Prospek Indofood (INDF), dan Indofood CBP (ICBP)
Okay, seharusnya untuk minggu ini kita akan
bahas saham yang kebalikannya saham Ultrajaya (ULTJ), tapi karena belakangan
ini banyak yang request analisa Indofood Sukses Makmur (INDF) dan Indofood
Consumer Brand Products (ICBP) setelah keduanya turun signifikan dalam dua bulanan
terakhir, sedangkan penulis sendiri dalam banyak kesempatan selalu menyebut bahwa
ICBP layak untuk investasi long term, maka sekarang kita bahas dua saham ini
dulu. Okay, here we go.
Bagi anda yang sudah membaca blog
teguhhidayat.com ini sejak lama, maka anda mungkin masih ingat bahwa kita sudah
membahas ICBP, yang merupakan anak usaha INDF, sejak perusahaan listing untuk
pertama kalinya alias IPO pada bulan Oktober 2010, ketika itu pada harga
perdana 5,395 per saham sebelum stocksplit, atau setara 2,697 sesudah stocksplit.
Ketika itu penulis termasuk yang antusias dengan ICBP ini karena fakta berikut:
Kita tahu bahwa INDF menjadi salah satu perusahaan paling besar dan populer di
Indonesia karena satu produk, dan hanya satu produk itu saja, yaitu mie instan
dengan merk Indomie, salah satu merk
mie instan paling enak didunia, dan harga jualnya sekaligus paling murah
sehingga pangsa pasarnya tidak terbatas. Dari kesuksesan Indomie inilah, INDF
kemudian mengembangkan usahanya ke produk-produk consumer ber-merk (consumer brand product) lainnya diluar
mie instan, seperti susu, makanan ringan, penyedap rasa, makanan bernutrisi, dan
minuman. Merk-merk produk consumer milik perusahaan selain Indomie yang juga populer
adalah Supermi, Pop Mie, Indomilk, Chitato, Chiki, Lays, Bubur Bayi Promina,
Indofood Bumbu Racik, dan Club Air Mineral.
Produk-produk bermerk milik ICBP |
Masalahnya, mungkin tidak banyak yang tahu, namun
INDF isinya gak cuma Indomie dan kawan-kawannya saja, melainkan segmen usaha
INDF bisa dikelompokkan sebagai berikut: 1. Produk consumer ber-merk termasuk
Indomie (melalui ICBP), 2. Tepung terigu (melalui PT Bogasari), 3. Distribusi, termasuk
melalui jaringan minimarket Indomaret, dan 4. Perkebunan kelapa sawit (melalui
Salim Ivomas Pratama (SIMP)). Untuk segmen 1, 2, dan 3, itu masih oke lah, tapi
untuk segmen kelapa sawit-nya, maka kinerja INDF praktis dipengaruhi oleh
fluktuasi harga crude palm oil (CPO)
dunia. Dengan kata lain, meski penjualan Indomie bisa diharapkan akan naik
terus secara konsisten dalam jangka panjang, tapi pendapatan serta laba INDF
belum tentu akan terus naik, terutama jika harga CPO sedang turun. INDF memang
juga jualan minyak goreng dan margarine, yang merupakan produk turunan dari
CPO, tapi somehow margin laba dari
jualan margarine ini malah jauh lebih kecil dibanding jualan CPO itu sendiri,
sehingga pada akhirnya kinerja perusahaan tetap dipengaruhi oleh naik turunnya
harga CPO.
Jadi dengan listing-nya ICBP di bursa, maka sebagai
penggemar Indomie, daripada kita ambil INDF maka mending ambilnya ICBP ini saja.
Problemnya valuasi ICBP di harga 2,700 di tahun 2010 itu terbilang tinggi, jadi
penulis ketika itu katakan bahwa sebaiknya kita tunggu dulu perkembangan
harganya di pasar (baca lagi ulasannya
disini), dan ternyata benar ICBP kemudian turun sampai mentok di 2,100.
Tapi karena kinerja perusahaan, seperti yang diprediksi sebelumnya, tetap
tumbuh terus bahkan hingga tahun 2018 kemarin, maka ICBP pada akhirnya naik
lagi, hingga akhirnya sempat tembus 10,000 pada awal tahun 2019 kemarin, atau
profit sekitar empat kali lipat dalam waktu sembilan tahun, belum termasuk
dividen.
Okay, lalu bagaimana dengan INDF sendiri? Karena
pada tahun 2010 itu harga CPO masih stabil dan cenderung naik, bahkan hingga sempat
menembus rekor 4,000 Ringgit Malaysia per ton pada tahun 2011, maka kinerja
INDF ketika itu masih cukup bagus/labanya naik terus, dan demikian pula
sahamnya naik, dari 5,100 di bulan Oktober 2010 (bulan ketika ICBP IPO) sampai
7,700 pada tahun 2013. Namun memasuki tahun 2013 tersebut, harga CPO mulai
turun drastis, dan ternyata sampai saat ini harga CPO masih belum naik-naik lagi
di level RM2,300-an per ton. Alhasil kinerja INDF jalan ditempat, dan demikian
pula sahamnya ‘macet’ di rentang 6,000 – 7,000 sejak tahun 2013 tersebut hingga
hari ini.
Dan karena analisa terakhir penulis untuk
sektor sawit menyebutkan bahwa sektor ini masih belum akan pulih (baca lagi ulasannya
disini), maka pilihannya tetap ICBP. Tapi setelah sahamnya naik cukup
banyak dalam beberapa tahun terakhir, maka bagaimana valuasinya? Okay, mari
kita cek. Berdasarkan laporan keuangan tahun penuh 2018, maka harga sahamnya
saat ini yakni 8,975, mencerminkan PER 22.9 kali, dan PBV 4.8 kali. Nah, jika
perbandingannya adalah saham-saham consumer lainnya dengan track record
kinerja, power of brand, dan reputasi
yang kurang lebih sama seperti Sido Muncul (SIDO), Kalbe Farma (KLBF), dan Mayora
Indah (MYOR), termasuk jika dibandingkan dengan valuasi historis ICBP itu
sendiri, plus fakta bahwa saham ICBP cukup likuid, maka valuasi ICBP saat ini
terbilang wajar, alias tidak mahal tapi
belum bisa dikatakan murah juga. Jadi jika anda tertarik maka ada dua pilihan
strateg. Pertama, jika anda hendak menjadikan ICBP ini sebagai pegangan jangka
panjang hingga katakanlah 5 tahun kedepan, maka di harga sekarang sudah boleh
masuk, karena seperti yang dikatakan Warren Buffett, ini adalah membeli wonderful company at a fair price (fair,
bukan undervalue).
Tapi jika anda berharap profit yang lebih
besar, dan juga jangka waktu hold yang
lebih pendek, maka sebaiknya tunggu ICBP ini turun lebih lanjut hingga PBV-nya
persis 4.0 kali (8,000 atau dibawahnya), atau tidak sama sekali. Sebab selain
faktor valuasinya, level harga 10,000 kemungkinan juga akan menjadi resistance psikologis bagi ICBP, dimana
sahamnya akan perlu waktu yang bisa jadi cukup lama, untuk bisa naik hingga
menembus level 10,000 tersebut, dan kemudian stabil disitu/tidak turun-turun
lagi.
Okay Pak Teguh, kalau gitu bagaimana kalau kita
ambilnya INDF saja? Karena meski prospek jangka panjangnya mungkin tidak
secerah ICBP, tapi dengan PER 13.1 dan PBV 1.6 kali pada harga 6,225, maka
valuasinya jelas lebih murah bukan? Well, sebenarnya kalau kita mengejar murahnya,
maka sekalian saja ambilnya SIMP karena PBV-nya lebih rendah lagi, yakni cuma
0.5 kali pada harga 450. Tapi toh, meski valuasinya sangat terdiskon, tapi kinerja
saham SIMP malah lebih buruk lagi dibanding INDF: Lima tahun yang lalu dia
berada di level 800-an, tapi sekarang malah tinggal 400-an, karena memang
kinerja fundamentalnya mengecewakan dan prospek kedepannya terkait perkembangan
harga CPO juga masih belum jelas. Jadi benar apa yang dikatakan Opa Buffett: It’s
better to buy wonderful company at a fair price, than buy fair company at a
wonderful price. Dalam hal ini fakta bahwa ketiga perusahaan tersebut (INDF,
ICBP, dan SIMP) saling berelasi karena pemiliknya sama sudah tidak penting
lagi, karena tetap yang harus dilihat adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba, dimana dalam hal ini ICBP adalah juaranya.
Nevertheless, meski prospek jangka panjangnya
tidak secerah ICBP, INDF tetap memiliki keunggulan sebagai salah satu saham big caps di BEI, nama perusahaannya lebih
populer (nama ‘Indofood CBP’ mungkin membingungkan bagi sebagian orang, karena
mereka ya tahunya Indofood saja), sahamnya likuid, dan dengan ROE diatas 10%
maka kinerjanya gak bisa dikatakan jelek juga. Jadi kalau valuasinya
benar-benar terdiskon, katakanlah dengan PBV kurang dari 1.5 kali (PBV dibawah
1.5 kali sudah terhitung murah untuk ukuran blue
chip), maka INDF tetap bisa masuk stockpick.
Dan mungkin inilah kenapa ketika pada akhir tahun 2015 lalu INDF drop
sampai mentok di 5,000, seiring dengan terjadinya koreksi pasar ketika itu,
maka ketika IHSG kemudian naik lagi di tahun 2016-nya, INDF juga ikut naik
hingga tembus 8,000-an. Demikian pula ketika pada tahun 2018 kemarin pasar jatuh
sekali lagi, maka INDF juga ikut turun sampai 5,500-an, tapi begitu pasar pulih
pada awal tahun 2019 maka INDF ikut naik sampai 7,700-an.
Jadi kesimpulannya, berbeda dengan ICBP yang
anda bisa masuk kapan saja, maka timing terbaik
untuk masuk INDF adalah jika terjadi koreksi pasar, atau jika valuasinya memang
sudah beneran terdiskon (harga sekarang masih tanggung). Dan berbeda dengan
ICBP yang bisa di-hold terus, jika anda sukses masuk ke INDF ini pada timing yang tepat maka anda bisa langsung
profit taking saja kalau profitnya sudah lumayan. Karena cepat atau lambat
nanti dia bakal turun lagi.
Baiklah, terakhir nih Pak Teguh, saya dengar
INDF turun karena perusahaan membeli tanah/lahan perkebunan kelapa sawit pada
harga yang kelewat mahal, apa itu benar? Nah, sebenarnya sudah sejak tahun 2014
lalu, manajemen INDF memutuskan untuk ekspansi besar-besaran di sektor
perkebunan kelapa sawit dengan membeli banyak lahan kebun baru, hingga saat ini
INDF melalui SIMP menjadi perusahaan sawit terbesar di Indonesia dari sisi luas
lahan, yang mencapai lebih dari 450 ribu hektar termasuk lahan yang belum berproduksi/belum
ditanam pohon sawit (jadi masih tanah kosong aja gitu). Kita pernah membahasnya disini, perhatikan artikelnya ditulis tahun 2014. Dan seperti umumnya ketika
perusahaan mengakuisisi suatu aset, maka sebagian aset perkebunan tersebut dibeli
pada harga yang lebih tinggi dari nilai
bukunya, atau sama saja seperti kalau anda beli saham tertentu pada PBV
lebih dari 1 kali. Selisih antara harga dengan nilai buku menyebabkan INDF
membukukan aset goodwill sebesar
Rp4.3 trilyun di neracanya, alias cukup besar (meski sebenarnya relatif kecil
dibanding total asetnya yang mencapai Rp96.5 trilyun).
Jadi, yep, memang benar bahwa INDF ada beli
kebon pada harga yang (sekilas) cukup mahal, dan fakta inilah yang kemudian dipakai
oleh analis dan broker sekuritas untuk menjelaskan kepada nasabah mereka, yang
ribut bertanya kenapa ini INDF turun (dan bahkan di Google juga kalau anda
ketik ‘indf’, maka akan muncul sugesti ‘kenapa indf turun terus’, yang artinya ada
banyak investor yang nyangkut disini lalu mereka minta wejangan ke si mbah).
Tapi kalau kita balik lagi ke basic value
investing, maka INDF (dan juga ICBP) turun karena sejak awal dia sudah agak mahal saja. Karena kalau masalahnya
adalah harga kebon sawit tadi, maka INDF sudah membeli kebon tersebut sejak
tahun 2014 lalu, bukan minggu kemaren. Jadi kenapa juga hal ini baru
dipermasalahkan sekarang?? Ya karena itu tadi, karena kebetulan INDF lagi turun,
dimana jika nanti INDF lanjut turun lebih dalem lagi (karena seperti yang sudah
disebut diatas, valuasi INDF saat ini masih tanggung), maka isunya bakal lebih
santer lagi.
Tapi kalau INDF pada akhirnya naik lagi, maka
sudah tentu isunya juga nanti akan hilang. Anyway, pilihan strategi untuk kedua
saham ini sudah cukup jelas dibahas diatas, jadi sekarang keputusannya ada di
tangan anda.
Buletin Analisis Arah IHSG &
Rekomendasi Saham Bulanan edisi April
2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk subscriber.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Izinkan sy berkomentar, pembelian tanah di Bintan melalui AIM, diberitakan dibeli dengan harga Rp 5 jt / m2. Menurut hasil survey dari beberapa analis, harga pasaran tanah di Bintan adalah sebesar Rp 150 - 250 ribu per m2. Selisihnya hampir 2000% kalau dibanding dari harga 250rb / m2.
Bagaimana tanggapan Bapak?
Terimakasih.
Salam,
Young Investor.
Selain itu, 2 thn lalu grup Indofood juga beli tanah 43000m di Penjaringan 51jt/m dari Anhony Salim