Prospek United Tractors Setelah Akuisisi Tambang Emas
Pada tanggal 4 Desember 2018, PT United
Tractors, Tbk (UNTR) mengumumkan bahwa perusahaan telah menyelesaikan proses akuisisi
95% saham PT Agincourt Resources (PTAR),
pemilik dan pengelola Tambang Emas Martabe
di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Jadi dengan demikian UNTR sekarang punya
lima segmen usaha yakni penjualan alat-alat berat, kontraktor tambang, tambang
batubara, usaha konstruksi, dan tambang emas, dimana dua segmen yang disebut terakhir
baru bergabung dengan UNTR dalam beberapa tahun terakhir. Menariknya, berbeda
dengan kontribusi usaha konstruksi-nya yang masih sangat kecil, usaha tambang
emas UNTR sukses menyumbang laba bersih sebelum pajak sebesar Rp665 milyar pada
Kuartal I 2019, atau 16% dari total laba sebelum pajak perusahaan.
***
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2019 sudah
terbit! Anda bisa memperolehnya pada link
berikut. Tersedia diskon bagi yang subscribe untuk 1 tahun.
***
Lalu seperti apa sebenarnya
Tambang Emas Martabe ini? Seberapa besar cadangan emasnya? Dan apakah dengan
akuisisi ini kinerja UNTR kedepannya akan tidak lagi tergantung pada fluktuasi
harga batubara?
Profil Tambang Emas Martabe
Kalau kita bicara tambang emas,
maka kebanyakan orang taunya Freeport di Papua, dan Newmont di Nusa Tenggara
Timur, dan itu tidak salah karena memang dua itu merupakan tambang emas
terbesar di Indonesia. Malahan, dengan cadangan emas sebesar 30.2 juta ounce (oz), dan volume penjualan
emas sebesar 2.4 juta oz pada tahun 2018, maka Tambang Emas Grasberg milik PT
Freeport Indonesia bisa dinobatkan sebagai tambang emas terbesar di dunia.
Tapi tidak banyak yang tahu bahwa
Pulau Sumatera juga punya cadangan emas yang besar di Martabe, tepatnya sebesar
4.5 juta oz per akhir tahun 2018, yang bisa meningkat menjadi 8.1 juta oz
seiring dengan berlanjutnya proses eksplorasi. Secara volume produksi dan
penjualan, maka dengan volume penjualan sebesar 97 ribu oz per Kuartal I 2019,
atau 388 ribu oz jika disetahunkan,
maka volume produksi Martabe memang kalah jauh dibanding Grasberg, tapi ingat
bahwa Martabe baru berproduksi pada tahun 2012, alias masih sangat baru
dibanding Grasberg yang sudah digali sejak tahun 1960-an, sehingga potensi
jangka panjangnya masih terbuka lebar. Dan mungkin karena itu pula, selain
membayar US$ 918 juta untuk harga akuisisinya (ke pemilik PTAR sebelumnya,
yakni Agincourt Resources Pte Ltd), UNTR juga menyuntik modal kerja dalam
bentuk pinjaman ke PTAR senilai US$ 325 juta, yang tentu saja bertujuan agar
PTAR bisa mempercepat pekerjaan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru,
sekaligus meningkatkan volume produksinya. Kalau melihat karakter Grup Astra
yang langsung gerak cepat setelah mereka masuk ke industri tertentu, misalnya
ketika mereka masuk ke industri properti tahun 2016 dan tiba-tiba saja sekarang
sudah berdiri Menara Astra di Jalan Jend. Soedirman, Jakarta, maka harusnya
untuk PTAR ini juga tidak akan butuh waktu lama untuk tancap gas.
Sayangnya manajemen UNTR belum
mau bicara prospek jangka panjang terkait ‘mainan’ barunya diatas, namun
berikut adalah dua fakta penting terkait akuisisi mereka terhadap Martabe.
Pertama, UNTR mengeluarkan total sekitar US$ 1.24 milyar untuk mengakuisisi dan
memberi suntikan modal untuk PTAR, dimana sekitar US$ 900 juta diantaranya
berasal dari utang bank, namun bunganya sangat rendah yakni hanya 4 – 5% per
tahun. Alhasil laba bersih UNTR dari usaha tambang emas-nya terbilang bersih
dari beban bunga utang, dimana dari pendapatan sebesar Rp1.9 trilyun pada
Kuartal I 2019, diperoleh laba sebelum pajak Rp665 milyar. Margin laba sebesar
35% ini jauh lebih besar dibanding margin usaha inti perusahaan, yakni
distribusi alat-alat berat dan kontraktor tambang.
Dan kedua, PTAR membukukan laba
bersih US$ 51.6 juta pada Kuartal I 2018, atau US$ 207 juta jika disetahunkan,
dimana laba tersebut naik dari US$ 151 juta di tahun 2017, dan US$ 121 juta di
tahun 2016 (laba perusahaan meningkat saban tahun seiring kenaikan volume produksi).
Dengan harga akuisisi US$ 918 juta, dan dengan asumsi bahwa laba PTAR akan
terus bertumbuh dengan rate pertumbuhan
yang sama sejak tahun 2016, maka UNTR bakal balik modal dalam waktu sekitar 3 –
4 tahun saja, bahkan bisa lebih cepat jika PTAR sukses mempercepat peningkatan
volume produksi. Atau dengan kata lain, harga akuisisinya terbilang wajar, jika
tidak mau dikatakan undervalue.
Kemudian, dalam rangka mengurangi
ketergantungan terhadap usaha batubara, sejatinya UNTR sejak tahun 2015 lalu sudah
masuk ke konstruksi dengan mengakuisisi PT Acset Indonusa, Tbk (ACST),
mengakuisisi perusahaan tambang emas PT Sumbawa Jutaraya, dan pada tahun 2017
membangun pembangkit listrik di Jepara, Jawa Tengah. Sayangnya pembangkit
listriknya masih dalam tahap konstruksi (baru akan selesai tahun 2021),
demikian pula PT Sumbawa masih belum berproduksi, dan untuk ACST malah tekor.
Jadi dengan masuknya Martabe sebagai aset baru perusahaan, maka barulah kali
ini UNTR bisa berharap bahwa kinerja perusahaan tidak akan lagi terlalu
bergantung pada naik turunnya harga batubara internasional.
Kesimpulannya, UNTR di tahun
2019 ini baru saja memperoleh sumber income
baru yang sudah menghasilkan, pada harga akuisisi yang murah, dan masih bisa
dikembangkan hingga volume produksinya akan menjadi lebih besar lagi di masa
yang akan datang. Mungkin perlu juga dicatat bahwa seperti
halnya kita investor ritel seringkali sulit ketemu peluang investasi yang bagus
pada harga saham yang murah, maka bagi grup-grup besar seperti Astra, tidak
segampang itu juga mereka bisa menemukan peluang investasi yang bagus seperti
di Martabe ini. Jadi dalam hal ini bisa kita katakan bahwa Grup Astra beruntung, karena sejatinya Tambang Martabe ini sudah jadi rebutan banyak grup konglomerasi baik dari dalam maupun luar negeri, sejak lokasi tambangnya dieksplorasi untuk pertama kalinya pada tahun 2008 lalu. Dan
meski untuk saat ini kontribusi laba bersih dari PTAR memang belum signifikan, yakni
masih kurang dari 20% dari laba UNTR secara keseluruhan, namun mengingat PTAR
masih dalam momentum pertumbuhan volume produksi emas-nya setiap tahun, dan
harga emas itu sendiri jauh lebih stabil dibanding harga batubara (lima tahun
terakhir stabil di US$ 1,200 – 1,300 per oz, dan berbeda dengan mineral lainnya,
dalam jangka panjaaaang maka harga emas senantiasa naik), maka terdapat peluang
bahwa dalam beberapa tahun mendatang, UNTR akan lebih dikenal sebagai
perusahaan tambang emas ketimbang batubara. Dan untungnya kita sedang bicara
Grup Astra disini, bukan Bakrie atau semacamnya. Jadi jika nanti UNTR beneran
untung besar dari tambang emas-nya, maka keuntungan itu akan tercermin di
laporan keuangannya, kemudian perusahaan akan membayar dividen lebih besar
kepada investor, dan sahamnya akan naik.
Saatnya Beli UNTR?
Okay Pak Teguh, jadi apa ini
artinya kita langsung sikat saja UNTR ini? Karena kebetulan harganya juga sudah
turun banyak jika dibanding posisi tertingginya setahun lalu? Well, tentunya
masih ada beberapa hal lagi yang harus diperhatikan. Pertama, untuk saat ini
UNTR masih merupakan coal-related company, dimana perusahaan
masih perlu waktu untuk mengembangkan Tambang Martabe hingga kontribusinya
menjadi benar-benar signifikan. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan
perusahaan minyak, Medco Energi Internasional (MEDC), yang pada tahun 2016 lalu
sukses
mengakuisisi Newmont Nusa Tenggara (NNT), sehingga diharapkan bahwa MEDC
kedepannya tidak akan lagi bergantung pada usaha minyaknya. Tapi entah apa
masalahnya, di tangan Medco, NNT hanya menjual 70,900 oz emas sepanjang tahun
2018, alias jauh lebih kecil dibanding Martabe, padahal NNT ini lebih besar. Dan
alhasil kinerja MEDC tetap tergantung pada usaha minyaknya.
Jadi skenario terburuknya adalah,
setelah beberapa tahun, emas yang dihasilkan dari Tambang Martabe tetap tidak
mampu menggeser batubara/kontraktor batubara sebagai sumber income utama bagi
perusahaan. Actually, ini adalah risiko skenario yang masih bisa diterima,
dimana dengan skenario ini artinya bahwa UNTR akan tetap menjadi perusahaan
batubara seperti sekarang, sedangkan UNTR pada saat ini masih bisa dikatakan
sebagai salah satu perusahaan batubara terbaik di bursa, dan UNTR juga tidak
menghadapi risiko harus melakukan restrukturisasi utang atau semacamnya. Karena
pasca akuisisinya terhadap Martabe, debt
to equity ratio-nya masih konservatif di level 1 kali. Tapi intinya adalah,
UNTR belum bisa disebut sebagai perusahaan tambang emas karena porto terbesarnya
masih di coal-related business, sama
seperti Berkshire Hathaway gak bisa disebut sebagai perusahaan teknologi hanya
karena Opa Warren masuk ke Apple dan Amazon, karena porto terbesarnya masih di consumer,
perbankan, dan asuransi.
Dan kedua, dengan PBV 1.7 kali
pada harga 26,200, maka valuasi UNTR sejatinya masih tanggung, dimana sahamnya
bisa bertahan di level tersebut karena kinerja terbarunya masih bagus saja, dan
harga batubara sendiri membal lagi setelah kemarin sempat menyentuh level US$
80 per ton (yang memang, kalau anda baca-baca lagi tulisan lama di blog ini, maka
itulah perkiraan harga normal untuk batubara). Namun jika tekanan yang terjadi
pada saham-saham batubara lain dalam beberapa bulan terakhir ini terus
berlanjut (karena laba bersih PTBA dkk memang turun semua di Kuartal I 2019), maka
UNTR bisa ikut turun meski harusnya gak akan banyak turunnya, mungkin ke 23,000-an.
Kesimpulannya, meski UNTR menawarkan
prospek menarik, tapi waktu terbaik untuk masuk kemungkinan bukan sekarang,
melainkan kita harus lihat dulu perkembangannya barang beberapa bulan.
Sebenarnya terkait prospek tambang emas ini, maka selain cerita MEDC yang ‘gagal’
diatas, atau J Resources Asia Pasifik (PSAB) dan Aneka Tambang (ANTM) yang entah kenapa laba bersihnya sangat minimalis (atau bahkan rugi), maka ada juga perusahaan tambang emas
yang sukses dimana produksi emasnya langsung buanyak, dan labanya juga jumbo, yakni
Merdeka Copper Gold (MDKA). Tapi
sayangnya sahamnya sudah naik banyak plus valuasinya sudah premium, dan masuknya
juga susah karena sahamnya gak likuid. Jadi pada akhirnya terkait prospek gold rush ini maka UNTR tetap merupakan
pilihan terbaik, tinggal soal timing-nya
saja.
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham
Pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2019 sudah
terbit! Anda bisa memperolehnya pada link
berikut. Tersedia diskon bagi yang subscribe untuk 1 tahun.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar