Kemana Arah IHSG Setelah Pemilu & Pilpres?
Tak terasa sekarang sudah tanggal 15 April, dan
itu artinya sebentar lagi Indonesia akan menggelar hajatan Pemilu dan Pilpres, tepatnya pada tanggal 17 April mendatang (untuk TPS
luar negeri, sudah sejak 14 April kemarin). Bagi
investor yang sudah lama di pasar saham, ajang pemilu sejatinya merupakan
hal yang biasa karena sudah rutin dilaksanakan setiap lima tahun sekali, dan karena
masih ada banyak faktor atau peristiwa penting lainnya yang juga harus
diperhatikan ketika kita menganalisis arah pasar, serta menyusun strategi
investasi. However, seperti yang pernah penulis sampaikan sebelumnya, kampanye Yuk Nabung Saham! oleh BEI sejak tahun
2015 lalu telah sukses menghadirkan banyak investor baru di bursa, dimana saat
ini sekitar dua pertiga pelaku pasar adalah para newbie yang belum memiliki pengalaman berinvestasi di tahun-tahun
pemilu sebelumnya (2014 kebelakang). Jadi pada akhirnya
pertanyaan diatas tetap penting: Kemana arah IHSG setelah Pemilu tahun 2019
ini?
Nah, sebenarnya kalau kita dengar lagi apa kata
Warren Buffett, yang entah sudah berapa kali melewati moment Pemilu di Amerika
sejak tahun 1950-an, maka kalau beliau ditanya pertanyaan diatas, maka mungkin ia akan
menjawab: ‘Arah pasar tahun ini, atau tahun depan, itu saya tidak tahu. Namun
yang saya tahu adalah, pada akhirnya pasar akan bergerak naik tak peduli meski
terjadi Pemilu atau peristiwa penting lainnya’.
Hanya saja, kalau penulis menjawab sama ‘tidak
tahu’, lalu untuk apa ada artikel ini? Jadi biar penulis berikan jawaban yang
sedikit berbeda: Dalam berinvestasi di saham, khususnya dengan metode value
investing, maka kita memang tidak bisa melihat atau memprediksi arah pasar
kedepan, karena biasanya kita lebih fokus ke fundamental emiten/perusahaan yang akan kita beli sahamnya. Namun demikian kita bisa melihat
data historis pergerakan pasar di
masa lalu, dimana jika ada pattern/pola
tertentu yang terjadi secara berulang-ulang, maka besar peluang bahwa pola
tersebut akan kembali terjadi di masa yang akan datang.
Karena Pemilu pertama sejak zaman reformasi
digelar pada tahun 1999, maka kita bisa lihat data pergerakan IHSG minimal sejak
tahun 1999 tersebut. Dan berikut datanya:
Year
|
Growth (%)
|
Year
|
Growth (%)
|
1997
|
-44.3
|
2008
|
-50.6
|
1998
|
-0.9
|
2009
|
87.0
|
1999
|
70.1
|
2010
|
46.1
|
2000
|
-38.5
|
2011
|
3.2
|
2001
|
-5.8
|
2012
|
12.9
|
2002
|
8.4
|
2013
|
-1.0
|
2003
|
62.8
|
2014
|
22.3
|
2004
|
44.6
|
2015
|
-12.1
|
2005
|
16.2
|
2016
|
15.3
|
2006
|
55.3
|
2017
|
20.0
|
2007
|
52.1
|
2018
|
-2.5
|
Okay, dari data diatas maka langsung kelihatan
beberapa pattern bukan? Berikut diantaranya.
Pertama, IHSG selalu naik signifikan
(minimal 20%) di tahun-tahun Pemilu yakni 1999, 2004, 2009, dan 2014. Bahkan di
tahun 1999, dimana ketika itu Indonesia sejatinya belum benar-benar pulih dari
krisis moneter, IHSG justru mencatat kenaikan tertingginya dalam sejarah
(sebelum kemudian rekor kenaikan tersebut terpecahkan persis 10 tahun
berikutnya, pada tahun 2009). Kedua, kecuali sebelum tahun 2004, IHSG selalu
turun pada tahun sebelum tahun pemilu, termasuk di tahun 2018 kemarin juga IHSG
turun 2.5%. Penurunan ini tidak berhubungan dengan pemilu itu sendiri (ketika
IHSG turun pada tahun 1998, 2008, 2013, dan 2018, penyebab penurunannya
berbeda-beda), namun kemungkinan ini juga yang menyebabkan kenaikan IHSG pada
tahun Pemilu-nya menjadi lebih signifikan, karena di tahun sebelumnya valuasi
saham-saham menjadi lebih murah setelah IHSG itu sendiri turun. Dan ketiga, entah
ini kebetulan atau bukan, tapi tahun-tahun Pemilu tidak terjadi bersamaan dengan periode krisis, resesi, atau
semacamnya, melainkan ekonomi pada tahun-tahun tersebut terbilang lancar.
Termasuk di tahun 1999, dimana meski di tahun 1998-nya GDP Indonesia hancur
lebur (minus 13.1%), namun di tahun 1999 tersebut GDP kembali tumbuh meski
hanya sekitar 1%. Sehingga ada juga teori bahwa justru event Pemilu-lah yang
bikin ekonomi bertumbuh, karena ada banyak pengeluaran untuk kampanye, logistik
pemilu, dst. Karena ekonomi tumbuh, maka kinerja emiten juga cenderung bagus
(atau minimal pulih dibanding tahun sebelumnya, jika di tahun sebelumnya itu
terjadi krisis), dan alhasil saham mereka naik. Dan ketika ada banyak saham
naik secara bersamaan, maka IHSG pun turut naik signifikan.
Baiklah, lalu bagaimana untuk tahun 2019 ini?
Well, mari kita cek lagi: Tahun 2018 kemarin IHSG turun, alias mirip dengan sebelum
Tahun Pemilu 1999, 2009, dan 2014, dan kondisi ekonomi tahun ini bisa penulis
katakan cukup baik, memang tidak sebagus tahun 2011 lalu ketika terjadi booming
komoditas, tapi juga jauh lebih baik dibanding ketika Indonesia hampir saja
krisis tahun 2015 lalu. Untuk kinerja emiten di tahun 2019 ini kita belum tahu
bakal bagaimana (masih tunggu laporan keuangan Kuartal I 2019, sebentar lagi),
tapi kalau melihat kinerja emiten-emiten besar (ASII dkk) sepanjang tahun 2018
kemarin, rata-rata laba mereka naik semua. Sehingga bisa dikatakan bahwa pattern yang terjadi sejak tahun 1999
lalu kembali terjadi di tahun 2019 ini. Dan itu artinya? Yep, di tahun 2019 ini
IHSG akan naik, mungkin kenaikannya tidak akan setinggi tahun-tahun pemilu
sebelumnya, namun kecuali ada force
majeure tertentu, maka juga kecil kemungkinan IHSG akan tumbuh negatif.
Astra International, yang merupakan 'miniatur ekonomi Indonesia', membukukan kenaikan laba dobel digit serta ROE diatas 15% sepanjang tahun 2018 |
Terakhir, mungkin ini tidak begitu diperhatikan
orang, namun di pemilu-pemilu sebelumnya selalu muncul optimisme di masyarakat
bahwa setelah Pemilu itu sendiri dilaksanakan, maka kondisi ekonomi dll akan
lebih baik, karena memang semua politisi berlomba-lomba memberikan janji manis kepada
konstituennya, seperti bahwa mereka akan membuka lapangan pekerjaan, sembako
murah, dan seterusnya. Anda mungkin masih ingat di tahun 1999 lalu (penulis
sendiri ketika itu masih SMP, tapi saya masih mengingatnya sampai sekarang), dimana
dalam kondisi ada jutaan orang yang terkena PHK, maka munculnya tokoh politik tertentu yang mengatakan bahwa ia bisa memperbaiki keadaan akan otomatis disambut hangat, dan semua orang mendadak menjadi optimis kembali.
Namun sejak tahun pemilu 2014 lalu, trend ‘munculnya
optimisme’ di masyarakat ini mulai berubah: Bukannya disambut hangat, kehadiran
pemilu justru menimbulkan kekhawatiran bahwa akan terjadi kerusuhan atau
semacamnya, karena ‘perang’ antara kubu-kubu yang bertarung di pemilu/pilpres
itu sendiri semakin terasa di masyarakat, terutama karena kehadiran media sosial. Dengan kata lain, jika di
pemilu-pemilu sebelumnya masyarakat optimis bahwa setelah pemilu tersebut,
keadaan akan menjadi lebih baik, maka sejak lima tahun lalu, orang justru
khawatir bahwa keadaan akan menjadi lebih buruk setelah pemilu. Ini juga yang
mungkin menjelaskan, kenapa kenaikan IHSG di tahun 2014 tidak setinggi
tahun-tahun pemilu sebelumnya (meski sejatinya, kenaikan sebanyak 22.3% tetap terbilang tinggi).
But still, di tahun 2014 tersebut IHSG tetap naik signifikan. Dan meski suhu politik dalam negeri beberapa tahun terakhir ini terasa lebih panas
dibanding sebelumnya, namun tetap saja tidak sepanas tahun 1998 – 1999 lalu dimana
ketika itu ada banyak aksi massa yang menimbulkan korban jiwa (istilahnya John
D. Rockefeller, there’s blood in the street). Atau kalau mau perbandingan yang lebih
ekstrim lagi, panasnya suhu politik sekarang ini juga gak ada apa-apanya dibanding
dibanding krisis politik di Indonesia tahun 1966 lalu (peralihan dari Orde Lama
ke Orde Baru), dimana ketika itu tak kurang dari setengah juta jiwa penduduk
Indonesia meninggal dunia karena kekerasan dll, dan jutaan lainnya nyaris kelaparan karena harga beras sangat mahal. Actually, penulis termasuk yang melihat bahwa politik
Indonesia sekarang ini tampak ‘berisik’ dan ‘mengkhawatirkan’ hanya karena kehadiran
medsos saja. Karena dilihat dari sisi manapun, kondisi Indonesia hari ini
sangat-sangat berbeda dibanding tahun 1998 atau 1966 tersebut.
Jadi kesimpulannya, still there’s nothing to
worry about. Dan karena sebentar lagi kita akan memasuki musim laporan keuangan
untuk periode Kuartal I 2019, maka setelah mencoblos tanggal 17 April nanti,
mari kita kembali ke pekerjaan rutin kita sebagai investor: Menganalisa laporan
keuangan, pilih yang LK-nya bagus, hitung valuasinya, tentukan saham-saham yang
akan anda beli, lalu buat keputusan, done! Setelah itu? Ya liburan lagi!
Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (Ebook Investment Planning) edisi Kuartal I 2019 akan terbit hari Selasa, 7 Mei 2019 mendatang. Anda bisa memperolehnya dengan cara pre-order, pada link berikut.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar