertiganya menjadi
30 ribu ton. Sebetulnya sejak tahun 2007 lalu, TINS mulai masuk ke industri
hilir timah dengan juga memproduksi solder, dan bahan-bahan kimia berbasis
timah.
Tapi kemungkinan karena manajemen
tidak fokus dimana TINS juga masuk ke sektor konstruksi, properti, rumah
sakit, tambang batubara, hingga tambang nikel, maka jadilah kontribusi ‘segmen
lain-lain’ ini terbilang kecil terhadap pendapatan perusahaan secara
keseluruhan. Pada Q1 2019, dari pendapatan TINS sebesar Rp8.8 trilyun (sebelum
eliminasi), hanya Rp528 milyar yang berasal dari segmen lain-lain, dan
selebihnya tetap dari segmen tambang timah. Sebenarnya, kalau saja manajemen
bisa fokus mengembangkan industri hilir timah dan katakanlah mampu memproduksi
timah solder atau pelat timah dalam jumlah besar, maka perusahaan tidak perlu
membatasi volume produksi tambangnya. Untuk diketahui, TINS adalah produsen timah
terbesar kedua di dunia (setelah Yunnan Tin, dari China), tapi TINS merupakan
eksportir timah terbesar di dunia. Karena berbeda dengan Yunnan Tin yang sudah
bisa mengolah timah-nya menjadi barang-barang kimia industri, TINS tidak punya
pilihan lain kecuali langsung melempar produksi timahnya ke pasar internasional.
Tapi jika TINS terlalu banyak mengekspor timah, maka itu bisa menyebabkan oversupply,
dan menurunkan harga jual timah itu sendiri. Inilah alasan kenapa TINS harus membatasi volume produksi dan ekspor timahnya, dan alhasil dalam 10 tahun
terakhir ini volume ekspor timah perusahaan justru turun (baca lagi paragraf
diatas). Namun bahkan itupun tidak mampu mendorong harga timah dunia untuk naik
signifikan, dimana harga timah di LME (London Metal Exchange) terakhir masih
$16,475, atau relatif tidak berubah dibanding Agustus 2009 (10 tahun lalu) yang
tercatat $14,870 per ton. Dan alhasil, kinerja TINS selama lima tahun hingga 2018
kemarin, atau lebih lama lagi, terbilang segitu-gitu aja.
Problem Terbesar TINS: Ada Banyak
Perusahaan Swasta yang Juga Mengekspor Timah
Karena alasan diatas lah, penulis
dari dulu tidak pernah tertarik dengan TINS ini, bahkan meski sahamnya relatif
populer di kalangan trader saham karena dia gampang naik sewaktu-waktu, yakni
jika dua saham tambang lainnya yakni Aneka Tambang (ANTM) dan International
Nickel (INCO) sedang naik. Saham TINS itu sendiri, seiring dengan kinerjanya
yang stagnan dalam 10 tahun terakhir, juga tidak kemana-mana selama 10 tahun
tersebut, dimana pada Agustus 2009 lalu TINS berada di level 1,400-an, dan
sekarang dia masih di Rp1,190 per saham. Jadi kecuali ada perubahan ekstrem
pada manajemen, misalnya jika mereka serius masuk ke industri hilir timah, atau
jika ada peraturan pemerintah yang menguntungkan perusahaan, maka TINS tidak
menawarkan prospek apapun baik itu untuk jangka pendek, maupun panjang.
Hingga pada Februari 2018,
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan
Peraturan Menteri (Permen) No.11 tahun 2018, dilanjut Permen No.26 pada bulan
Mei 2018, yang pada intinya memperketat perizinan ekspor timah, dan alhasil hanya
TINS yang memiliki cukup kompetensi untuk memperoleh izin ekspor timah tersebut.
Nah, sebelumnya perlu diketahui bahwa meski TINS merupakan perusahaan tambang timah
terbesar di Indonesia, namun di Bangka dan Belitung sana ada banyak perusahaan-perusahaan
timah lainnya yang kecil-kecil, yang kalau ditotal maka mereka juga mengekspor
timah dalam jumlah besar, bahkan lebih besar dari ekspor TINS itu sendiri. Dengan
kata lain, meski TINS membatasi volume produksi dan ekspor timahnya, tapi selama
perusahaan-perusahaan swasta ini tetap jualan timah dalam jumlah besar, maka kondisi
oversupply timah di pasar internasional tetap akan terjadi, dan harga
timah selamanya gak akan pernah naik.
