Investasi vs Melunasi Utang: Mana Yang Harus Didahulukan?
Kemarin penulis menerima satu
pertanyaan menarik, ‘Pak Teguh, saya seorang karyawan yang tiap bulan
menyisihkan gaji untuk diinvestasikan di saham. Disamping itu saya juga
menerima bonus tahunan diluar gaji sebesar kurang lebih Rp60 juta. Uang bonus ini
sebaiknya saya setor juga ke sekuritas, atau dipakai untuk melunasi utang terlebih
dahulu? Soalnya rumah saya masih KPR, dan juga masih ada cicilan mobil.’ Nah, berhubung
sekarang ini investasi saham tidak lagi monopoli para pengusaha yang biasanya
gak punya masalah dengan cashflow sehari-hari dan juga gak punya utang pribadi (kecuali terkait usahanya), melainkan juga para karyawan atau bahkan juga
mahasiswa yang masih belajar mengatur keuangan, maka pertanyaan ini menjadi
penting untuk dijawab. Okay, kita langsung saja.
***
Jadwal Kelas Value Investing: Investasi Saham untuk Tabungan Jangka Panjang, Jakarta & Surabaya, 24 & 31 Agustus 2019. Info selengkapnya baca disini.
***
Terkait pertanyaan diatas, maka kalau
anda sudah lama mengikut blog Indonesia Value Investing ini, anda mungkin bisa langsung menebak jawaban penulis: Sebaiknya lunasi dulu semua utang, lalu baru
invest. However, beberapa perencana keuangan mungkin menyarankan hal yang
berbeda. Contohnya kalau anda punya cicilan KPR rumah dengan bunga 9 – 12% per
tahun, kemudian anda sewaktu-waktu dapet bonus dari kantor, maka gak apa-apa
kalau uang bonus tadi tidak dipakai untuk melunasi KPR, melainkan langsung
dibelikan saham saja. Sebab dengan strategi investasi yang konservatif saja,
misalnya dengan hanya membeli saham-saham bluechip (BBCA dkk), maka kita bisa
dapet 20 – 25% per tahun, alias lebih besar dibanding bunga KPR tadi. Sehingga
kalau kita pakai uang bonus tadi untuk melunasi KPR, maka kita boleh dibilang ‘rugi
cuan’ sekitar 11 – 13% per tahun. Atau bahkan, penulis pernah mendengar seorang
‘pakar’ mengatakan bahwa kalau anda punya rumah (yang sudah lunas, jadi gak
ada cicilan KPR lagi), maka sertifikat rumah itu bisa digadaikan saja. Karena
nantinya anda cuma perlu bayar bunga 8 – 9% per tahun ke bank, sedangkan uang
hasil gadainya bisa diputar di saham dan menghasilkan cuan setidaknya 20% per tahun,
belum termasuk dividen.
Nah, sejumlah saran diatas
mungkin terdengar masuk akal. Dan kalau misalnya anda memperoleh gaji bulanan
yang nilainya jauh lebih besar dibanding cicilan KPR (plus cicilan-cicilan
lainnya, kalau ada), sedangkan anda tahu bahwa anda akan terus menerima gaji
tersebut, maka kenapa juga harus buru-buru melunasi utang-utang tadi? Tapi
penulis sendiri tetap menjawab seperti diatas: Lunasi dulu semua utang, lalu
baru invest. Dan terdapat setidaknya dua argumen untuk itu. Pertama, memang
benar bahwa kalau kita invest di saham, secara konservatif kita bisa memperoleh
rata-rata profit kurang lebih 20% per tahun. Kalau kita ambil contoh beberapa
saham populer seperti BBCA, BBRI, hingga TLKM, maka dalam 10 tahun terakhir
atau lebih lama lagi, CAGR (compounding annual growth rate) saham-saham
tersebut berkisar antara 15 – 20% per tahunnya, belum termasuk dividen.
Masalahnya adalah, bahkan untuk ‘saham-saham
super’ diatas sekalipun, kenaikan mereka tidak konsisten dari tahun ke
tahun. Contohnya BBRI, yang meski CAGR-nya dalam 10 tahun terakhir mendekati
20%, tapi jangan bayangkan bahwa BBRI secara konsisten terus naik sebesar 20% setiap
tahun sejak tahun 2009 lalu sampai sekarang, melainkan pernah pada tahun 2016
lalu BBRI hanya naik 4%. Demikian pula kalau anda ambil saham lain, dimana
dengan asumsi saham tersebut bergerak naik dan turun sesuai dengan pergerakan IHSG,
maka ingat bahwa dalam 10 tahun terakhir, IHSG pernah ditutup turun pada akhir
tahun sebanyak tiga kali, yakni tahun 2013, 2015, dan 2018 lalu.
Nah, jadi katakanlah anda
menggadaikan rumah dimana anda kemudian harus bayar bunga sekian persen per tahun, tapi
di tahun tertentu investasi saham anda minus karena IHSG-nya juga lagi jeblok.
Maka apakah orang bank untuk tahun itu tidak akan menagih cicilan, karena tahu
bahwa anda sedang rugi? Nggak kan?? Namanya bank ya gak mau tau: Mau investasi anda
untung atau rugi, itu cicilan harus tetap dibayar! Kalau nggak, ya siap-siap aja
balik lagi ke rumah mertua, karena rumah anda akan disita.
Itu pertama. Kedua, pernahkah
anda berpikir bahwa bahkan kalaupun anda tidak punya cicilan, maka anda tetap
harus keluar uang secara rutin setiap bulannya, yakni untuk kebutuhan
sehari-hari? Nah, pernahkah anda melihat bahwa biaya yang keluar untuk
makan, transport, pulsa internet, bayar listrik, dll, itu juga sebenarnya merupakan
utang? Seperti halnya cicilan KPR tadi, ‘utang’ dalam bentuk kebutuhan
sehari-hari ini juga mau tidak mau harus kita bayar secara rutin, tanpa ada
jeda libur sama sekali (kecuali kalau anda sekeluarga berhenti makan selama
katakanlah 1 minggu, tapi kan itu gak mungkin), dan biasanya pula dengan nilai
yang meningkat dari waktu ke waktu. Contohnya kalau anak anda sebelumnya
masih SD, maka biaya sekolahnya adalah sekian, tapi ketika dia naik jenjang ke
SMP, maka otomatis biayanya akan naik. Dan seterusnya.
Jadi maksud penulis adalah,
bahkan kalaupun anda tidak punya cicilan apa-apa, maka anda sejatinya tetap
memiliki 'cicilan utang' dalam bentuk tanggungan bagi diri anda sendiri dan keluarga,
termasuk untuk tunjangan pensiun nanti. Sudah tentu, asalkan anda memiliki
pekerjaan dan penghasilan yang layak, maka biaya sehari-hari ini harusnya tidak
akan jadi masalah. Tapi kecuali jika anda adalah pengusaha yang seperti penulis sebut diatas, gak punya masalah dengan cashflow sehari-hari (seorang pengusaha biasanya tanggungannya tidak lagi hanya sebatas dirinya dan keluarganya sendiri, tapi juga para karyawannya), maka soal 'utang kebutuhan sehari-hari' ini tetap harus diperhatikan, agar tidak sampai terjadi kondisi besar pasak daripada tiang. Karena gaji dan bonus sebesar apapun sebenarnya percuma saja kalau pengeluarannya lebih besar lagi, terutama jika anda tinggal di kota besar yang apa-apa serba mahal, dan terdapat tuntutan gaya hidup.
Nah, soal agar tidak terjadi kondisi besar pasak tadi, maka ada banyak yang bisa dilakukan, biasanya dengan menekan pengeluaran. Contohnya kalau anda selama ini makan di kantin kantor yang mahal, maka bisa mulai bawa bekal dari rumah, dan anda beralih dari nyetir mobil sendiri ke naik MRT (kita akan bahas ini lebih lanjut di lain kesempatan).
Tapi beda ceritanya kalau anda punya utang: Angka cicilannya ya tetap segitu, gak bisa kurang, dan juga gak bisa ditunda pembayarannya. Dalam banyak kasus, ini bisa menyebabkan seseorang menjadi merasa tertekan, misalnya jika sewaktu-waktu timbul kebutuhan mendadak sehingga sisa gaji yang ada tidak cukup untuk membayar cicilan tersebut. Nah, jadi menurut anda sendiri, apakah seorang investor akan bisa fokus pada kegiatan investasinya, jika di waktu yang bersamaan ia juga harus mikir soal bagaimana menutup tagihan utang-utangnya? Perlu diketahui bahwa di perusahaan besar sekalipun, maka asalkan perusahaan itu tidak memiliki utang yang tidak bisa dibayar, maka mereka tidak akan sampai bangkrut, tak peduli meski mereka membukukan rugi besar pada tahun-tahun tertentu.
Nah, soal agar tidak terjadi kondisi besar pasak tadi, maka ada banyak yang bisa dilakukan, biasanya dengan menekan pengeluaran. Contohnya kalau anda selama ini makan di kantin kantor yang mahal, maka bisa mulai bawa bekal dari rumah, dan anda beralih dari nyetir mobil sendiri ke naik MRT (kita akan bahas ini lebih lanjut di lain kesempatan).
Tapi beda ceritanya kalau anda punya utang: Angka cicilannya ya tetap segitu, gak bisa kurang, dan juga gak bisa ditunda pembayarannya. Dalam banyak kasus, ini bisa menyebabkan seseorang menjadi merasa tertekan, misalnya jika sewaktu-waktu timbul kebutuhan mendadak sehingga sisa gaji yang ada tidak cukup untuk membayar cicilan tersebut. Nah, jadi menurut anda sendiri, apakah seorang investor akan bisa fokus pada kegiatan investasinya, jika di waktu yang bersamaan ia juga harus mikir soal bagaimana menutup tagihan utang-utangnya? Perlu diketahui bahwa di perusahaan besar sekalipun, maka asalkan perusahaan itu tidak memiliki utang yang tidak bisa dibayar, maka mereka tidak akan sampai bangkrut, tak peduli meski mereka membukukan rugi besar pada tahun-tahun tertentu.
Okay Pak Teguh, I got it. Jadi
intinya kalau ada rejeki lebih, sedangkan kita masih punya utang tertentu, maka
kita lunasi dulu utang tersebut, dan kalau ada sisanya baru disetor ke
sekuritas.
Cuma masalahnya pak, gaji saya tiap
bulan ya segitu-gitu aja, tanpa ada bonus sama sekali. Sehingga mau melunasi
utang KPR itu juga nggak bisa karena memang gak ada duitnya. Kalau gitu gimana
dong? Nah, dalam hal ini maka anda tidak perlu buru-buru melunasi utang KPR,
karena meski memang jadinya kita tetap terbebani oleh cicilan beserta bunga,
tapi sebagai gantinya kita memperoleh aset fisik berupa rumah. Menurut penulis
sendiri, adalah sangat penting bagi investor untuk memiliki aset fisik, dalam
hal ini rumah. Karena aset berupa rumah ini nilainya akan naik dari tahun ke
tahun, atau minimal tidak akan turun, sehingga itu menjadi semacam bumper bagi
portofolio kita di saham, yang nilainya bisa naik dan turun setiap saat. Dengan
kata lain, kita boleh saja rugi besar di saham, entah itu karena IHSG anjlok,
salah masuk di AISA,
atau memang kita masih harus banyak belajar saja. Tapi selama kita masih punya tanah untuk berpijak, maka itu sudah lebih dari cukup. Sekedar catatan, setiap kali Majalah Forbes menghitung nilai kekayaan seorang tokoh investor/pengusaha, maka
aset-aset berupa tanah, pabrik, kepemilikan saham perusahaan dll semuanya dihitung, kecuali
nilai dari tempat tinggal utama (primary residence) yang ditempati oleh si pengusaha itu tadi (jadi nilai primary residence ini dianggap nol). Karena sebangkrut-bangkrutnya si pengusaha, gak mungkin
juga dia sampai menjual rumahnya kemudian pindah ke kontrakan bukan?
Karena itu pula, ketika penulis
cuan besar untuk pertama kalinya di tahun 2011, maka yang pertama-tama saya
lakukan adalah membeli rumah kecil di Jakarta Selatan secara tunai, dan setelah
itu baru fokus lagi di saham. Tapi andaikan penulis tidak punya rejeki lebih
untuk membeli rumah secara tunai, maka saya akan tetap mengangsur secara KPR,
karena itu tadi: Meski porto kita di saham bisa naik dan turun setiap saat, namun
kita akan tetap tenang dan rasional dalam mengelola portofolio, karena
sadar bahwa dalam kondisi terburuk sekalipun, maka paling tidak kita masih
punya atap untuk berteduh. Actually, ini juga kenapa penulis masih bertahan di
pasar sampai hari ini, dan sama sekali tidak tertarik dengan metode investasi
ataupun instrumen investasi lain diluar saham, tak peduli meski entah sudah berapa
kali kita menghadapi goncangan pasar.
Home sweet home. Selain di Jakarta, sejak tahun 2017 lalu penulis juga punya satu lagi rumah di Bandung, Jawa Barat. Diluar dua aset fisik ini, barulah semua cash kita taruh di saham. |
Okay, jadi kesimpulannya kalau
anda punya rejeki lebih, maka sebelum telpon broker untuk setor lagi, terlebih
dahulu lunasi semua atau sebagian utang yang anda tanggung, dan milikilah aset
fisik dalam bentuk primary residence. Sedangkan kalau penghasilan anda
masih terbatas, maka coba cek lagi: 1. Apakah anda sudah memilik aset fisik,
minimal dalam bentuk rumah yang masih dalam kredit KPR? Dan 2. Apakah anda punya utang yang tidak terlalu perlu, misalnya cicilan mobil, sedangkan anda
sejatinya bisa beli mobil second yang lebih murah secara tunai? Jika
jawabannya adalah 1. Belum gan, dan 2. Iya punya, then you know what to do.
Jadwal Kelas Value Investing: Investasi Saham untuk Tabungan Jangka
Panjang, Jakarta & Surabaya, 24 & 31 Agustus 2019. Info
selengkapnya baca
disini, tersedia diskon earlybird bagi peserta yang mendaftar sebelum
tanggal 10 Agustus.
Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
Salam.
1. Secara psikologis, hutang juga mendorong orang untuk merasa kaya (padahal gak kaya) apalagi kalo pas cek saldo tabungan/portfolio investasi masih ada sekian ratus juta/sekian milyar. Bikin lupa masih punya hutang (KPR+KKB) yang jauh lebih besar daripada saldo tabungannya/portfolio investasinya.
2. Banyak orang yang membenarkan hutang KPR untuk rumah utamanya (tentu saja dengan jumlah cicilan super maksimal dibanding gajinya) dengan asumsi adanya kenaikan harga rumah. Hello, rumah utama itu bukan asset! Gak seperti saham/instrument investasi lainnya. Anda bisa jual saham hari ini, laku hari ini dan dapat capital gain hari ini. Kalo rumah? Anda pasang iklan dulu 3 bulan, nego harga, bayar calo, urus surat-surat, terus setelah laku Anda harus pindah ke kontrakan atau menjadi gelandangan karena sudah gak punya rumah utama lagi.
Tambahan solusi: Karyawan sulit untuk melunasi KPR, tapi mereka biasanya punya bonus tahunan/THR, mereka dapat gunakan itu untuk turun pokok KPR sebagian sehingga menurunkan beban bunga, sekaligus menurunkan dorongan konsumtif untuk menghambur2kan bonus/THR nya.