Kemungkinan Resesi Global di Tahun 2020?
Dear investor, seperti yang
disampaikan sebelumnya, Ebook Investment Planning (atau ‘Ebook Kuartalan’)
edisi Kuartal II 2019 sudah terbit hari Jumat kemarin, 9 Agustus 2019, dan
sudah bisa diperoleh di link
berikut. Nah, kepada teman-teman yang mengambil ebooknya, penulis memberi
kesempatan untuk mengajukan sejumlah pertanyaan dan konsultasi seputar
investasi saham. Dan hingga hari Selasa, 13 Agustus ini, saya sudah menerima
cukup banyak pertanyaan tersebut. Jadi untuk pertanyaan yang penulis anggap mewakili
pertanyaan dari banyak investor, kita sajikan lagi disini plus jawabannya.
Okay, here we go.
Mengapa di ebook
kuartal II ini belum ada saham batu bara sama sekali sedangkan banyak saham
batubara sekarang yang valuasinya menarik (seperti HRUM dan ADRO)? Bukankah ini
merupakan peluang untuk value investor agar dapat menjadi pemilik perusahaan di
saat industrinya sedang tidak dalam 'cyclenya'?
Betul bahwa batubara
sekarang tidak sedang dalam cycle-nya, dan betul pula bahwa valuasi mereka
sudah murah. Namun selama kinerja perusahaan masih kurang bagus, dan juga belum
ada prospek yang jelas kedepan (misalnya karena harga batubara masih rendah),
maka sahamnya belum akan naik dulu dalam waktu dekat ini (3 - 6 bulan kedepan),
dan bisa saja malah lanjut turun. Kami masih terus memperhatikan perkembangan
batubara, sehingga kalau memang nanti ada peluang bahwa sektor ini akan pulih
maka baru ebooknya akan di-update lagi, mungkin di edisi Q3 atau Q4 nanti. Tapi
untuk saat ini, kita lebih banyak fokus ke bluechip consumer, karena
momentumnya ada disitu.
Setelah
melihat laporan keuangan emiten BJTM, saya melihat bahwa ekuitas dan laba BJTM
selalu naik terus, selain itu saya juga melihat bahwa perusahaan terus
meningkatkan kinerja dengan mendigitalisasi layanannya (online banking, dan
mobile banking etc) , dimana hal tersebut sangat baik untuk pertumbuhan
perusahaannya. Tetapi di sisi lain jika saya melihat arus kas aktivitas operasi
emiten BJTM, dalam 2019 ini arus kas aktivitas operasi BJTM selalu minus dalam
2 kuartal, dan setelah saya teliti minus in disebabkan karena adanya minus yg
sangat besar pada “Tagihan Reverse Repo”. Nah setelah saya cari google tentang
“Tagihan Reverse Repo”, saya pun tetap tidak mengerti, dan karena it butuh
arahan dari pak teguh, apakah minus arus kas aktivitas operasi dari BJTM selama
2019 yg disebabkan oleh tagihan reverse repo ini adalah sesuatu yang buruk ke
depannya? apakah bisa sangat mempengaruhi hrga saham dari emiten BJTM ini?
Yang dimaksud repo
adalah 'repurchase order', atau pemberian pinjaman dengan jaminan surat
berharga, entah itu saham atau lainnya, dengan janji bahwa saham itu akan
dibeli kembali (repurchase). Dalam dunia perbankan, reverse repo adalah jika
sebuah bank memberikan 'pinjaman' kepada bank sentral, dan bank tersebut
kemudian memperoleh bunga. Disebut 'reverse', karena normalnya bank sentral-lah
yang memberikan pinjaman ke bank, sehingga kalau dilakukan sebaliknya maka
disebut reverse. Dalam kasus BJTM, BJTM memberikan pinjaman ke Bank Indonesia
atau BI (BJTM kemudian memperoleh jaminan surat berharga dari BI, yang nanti
akan dibeli kembali oleh BI), untuk kemudian memperoleh bunga dari situ. Ini
adalah praktek yang umum dilakukan bank daerah seperti BJTM, karena mereka
jarang memberikan pinjaman ke korporasi/perusahaan nasional (lebih banyak ke
perusahaan daerah atau BUMD, tapi BUMD ini jumlahnya sedikit dan/atau kalau
ada, tidak memenuhi syarat untuk menerima pinjaman), sedangkan jika semua
kredit disalurkan dalam bentuk kredit konsumer (untuk PNS setempat), maka itu terlalu
berisiko. Jadi kelebihan dana yang tidak tersalurkan dalam bentuk kredit, lebih
baik ditempatkan di BI saja.
Jadi kalau cashflow
BJTM minus karena tagihan reverse repo, artinya BJTM kembali menyetor ke BI
karena sebelumnya sudah terikat perjanjian reverse repo tersebut (misalnya
sudah ada perjanjian bahwa BJTM harus beli repo dari BI senilai sekian
trilyun). Dan itu no problem, karena uang yang disetor ke BI ini nggak hilang,
melainkan bisa ditarik lagi nanti.
Saya ada floating
loss PTBA (avg 3475, harga skrg 2570) dan UNTR (avg 27500, harga skrg 23000)
jadi floating loss sekitar 20-25%. Apa yg sharusnya dilakukan untk kedua emiten
tsbt, apakah di hold aja atau cutloss ya pak?
Sayangnya PTBA pada
harga diatas 3,000 memang sudah mahal, demikian pula UNTR waktu kita bahas di
artikel ini, https://www.teguhhidayat.com/2019/05/prospek-united-tractors-setelah.html, kita katakan best
price-nya di 22,000 (jadi 27,500 itu mahal). Namun karena outlook batubara
sekarang lagi gak bagus, maka bahkan UNTR pun kita keluarkan dari ebooknya.
Kami perkirakan dua saham ini masih akan lanjut turun, karena valuasinya sejak
awal paling mahal dibanding saham-saham batubara lain (karena memang kinerjanya
paling bagus), tapi disisi lain untuk tahun 2019 ini kinerja mereka sama gak
bagusnya dengan ADRO dan lainnya.
Jadi mungkin PTBA
jual saja dulu pak, tapi UNTR hold saja, karena masih ada kemungkinan penurunannya
stop di 22,000 itu, atau serendah-rendahnya 20,000. Kemudian nanti lihat lagi 3
- 6 bulan kedepan: Meski untuk saat ini prospek batubara masih suram (karena
harga batubara masih di $77 per ton), tapi berdasarkan pengalaman, sering juga
terjadi harga batubara ini tiba2 naik sendiri, dimana kalau itu terjadi maka
PTBA dkk akan naik lagi. Jadi kalau harus cut dua2nya di PTBA dan UNTR ini,
maka kita akan nyesel kalau misalnya besok-besok harga batubara beneran naik.
Tapi kalau tetap hold dua-duanya, maka bagaimana kalau batubara gak pernah naik
dan dua saham itu turun terus? Karena itulah, jual satu saja diantaranya.
Bagaimana prospek Voksel Elecric,
Tbk (VOKS) yang kinerjanya tengah menanjak. Dari LK Q2 2019, laba bersih yang
disetahunkan menghasilkan ROE 21 %. Sementara dengan harga saham 332’an hanya
mencerminkan PBV 1,28 dan PER 6 kali (Annualized). Apalagi ditengah pembangunan
infrastruktur listik 35.000 MW dan saham KBLI – yang usahanya sejenis – sudah
naik lebih 100%. Sementara VOKS masih belum naik terlalu banyak.
Problem terbesar
dari usaha kabel adalah tidak ada jaminan bahwa kinerja bagus mereka akan
berlanjut di tahun berikutnya, atau bahkan di kuartal berikutnya, dan itulah
yang terjadi pada VOKS dan KBLI, dimana kedua perusahaan ini labanya bagus di
tahun 2016 lalu, turun di 2017 dan 2018, dan baru naik lagi di 2019. Soal
program pembangkit listrik 35,000MW juga tidak jadi jaminan karena ada banyak
faktor lain yang berpengaruh, seperti harga bahan baku tembaga, atau kurs
Rupiah (karena tembaga-nya harus impor). Sedangkan sekarang ini juga banyak isu
bahwa impor akan dikurangi karena menyebabkan defisit perdagangan.
Karena itulah, untuk
perusahaan seperti VOKS dan KBLI, biasanya kita lebih konservatif dengan
berusaha membelinya pada harga serendah mungkin, misalnya PBV 0.7 atau maksimal
PBV 0.9 kali. Kalau lebih dari itu maka relatif berisiko, jadi gak akan kita
kejar. Dan faktanya seperti halnya KBLI yang beberapa waktu lalu pernah drop
dari 750 sampai 250, maka VOKS juga pernah anjlok dari 360 sampai 150. And btw,
VOKS juga sudah naik banyak, karena Juni 2018 lalu dia masih di 150, dan
sekarang sudah 330.