Namun memasuki tahun 2019 ini, praktis
hanya TINS saja yang bisa mengekspor logam timah, sedangkan
perusahaan-perusahaan lain harus menjual produksi timah mereka ke TINS. Alhasil
volume produksi TINS langsung melonjak tajam, demikian pula dengan volume
ekspornya, dimana hingga Juli 2019, TINS sudah mengekspor 39 ribu ton timah, atau
mencapai 68 ribu ton jika disetahunkan, yang merupakan rekor baru sejak
tahun 2008 (sebelumnya, rekor ekspor terbesar TINS adalah 46 ribu ton di tahun 2009).
Pihak manajemen TINS sendiri langsung merespon permen diatas dengan membangun
smelter baru dengan kapasitas 40 ribu ton timah per tahun, yang tentunya bertujuan
untuk meningkatkan kapasitas produksi timah perusahaan, dimana smelter ini ditargetkan
beroperasi pada Semester II tahun 2021 nanti.
Thus, berbeda dengan sebelumnya, TINS
kini menawarkan prospek jangka panjang yang menarik, termasuk ada kemungkinan
bahwa harga timah di LME, yang terakhir masih relatif rendah di $16,000-an per
ton (dibanding rata-ratanya sejak tahun 2016, yakni $20,000 per ton), akan
naik lagi karena ekspor timah dari Indonesia akan berkurang bahkan meski TINS
meningkatkan volume ekspornya (karena itu tadi: Perusahaan timah swasta sudah
tidak bisa ekspor lagi). Dan actually hal ini juga yang menyebabkan saham TINS
naik cukup signifikan dalam setahun terakhir, dimana September 2018 lalu dia
masih di 715, tapi sekarang sudah di 1,190.
Namun pada
harga 1,190, yang mencerminkan PBV 1.3 kali dan PER 7.3 kali berdasarkan
kinerjanya di Q1 2019, maka sahamnya belum bisa disebut mahal, dan masih berpeluang
untuk naik lebih lanjut, jika memang kenaikan labanya berlanjut pada Q2 ini dan
seterusnya. Atau bahkan sahamnya bisa saja jackpot, yakni jika TINS sukses
menaikkan volume ekspor timahnya, sedangkan harga logam timah juga berbalik naik
menyusul harga emas dan nikel, yang sudah lebih dulu naik sejak beberapa bulan
lalu.
However, masih
ada beberapa catatan penting kalau anda tertarik dengan TINS ini. Pertama, berhubung
kinerja TINS selama ini cenderung tidak konsisten dari kuartal ke kuartal, maka
tidak ada jaminan bahwa labanya di Q2 ini akan lanjut naik, sehingga akan lebih
aman jika kita tunggu sampai LK-nya keluar. Kedua, TINS sampai hari ini masih
belum fokus ke industri hilir timah itu sendiri, sehingga posisinya tidak jauh
berbeda dengan perusahaan tambang lainnya yang mau main gampang saja: Gali
timah, lalu jual. Sehingga kinerjanya akan sangat tergantung pada fluktuasi
harga timah di LME. Dan kelemahan perusahaan adalah memang itu tadi: Tidak
fokus, dimana tahun 2018 kemarin perusahaan malah jauh-jauh berinvestasi pada tambang
timah di Nigeria (ngapain coba?), padahal sumber daya timah di dalam negeri masih
amat sangat besar.
Terakhir
ketiga, penulis sendiri menganggap bahwa Permen diatas terbilang tidak adil
bagi perusahaan-perusahaan swasta yang selama ini cari makan dari timah,
sehingga ada kemungkinan Permen tersebut kedepannya direvisi, atau akan ada
perusahaan lain yang pada akhirnya sanggup memenuhi syarat kompetensi untuk
mengekspor timah, dimana jika itu terjadi maka TINS akan kehilangan keistimewaannya
sebagai eksportir tunggal timah Indonesia, dan kinerjanya akan stagnan lagi
seperti dulu.
Anyway, dibanding dengan
prospeknya seperti yang sudah disebut diatas, maka TINS tetap sangat menarik
untuk dipertimbangkan, terutama karena itu tadi: Valuasi sahamnya masih belum mahal,
sedangkan kinerjanya kemarin memang beneran naik kok. Tinggal tunggu LK Q2-nya
saja: Jika hasilnya memang masih bagus, then there you go.
PT Timah, Tbk (TINS)
Rating Kinerja Q1 2019: A
Rating Valuasi Saham pada 1,190:
A
***
Penulis membuat Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook Investment Planning) berdasarkan laporan
keuangan Kuartal II 2019. Dan anda bisa memperolehnya
pada link
berikut.
Jadwal Seminar Value Investing: Untuk saat ini belum ada jadwal lagi, tapi
anda bisa memperoleh rekaman seminarnya (rekaman terbaru bulan Agustus 2019
kemarin) pada link
berikut.
Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar