Gudang Garam
Sejak penulis pertama kali
belajar saham, tahun 2009 – 2010 lalu, maka saya ketika itu sudah bisa menilai
bahwa saham Gudang Garam (GGRM) terbilang layak untuk investasi jangka
panjang, dimana alasannya ketika itu sangat sederhana: Rokok adalah jenis
barang consumer yang dikonsumsi setiap saat secara terus menerus, jadi berbeda dengan katakanlah Indomie dimana seorang konsumen belum tentu makan
Indomie setiap hari. Dan berbeda dengan katakanlah batubara, minyak bumi, dll
yang harganya bisa naik dan turun, harga jual rokok akan selalu naik terus, dan
GGRM ketika itu merupakan salah satu perusahaan rokok paling terkemuka di tanah air. Pada bulan
Juni 2010, GGRM berada di 31,000-an, atau sudah naik banyak dibanding posisi
terendahnya tahun 2008 yakni 5,000-an, tapi penulis ketika itu tetap mengatakan
bahwa sahamnya akan terus naik dalam jangka panjang. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
***
Buku Analisa IHSG, Strategi
Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi Oktober 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber
selama masa berlangganan.
***
And indeed, GGRM kemudian terus
naik sampai sempat tembus 100,000, awal tahun 2019 lalu, atau mencetak profit
lebih dari 3 kali lipat belum termasuk dividen, hanya dalam waktu kurang dari
10 tahun. Malah jika seseorang cukup beruntung membeli GGRM pada harga
5,000-an, tahun 2008 lalu, maka berdasarkan posisi tertingginya di 100,000
tadi, keuntungannya mencapai 20 kali lipat belum termasuk dividen! Fakta
menariknya adalah, kenaikan yang luar biasa tersebut justru terjadi ketika
selama periode waktu 10 – 15 tahun terakhir ini, industri rokok di Indonesia dihajar
habis-habisan oleh berbagai regulasi yang memberatkan, mulai dari aturan gambar
menyeramkan di kemasan bungkus rokok, pembatasan penayangan iklan, hingga kenaikan
cukai hampir saban tahun.
Jadi bagaimana bisa GGRM, seperti
juga dua raksasa rokok lainnya yakni HM Sampoerna (HMSP) dan kemungkinan juga Djarum, bisa terus
mempertahankan bisnis mereka, dan justru tumbuh signifikan dalam 10 tahun
terakhir? Nah, berhubung kita sudah membahas HMSP, sedangkan Djarum nggak
listing, maka pada ulasan kali ini, kita akan fokus ke GGRM. Okay, here we go.
Profil Perusahaan
Sejarah Gudang Garam berawal pada
tahun 1958, ketika pendiri perusahaan, Surya Wonowidjojo, membuka pabrik rokok
pertamanya di Kediri, Jawa Timur, dan status ‘PT Perusahaan Rokok Tjap Gudang
Garam’ diresmikan tahun 1971. Tahun 1979, GGRM menjadi perusahaan rokok pertama
di Indonesia yang memproduksi rokok menggunakan mesin pabrik (sebelumnya rokok hanya
diproduksi menggunakan tangan pekerja), dan alhasil volume produksi rokok
perusahaan meningkat signifikan, dan ini pula yang kemudian sukses membawa GGRM menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia ketika itu. Tahun 1983, putra
pertama dari Tuan Surya, Rachman Halim, mengambil alih posisi direktur utama
perusahaan, sedangkan kesemua adik-adiknya menempati sejumlah posisi penting
seperti direktur dan komisaris. Bisa dibilang bahwa GGRM kemudian menjadi
perusahaan keluarga. Tahun 1990, GGRM go public, dan barulah sejak saat itu perusahaan
berekspansi lebih jauh dengan mendirikan pabrik kertas karton (untuk kemasan
rokok), secara rutin menambah kapasitas produksi, mendirikan PT Surya
Madistrindo sebagai distributor tunggal produk GGRM, dan masuk ke segmen low
tar nicotine. Tahun 2008, Rachman Halim wafat, dan posisinya sebagai
pimpinan tertinggi perusahaan digantikan oleh adiknya, Susilo Wonowidjojo.
Hingga pada hari ini, GGRM
memiliki dua fasilitas produksi di Kediri, dan Gempol (keduanya di Jawa Timur),
dan perusahaan berada di posisi kedua (dibelakang HMSP) sebagai produsen rokok
terbesar di Indonesia, dengan pangsa pasar 25.7% per Kuartal II 2019. Seperti
disebut diatas, GGRM juga memiliki produsen kertas karton dan distributornya
sendiri, sehingga lini bisnis perusahaan terbilang terintegrasi. Secara track
record, sejak tahun 2009 sampai Kuartal II 2019 kemarin, pendapatan perusahaan
konsisten naik setiap tahun dari Rp31.1 trilyun, hingga kemungkinan akan
mencetak rekor pendapatan Rp100 trilyun pada tahun 2019 ini. Demikian pula
dengan laba bersihnya, yang meski tidak selalu rutin naik setiap tahun, namun tetap
tumbuh signifikan dari Rp3.4 trilyun menjadi Rp8.6 trilyun di 2019 (laba di
kuartal II, disetahunkan). Dan meski GGRM terbilang royal dividen, namun
perolehan labanya yang cukup besar (ROE-nya konsisten sekitar 16 – 20%)
menyebabkan ekuitasnya tetap tumbuh signifikan yakni dari Rp18.4 trilyun di tahun
2009, menjadi Rp44.4 trilyun pada pertengahan tahun 2019.
Yang perlu dicatat adalah,
pertumbuhan kinerja yang sangat baik diatas terjadi ketika volume produksi
rokok perusahaan hanya naik sedikit saja, dari 64.2 milyar batang di tahun
2009, menjadi 85.2 milyar batang di tahun 2018. Sehingga cuku jelas bahwa pertumbuhan pendapatan
dll perusahaan lebih didorong oleh kenaikan harga jual produk secara bertahap, dimana kenaikan
harga tersebut tetap diterima dengan baik oleh konsumen.
Valuasi saham GGRM saat ini
Okay, sekarang ke inti
pertanyaannya. Pertama, kita tahu bahwa saham GGRM, yang ketika artikel ini
ditulis berada di posisi 52,500, sudah turun hampir 50% dari posisi
tertingginya di bulan Maret kemarin. Jadi apakah sekarang sahamnya sudah murah?
Lalu kedua, kita tahu bahwa penyebab penurunan itu adalah terkait cukai rokok yang pada tahun ini resmi naik hingga 23%, efektif mulai tahun 2020 nanti. Jadi meski
memang GGRM ini kinerjanya bagus, dan punya track record yang juga sangat
konsisten, namun apakah dengan ini GGRM masih layak untuk jangka panjang? Nah, pertama-tama
kita cek valuasi sahamnya dulu.
Berdasarkan posisi ekuitas serta
laba bersihnya di Kuartal II 2019, maka pada harga 52,500, PBV GGRM tercatat
2.3 kali, sedangkan PER-nya 11.8 kali. Quick comparison, diatas kita sudah
menyebut produk Indomie yang tingkat konsumsinya tidak serutin rokok, dan
berapa valuasi dari Indofood CBP (ICBP) sebagai produsen Indomie? Pada harga
11,950, PBV 5.8, dan PER 27.0 kali, alias jauh diatas valuasi GGRM saat ini. Kemudian jika dibandingkan dengan valuasi
GGRM sendiri katakanlah pada tahun 2010 lalu ketika harga sahamnya masih
31,000, maka PER-nya ketika itu mencapai 16 kali.
Jadi kesimpulannya? Yup, GGRM di
harga sekarang sudah murah, dimana selama tidak terjadi perubahan fundamental
pada perusahaan, maka cepat atau lambat sahamnya akan naik lagi. Untuk menguji hipotesa
ini, mari kita cek lagi historis pergerakan saham GGRM selama 10 tahun terakhir,
dimana selama periode waktu tersebut, GGRM sempat tiga kali turun signifikan
(diluar penurunan yang terjadi tahun 2019 ini) sebelum kemudian naik lagi,
yakni:
- Antara Oktober 2010 – Februari 2011, dari 51,900 ke 34,200
- Antara Desember 2012 – Oktober 2013, dari 55,500 ke 33,850
- Antara Desember 2014 – September 2015, dari 61,800 ke 41,750.
Lalu sekarang kita cek, berapa valuasi
GGRM ketika sahamnya berada di harga-harga terendah mereka seperti yang disebut
diatas, berdasarkan posisi ekuitas dan laba bersih perusahaan ketika itu? (laporan
keuangan yang digunakan adalah laporan tahun penuh di tahun sebelumnya) And
here we go.
Waktu
|
Harga saham
|
Laporan keuangan
|
PBV (x)
|
PER (x)
|
Feb-11
|
34,200
|
Tahun Penuh 2010
|
3.1
|
15.9
|
Oct-13
|
33,850
|
Tahun Penuh 2012
|
2.4
|
16.2
|
Sep-15
|
41,750
|
Tahun Penuh 2014
|
2.4
|
14.9
|
Berdasarkan angka-angka diatas,
maka bisa kita lihat bahwa valuasi GGRM saat ini pada harga 52,500, yang
mencerminkan PBV 2.3 dan PER 11.8 kali, adalah merupakan valuasi terendahnya dalam 10
tahun terakhir, meskipun selisihnya tidak jauh beda dengan ketika GGRM berada
di posisi 41,750, September 2015 lalu.
Masalah Kenaikan Cukai
Okay Pak Teguh, jadi selama tidak
terjadi perubahan fundamental, maka GGRM akan naik lagi, dan bukan tidak mungkin posisinya sekarang adalah titik terendahnya sebelum dia naik lagi. Tapi bukankah dengan kenaikan cukai kemarin, maka ada kemungkinan
bahwa kinerja GGRM dalam 10 tahun kedepan tidak akan lagi sebagus 10 tahun ke
belakang? Nah, dalam hal ini kita perlu melihat, faktor risiko apa yang paling
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan rokok. Penulis sudah cek laporan
tahunan dari empat emiten rokok yang ada di BEI, yakni GGRM, HMSP, Wismilak
Inti Makmur (WIIM), dan Bentoel Internasional Investama (RMBA). Dan kesimpulannya, menurut empat
perusahaan ini, empat faktor risiko terbesar yang senantiasa mereka perhatikan
adalah,
- Perkembangan ekonomi dan politik negara, dimana itu pada gilirannya mempengaruhi daya beli masyarakat,
- Ketersediaan pasokan bahan baku terutama tembakau,
- Persaingan antar sesama produsen rokok (bagi WIIM, ini adalah faktor risiko no.1, yang menunjukkan ketidak mampuan perusahaan untuk bersaing dengan GGRM dan HMSP), lalu baru
- Peraturan pemerintah, termasuk cukai.
Yup, jadi meski faktor kenaikan
cukai bisa berdampak negatif pada pendapatan/laba bersih perusahaan, tapi itu hanya
satu faktor diantara beberapa faktor lainnya yang juga berpengaruh signifikan. Sedangkan
risiko seperti kampanye anti rokok, pembatasan iklan, klaim bahwa rokok merusak
kesehatan bla bla bla, itu malah tidak terlalu dianggap sebagai bagian dari risiko
(karena mungkin memang gak ada pengaruhnya). Kenyataannya adalah, ketika GGRM beberapa
kali mengalami penurunan laba dalam 10 tahun terakhir, maka penyebab utamanya
(atau setidaknya menurut penuturan manajemen) kalau bukan karena kenaikan harga
tembakau, ya karena penurunan daya beli konsumen. Termasuk pada tahun 2018 –
2019 ini, penurunan daya beli konsumen menyebabkan produksi rokok di Indonesia
secara keseluruhan turun, tapi GGRM bisa mengakali hal tersebut dengan merilis
merk rokok baru dengan harga jual yang lebih ekonomis (misalnya Gudang Garam
Patra, harganya cuma Rp10,700 per bungkus isi 12), dan alhasil volume produksi rokok
perusahaan tetap tumbuh. Actually ini juga yang menjadi alasan kenapa GGRM (dan juga HMSP) sampai
sekarang belum berminat untuk masuk ke segmen rokok elektrik, atau vape,
karena harga jualnya jauh lebih mahal dibanding rokok biasa. Sebab bagi
konsumen rokok di tanah air, yang mayoritas merupakan kelompok menengah kebawah, maka masalah harga akan selalu menjadi pertimbangan utama. Jadi alasan kenapa sekitar 60% penduduk pria di Indonesia adalah perokok, adalah karena harga rokok di Indonesia sampai
hari ini masih merupakan salah satu yang termurah di dunia, bahkan meski cukai hampir selalu naik setiap tahun, dengan rata-rata kenaikan 10% per
tahun.
Okay Pak Teguh, tapi kan untuk tahun
2020 nanti, kenaikan cukainya mencapai 23%, alias lebih tinggi dibanding
biasanya, sehingga harga jual rokok juga akan naik banyak, dan itu pada
akhirnya pasti berpengaruh ke pendapatan GGRM bukan? Nah, pertama-tama perlu
diketahui bahwa meski cukai rokok rutin naik setiap tahun, tapi pada
tahun 2018 kemarin kenaikan cukai itu tidak terjadi, dan karena itulah ketika di tahun 2019 ini cukai itu kembali dinaikkan, maka persentase kenaikannya jadi lebih
tinggi dibanding biasanya. Jadi jika kita ambil rata-ratanya dalam dua tahun terakhir, maka kenaikan cukai rokok tetap hanya sekitar 10% per tahun. Perlu dicatat pula bahwa dalam setahunan terakhir, harga rokok pelan-pelan sudah naik meski cukai tidak naik, karena pihak produsen sudah wanti-wanti bahwa tahun depan nanti, cukai rokok bisa saja naik lagi (dan ternyata memang benar). Jadi untuk tahun depan nanti, GGRM dkk tidak perlu menaikkan harga jual rokok secara ekstrim, melainkan kenaikannya akan tetap pelan-pelan seperti tahun-tahun sebelumnya, dan perusahaan akan tetap untung.
Lalu kedua, dan ini yang
mungkin tidak disadari oleh masyarakat: Selama ini cukai rokok menyumbang
sekitar 8 – 9% dari total penerimaan negara setiap tahunnya, alias sangat
besar, jauh diatas pendapatan non pajak lainnya. Sehingga jika konsumsi rokok
turun, maka pemerintah juga yang akan rugi, dan ini belum termasuk kerugian
yang dialami petani tembakau, pedagang eceran, dst, sehingga berisiko
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Alhasil selama ini, pemerintah tidak pernah
menaikkan cukai hingga ke level dimana kenaikan tersebut akan menurunkan penjualan
rokok, dan itulah kenapa kenaikan cukainya gak sampai 100%, misalnya (seperti kenaikan tarif BPJS). Kenaikan cukai yang pelan-pelan ini menyebabkan para produsen rokok, terutama HMSP dan GGRM, tetap konsisten membukukan kenaikan
penjualan dari tahun ke tahun.
Jadi maksud penulis adalah, kalau
memang benar tujuan kenaikan cukai itu adalah untuk membatasi atau bahkan
menurunkan konsumsi rokok, maka kenapa cukainya gak sekalian dibikin mahal
seperti cukai pada minuman beralkohol, misalnya? Untuk diketahui, tarif cukai
rokok adalah sekitar 60% dari harga jual rokok sebelum dikenakan cukai tersebut (setiap kali cukainya
naik, maka harga jual rokok juga ikut naik, sehingga persentase cukainya tetap),
dan itu jauh lebih murah dibanding cukai minuman beralkohol golongan C, yang
mencapai 150% dari harga jualnya. Bagi pemerintah, tanpa adanya cukai yang
tinggi sekalipun, konsumsi liquor di Indonesia akan selamanya rendah,
karena penduduk disini mayoritas muslim yang menghindari minuman keras. Jadi ya
sudah, sekalian saja pasang cukai yang tinggi, dan alhasil harga miras di
Indonesia sekian kali lipat lebih mahal dibanding di luar negeri. Tapi beda
dengan rokok: Seperti disebut diatas, sekitar 60% penduduk pria di Indonesia adalah perokok, atau
dengan kata lain ukuran pasarnya amat sangat besar, mungkin mencapai sekian persen dari GDP nasional.
Sehingga jika jumlah perokok ini berkurang katakanlah hingga separuhnya akibat
kenaikan cukai yang (terlalu) tinggi, maka pemerintah sendiri yang akan rugi hingga puluhan trilyun Rupiah. Dan mungkin ini pula kenapa GGRM dkk tidak menganggap kampanye anti rokok sebagai faktor risiko yang serius (risiko yang paling ditekankan adalah masalah daya beli), karena
faktanya Pemerintah sendiri tidak serius dalam hal menurunkan tingkat konsumsi
rokok di Indonesia, melainkan Kementerian Keuangan selama ini murni hanya mengejar
cuan saja dengan cara menaikkan tarif cukai secara pelan-pelan hampir
setiap tahun, tapi terus-menerus.
Kesimpulan akhirnya, well,
penulis sudah menyampaikan semua yang penting untuk disampaikan, jadi
kesimpulannya terserah anda sendiri. Namun seperti pada tahun 2010 lalu,
penulis masih memberikan analisa yang sama untuk GGRM: Sahamnya layak untuk
jangka panjang. Kalau soal GGRM akan ke berapa dalam 1 – 2 bulan mendatang, atau
bahkan 1 – 2 tahun mendatang, itu kita nggak tahu. Tapi nanti mari coba anda
baca lagi artikel ini agak lama dari sekarang, yakni sekitar tahun 2024 mendatang.
PT Gudang Garam, Tbk
Rating kinerja pada First Half
2019: AA
Rating valuasi saham pada 52,500:
AA
***
Buku Analisa IHSG, Strategi
Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning) edisi Oktober 2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber
selama masa berlangganan.
Tertarik untuk membaca Ebook Investment Planning (EIP) ketika pasar/IHSG terkoreksi seperti di tahun 2013, 2015, dan 2018 lalu? Anda bisa memperolehnya disini, tentunya dengan harga diskon dibanding EIP edisi terbaru.
Tertarik untuk membaca Ebook Investment Planning (EIP) ketika pasar/IHSG terkoreksi seperti di tahun 2013, 2015, dan 2018 lalu? Anda bisa memperolehnya disini, tentunya dengan harga diskon dibanding EIP edisi terbaru.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar