Prospek Bali United FC: Valuasi Setara Inter Milan??

Ketika PT Bali Bintang Sejahtera, Tbk (BOLA), yang merupakan perusahaan pemilik klub sepakbola Bali United FC, mengumumkan akan IPO, maka penulis menerima banyak pertanyaan dari investor yang juga mengaku sebagai pecinta olahraga sepakbola, terkait prospek dari BOLA ini. Yep, karena kalau melihat industri sepakbola itu sendiri yang digandrungi oleh milyaran penggemar di seluruh dunia termasuk di Indonesia, maka prospek BOLA ini sekilas sangat menarik. Dan kalau misalnya anda adalah supporter dari Bali United itu sendiri, maka terdapat kepuasan tersendiri jika kita bisa menjadi pemilik perusahaan, meski hanya 1 lot sahamnya. Tapi sekarang kita balik lagi ke pertanyaan umum investor: Apakah Bali United FC ini memang menguntungkan?

***

Buku Analisa IHSG, Strategi Investasi, dan Stockpick Saham (Ebook Market Planning/Ebook Bulanan) edisi Juli 2019 akan terbit tanggal 1 Juli mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio dll untuk subscriber selama masa berlangganan.

***

Dibanding klub-klub sepakbola lainnya di Indonesia yang memiliki sejarah panjang, katakanlah seperti Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan Persib Bandung, yang masing-masing berdiri pada tahun 1927, 1928, dan 1933, maka usia Bali United terbilang masih sangat belia karena baru berdiri tahun 2015, ketika itu merupakan rebranding dari Persisam Putra Samarinda. Jadi ceritanya Persisam jatuh bangkrut dan diakuisisi oleh pengusaha bernama Pieter Tanuri, yang kemudian membawa klub pindah dari Samarinda ke Gianyar, Bali, dan memberinya nama baru: Bali United. Bali United kemudian dibangun kembali dari nol, dan saat ini mereka berbagi kandang dengan Persegi Gianyar FC di Stadion Kapten I Wayan Dipta di Kabupaten Gianyar, Bali.


Nah, sebelum kita membahas BOLA, pertama-tama kita telisik dulu industri sepakbola itu sendiri. Perusahaan pemilik klub sepakbola umumnya memperoleh pendapatannya dari tiga segmen utama: Tiket pertandingan, hak siar, dan sponsor. Dan inilah yang perlu dicatat: Untuk dua segmen yang disebut terakhir, yakni hak siar dan sponsor, itu baru berkontribusi menjadi pendapatan dalam dua atau tiga dekade terakhir. Yep, karena meski klub dan kompetisi sepakbola profesional pertama di dunia sudah ada sejak penghujung abad ke-19, yakni di Inggris, namun siaran langsung pertandingan sepakbola di televisi baru ada sejak tahun 1960-an, juga di Inggris, dan pertandingan-pertandingan sepakbola baru disiarkan secara rutin pada dekade 1980 – 1990an. Siaran langsung televisi menyebabkan jumlah penonton pertandingan menjadi jauh lebih banyak, dimana penonton di Indonesia bahkan bisa menyaksikan pertandingan di Italia. Thus, klub sepakbola mulai menarik minat perusahaan untuk menjadi sponsor.

Jadi sebelum tahun 1980-an, pendapatan klub sepakbola hanya berasal dari tiket pertandingan saja, dan pada masa-masa ini sebuah klub sepakbola sangat sulit untuk bisa membukukan keuntungan, karena pendapatan tiket itu biasanya akan langsung habis untuk membayar gaji pemain dll. Tapi bahkan ketika sekarang ini klub-klub sepakbola mulai memperoleh pendapatan dari hak siar dan sponsor, maka pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir klub yang benar-benar besar dan populer saja, yang memiliki suporter tidak hanya dari kota asalnya, tapi juga dari seluruh dunia. Contohnya seperti Manchester United, Juventus, Bayern Munchen, Real Madrid, dan Barcelona. Diluar itu, klub-klub sepakbola biasanya memiliki posisi tawar yang lemah dihadapan stasiun televisi sebagai pembeli hak siar, atau perusahaan yang hendak menjadi sponsor, karena jumlah fans mereka terbatas. To put it into perspective, meski Manchester United dan Huddersfield Town sama-sama berlaga di English Premier League pada musim 2018 – 2019 kemarin, namun MU memperoleh guyuran £47 juta per tahun dari Chevrolet sebagai sponsor utamanya, sedangkan Huddersfield hanya menerima £1.5 juta dari Ope Sports. Hal ini sangat wajar, tentu saja, mengingat MU memiliki lebih dari ratusan juta penggemar di seluruh dunia, sedangkan jumlah pendukung Huddersfield hanya berkisar di angka puluhan ribu saja.

Karena itulah, bahkan di Inggris sendiri yang dikenal sebagai ‘home of football’, sekitar 60% klub disana masih membukukan rugi pada dekade 2000-an lalu. Kinerja laba bersih klub-klub sepakbola Inggris baru menjadi positif, dan industri sepakbola itu sendiri mulai tampak profitable, setelah dalam 5 – 10 tahun terakhir ini para klub sepakbola mulai menemukan sumber pendapatan yang baru lagi, mulai dari perdagangan merchandise, lisensi untuk video game dll, mobile media, hak siar streaming, dan media sosial.

Tapi lagi-lagi, yang diuntungkan dari sumber-sumber pendapatan baru itu tetap hanya klub-klub besar saja, dan Liga Inggris pada saat ini terbilang profitable karena jumlah klub besarnya, dalam hal ini klub yang memiliki jutaan fans dari seluruh dunia, adalah yang paling banyak yakni enam klub (MU, Manchester City, Arsenal, Liverpool, Chelsea, dan Tottenham), dan ini berbeda dengan liga eropa lainnya dimana klub besarnya biasanya hanya ada dua atau tiga klub. Thus, kita bisa katakan bahwa diluar Liga Inggris, maka kinerja klub sepakbola di liga-liga di negara lainnya termasuk Italia, Spanyol, dan Jerman sekalipun, rata-rata masih merugi, atau cuma untung sedikit saja.

Okay, lalu bagaimana dengan prospek industri sepakbola di Indonesia?

Seperti halnya di banyak negara lain, bisnis sepakbola di Indonesia juga tidak menguntungkan, terlihat dari banyaknya klub yang bergantung pada APBD pemda setempat untuk biaya operasionalnya, karena pendapatan tiket sama sekali tidak mencukupi, sedangkan pendapatan hak siar dan sponsor juga masih kelewat kecil. Jadi ketika Pemerintah pada tahun 2011 melarang penggunaan APBD untuk operasional klub, maka satu persatu klub sepakbola ‘profesional’ di tanah air bertumbangan. Beruntung, beberapa klub menerima suntikan dana dari pengusaha atau perusahaan swasta, dimana para pengusaha ini kemudian menjadi pemilik dari klub yang bersangkutan. Contohnya Persib Bandung, yang pada tahun 2010 diambil alih oleh seorang venture capitalist, Glenn Sugita, dan kemudian dibentuk badan hukum bernama PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB). Masuknya Mr. Sugita ke Persib ini kemudian mendorong para pemilik modal lainnya untuk juga melakukan hal yang sama, salah satunya Pieter Tanuri, yang masuk dan mendirikan Bali United.

Tapi apakah ditangan para pengusaha swasta ini, Persib Bandung dkk menjadi menguntungkan? Sayangnya, tidak juga. Meski laporan keuangannya tidak bisa diakses karena perusahaannya belum Tbk, namun banyak sumber menyebutkan bahwa PT PBB masih merugi. Atau dengan kata lain Mr. Sugita dan konsorsium-nya masih terus tekor saban tahun untuk menghidupi Persib. Padahal disisi lain, dengan supporter yang berasal dari hampir seluruh Provinsi Jawa Barat, sedangkan Jabar itu sendiri adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, maka Persib adalah klub paling populer di Indonesia, bahkan salah satu yang paling populer di Asia Tenggara. Termasuk pertandingannya baik kandang maupun tandang selalu dipenuhi oleh bobotoh, dan seragam Persib sekarang ini juga dipenuhi oleh banyak logo sponsor.

But still, Persib masih merugi. Dan kalau klub sebesar Persib saja masih rugi, lalu bagaimana dengan klub-klub lain yang lebih kecil?? Terjadinya kerugian ini bukan karena ada yang salah dengan pengelolaan klub sepakbola yang bersangkutan, melainkan karena sejak awal industri sepakbola itu sendiri memang gak menguntungkan apalagi di Indonesia, dimana pada level regional Asia Tenggara sekalipun, kita masih jauh dibelakang Thailand.

Lalu bagaimana dengan Bali United? Ya seperti yang bisa anda tebak: Hingga akhir tahun 2018 lalu, perusahaan masih membukukan saldo defisit Rp13 milyar. Pada tahun 2018 tersebut BOLA memang membukukan laba bersih Rp5 milyar, tapi laba segitu tentunya kelewat kecil dibanding pendapatannya yang mencapai Rp115 milyar, sehingga bisa berbalik menjadi rugi lagi sewaktu-waktu. Dan kalaupun kita anggap bahwa laba Rp5 milyar tadi akan konsisten bertahan dan tumbuh, tapi laba segitu tetap saja jauh lebih kecil dibanding ekuitas perusahaan senilai Rp118 milyar (sebelum IPO), atau dengan kata lain ROE-nya gak nyampe 5%. Padahal, thanks to Mr. Tanuri yang punya banyak relasi ke perusahaan-perusahaan besar, Bali United kemudian sukses menggaet banyak sponsor, dan memang lebih dari 70% pendapatan perusahaan berasal dari sponsor ini, yang rata-rata merupakan pihak berelasi. Misalnya PT Multistrada Arah Sarana (MASA), yang dimiliki oleh Pieter Tanuri itu sendiri. Jadi bisa dibilang bahwa Mr. Tanuri sejatinya men-subsidi Bali United melalui MASA. Tanpa adanya ‘subsidi’ ini, maka Bali United harusnya tetap merugi.

Prospek Sepakbola Indonesia di Masa Depan

Hanya memang kalau bicara prospek, maka ada dua hal yang bisa dijadikan argumentasi bahwa saham BOLA bisa dipertimbangkan untuk investasi. Pertama, seperti yang disebut diatas, dengan berkaca pada pengelolaan Liga Inggris, maka industri sepakbola pada hari ini tidak lagi merugikan seperti di masa lalu, melainkan sudah menghasilkan keuntungan yang signifikan. Okay, sepakbola di Indonesia memang masih jauh kalau dibanding Inggris, tapi dalam hal ini kita lihatnya beberapa tahun hingga beberapa dekade kedepan. Ingat pula bahwa jumlah penduduk penggemar sepakbola di Indonesia juga sangat banyak, sehingga Bali United dkk tidak perlu memiliki supporter dari luar negeri untuk bisa mendapatkan penghasilan dari hak siar dan sponsor yang cukup.

Kedua, juga seperti yang disebut diatas, sekarang ini para klub-klub sepakbola punya banyak sumber income baru, dimana dalam hal Bali United, sumber pendapatan baru tersebut meliputi penjualan merchandise, café untuk nobar (nonton bareng), tempat bermain anak di sekitar stadion, streaming media, hingga e-sports. Termasuk dari dana hasil IPO-nya sebesar Rp350 milyar, mayoritas digunakan untuk mengembangan Bali United Store, aplikasi, hingga akademi sepakbola. Kesemua sumber anyar pendapatan ini memang belum benar-benar berkontribusi terhadap kinerja perusahaan. Namun jika manajemen mampu mengoptimalkan dana hasil IPO-nya untuk pengembangan tadi, maka cukup menarik untuk melihat bagaimana kinerja Bali United dalam beberapa tahun mendatang.

Nevertheless, dalam value investing biasanya kita lihat kinerja terbaru dan kinerja historis perusahaan terlebih dahulu, lalu baru lihat prospeknya. Dan karena Bali United tidak atau belum memiliki track record keuangan yang bagus, termasuk industri sepakbola di Indonesia itu sendiri belum benar-benar menguntungkan, maka sulit untuk menjadikan sahamnya sebagai pilihan investasi. Sementara dari sisi valuasi sahamnya, Bali United ini juga mencengangkan: Pada harga perdananya yakni Rp175 per saham, market cap BOLA tercatat Rp1.05 trilyun, dan pada harga sahamnya saat ini yakni 370, market cap itu menjadi Rp2.2 trilyun, yang masih bisa naik lagi jadi Rp3 – 4 trilyun kalau besok-besok sahamnya lanjut naik. Sebagai perbandingan, ketika Suning Group asal China mengakuisisi 68.55% saham Inter Milan FC pada tahun 2016, perusahaan membayar US$ 307 juta, sehingga bisa dikatakan bahwa nilai 100% saham Inter adalah US$ 448 juta, atau Rp6.4 trilyun. Nah, jadi apakah dalam hal ini nilai Bali United memang mencapai separuh dari nilai Inter, yang notabene merupakan salah satu klub sepakbola paling populer di dunia???

Jadi kesimpulannya, well, silahkan anda simpulken sendiri.

Untuk minggu depan kita akan bahas tentang MNC Group (MNCN, BMTR, BHIT). Bagi anda yang ingin memperoleh prospektus lengkap Bali United bisa kirim email ke teguh.idx@gmail.com, dengan subjek 'Prospektus Bali United'.

Dapatkan informasi, motivasi, dan tips-tips investasi saham melalui akun Instagram Teguh Hidayat, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Saya rasa sebentar lagi saham BOLA akan di penalti oleh pasar, yaitu ketika Bandarnya sudah lupa menggocek BOLA ...
Yusnardo mengatakan…
Artikel yang bagus, terima kasih atas ilmu yang diberikan
republiksaham.com mengatakan…
Artikel yang bagus, terima kasih atas ilmunya kakanda
aziz khariri mengatakan…
Lanjutkan mas teguh..
Enak baca penjelasannya.
Unknown mengatakan…
artikelnya mantap gan

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?