Persiapan & Strategi Investasi Menjelang Resesi
Bulan kemarin kita sudah membahas
soal inverted yield curve dan hubungannya dengan
krisis ekonomi, dimana pada akhir tulisannya penulis menyimpulkan bahwa memang ada
kemungkinan bursa saham New York akan runtuh cepat atau lambat, dimana jika itu
terjadi maka bursa saham di seluruh dunia juga akan ikut runtuh, termasuk di
Indonesia. Namun alih-alih khawatir, penulis sendiri justru excited. Karena
jika resesi itu nanti beneran terjadi dan IHSG hancur, maka itu justru menjadi
kesempatan bagi investor yang mampu memanfaatkan periode resesi tersebut untuk
‘melompat lebih tinggi’. Namun tak lama setelah tulisannya di posting, penulis
banyak menerima pertanyaan: Sebagai investor, apa yang harus kita lakukan/persiapkan
sekarang untuk mengantisipasi terjadinya resesi??
***
Buku Analisa IHSG, Strategi Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi Oktober 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber
selama masa berlangganan.
***
Nah, dalam hal ini penulis
mengajak anda untuk melihat kisah dari Michael Burry, seorang fund
manager pemilik Scion Capital, yang menjadi terkenal setelah ia sukses meraup
keuntungan luar biasa dari kejatuhan bursa New York pada krisis besar tahun
2008 lalu. Okay, kita langsung saja.
Pada tahun 2008, seperti yang
kita ketahui, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis ekonomi yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, dimana IHSG anjlok persis 50.1%
sepanjang tahun 2008 tersebut. Namun yang tidak banyak diketahui orang, adalah
bahwa berbagai pertanda terkait kemungkinan terjadinya krisis tersebut
sudah muncul sejak beberapa tahun sebelumnya, tepatnya sejak tahun 2005, dimana
ketika itu harga properti terus naik, dan ada banyak bank dan lembaga keuangan
yang memiliki utang sangat besar dengan jaminan aset real estate, sedangkan
nilai aset real estate itu sendiri sejak awal rawan untuk turun sewaktu-waktu
(karena memang sudah naik tinggi sebelumnya).
Dan pada tahun 2005 inilah,
Michael Burry memprediksi bahwa bubble di sektor properti ini akan
meledak, dan pasar saham akan anjlok paling lambat pada Kuartal II 2007. Burry
kemudian melakukan transaksi credit default swap (CDS) dengan sebuah
investment bank, Goldman Sachs, dengan nilai transaksi US$ 1 milyar. Jadi
intinya, Burry membayar secara bertahap hingga maksimal US$ 1 milyar ke Goldman
sebagai ‘premi asuransi’ untuk sejumlah surat utang/obligasi dengan jaminan
aset real estate, yang ada di pasar. Jika obligasi tadi mengalami gagal bayar (default)
oleh debiturnya, maka Burry akan menerima pembayaran dari Goldman sebesar nilai
nominal obligasi tersebut, dan Goldman akan mengambil alih obligasinya pada
harga pasar (dimana harganya pasti akan anjlok/jauh dibawah harga nominalnya,
sehingga dalam hal ini Goldman merugi, sedangkan Burry untung besar). Namun
jika tidak terjadi default, maka Burry bisa saja kehilangan dana US$ 1
milyar tadi sama sekali, kecuali jika ia menjual CDS yang ia pegang. Goldman
menerima proposal Burry karena mereka berkeyakinan bahwa pasar properti tidak
akan jatuh. Sedangkan Burry berani mempertaruhkan hampir seluruh dana kelolaan
yang ia pegang dalam transaksi CDS ini, karena ia berkeyakinan bahwa cuma soal
waktu sebelum housing market di AS akan runtuh.
Namun hingga akhir tahun 2005
ternyata tidak terjadi default apapun. Karena Burry harus terus membayar
premi ke Goldman, maka di tahun tersebut ia merugi sekitar 12%. Kemudian sepanjang
tahun 2006, ternyata pasar properti tetap bertumbuh, termasuk Dow Jones juga malah
naik dari 10,959 ke 12,398. Di tahun 2006 ini kerugian Burry membengkak hingga
24% (berbanding kenaikan Dow sebesar 13.1%), yang menyebabkan para investornya
mulai protes, beberapa diantaranya bahkan mengancam akan membawa ke jalur
hukum, namun Burry tetap bersikukuh bahwa pasar pada akhirnya akan jatuh.
Memasuki 2007, pasar properti di AS mulai turun, dan sejumlah mortgage
lender yang kecil-kecil juga mulai bangkrut, tapi secara umum tetap tidak
terjadi default pada pasar obligasi, dan Dow Jones kembali naik sampai
sempat tembus 14,000 pada Oktober 2007. Pada titik inilah, Scion Capital yang
dikelola Burry sudah ditinggalkan oleh sebagian besar investornya, namun kepada
investor yang masih bertahan, ia sekali lagi menyatakan bahwa pasar akan jatuh.
Eventually, pada tahun 2008,
pasar akhirnya benar-benar jatuh, dan Burry menerima pembayaran dari Goldman,
yang setelah ditambah akumulasi keuntungan sejak tahun 2000, totalnya ia meraup
profit US$ 2.7 milyar. Namun pengalaman menghadapi tekanan dari para pemilik
modal selama hampir tiga tahun sebelum akhirnya ia membukukan profit,
menyebabkan Burry kemudian menutup Scion Capital, dan ia kemudian fokus
mengelola dana pribadi miliknya sendiri.
Michael Burry, diperankan oleh Christian Bale dalam film The Big Short. Sumber: www.thrillist.com |
Kapan krisis akan terjadi?
Nah, jadi pelajaran apa yang bisa
diambil dari pengalaman Michael Burry diatas? Here it is: Meski seorang
investor profesional berpengalaman tentunya bisa membaca tanda-tanda bahwa
akan terjadi krisis atau market crash, misalnya kalau terjadi inverted
yield curve (dan memang IYC ini juga sudah terjadi sejak penghujung tahun
2005, alias di tahun yang sama ketika Burry membeli CDS dari Goldman), namun soal
kapan krisis itu akan terjadi, tidak ada seorangpun yang bisa menebaknya.
Dari pengalaman Mr. Burry, maka seandainya ia menyerah dan menjual CDS yang ia
pegang sebelum pasar benar-benar jatuh di tahun 2008, atau dengan kata lain melakukan
cut loss, maka ia akan menderita kerugian besar, dan itu
bukan karena analisanya keliru (karena pada akhirnya, memang benar terjadi
krisis), tapi karena ia salah timing saja, yakni karena Burry
sudah menerapkan strategi yang hanya akan menghasilkan keuntungan jika pasar
anjlok sejak tahun 2005, tapi nyatanya Dow Jones justru naik terus sampai 2007
(sehingga ia justru rugi), dan baru turun di tahun 2008-nya.
Kemudian, meski Mr. Burry kemudian
menjadi terkenal karena sukses memprediksi kejatuhan pasar, dan meraup profit
besar dari situ, tapi penulis pikir pasti ada banyak fund manager lainnya selain
Michael Burry, yang juga memprediksi bahwa pasar akan jatuh sejak tahun 2005
(karena pada tahun 2005 tersebut, tanda-tandanya memang sudah kelihatan), dan
mungkin juga ikut membeli CDS atau jenis transaksi lainnya yang akan menghasilkan
cuan jika pasar jatuh, tapi pada akhirnya mereka justru malah rugi. Karena
tidak seperti Burry yang sukses ‘menahan nafas’ selama hampir 3 tahun hingga
akhirnya ia profit, para fund manager ini kemungkinan tidak mampu menahan
kerugian selama itu.
Okay Pak Teguh, jadi apa yang
harus kita lakukan sekarang? Karena tulisan diatas belum menjawab pertanyaan
yang menjadi judul tulisan kali ini: Persiapan & Strategi Investasi
Menjelang Resesi? Nah, bagi investor pemula yang belum pernah mengalami
kejatuhan pasar sebelumnya, maka cerita tentang resesi ini memang akan selalu
terdengar menakutkan, karena yang terbayang adalah kita akan menderita rugi
besar-besaran, jika resesi itu nanti terjadi. Tapi biar penulis sampaikan hal ini:
Ketika IHSG crash di tahun 2008, maka apakah di tahun itu masih ada
investor yang masih untung besar? Tidak ada! Yang terjadi adalah, semua orang
merugi, tapi dengan persentase kerugian yang berbeda-beda, dimana
investor A mungkin cuma rugi 15%, tapi investor B menderita rugi hingga modalnya
tinggal sisa sepersepuluhnya. Seorang fund manager kenalan penulis yang ikut
merasakan pengalaman tahun 2008 mengatakan bahwa, pada tahun laknat itu, jika
seorang investor punya cash katakanlah separuh dari nilai portonya, sedangkan
separuhnya lagi tetap berupa saham yang nilainya nyaris habis karena market
crash, maka itu saja sudah bagus sekali! Karena jika sisa cash ini dibelikan
saham di tahun 2009-nya, maka keuntungannya akan langsung berlipat-lipat dalam
waktu 1 – 2 tahun berikutnya saja, sehingga menutup kerugian yang terjadi pada saham-saham
yang tetap dipegang sepanjag tahun 2008. Tapi sekali lagi, jangankan profit, maka
untuk sekedar tidak rugi saja, pada tahun 2008 itu tidak ada seorang investorpun
yang mengalaminya.
Tetap Beli Saham, Tapi Dengan
Menyisakan Cash
Okay, jadi kesimpulannya? Yup, jadi
kalau yang dimaksud ‘persiapan menjelang resesi’ itu adalah cara agar kita bisa
tetap profit ketika resesi itu terjadi, maka kabar buruknya, tidak ada cara untuk
itu. Ketika nanti resesi itu terjadi, maka tidak bisa tidak: Anda, dan juga penulis,
akan menderita rugi. Dan kalaupun anda bisa melakukan skema investasi tertentu
seperti yang dilakukan Michael Burry diatas, maka problemnya balik lagi: Kita
tidak tahu kapan resesi itu akan terjadi, sehingga kecuali anda juga bisa ‘tahan
nafas’ hingga bertahun-tahun seperti yang dilakukan Mr. Burry, maka anda tetap akan
rugi besar. Okay, lalu bagaimana kalau kita sekarang simpan 100% porto dalam
bentuk cash saja, lalu baru belanja nanti ketika IHSG sudah di 4,500,
misalnya?? Ya tetep saja: Bahkan kalaupun IHSG nanti beneran jatuh sampai
kesitu, kita tetap nggak tahu kapan itu akan terjadi! Sehingga kalau IHSG baru
jatuh tahun 2022 nanti, misalnya, sedangkan sebelum itu IHSG justru terus naik
sampai 8,000, maka anda yang sekarang ini memilih untuk jual bersih semua saham
(dalam rangka ‘persiapan’ resesi) akan menderita kerugian, yakni dalam bentuk
profit yang hilang yang harusnya bisa anda peroleh, jika saham-saham tadi tetap
anda hold.
Jadi kita kudu gimana? Well, pertama-tama
kita harus mengerti bahwa jika diluar rumah sedang hujan, maka kita tidak harus
hujan-hujanan lalu jatuh sakit kemudian tekor karena biaya dokter, tapi kita
tetap harus keluar sedikit dana untuk beli payung, jas hujan, senter untuk
persiapan mati lampu, dst. Artinya? Yep, ketika resesi itu nanti terjadi, maka
kita tidak harus menderita rugi sampai modal kita habis sama sekali, tapi kita
tetap harus siap untuk menderita kerugian tersebut, dan jangan berharap untuk
bisa tetap menghasilkan keuntungan. Karena pada titik ini asal gak rugi aja,
atau rugi tapi nggak besar, maka itu sudah sangat bagus. Warren Buffett sendiri
pada krisis tahun 2008 menderita rugi 9.6%, tapi itu tetap merupakan
kinerja yang sangat baik dibanding kinerja dari sekian banyak fund manager
lainnya di Amerika Serikat (dan juga seluruh dunia), yang menderita rugi
besar-besaran karena indeks S&P itu sendiri jeblok 37.0%.
Baiklah Pak Teguh, saya sudah
mengerti bahwa skenario terbaik ketika nanti terjadi resesi adalah kita menderita
rugi, tapi ruginya nggak besar. Pertanyaannya, bagaimana agar kita bisa mencapai
skenario tersebut? Well, why, tentu saja kita bisa tiru cara Opa Buffett.
Pertama, kecuali sangat-sangat diperlukan, Berkshire Hathaway (BRK) tidak akan
membeli saham menggunakan dana pinjaman, dan itu juga pernah dibahas
disini. Jadi anda juga bisa melakukan hal yang sama: Selalu beli saham pake
duit yang ada saja, dan jangan pernah pake margin, apalagi sampai gadai rumah.
Kedua, anda mungkin mendengar
bahwa Buffett saat ini memegang cash dalam jumlah besar. Yup, per Kuartal II
2019, Berkshire Hathaway (BRK) memegang cash senilai $122 milyar, atau mencapai
60% dari total investasinya di saham-saham perusahaan Tbk di Amerika, dan 17%
dari total aset BRK. Dan kenapa Buffett melakukan itu? Sederhana, karena ia
kesulitan menemukan saham bagus yang harganya masih murah, tapi bukan
karena ia memprediksi bahwa bursa Amerika akan segera jatuh. Karena faktanya, posisi
cash BRK sudah membengkak hingga tembus diatas $100 milyar sejak tahun 2018
lalu. Kalau Buffett mau, maka bisa saja pada tahun 2018 itu ia menjual habis
seluruh saham perusahaan Tbk yang ia pegang (sehingga posisinya 100% cash),
tapi ia tidak melakukan itu karena itu bisa menyebabkannya kehilangan potensi
profit, jika pasar saham Amerika ternyata lanjut naik (dan memang di tahun 2019
ini, Dow masih naik). Sebaliknya, jika Amerika tahun ini atau tahun depan mengalami
resesi, maka BRK akan menderita kerugian dari penurunan saham Apple Inc, dst, tapi
itu juga gak masalah karena sudah ada persedian cash yang lebih dari cukup
untuk tambah posisi/average down di saham-saham itu tadi. Sehingga ketika
periode resesi tersebut akhirnya berakhir dan pasar pulih lagi, maka BRK akan
tetap profit seperti sebelumnya, atau bahkan profitnya lebih besar lagi.
Jadi kesimpulannya, kalau modal
anda Rp20 juta, misalnya, maka boleh belanja saham maksimal hingga Rp10 – 15 juta
saja. Dengan cara ini maka kalau resesi itu tidak juga terjadi/IHSG naik terus selama
beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun kedepan, maka anda masih akan profit dari
saham-saham yang masih dipegang. Sedangkan jika persis besok pagi langsung jeger!
Amerika resesi! Maka anda memang akan rugi karena saham anda bakal turun, tapi
yang penting masih ada amunisi untuk nanti masuk lagi katakanlah 6 – 12 bulan
dari sekarang, yakni ketika periode resesi itu mencapai titik terendahnya. So
it’s a win-win solution, dan kita tidak perlu lagi menebak-nebak soal kapan Dow
Jones akan jatuh. Dan yang terpenting, meski pada periode resesi itu kita akan
merugi, tapi selama kita tetap bertahan maka, hanya dalam satu atau dua tahun
kemudian, kita akan pesta besar ketika saham-saham yang dibeli menggunakan cash
yang sudah disiapkan (sejak sebelum terjadinya krisis) mulai naik.. dan terus
naik tanpa henti.. seperti yang terjadi tahun 2009 dan 2010 lalu.
Another Signal of Recession
Terakhir nih Pak Teguh, meski
memang kita gak bisa tahu kapan resesi atau krisis akan terjadi, tapi ada gak sih
gambaran sedikit saja, soal tanda-tandanya? Nah, kemarin kita sudah menyebut
satu pertanda yakni inverted yield curve, kemudian W. Buffett sudah mengumpulkan
cash, dan kemarin ada satu lagi peristiwa menarik: Start-up WeWork, yang
sebelumnya hendak IPO di bursa Amerika dengan nilai valuasi perdana tidak tanggung-tanggung
yakni $47 milyar, belakangan menunda IPO-nya karena ternyata kurang laku.
Sebelumnya, hampir semua perusahaan teknologi terkemuka sukses besar mengambil
dana investor di pasar modal melalui skema IPO, bahkan meski perusahaan yang
bersangkutan sejatinya masih merugi (contohnya kemarin Uber, dan WeWork
juga masih merugi). Bagi value investor, sejak awal kita gak mungkin membeli
saham dari perusahan yang merugi, tapi euforia di sektor tech
start-up menjadikan investor di Amerika tetap membeli saham-saham perusahaan teknologi, bahkan pada valuasi yang sangat mahal.
Namun dengan ditundanya (atau
dibatalkannya) IPO WeWork, maka sepertinya euforia itu mulai berakhir.
Perlu diketahui bahwa dengan penundaan IPO WeWork ini, maka ada dua lembaga
keuangan raksasa yang dirugikan yakni Softbank (investor terbesar WeWork, yang
sudah ‘bakar duit’ habis-habisan untuk mengembangkan perusahaan), dan JP Morgan
(penjamin emisi IPO-nya), dan kita tahu bahwa satu peristiwa kerugian itu bisa berlanjut
alias merembet kemana-mana (Softbank adalah juga penyandang dana di Tokopedia, Indonesia). Well, kita lihat saja nanti perkembangannya
bagaimana.
***
Buku Analisa IHSG, Strategi Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi Oktober 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber
selama masa berlangganan.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Saya tertarik justru dengan metode analisis yang selama ini dipergunakan oleh para investor ketika "membakar uang" di perusahaan-perusahaan start-up berbasis teknologi (yg notabene rata-rata dalam kondisi rugi). Apakah dapat diulas Pak?
Terima kasih.