Misteri Saham Sritex (SRIL)
PT Sri Rejeki Isman, Tbk, atau
lebih dikenal dengan Sritex (SRIL), menjadi emiten pertama yang merilis laporan
keuangan (LK) untuk periode Kuartal II 2019, dimana hasilnya sekilas tampak
sangat baik: Labanya naik menjadi US$ 63 juta dibanding US$ 56 juta pada periode
yang sama tahun sebelumnya, dengan annualized ROE mencapai 21.8%. Disisi lain pada harga saham 340, PBV-nya cuma 0.9 kali, dengan PER 3.9
kali. Dengan indikator fundamental seperti itu, maka harusnya sahamnya
bakal langsung lompat segera setelah LK-nya keluar, dan memang pada hari ini
SRIL sempat lompat ke 352 dengan volume transaksi yang sangat besar (lebih dari
2 milyar lembar saham), tapi somehow dia balik lagi ke 340, sebelum akhirnya ditutup di 344.
Kemudian jika kita perhatikan pergerakan sahamnya selama setahunan terakhir,
maka SRIL memang nyaris tidak pernah beranjak dari level 340 – 350, tak peduli
IHSG naik atau turun, dan tak peduli meski saham-saham lain dengan kualitas
fundamental yang sama sudah pada terbang semua. Jadi ada apa ini??
***
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook
Investment Planning) edisi Kuartal II 2019 akan terbit hari Kamis, 8 Agustus 2018, dan Anda
sudah bisa memesannya pada link
berikut. Tersedia preorder discount bagi investor yang subscribe sebelum tanggal
8 Agustus.
***
Sritex, seperti yang mungkin anda
ketahui, adalah perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, dalam
hal ini jika Grup Indorama tidak dihitung/lebih dianggap sebagai perusahaan
kimia, yang bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Produk yang dibuat perusahaan
meliputi benang, kain tenun, kain jadi, hingga pakaian jadi untuk seragam militer, seragam
instansi/perusahaan, dan fashion. SRIL adalah supplier utama seragam untuk TNI/Polri,
dan juga supplier bagi banyak merk fashion terkemuka di dunia seperti H&M
dan Uniqlo. Sekitar dua pertiga pendapatan SRIL berasal dari pasar ekspor, sehingga
laporan keuangannya kemudian disajikan dalam mata uang US Dollar. Ketika pendiri perusahaan, Haji Muhammad Lukminto, wafat pada tahun 2014, SRIL sudah menjadi berubah
total dari tadinya hanya sebuah toko kecil yang menjual kain di Pasar Klewer,
Solo, menjadi salah satu raksasa tekstil Asia Tenggara, dengan total aset US$
699 juta, dan ekuitas US$ 231 juta.
Namun di tangan generasi kedua
perusahaan, yakni duet kakak beradik Iwan Setiawan dan Iwan Kurniawan, SRIL bahkan melompat
lebih tinggi lagi, dimana hingga pada Kuartal II 2019, perusahaan sudah membukukan
total aset US$ 1.4 milyar, dan ekuitas US$ 575 juta. Yep, jadi tak lama
setelah SRIL IPO pada bulan Juni 2013, manajemen langsung gerak cepat dengan juga
menerbitkan obligasi di Singapura, dan dana yang terkumpul kemudian digunakan untuk memperluas
kompleks pabriknya di Sukoharjo, dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi hingga dua kali lipat. Ekspansi besar-besaran yang sebenarnya
agak berisiko itu ternyata sukses, dimana SRIL tidak kekurangan permintaan dari
para pelanggannya, terdapat kurang dari 1% produknya yang di-retur/dikembalikan
oleh konsumen karena rusak dll, terdapat kurang dari 1% produknya yang dikirim
tidak tepat waktu, dan tidak pernah terjadi penghentian produksi kecuali yang disengaja.
Jika diperhatikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kesuksesan perusahaan.
Pertama, karena pasarnya lebih banyak ekspor, maka naik turunnya kondisi
ekonomi dalam negeri termasuk fluktuasi Rupiah menjadi tidak berpengaruh. Dan
karena produk yang dijual adalah tekstil dan garment, yang notabene merupakan
kebutuhan primer masyarakat dunia, maka permintaannya juga tidak pernah turun.
Kedua, gaji karyawan yang
terhitung murah (karena lokasi pabriknya di Sukoharjo, dimana UMR disana cuma
Rp1.7 juta per bulan), plus beban bunga utang yang murah (obligasinya cuma
dikenai bunga 8.25% per tahun), menyebabkan margin laba perusahaan menjadi
besar. Dan ketiga, manajemen fokus di bidang yang merupakan keahlian mereka, yaitu
tekstil, dimana ekspansi yang dilakukan selama ini adalah dengan memperbesar
kapasitas produksi, jadi bukan dengan masuk ke bidang usaha lain dimana
manajemen masih harus belajar lagi. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan Tiga
Pilar Sejahtera Food (AISA), sebuah perusahaan yang juga berasal dari Sukoharjo, dan pemiliknya juga banyak berekspansi sejak tahun 2007 lalu, tapi hasilnya berbanding
terbalik dengan SRIL, yang mungkin karena ekspansinya kesana kemari dimana
mereka bikin bihun, mie kering, makanan ringan, beras, perkebunan kelapa sawit,
sampai membangun pembangkit listrik segala. Dalam banyak kesempatan, penulis
selalu mengatakan bahwa perusahaan yang bagus adalah yang fokus di bidangnya,
kecuali jika perusahaan tersebut adalah perusahaan holding, misalnya
Astra International (ASII). Karena meski ASII unit usahanya macem-macem, tapi untuk
setiap unit usahanya ASII memiliki anak-anak usaha yang fokus
menjalankan satu bidang usaha tersebut, seperti AALI fokus di perkebunan
kelapa sawit, UNTR fokus di tambang batubara, dan seterusnya.
Kenapa SRIL gak mau naik?
Dengan track record pertumbuhan perusahaan
yang sangat baik, statusnya sebagai perusahaan yang besar, mapan, dan populer,
plus keberadaan sejumlah faktor diatas yang memungkinkan perusahaan untuk
terus melanjutkan kinerja apik-nya di masa yang akan datang, maka saham SRIL juga
seharusnya naik banyak dalam jangka panjang. Namun hingga ketika artikel ini
ditulis, SRIL hanya berada di level 340, atau hanya naik relatif sedikit dibanding
posisinya ketika IPO lima tahun lalu di level 240, padahal selama lima tahun
tersebut perusahaan tidak pernah menggelar right issue ataupun private
placement. Kemudian seperti yang disebut diatas, sering terjadi saham SRIL
tidak naik ataupun turun dalam waktu yang cukup lama (hingga setahun, atau
lebih), tak peduli meski IHSG naik atau turun. Berdasarkan pengalaman penulis
sendiri, kalau ada perusahaan dengan fundamental bagus/ROE-nya konsisten di
level 20%, prospeknya cerah, dan valuasinya juga murah, maka meski kadang kita
perlu nunggu lama sampai dia naik, tapi harusnya gak sampai 1 – 2 tahun juga, apalagi
jika saham tersebut sangat likuid seperti halnya SRIL ini (kalau saham yang
tidak likuid memang kadang suka susah naik bahkan meski fundamentalnya bagus,
karena investor biasanya hanya mau beli saham-saham yang ramai diperdagangkan).
Jadi apa masalahnya? Well,
entahlah. Tapi diluar periode dimana sahamnya dieeeem saja selama
berbulan-bulan, maka ada juga periode dimana SRIL naik dan turun secara sangat signifikan tanpa adanya
penyebab yang jelas. Contohnya pada bulan Januari – Oktober 2014, dimana
SRIL entah kenapa jeblok dari 300 sampai mentok di 120. Penulis katakan ‘entah
kenapa’, karena di periode yang bersamaan IHSG justru naik banyak (totalnya
22.3% sepanjang tahun 2014), sedangkan kinerja SRIL ketika itu juga sama
bagusnya seperti sekarang. Tapi memasuki bulan Februari 2015, SRIL tiba-tiba
saja naik dengan cepat dari 150 hingga menembus 480 di bulan Juli-nya, atau terbang
lebih dari tiga kali lipat hanya dalam waktu lima bulan! Dan lagi-lagi,
kenaikan SRIL tersebut terjadi justru ketika IHSG bergerak turun. Hal yang
tidak wajar lainnya adalah, mau itu sahamnya naik, turun, atau bergerak
mendatar, namun nilai transaksi harian sahamnya selalu besar, atau bahkan
sangat besar dimana pada hari-hari tertentu, termasuk pada hari Kamis, 17 Juli ini,
nilai transaksi saham SRIL bahkan bisa tembus diatas Rp700 milyar. Sebagai
perbandingan, nilai transaksi 10 saham dengan market cap terbesar di BEI
biasanya hanya Rp200-an milyar per hari, tapi saham SRIL ini bahkan lebih ‘encer’
lagi.
Nah, jadi anda mengerti maksud
penulis bukan? Yep, meski perusahaannya sejatinya bagus, tapi masalahnya justru
di sahamnya yang merupakan saham gorengan, dalam pengertian bahwa SRIL
ini tidak pernah bergerak berdasarkan analisa fundamental serta mekanisme pasar yang wajar seperti
kebanyakan saham lainnya. Actually dalam hal ini SRIL tidak sendirian, karena di BEI ada juga
sejumlah emiten lain yang sahamnya sering naik turun sendiri tanpa penyebab fundamental
yang jelas, dan juga dengan volume transaksi yang sangat besar. Contohnya yang sudah
pernah dibahas di blog ini, Trada Alam
Minera (TRAM), Benakat
Integra (BIPI), hingga Rimo
Internasional (RIMO). Biasanya saham-saham model gini disukai para trader
spekulan karena sering tiba-tiba naik banyak dalam waktu sangat singkat,
misalnya 100% atau lebih dalam waktu gak sampai sebulan, sekali lagi, tanpa
penyebab yang jelas. Tapi bagi investor fundamentalis, kita tentu saja
menghindari saham-saham diatas. Termasuk SRIL, yang meski di tahun 2014 – 2015
lalu sempat jadi menu wajib penulis karena memang fundamentalnya mengesankan,
tapi kesininya kita jarang memasukkan sahamnya ke dalam planning,
bahkan sekedar masuk watchlist pun nggak.
Okay Pak Teguh, tapi bukannya
diatas panjenengan sendiri bilang kalau SRIL ini sejatinya bagus? Jadi dia
jelas beda dengan TRAM dkk dong, karena kalau mereka sih memang fundamentalnya
nol besar toh?? Yep, SRIL memang bagus, dan juga murah, sangat murah malah
untuk ukuran saham dari perusahaan yang cukup populer. Dan faktanya kalau anda
beli sahamnya akhir tahun 2014 lalu, kemudian hold barang setahun, maka anda
bakal cuan besar. Demikian pula kalau anda masuk ke SRIL pada akhir tahun 2016,
dimana sahamnya kemudian naik banyak dari 220 sampai tembus 400, setahun
kemudian.
Jadi keputusannya sekarang di
tangan anda sendiri: Kalau anda percaya bahwa SRIL ini eventually akan
naik juga, mengingat PBV-nya sekarang sudah sama dengan PBV-nya waktu di harga
220, tahun 2016 lalu (sama-sama 0.9 kali), then go ahead! Jika beruntung, maka
SRIL bisa saja lompat ke 500 lagi dalam waktu tidak sampai tiga bulan dari
sekarang, dan bonusnya kita gak perlu khawatir dengan naik turunnya IHSG,
karena SRIL ini punya pergerakan sendiri. Tapi disisi lain jika anda kurang beruntung,
maka peristiwa di awal tahun 2014 dan awal 2016 lalu bisa saja terulang
kembali, dimana SRIL entah gimana ceritanya turun sendiri. Thus, jika anda
tidak mau mengambil risiko berada di posisi yang 'kurang beruntung', maka jangan khawatir karena kita masih
punya banyak pilihan emiten lain yang juga berkinerja bagus, dan valuasinya juga murah, namun pergerakan
sahamnya jauh lebih selaras dengan fundamental serta valuasinya tersebut. Dan mumpung
sekarang sudah masuk musim laporan keuangan Kuartal II 2019, maka kalau nanti penulis nemu saham bagus lagi, kita akan membahasnya di blog ini.
PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (SRIL)
Rating Kinerja pada Kuartal II
2019: A
Rating Valuasi Saham pada 340: A
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook
Investment Planning) edisi Kuartal II 2019 akan terbit hari Kamis, 8 Agustus 2018, dan Anda
sudah bisa memesannya pada link
berikut. Tersedia preorder discount bagi investor yang subscribe sebelum tanggal
8 Agustus.
Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar