Inverted Yield Curve, dan Hubungannya Dengan Krisis Ekonomi
Menurut Investopedia, inverted
yield curve, atau secara harfiah bermakna ‘kurva imbal hasil terbalik’,
adalah kondisi dimana instrumen utang di Amerika Serikat, dalam hal ini US
Treasury Bond (surat utang negara) dengan waktu jatuh tempo yang panjang memberikan
hasil/bunga yang lebih kecil dibanding treasury bond jangka pendek.
Disebut terbalik, karena normalnya obligasi jangka panjang (jatuh tempo diatas
10 tahun) memberikan bunga yang lebih besar dibanding obligasi jangka pendek (5
tahun atau kurang). Analoginya sama seperti kalau anda taruh deposito di bank,
dimana semakin lama jangka waktu simpanannya, maka bunganya per tahun akan lebih
besar.
***
Jadwal Value Investing Private
Class: Jakarta,
APL Tower Central Park, Sabtu/Minggu 28/29 September 2019. Info
selengkapnya baca
disini.
***
Nah, kalau di Amerika sana, Pemerintah
secara resmi merilis tingkat suku bunga harian treasury bond untuk bond
mulai dari jangka waktu 1 bulan, hingga paling lama 30 tahun, dimana suku bunga
ini berubah setiap harinya. Dan berikut ini adalah update tingkat bunga
tersebut sepanjang bulan Agustus 2019, yakni tanggal 1 – 16 Agustus (untuk data
lengkapnya, bisa lihat di link berikut):
Date
|
1 Mo
|
2 Mo
|
3 Mo
|
6 Mo
|
1 Yr
|
2 Yr
|
3 Yr
|
5 Yr
|
7 Yr
|
10 Yr
|
||
01/08/19
|
2.11
|
2.14
|
2.07
|
2.04
|
1.88
|
1.73
|
1.67
|
1.68
|
1.77
|
1.90
|
||
02/08/19
|
2.11
|
2.12
|
2.06
|
2.02
|
1.85
|
1.72
|
1.67
|
1.66
|
1.75
|
1.86
|
||
05/08/19
|
2.07
|
2.08
|
2.05
|
1.99
|
1.78
|
1.59
|
1.55
|
1.55
|
1.63
|
1.75
|
||
06/08/19
|
2.05
|
2.08
|
2.05
|
2.00
|
1.80
|
1.60
|
1.54
|
1.53
|
1.62
|
1.73
|
||
07/08/19
|
2.02
|
2.04
|
2.02
|
1.95
|
1.75
|
1.59
|
1.51
|
1.52
|
1.60
|
1.71
|
||
08/08/19
|
2.09
|
2.07
|
2.02
|
1.96
|
1.79
|
1.62
|
1.54
|
1.54
|
1.62
|
1.72
|
||
09/08/19
|
2.05
|
2.06
|
2.00
|
1.95
|
1.78
|
1.63
|
1.58
|
1.57
|
1.65
|
1.74
|
||
12/08/19
|
2.09
|
2.06
|
2.00
|
1.94
|
1.75
|
1.58
|
1.51
|
1.49
|
1.56
|
1.65
|
||
13/08/19
|
2.05
|
2.04
|
2.00
|
1.96
|
1.86
|
1.66
|
1.60
|
1.57
|
1.62
|
1.68
|
||
14/08/19
|
1.98
|
1.98
|
1.96
|
1.92
|
1.79
|
1.58
|
1.53
|
1.51
|
1.55
|
1.59
|
||
15/08/19
|
2.08
|
1.97
|
1.91
|
1.86
|
1.72
|
1.48
|
1.44
|
1.42
|
1.47
|
1.52
|
||
16/08/19
|
2.05
|
1.95
|
1.87
|
1.85
|
1.71
|
1.48
|
1.44
|
1.42
|
1.49
|
1.55
|
Seperti yang bisa anda lihat pada
tabel diatas, tingkat suku bunga tahunan untuk US treasury bond jangka
pendek (1 bulan, 2 bulan, hingga 1 tahun), ternyata malah lebih besar dibanding
bunga untuk bond jangka panjang. Misalnya kita ambil data tanggal 1
Agustus, maka bunga bond 1 bulan tercatat 2.11%, atau lebih besar
dibanding bunga bond 10 tahun, yang tercatat 1.90%.
Dan kondisi diatas adalah sesuatu
yang sangat jarang terjadi, dimana normalnya bunga US treasury bond untuk
1 bulan hanya 0.10 – 0.40% saja, atau jauh dibawah bunga bond 10 tahun,
yang mencapai 3 – 4%. Tapi memang sejak tahun 2018 kemarin, bunga bond jangka
pendek ini pelan-pelan mulai naik, sedangkan bunga bond jangka panjang
sebaliknya pelan-pelan mulai turun. Hingga akhirnya pada tahun 2019 ini, bunga bond
jangka pendek sudah lebih besar dibanding bond jangka panjang. Jadi
ini sama seperti kalau anda taruh deposito di bank dan dapet bunga 3%,
sedangkan untuk tabungan yang dananya boleh ditarik kapan saja, bunganya malah
4%. Masuk akal? Tentu tidak. Tapi di Amerika sana, itulah yang sedang terjadi
sekarang ini.
Okay, jadi sekarang ada dua
pertanyaan: 1. Apa penyebab anomali diatas? Dan 2. Apa hubungannya masalah suku
bunga ini dengan kemungkinan krisis? Untuk itu, mari kita pelajari dulu tentang
US treasury bond sejak awal. Okay, here we go.
Di AS, US treasury bond,
alias surat utang negara yang dijamin langsung oleh pemerintah, dianggap sebagai
instrumen investasi yang paling aman (safe haven), tapi disisi lain
tingkat bunga atau yield yang ditawarkan tentu saja tidak sebesar
obligasi swasta, atau potensi profit di saham. Besaran yield dari treasury
bond ini berubah setiap saat tergantung demand/permintaan investor
terhadap bond itu sendiri, dimana jika permintaannya meningkat maka harganya
akan naik, dan alhasil yield-nya turun. Sementara jika permintaannya
menurun, maka harganya akan turun, dan alhasil yield-nya naik.
Nah, dalam kondisi ekonomi AS
yang normal dengan outlook yang juga stabil, maka investor akan lebih suka
berinvestasi di saham atau obligasi swasta ketimbang menempatkan dana mereka di
treasury bond, karena hasil profitnya lebih besar. Tapi jika para
investor ini berpandangan bahwa ekonomi AS memiliki outlook jangka panjang yang
suram, maka mereka akan mulai membeli treasury bond jangka panjang (10
tahun atau lebih), atau mengalihkan investasi mereka dari treasury bond jangka
pendek ke jangka panjang, dalam rangka mengejar yield yang lebih besar.
Namun ketika terjadi aksi beli besar-besaran terhadap bond jangka
panjang (sehingga yield-nya turun), dan sebaliknya investor ramai-ramai
melepas bond jangka pendek (sehingga yield-nya naik), maka itu
bisa menyebabkan kondisi dimana yield untuk bond jangka pendek
pada akhirnya menjadi lebih besar dibanding yield untuk bond
jangka panjang, dimana kondisi ini disebut dengan istilah inverted yield
curve (kita singkat saja jadi IYC). Dan memang pada tahun 2019 ini,
itulah yang terjadi.
Inverted Yield Curve Sebagai
Indikator Krisis
Okay, lalu apa hubungannya hal
ini dengan kemungkinan terjadinya krisis? Well, itu karena berdasarkan sejarah
sejak tahun 1950-an, setiap kali terjadi IYC, maka beberapa waktu kemudian
terjadi market crash, atau minimal terjadi perlambatan pertumbuhan
ekonomi di AS. Jadi, berdasarkan pergerakan bursa saham New York, maka sejak
tahun 1955 sampai sekarang, AS sudah mengalami setidaknya tujuh kali resesi/market
crash, yakni pada Desember 1969 – Oktober 1970, November 1973 – Februari 1975,
Februari 1980 – Juni 1980, Agustus 1981 – Oktober 1982, Agustus 1990 – April 1991,
Februari 2001 – Oktober 2001, dan terakhir Desember 2007 – Juni 2009. Dan
inilah yang menarik: Biasanya IYC terjadi sekitar 1 – 2 tahun sebelum market
crash itu terjadi. Kita ambil contoh krisis global yang terjadi antara
Desember 2007 – Juni 2009, maka IYC sudah kelihatan sejak penghujung tahun 2005,
dan sepanjang tahun 2006. Demikian pula sebelum pasar jatuh pada tahun 2000 –
2001, maka IYC sudah kelihatan sejak tahun 1999-nya, dimana bunga untuk bond
jangka waktu 1 tahun atau kurang sempat beberapa kali lebih tinggi
dibanding bunga untuk bond jangka waktu 2 tahun atau lebih.
Berdasarkan fakta diatas, maka
jika sejarah kembali terulang, artinya bursa saham New York akan runtuh paling
lambat sekitar 2 tahun sejak IYC pertama kali muncul, akhir tahun 2018 kemarin.
Dan kalau kita kombinasikan dengan faktor-faktor lainnya, maka teori tersebut
menjadi masuk akal. You see, kejatuhan bursa saham hampir selalu diawali dengan
kenaikan harga-harga saham yang sangat tinggi, hingga valuasi mereka menjadi
sangat mahal (valuasi dari 30 saham komponen Dow Jones bisa dilihat disini).
Dan karena Dow Jones sendiri sudah naik banyak dalam 10 tahun terakhir (dari 9,000-an pada Agustus 2009, hingga sekarang sudah 26,000-an. Sebagai perbandingan, selama
10 tahun sebelumnya yakni antara Agustus 1999 hingga Agustus 2009, Dow cenderung stagnan antara 9,000 - 11,000), maka menjadi tidak realistis jika
investor di AS mengharapkan bahwa Dow akan kembali naik setinggi itu dalam 10
tahun kedepan, dan makanya mereka kemudian pindah ke US treasury bond jangka
panjang, yang sudah pasti memberikan bunga 2 – 3% per tahun hingga 10
tahun kedepan.
Sehingga bagi Dow Jones, skenarionya sekarang hanya ada dua: Bergerak stagnan,
atau turun. Kondisi pasar saat ini dimana ada banyak saham-saham teknologi
yang, terlepas dari apakah perusahaannya making money atau tidak, namun mereka
sukses menggelar IPO dengan perolehan dana yang amat sangat besar, dan setelah
itupun sahamnya naik banyak (sebut saja: Facebook, Twitter, Uber, Alibaba,
Snapchat, dst), juga mengingatkan investor
dengan dot com bubble, yang menjadi penyebab jatuhnya bursa saham di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia, pada tahun 2000 – 2001 lalu. Actually,
ketika Dow Jones tampak naik banyak dalam 10 tahun terakhir, maka indeks Nasdaq,
yang merupakan indeks khusus untuk saham-saham teknologi, naiknya lebih banyak
lagi, dari hanya 1,500-an pada penghujung tahun 2008, hingga sekarang sudah
tembus 8,000. Terlepas dari bagaimana prospek industri teknologi kedepannya,
namun bagi investor yang katakanlah entah sudah cuan berapa kali lipat dari
saham-saham seperti Amazon, Apple dst (karena dia sudah masuk sejak 5 – 10
tahun lalu), maka tentu ia akan mulai berpikir bahwa, it’s time to quit. Dan kalau
mereka nanti ramai-ramai keluar, maka ketika itulah Opa Buffett akan mulai
membelanjakan uang tunai US$122 milyar yang masih mengendap di Berkshire.
Baiklah Pak Teguh, jadi kita
harus gimana ini?? Well, pertama, karena secara historikal, krisis baru akan
terjadi sekitar 1 – 2 tahun setelah IYC muncul, maka artinya bursa New York
juga baru akan drop tahun 2020 atau 2021 nanti, itupun kalau terjadi peristiwa
spesifik tertentu yang menjadi katalis krisis, misalnya ada perusahaan
teknologi besar yang bangkrut (jadi sama dengan tahun 2008, dimana Lehman
Brothers bangkrut). Sedangkan untuk saat ini, boleh anda cek, hampir semua
indikator makro menunjukkan bahwa perekonomian Amerika Serikat masih baik-baik
saja. Kedua, berbeda dengan di Amerika sana dimana saham-saham teknologi jelas
sudah overheat, tapi kalau di Indonesia, revolusi industri 4.0 justru
baru dimulai, dan harusnya bisa mendorong ekonomi nasional untuk tumbuh lebih
kencang lagi di masa yang akan datang. Yup, jadi kondisinya sekarang ini memang
mirip dengan sebelum tahun 2008 lalu: Sekitar tahun 2007, ekonomi Indonesia
lagi bagus-bagusnya, didorong oleh booming komoditas (batubara, dan sawit). Tapi
ketika Dow Jones crash di tahun 2008-nya, maka mau tidak mau IHSG ikutan
anjlok. Namun karena penurunan IHSG hampir sepenuhnya disebabkan oleh faktor
eksternal (sedangkan fundamental ekonomi di dalam negeri masih aman-aman saja),
maka di tahun 2009-nya, IHSG langsung naik lagi, bahkan dengan kenaikan yang
mencetak rekor (87.0% dalam setahun).
Nah, jadi kalau nanti Bursa New York
pada akhirnya jatuh juga (dan dalam setahunan terakhir, Dow memang sudah
stagnan/tidak naik lebih tinggi lagi), maka IHSG juga akan jatuh, tapi
kejatuhannya paling lama hanya beberapa bulan saja (pada tahun 2008, IHSG bergerak
turun selama 9 bulan), sebelum kemudian naik lagi dengan cepat. Jadi
kalau misalnya kita bisa masuk persis ketika IHSG berada di titik terendahnya,
maka kita bisa saja menjadi Bapak Lo Kheng Hong selanjutnya! (atau sepersepuluhnya lah, itu lebih realistis) Nah, jadi entahlah
dengan investor lain, tapi penulis saat ini justru excited. Karena setelah
menunggu selama persis 10 tahun (sejak 2009), sepertinya kita akan segera menghadapi
final test, yang menentukan apakah kita memang layak berada di pasar saham (yang kejam ini), atau tidak.
Problemnya tentu, kita tidak pernah
tahu kapan Dow akan crash: Mungkin tahun ini, tahun depan, atau tahun depannya
lagi. Atau bisa saja Dow tidak pernah crash, melainkan hanya stagnan/disitu-situ
saja sampai tahun 2030 nanti. Atau anda mungkin punya tebakan sendiri?
***
Jadwal Value Investing Private
Class: Jakarta,
APL Tower Central Park, Sabtu/Minggu 28/29 September 2019. Info
selengkapnya baca
disini.
Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
https://www.gefraud.com/
Mungkin pak teguh bisa mengecek apakah betul accounting fraud yang dituduhkan itu betul atau tidak?
Setiap hal akan dimulai dr sesuatu yg anomali, saat ini bursa DOW JONES telah mencapai titik tertingginya, sedangkan IHSG terus stagnan Di 6.100 - 6.300 sedangkan asing terus keluar. Untuk info saya asing telah net sell 7,8 T scr YTD. Artinya asing saja suda keluar utk cari posisi aman dulu.
N sy lihat krn BEI mendengungkan menabung saham sejak th 2016, maka skg bursa kita tidak akan jatuh cepat spt tahun sebelumnya, krn skg banyak investor lokal yg nampung. Tp utk scr jgk menengah bursa kita hanya akan bergerak stagnan, krn harga hanya bs dgerakkan oleh big money utk naik. Tp jk utk jgk pjg diliha scr skg ini, hanya tingal asing saja, jk asing masi terus buang saham yg suda dtampung lama maka IHSG jelas akan jatuh dbawah 6.000.
Sy setuju dgn Pak Teguh skg tersera kita-kita akan menebak kemana arah pasar?? Apakah akan menunggu sampai dalam? Atau masih yakin akan terus naik? Atau yakin bursa masih akan aman-aman saja krn ekonomi indonesia masih baik?
jk hal itu dtanyakan kpd saya? Apa yg akan sy lakukan? Sy tetap akan ad dbursa namun dgn dana yg jauh lebih kecil sampai menunggu apa yg akan terjadi dbursa alias CASH jauh lebih besar.
Thx u alot..