Apa analisa
efek keberhasilan penjualan ruas tol WSKT terhadap prospek WSKT kedepannya.
Terlebih lagi WSKT merupakan perusahaan konstruksi dengan Market Cap terbesar
diantara PTPP, WIKA dan ADHI?
Perlu diketahui
bahwa sebagai konstruktor atau 'tukang bangunan', lingkup usaha WSKT adalah
membangun jalan tol (milik Jasa Marga dll), jadi bukan memiliki dan mengelola
jalan tol. Biasanya cara kerja WSKT adalah, perusahaan ikut tender pemerintah
(atau perusahaan lain) yang hendak membangun jalan tol. Tapi karena pemerintah
dalam beberapa tahun terakhir seperti 'kejar tayang' untuk membangun ruas-ruas
tol dalam jumlah banyak, maka WSKT sering ditugasi untuk bangun saja dulu jalan
tol-nya (pake duit sendiri, atau pinjaman), dan kalau sudah jadi maka baru
dijual/cari investor yang bisa mengelola jalan tol tersebut, sehingga WSKT
kemudian bisa kembali fokus ke bisnis utamanya, yakni konstruksi. Jadi ini sama
seperti kontraktor yang karena belum dapet pesenan untuk bangun ruko, maka ia
kemudian inisiatif bikin sendiri ruko-nya, lalu kemudian dijual. Perusahaan
swasta biasanya gak akan berani melakukan 'inisiatif' seperti itu, karena
gimana kalau jalan tol/ruko-nya gak laku dijual? Tapi WSKT tentunya didukung
penuh oleh Pemerintah, jadi no problem. Untuk ruas-ruas tol yang masih
dipegang, WSKT juga sudah menempatkannya di anak usaha PT Waskita Toll Road,
sehingga manajemen induk perusahaan bisa tetap fokus ke usaha konstruksi.
Dengan melepas
sejumlah ruas jalan tol-nya, maka WSKT punya cukup cash untuk kembali fokus ke
proyek konstruksi selanjutnya, jadi prospeknya bagus. Cuma untuk tahun 2019 ini
labanya turun signifikan karena laba di tahun 2018 kemarin memang sudah kelewat
besar, sehingga sulit bagi perusahaan untuk membukukan laba yang lebih besar
lagi. Karena itulah kita berpandangan bahwa PTPP dan ADHI lebih menarik, karena
labanya masih berpeluang untuk naik.
Apakah jika trade war US vs China terus berlanjut
maka akan berdampak pada penurunan IHSG lebih dalam dan peningkatan potensi
terjadi resesi/ krisis ekonomi global di 2020?
Ada banyak faktor yang mempengaruhi
pergerakan IHSG, salah satunya terkait trade war ini, dan soal itu juga sudah
disampaikan di ebooknya. Kalau dikatakan bahwa ini bisa menyebabkan krisis,
harusnya sih nggak. Karena trade war ini bahkan sudah berlangsung sejak tahun
2017 lalu, tapi dampaknya sejauh ini hanya menyebabkan ekonomi global jadi
stagnan saja, dimana pertumbuhan ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir
masih mandek di 2.5 - 3.0%. Tapi kata kuncinya adalah, ekonomi global tetap
bertumbuh, hanya tidak sekencang yang diharapkan. Sebagai perbandingan, ketika
terjadi krisis global 2008, maka pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2009-nya
tercatat minus 1.7%.
Disisi lain, posisi Dow Jones memang sudah
sangat tinggi, dan saham-saham disana sudah pada mahal semua. Bahkan Warren
Buffett pun sekarang ini memegang cash lebih dari $122 milyar di Berkshire,
karena 'sudah tidak ada peluang investasi yang cukup bagus untuk saat ini'.
Jadi kalau cerita trade war ini mencuat sedikit saja, maka itu bisa menjadi
katalis bagi kejatuhan bursa-bursa saham di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Berdasarkan
pengalaman bapak berapa persen komposisi saham bluechip, second liner maupun
gorengan yang harus saya miliki di portofolio di tengah kondisi ekonomi dan
IHSG yang tidak menentu ini?
Sebenernya itu
tergantung pada profil risiko yang kita ambil, apakah agresif, moderate, atau
konservatif. Jadi bukan tergantung kondisi pasar. Dan saya selalu
merekomendasikan profil risiko yang moderate, yakni 40% bluechip, 40% second
liner, dan hanya 20% saham-saham jangka pendek, dengan catatan saham jangka
pendek ini juga tetap memenuhi kaidah value investing (misalnya meski
kinerjanya gak begitu bagus, tapii valuasinya sangat sangat murah).
Namun kalau pasar lagi
gak bagus, biasanya disitu ada peluang untuk masuk ke saham-saham bluechip,
sehingga alokasi dana untuk bluechip bisa lebih besar. Sebab ketika nanti pasar
kembali normal, maka biasanya ASII dkk yang bakal naik duluan.
Dimana saya bisa memperoleh
daftar saham-saham dengan dividen yang besar? Seperti BJTM?
Pertama-tama buka website
BEI, tepatnya pada link berikut.
Pada kode indeks, cari kode IDXHIDV20. Untuk tahunnya biarkan tahun 2019, lalu
klik CARI (yang kotak merah). Nanti ketemu file-nya, download file terbaru yang
bulan Juli. Nah, nanti dapet daftar resmi dari BEI, tentang 20 saham yang masuk
indeks IDX High Dividen 20, untuk periode Agustus 2019 – Januari 2020. Ke-20 saham
ini adalah ADRO, ASII, BBCA, BBNI, BBRI, BBTN, BJBR, BJTM, BMRI, GGRM, HMSP,
INDF, INKP, INTP, ITMG, LPPF, PTBA, TLKM, UNTR, dan UNVR.
Daftar 'dividend stock' versi BEI, klik gambar untuk memperbesar |
Namun mungkin perlu
dicatat bahwa, kalau melihat daftar sahamnya, maka saham yang masuk indeksnya
adalah saham dari perusahaan yang membayar dividen cukup besar dibanding nilai
laba bersihnya dalam satu tahun/dividend payout ratio-nya besar. DPR ini
berbeda dengan dividend yield, yang menunjukkan perbandingan antara
nilai dividen dengan harga saham. Selain itu, saham-saham yang di-cover
sepertinya hanya bluechip saja, karena saham Sido Muncul (SIDO), yang
jelas-jelas DPR-nya diatas 90%, malah gak masuk daftar. Dengan kata lain,
menurut penulis daftar ‘saham dividen’ versi BEI diatas tidak akurat, tapi
setidaknya bisa memberikan anda sedikit gambaran.
Pak Teguh, kenapa
judul postingan kali ini gak nyambung sama isinya?
Karena entah kenapa penulis
banyak menerima pertanyaan soal apakah Indonesia akan krisis atau semacamnya? Dimana
setelah kita teliti lagi, itu karena sekarang ini ramai pemberitaan tentang isu
Brexit yang katanya bisa menyebabkan krisis di Inggris, isu perang dagang,
demonstrasi di Hong Kong, termasuk di Indonesia juga kemarin Bapak Jusuf Kalla
menyebut soal siklus krisis 10 tahunan (yang kemudian menjadi headline), dan
ramai berita PHK Duniatex dll. Jadi ya sekalian saja kita buat judul yang sama.
Tapi apakah betul
kondisi ekonomi global, dan juga di dalam negeri, memang lagi krisis, atau
menuju krisis? Nah, berhubung di blog ini juga kita sudah lama ngga bahas ekonomi makro, maka soal itu kita akan bahas lengkap minggu depan.
Bolehkah saya juga ikut
mengajukan pertanyaan/mengajak diskusi?
Boleh, silahkan tulis saja
melalui kolom komentar dibawah, nanti akan dibantu dijawab oleh temen-temen
pembaca yang lain.
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham pilihan ('Ebook Investment Planning') edisi Kuartal II 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.
***
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham pilihan ('Ebook Investment Planning') edisi Kuartal II 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.
Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
Saya jg ada pertanyaan pak, mengenai sayam2 growth seperti mark dan cleo. Kebetulan saya mulai investasi saham tahun 2017 tepat saat mark dan cleo ipo, jd saya melihat harga sahamnya menanjak terus, bahkan saya sempat keluar masuk krn masih pemula. Tapi sekarang kedua emiten tersebut masih menanjak terutama cleo. Pertanyaan saya bagaimana cara kita menentukan kapan harus keluar dri saham growth, dan apabila kita belum punya sahamnya apa sebaiknya kita abaikan saja tunggu koreksi dalam atau kita masuk saja krn saham tsb masih diharapkan bertumbuh lagi kedepannya? Terimakasih pak
Untuk kasus CLEO, bisa keluar di saat kita merasa bahwa harga saham sudah terlalu mahal. Jauh di atas nilai intrinsiknya. Atau ketika kita sudah merasa cukup dengan profit yang kita dapatkan.