Kemungkinan Resesi Global di Tahun 2020?

Dear investor, seperti yang disampaikan sebelumnya, Ebook Investment Planning (atau ‘Ebook Kuartalan’) edisi Kuartal II 2019 sudah terbit hari Jumat kemarin, 9 Agustus 2019, dan sudah bisa diperoleh di link berikut. Nah, kepada teman-teman yang mengambil ebooknya, penulis memberi kesempatan untuk mengajukan sejumlah pertanyaan dan konsultasi seputar investasi saham. Dan hingga hari Selasa, 13 Agustus ini, saya sudah menerima cukup banyak pertanyaan tersebut. Jadi untuk pertanyaan yang penulis anggap mewakili pertanyaan dari banyak investor, kita sajikan lagi disini plus jawabannya. Okay, here we go.

***

Jadwal Kelas Value Investing: Investasi Saham untuk Tabungan Jangka Panjang. Jakarta & Surabaya, Sabtu 24 & 31 Agustus 2019. Pembicara Teguh Hidayat. Info selengkapnya baca disini.

***

Mengapa di ebook kuartal II ini belum ada saham batu bara sama sekali sedangkan banyak saham batubara sekarang yang valuasinya menarik (seperti HRUM dan ADRO)? Bukankah ini merupakan peluang untuk value investor agar dapat menjadi pemilik perusahaan di saat industrinya sedang tidak dalam 'cyclenya'?

Betul bahwa batubara sekarang tidak sedang dalam cycle-nya, dan betul pula bahwa valuasi mereka sudah murah. Namun selama kinerja perusahaan masih kurang bagus, dan juga belum ada prospek yang jelas kedepan (misalnya karena harga batubara masih rendah), maka sahamnya belum akan naik dulu dalam waktu dekat ini (3 - 6 bulan kedepan), dan bisa saja malah lanjut turun. Kami masih terus memperhatikan perkembangan batubara, sehingga kalau memang nanti ada peluang bahwa sektor ini akan pulih maka baru ebooknya akan di-update lagi, mungkin di edisi Q3 atau Q4 nanti. Tapi untuk saat ini, kita lebih banyak fokus ke bluechip consumer, karena momentumnya ada disitu.

Setelah melihat laporan keuangan emiten BJTM, saya melihat bahwa ekuitas dan laba BJTM selalu naik terus, selain itu saya juga melihat bahwa perusahaan terus meningkatkan kinerja dengan mendigitalisasi layanannya (online banking, dan mobile banking etc) , dimana hal tersebut sangat baik untuk pertumbuhan perusahaannya. Tetapi di sisi lain jika saya melihat arus kas aktivitas operasi emiten BJTM, dalam 2019 ini arus kas aktivitas operasi BJTM selalu minus dalam 2 kuartal, dan setelah saya teliti minus in disebabkan karena adanya minus yg sangat besar pada “Tagihan Reverse Repo”. Nah setelah saya cari google tentang “Tagihan Reverse Repo”, saya pun tetap tidak mengerti, dan karena it butuh arahan dari pak teguh, apakah minus arus kas aktivitas operasi dari BJTM selama 2019 yg disebabkan oleh tagihan reverse repo ini adalah sesuatu yang buruk ke depannya? apakah bisa sangat mempengaruhi hrga saham dari emiten BJTM ini?

Yang dimaksud repo adalah 'repurchase order', atau pemberian pinjaman dengan jaminan surat berharga, entah itu saham atau lainnya, dengan janji bahwa saham itu akan dibeli kembali (repurchase). Dalam dunia perbankan, reverse repo adalah jika sebuah bank memberikan 'pinjaman' kepada bank sentral, dan bank tersebut kemudian memperoleh bunga. Disebut 'reverse', karena normalnya bank sentral-lah yang memberikan pinjaman ke bank, sehingga kalau dilakukan sebaliknya maka disebut reverse. Dalam kasus BJTM, BJTM memberikan pinjaman ke Bank Indonesia atau BI (BJTM kemudian memperoleh jaminan surat berharga dari BI, yang nanti akan dibeli kembali oleh BI), untuk kemudian memperoleh bunga dari situ. Ini adalah praktek yang umum dilakukan bank daerah seperti BJTM, karena mereka jarang memberikan pinjaman ke korporasi/perusahaan nasional (lebih banyak ke perusahaan daerah atau BUMD, tapi BUMD ini jumlahnya sedikit dan/atau kalau ada, tidak memenuhi syarat untuk menerima pinjaman), sedangkan jika semua kredit disalurkan dalam bentuk kredit konsumer (untuk PNS setempat), maka itu terlalu berisiko. Jadi kelebihan dana yang tidak tersalurkan dalam bentuk kredit, lebih baik ditempatkan di BI saja.

Jadi kalau cashflow BJTM minus karena tagihan reverse repo, artinya BJTM kembali menyetor ke BI karena sebelumnya sudah terikat perjanjian reverse repo tersebut (misalnya sudah ada perjanjian bahwa BJTM harus beli repo dari BI senilai sekian trilyun). Dan itu no problem, karena uang yang disetor ke BI ini nggak hilang, melainkan bisa ditarik lagi nanti.

Saya ada floating loss PTBA (avg 3475, harga skrg 2570) dan UNTR (avg 27500, harga skrg 23000) jadi floating loss sekitar 20-25%. Apa yg sharusnya dilakukan untk kedua emiten tsbt, apakah di hold aja atau cutloss ya pak?

Sayangnya PTBA pada harga diatas 3,000 memang sudah mahal, demikian pula UNTR waktu kita bahas di artikel ini, https://www.teguhhidayat.com/2019/05/prospek-united-tractors-setelah.html, kita katakan best price-nya di 22,000 (jadi 27,500 itu mahal). Namun karena outlook batubara sekarang lagi gak bagus, maka bahkan UNTR pun kita keluarkan dari ebooknya. Kami perkirakan dua saham ini masih akan lanjut turun, karena valuasinya sejak awal paling mahal dibanding saham-saham batubara lain (karena memang kinerjanya paling bagus), tapi disisi lain untuk tahun 2019 ini kinerja mereka sama gak bagusnya dengan ADRO dan lainnya.

Jadi mungkin PTBA jual saja dulu pak, tapi UNTR hold saja, karena masih ada kemungkinan penurunannya stop di 22,000 itu, atau serendah-rendahnya 20,000. Kemudian nanti lihat lagi 3 - 6 bulan kedepan: Meski untuk saat ini prospek batubara masih suram (karena harga batubara masih di $77 per ton), tapi berdasarkan pengalaman, sering juga terjadi harga batubara ini tiba2 naik sendiri, dimana kalau itu terjadi maka PTBA dkk akan naik lagi. Jadi kalau harus cut dua2nya di PTBA dan UNTR ini, maka kita akan nyesel kalau misalnya besok-besok harga batubara beneran naik. Tapi kalau tetap hold dua-duanya, maka bagaimana kalau batubara gak pernah naik dan dua saham itu turun terus? Karena itulah, jual satu saja diantaranya.

Bagaimana prospek Voksel Elecric, Tbk (VOKS) yang kinerjanya tengah menanjak. Dari LK Q2 2019, laba bersih yang disetahunkan menghasilkan ROE 21 %. Sementara dengan harga saham 332’an hanya mencerminkan PBV 1,28 dan PER 6 kali (Annualized). Apalagi ditengah pembangunan infrastruktur listik 35.000 MW dan saham KBLI – yang usahanya sejenis – sudah naik lebih 100%. Sementara VOKS masih belum naik terlalu banyak.

Problem terbesar dari usaha kabel adalah tidak ada jaminan bahwa kinerja bagus mereka akan berlanjut di tahun berikutnya, atau bahkan di kuartal berikutnya, dan itulah yang terjadi pada VOKS dan KBLI, dimana kedua perusahaan ini labanya bagus di tahun 2016 lalu, turun di 2017 dan 2018, dan baru naik lagi di 2019. Soal program pembangkit listrik 35,000MW juga tidak jadi jaminan karena ada banyak faktor lain yang berpengaruh, seperti harga bahan baku tembaga, atau kurs Rupiah (karena tembaga-nya harus impor). Sedangkan sekarang ini juga banyak isu bahwa impor akan dikurangi karena menyebabkan defisit perdagangan.

Karena itulah, untuk perusahaan seperti VOKS dan KBLI, biasanya kita lebih konservatif dengan berusaha membelinya pada harga serendah mungkin, misalnya PBV 0.7 atau maksimal PBV 0.9 kali. Kalau lebih dari itu maka relatif berisiko, jadi gak akan kita kejar. Dan faktanya seperti halnya KBLI yang beberapa waktu lalu pernah drop dari 750 sampai 250, maka VOKS juga pernah anjlok dari 360 sampai 150. And btw, VOKS juga sudah naik banyak, karena Juni 2018 lalu dia masih di 150, dan sekarang sudah 330.

Apa analisa efek keberhasilan penjualan ruas tol WSKT terhadap prospek WSKT kedepannya. Terlebih lagi WSKT merupakan perusahaan konstruksi dengan Market Cap terbesar diantara PTPP, WIKA dan ADHI?

Perlu diketahui bahwa sebagai konstruktor atau 'tukang bangunan', lingkup usaha WSKT adalah membangun jalan tol (milik Jasa Marga dll), jadi bukan memiliki dan mengelola jalan tol. Biasanya cara kerja WSKT adalah, perusahaan ikut tender pemerintah (atau perusahaan lain) yang hendak membangun jalan tol. Tapi karena pemerintah dalam beberapa tahun terakhir seperti 'kejar tayang' untuk membangun ruas-ruas tol dalam jumlah banyak, maka WSKT sering ditugasi untuk bangun saja dulu jalan tol-nya (pake duit sendiri, atau pinjaman), dan kalau sudah jadi maka baru dijual/cari investor yang bisa mengelola jalan tol tersebut, sehingga WSKT kemudian bisa kembali fokus ke bisnis utamanya, yakni konstruksi. Jadi ini sama seperti kontraktor yang karena belum dapet pesenan untuk bangun ruko, maka ia kemudian inisiatif bikin sendiri ruko-nya, lalu kemudian dijual. Perusahaan swasta biasanya gak akan berani melakukan 'inisiatif' seperti itu, karena gimana kalau jalan tol/ruko-nya gak laku dijual? Tapi WSKT tentunya didukung penuh oleh Pemerintah, jadi no problem. Untuk ruas-ruas tol yang masih dipegang, WSKT juga sudah menempatkannya di anak usaha PT Waskita Toll Road, sehingga manajemen induk perusahaan bisa tetap fokus ke usaha konstruksi.

Dengan melepas sejumlah ruas jalan tol-nya, maka WSKT punya cukup cash untuk kembali fokus ke proyek konstruksi selanjutnya, jadi prospeknya bagus. Cuma untuk tahun 2019 ini labanya turun signifikan karena laba di tahun 2018 kemarin memang sudah kelewat besar, sehingga sulit bagi perusahaan untuk membukukan laba yang lebih besar lagi. Karena itulah kita berpandangan bahwa PTPP dan ADHI lebih menarik, karena labanya masih berpeluang untuk naik.

Apakah jika trade war US vs China terus berlanjut maka akan berdampak pada penurunan IHSG lebih dalam dan peningkatan potensi terjadi resesi/ krisis ekonomi global di 2020?

Ada banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan IHSG, salah satunya terkait trade war ini, dan soal itu juga sudah disampaikan di ebooknya. Kalau dikatakan bahwa ini bisa menyebabkan krisis, harusnya sih nggak. Karena trade war ini bahkan sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu, tapi dampaknya sejauh ini hanya menyebabkan ekonomi global jadi stagnan saja, dimana pertumbuhan ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir masih mandek di 2.5 - 3.0%. Tapi kata kuncinya adalah, ekonomi global tetap bertumbuh, hanya tidak sekencang yang diharapkan. Sebagai perbandingan, ketika terjadi krisis global 2008, maka pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2009-nya tercatat minus 1.7%.

Disisi lain, posisi Dow Jones memang sudah sangat tinggi, dan saham-saham disana sudah pada mahal semua. Bahkan Warren Buffett pun sekarang ini memegang cash lebih dari $122 milyar di Berkshire, karena 'sudah tidak ada peluang investasi yang cukup bagus untuk saat ini'. Jadi kalau cerita trade war ini mencuat sedikit saja, maka itu bisa menjadi katalis bagi kejatuhan bursa-bursa saham di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman bapak berapa persen komposisi saham bluechip, second liner maupun gorengan yang harus saya miliki di portofolio di tengah kondisi ekonomi dan IHSG yang tidak menentu ini?

Sebenernya itu tergantung pada profil risiko yang kita ambil, apakah agresif, moderate, atau konservatif. Jadi bukan tergantung kondisi pasar. Dan saya selalu merekomendasikan profil risiko yang moderate, yakni 40% bluechip, 40% second liner, dan hanya 20% saham-saham jangka pendek, dengan catatan saham jangka pendek ini juga tetap memenuhi kaidah value investing (misalnya meski kinerjanya gak begitu bagus, tapii valuasinya sangat sangat murah).

Namun kalau pasar lagi gak bagus, biasanya disitu ada peluang untuk masuk ke saham-saham bluechip, sehingga alokasi dana untuk bluechip bisa lebih besar. Sebab ketika nanti pasar kembali normal, maka biasanya ASII dkk yang bakal naik duluan.

Dimana saya bisa memperoleh daftar saham-saham dengan dividen yang besar? Seperti BJTM?

Pertama-tama buka website BEI, tepatnya pada  link berikut. Pada kode indeks, cari kode IDXHIDV20. Untuk tahunnya biarkan tahun 2019, lalu klik CARI (yang kotak merah). Nanti ketemu file-nya, download file terbaru yang bulan Juli. Nah, nanti dapet daftar resmi dari BEI, tentang 20 saham yang masuk indeks IDX High Dividen 20, untuk periode Agustus 2019 – Januari 2020. Ke-20 saham ini adalah ADRO, ASII, BBCA, BBNI, BBRI, BBTN, BJBR, BJTM, BMRI, GGRM, HMSP, INDF, INKP, INTP, ITMG, LPPF, PTBA, TLKM, UNTR, dan UNVR.

Daftar 'dividend stock' versi BEI, klik gambar untuk memperbesar

Namun mungkin perlu dicatat bahwa, kalau melihat daftar sahamnya, maka saham yang masuk indeksnya adalah saham dari perusahaan yang membayar dividen cukup besar dibanding nilai laba bersihnya dalam satu tahun/dividend payout ratio-nya besar. DPR ini berbeda dengan dividend yield, yang menunjukkan perbandingan antara nilai dividen dengan harga saham. Selain itu, saham-saham yang di-cover sepertinya hanya bluechip saja, karena saham Sido Muncul (SIDO), yang jelas-jelas DPR-nya diatas 90%, malah gak masuk daftar. Dengan kata lain, menurut penulis daftar ‘saham dividen’ versi BEI diatas tidak akurat, tapi setidaknya bisa memberikan anda sedikit gambaran.

Pak Teguh, kenapa judul postingan kali ini gak nyambung sama isinya?

Karena entah kenapa penulis banyak menerima pertanyaan soal apakah Indonesia akan krisis atau semacamnya? Dimana setelah kita teliti lagi, itu karena sekarang ini ramai pemberitaan tentang isu Brexit yang katanya bisa menyebabkan krisis di Inggris, isu perang dagang, demonstrasi di Hong Kong, termasuk di Indonesia juga kemarin Bapak Jusuf Kalla menyebut soal siklus krisis 10 tahunan (yang kemudian menjadi headline), dan ramai berita PHK Duniatex dll. Jadi ya sekalian saja kita buat judul yang sama.

Tapi apakah betul kondisi ekonomi global, dan juga di dalam negeri, memang lagi krisis, atau menuju krisis? Nah, berhubung di blog ini juga kita sudah lama ngga bahas ekonomi makro, maka soal itu kita akan bahas lengkap minggu depan.

Bolehkah saya juga ikut mengajukan pertanyaan/mengajak diskusi?

Boleh, silahkan tulis saja melalui kolom komentar dibawah, nanti akan dibantu dijawab oleh temen-temen pembaca yang lain.

***

Buku Kumpulan Analisis 30 Saham pilihan ('Ebook Investment Planning') edisi Kuartal II 2019 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini.

Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Halo pak teguh dan teman2 value investor, jika daham sudah murah katakan lah pbv 0.5, tetapi terjadi krisis, itu bsa turun smpe pbv ny jdi brapa pak? Maaf pertanyaan kurang elegan hhe
desta mengatakan…
Maksimal terserah market pak, biasanya mentok gocap
Soft Belle mengatakan…
Bisa aja lu pantuy
Unknown mengatakan…
Terimakasih atas pandangannya pak teguh.
Saya jg ada pertanyaan pak, mengenai sayam2 growth seperti mark dan cleo. Kebetulan saya mulai investasi saham tahun 2017 tepat saat mark dan cleo ipo, jd saya melihat harga sahamnya menanjak terus, bahkan saya sempat keluar masuk krn masih pemula. Tapi sekarang kedua emiten tersebut masih menanjak terutama cleo. Pertanyaan saya bagaimana cara kita menentukan kapan harus keluar dri saham growth, dan apabila kita belum punya sahamnya apa sebaiknya kita abaikan saja tunggu koreksi dalam atau kita masuk saja krn saham tsb masih diharapkan bertumbuh lagi kedepannya? Terimakasih pak
Anonim mengatakan…
@Unknown: sekedar urun pendapat, itu tergantung dari trade plan anda. kalo memang nilainya sudah masuk rencana jual silakan jual sebelum turun (misalnya)
Anonim mengatakan…
Ttg cleo, saya sharing pengalaman, th 2018, pertama kali saya terjun ke dunia saham, sy beli cleo di harga 250(stlh stock split), stlh hold 1 tahun, harganya naik jd 320 di april 2019,sy langsung jual krn ngerasa udh puas dpt untung 20%(maklum msh newbie), tp skrg sy menyesal ternyata cleo msh menanjak sampai 550. Sy jg bingung, pdhl pbv n per cleo sdh tinggi, tp knp harganya bs naik terus?
Anonim mengatakan…
PBV 0
@Unknown: TIdak ada batasan pasti. Ketika semua orang sibuk menjual saham tersebut, maka harganya bisa semakin jatuh lagi. Harga saham akan naik lagi ketika mulai banyak orang yang mau membeli saham tersebut.
Jasa Branding Mobil mengatakan…
@Unknown: Kembali kepada masing-masing investor, apakah menilai suatu saham itu masih murah atau justru sudah mahal.

Untuk kasus CLEO, bisa keluar di saat kita merasa bahwa harga saham sudah terlalu mahal. Jauh di atas nilai intrinsiknya. Atau ketika kita sudah merasa cukup dengan profit yang kita dapatkan.
Jasa Branding Mobil mengatakan…
@Anonim: Karena banyak yang beli. Untuk saham semacam ini, yang pasti jangan sampai jadi yang terakhir aja. Nanti kebagian cuci piringnya aja. hehe
Susanto Arso mengatakan…
Halo pak teguh...seberapa banyak sebaiknya kita pantau saham,agar bisa fokus, untuk di jadikan trading middle term?terima kasih
Unknown mengatakan…
saya termasuk pengkonsumsi saham gorengan imaklum modal hanya cukup ya itu di thn 2020 emiten apa yg prospeknya bagus pak

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?