Prospek Properti 2019: Jackpot??

Ketika penulis terakhir kali membahas sektor properti, Januari 2018 lalu, ketika itu kesimpulannya adalah bahwa sektor ini berpeluang untuk ‘naik panggung’ di tahun 2018 tersebut karena dua faktor yakni: 1. Suku bunga BI Rate sedang rendah-rendahnya, yang artinya bunga KPR (kredit pemilikan rumah) juga lagi murah, dan ini akan mendorong orang untuk beli rumah, 2. Kondisi ekonomi nasional secara umum cukup bagus. Namun ini bukan berarti semua saham properti bisa dikoleksi, karena selain dua faktor diatas, tiap-tiap emiten properti juga punya faktor individualnya masing-masing yang berpengaruh terhadap kinerja mereka, seperti lokasi properti-nya, kualitas infrastruktur di sekitar proyek, jenis properti yang dijual, hingga kualitas manajemen. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

Waktu berlalu, dan bagaimana realisasinya sepanjang tahun 2018 kemarin? Well, sayangnya realisasinya jauh panggang daripada api: Hampir semua emiten properti justru mencatat penurunan kinerja di tahun 2018, dan ini lebih buruk dibanding tahun 2017 dimana beberapa emiten masih membukukan kinerja positif. Alhasil, jangankan naik, saham-saham properti justru turun signifikan, dan peristiwa koreksi pasar pada April – Oktober 2018 memperburuk kondisi tersebut dimana ada banyak saham properti yang mencetak new low-nya dalam lima tahun terakhir. Dan kalau melihat kinerja Bumi Serpong Damai dkk hingga Kuartal III dan IV 2018, juga belum ada tanda-tanda bahwa kinerja fundamental di sektor properti ini akan segera membaik.

Jadi apa masalahnya? Nah, ada beberapa teori, dan harus penulis akui bahwa ketika saya mengulas sektor properti di awal tahun 2018 lalu, saya kurang teliti karena tidak ikut mempertimbangkan beberapa faktor teori tersebut, padahal bisa jadi mereka sangat berpengaruh. Pertama, jika patokannya adalah BI Rate yang berada di level rendah, yang kemudian berpengaruh terhadap rendahnya bunga KPR, maka memang itu bisa mendorong orang untuk beli rumah secara kredit, dan kita tahu bahwa permintaan rumah untuk tempat tinggal akan selalu naik seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, plus pihak BI sendiri sejak beberapa waktu lalu melonggarkan peraturan loan to value (LTV), dan bahkan ada wacana DP rumah nol persen. However, sebagian besar emiten properti di BEI tidak jualan rumah tapak sederhana atau rusun seharga Rp400 jutaan, melainkan mereka jualannya rumah townhouse untuk kelas menengah keatas, apartemen, atau kondominium yang harganya milyaran. Sementara jenis properti yang diuntungkan karena rendahnya bunga KPR adalah properti untuk kelas menengah kebawah dengan harga ratusan juta Rupiah per unit. Karena untuk properti jenis rumah cluster, biasanya orang membelinya bukan lagi untuk tempat tinggal, melainkan untuk investasi.

Dan kalau orang beli rumah untuk tujuan investasi, maka pertimbangannya tidak lagi sekedar bunga KPR yang rendah (karena banyak juga investor properti ini yang beli rumah secara tunai), tapi lebih ke kondisi ekonomi yang harus lebih baik dari sekedar ‘tidak krisis’. Yup, ketika sektor properti ini booming pada tahun 2012 – 2013 lalu (itu adalah tahun-tahun dimana Feni Rose selalu ngomong ‘Senin harga naik!’), pemicunya ketika itu adalah karena booming komoditas batubara dan CPO sejak beberapa tahun sebelumnya, yang menyebabkan munculnya banyak ‘orang kaya baru’ terutama di Kalimantan dan Sumatera, dimana mereka kemudian menempatkan surplus cashflow mereka di properti (karena berbeda dengan saham atau instrumen investasi lainnya, ada mitos bahwa harga properti ‘tidak akan pernah turun’). Nah, jadi ketika harga batubara mulai naik lagi pada tahun 2016 lalu, penulis memang termasuk yang berharap bahwa setelah booming batubara tersebut maka sektor selanjutnya yang bakal booming adalah properti ini. Namun ternyata kondisinya kali ini berbeda, dimana meski harga batubara sekarang ini sudah relatif tinggi lagi, tapi harga CPO tidak ikut naik, demikian pula harga karet tidak naik-naik (karet adalah komoditas ekspor nonmigas terbesar Indonesia ketiga setelah batubara dan CPO), dan alhasil tidak terjadi booming ekonomi seperti tahun 2011 lalu, dimana angka pertumbuhan ekonomi hingga tahun 2018 kemarin masih mandek di level lima koma sekian persen.

Jadi, yup, jika kita ngobrol sama developer kecil-kecilan yang jualan rumah tipe 36 di Parung Bogor atau Cibitung Bekasi, maka mungkin memang terjadi peningkatan volume penjualan dalam 1 – 2 tahun terakhir, tapi ingat sekali lagi bahwa Alam Sutera Realty dkk tidak jualan rumah murah seperti itu. Teori kedua, kondisi menjelang ‘tahun politik’ 2019 ini juga mungkin berpengaruh terhadap keputusan konsumen untuk membeli rumah untuk tujuan investasi, dimana mereka masih wait and see hingga tanggal 17 April nanti. Karena, you know, berbeda dengan beli saham dimana anda hanya perlu modal mulai dari ratusan ribu Rupiah, maka untuk beli rumah minimal modalnya mencapai ratusan juta hingga milyaran Rupiah, sehingga tentu saja orang akan lebih berhati-hati.

Ilustrasi Townhouse Podomoro Park di Bandung, Jawa Barat, milik Agung Podomoro Land. Harga rumah di kompleks ini serendah-rendahnya Rp1.4 milyar,

Saham Properti Hari ini = Saham Batubara di tahun 2016

Okay Pak Teguh, jadi apakah ini artinya untuk tahun 2019 ini juga properti masih belum menarik? Nah, dalam hal ini ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan. Ketika penulis pertama kali kembali melirik sektor properti, Juli 2017 lalu (baca lagi ulasannya disini), ketika itu saya notice bahwa valuasi saham-saham properti masih belum terlalu murah, dimana masih banyak yang PBV-nya 1 – 2 kali, atau gak sampai nol koma sekian seperti ketika saham-saham batubara lagi rendah-rendahnya pada awal tahun 2016. Tapi dengan pertimbangan bahwa emiten properti rata-rata gak punya utang besar, dan sektor komoditas mulai bakal pulih lagi (ditandai dengan kenaikan harga batubara ketika itu), maka saya menganggap bahwa BSDE dkk gak akan sampai dihargai pada PBV nol koma sekian.

Namun seperti yang sudah dibahas diatas, ternyata tidak terjadi booming komoditas, sehingga kemudian tidak terjadi booming ekonomi. Plus, di tahun 2018 kemarin terjadi koreksi pasar, yang menyebabkan saham-saham properti kembali turun lebih rendah lagi. Alhasil, sekarang ini ada banyak saham properti yang PBVnya tinggal nol koma sekian, atau kurang dari 1.5 kali, dimana beberapa diantaranya adalah developer terkemuka seperti Lippo Karawaci (LPKR), Agung Podomoro Land (APLN), Modernland Realty (MDLN), Intiland Development (DILD), Bumi Serpong Damai (BSDE), hingga Ciputra Development (CTRA). Mungkin perlu juga dicatat bahwa meski emiten-emiten properti diatas semuanya masih membukukan penurunan laba, tapi gak ada yang sampai merugi, yang artinya kinerja mereka kurang bagus karena kondisi sektornya saja, dan bukan karena manajemennya gak becus atau semacamnya.

Nah, jadi anda sekarang mengerti jalan pikiran penulis bukan? Jadi memang, berbeda dengan sektor batubara dimana kenaikan harga batubara di pasar internasional bisa menjadi sentimen positif yang kemudian mendorong PTBA dkk naik bahkan meski kinerja mereka tampak belum bagus, maka untuk properti tidak akan ada sentimen positif seperti itu, karena tidak ada patokan 'harga properti internasional' atau semacamnya, sehingga mau tidak mau kita harus tunggu perkembangan kinerja perusahaan, dimana kalau labanya bagus/naik maka barulah kita masuk. Namun, entah APLN dkk bakal membukukan kenaikan laba di tahun 2019 ini atau tidak, tapi yang jelas kali ini valuasi saham mereka beneran sudah murah, murah banget malah, sehingga yang perlu kita lakukan tinggal tunggu saja sampai Mei 2019 nanti, kalau memang kinerjanya improve maka sikat! Dan mungkin kita akan dapet jackpot lagi seperti di batubara pada tahun 2016 lalu. Actually, dibanding sektor-sektor lainnya, maka peluang ‘profit 100% dalam 1 tahun atau kurang’ untuk tahun 2019 ini terletak di saham-saham properti ini (karena untuk sektor lainnya, valuasi mereka masih tanggung/gak murah-murah amat), tentunya dengan asumsi kinerja mereka sesuai harapan. Well, mudah-mudahan.

Untuk minggu depan kita akan bahas satu saham consumer goods yang bisa dikategorikan sebagai ‘wonderful company’, dan bisa anda pertimbangkan untuk investasi jangka panjang.

Jadwal Kelas Value Investing, Basic & Advanced, Sabtu & Minggu, Amaris Hotel Thamrin City Jakarta, 23 - 24 Maret 2019. Info selengkapnya baca disini, tersedia diskon early bird bagi pendaftar sebelum tanggal 18 Maret.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Joss kang..
Dari obrolan Kang Teguh dengan Pak Joeliardi waktu itu, saya yang semula tidak suka saham property jadi mereview kembali emiten2 property.
Hasilnya memang banyak sekali yang worthed untuk dibeli.
Dan setelah melakukan pertimbangan satu dan lain hal (terutama yang paling saya suka adalah track record growth penjualan dan laba emiten dalam jangka panjang), akhirnya saya memutuskan untuk membeli saham salah satu emiten property yaitu Jaya Real Property alias JRPT.
Terima kasih kang teguh sudah memberikan ide kepada saya untuk mereview emiten2 property.
Unknown mengatakan…
Lppf pak?
kamilcell mengatakan…
Boleh saya tebak ULTJ ya pak hehe. dtggu ulasannya pak teguh, biar makin mantap keep untuk core stock, kbetulan sudah masuk porto
aokiji mengatakan…
Saya tertarik dengan PWON, tapi belum beli2 karena kepikiran PBV yg agak premium (2.75) dibanding emiten properti lain

Kemungkinan emiten consumer goodsnya SIDO ya
Unknown mengatakan…
Saya kurang setuju dengan penulis. Menurut saya property tidak bisa booming lagi karena harga property sudah terlalu mahal.
Unknown mengatakan…
Ya saya juga malas lihat saham2 properti.. ttp skrg akan mulai lirik dan siapkan rencana buy..tq pak Teguh

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?