Bagaimana Jika Emiten Bangkrut?
Warren Buffett di salah satu annual letter-nya di tahun 1960-an, bercerita
tentang investasinya di Sanborn Map Co.,
perusahaan penyedia layanan peta untuk seluruh wilayah Amerika Serikat
dengan pelanggan perusahaan asuransi, pemerintah daerah, hingga dinas pajak. WB
menempatkan tak kurang dari 35% dana kelolaannya di Sanborn, dengan alasan sebagai
berikut: Sanborn ini dulunya merupakan perusahaan monopoli dibidangnya, dan
otomatis kinerja profitnya sangat bagus. Namun pada dekade 1950-an, perusahaan
asuransi menemukan metode under-writing yang
disebut carding, yang menyebabkan mereka
tidak lagi membutuhkan peta yang dibuat oleh Sanborn.
Alhasil kinerja Sanborn kemudian turun, dan otomatis sahamnya juga turun,
dari US$ 110 menjadi US$ 45. Tapi inilah menariknya: Sejak awal 1930-an,
manajemen Sanborn telah membentuk portofolio investasi dimana mereka
menggunakan profit dari bisnis peta untuk membeli saham-saham di pasar, dan
nilai investasi saham tersebut telah meningkat dari US$ 20 menjadi US$ 65 per
lembar sahamnya. Ini artinya jika
anda membeli saham Sanborn pada harga US$ 45, maka artinya anda hanya membayar US$
45 untuk memperoleh portofolio investasi milik Sanborn senilai US$ 65 (jadi anda untung US$ 20 per saham, atau 44.4%), plus memperoleh
bisnis peta-nya secara gratis.
WB kemudian melanjutkan, ‘Kami bersama beberapa partner berniat untuk
menjadi pemegang saham mayoritas/pengendali di Sanborn, dimana dengan demikian kami akan bisa merealisasikan/menjual
saham-saham yang dipegang Sanborn pada harga pasar, sehingga akan diperoleh
keuntungan. Untuk bisnis petanya, kami akan meng-konversi peta-peta yang
dihasilkan ke dalam bentuk elektronik, sehingga lebih mudah digunakan oleh
pelanggan dan alhasil, lebih mudah untuk dijual.’ Dari sini kemudian kelihatan
bahwa WB sejak awal tidak berniat membeli saham Sanborn pada harga US$ 45 untuk
kemudian dijual kembali katakanlah pada harga US$ 60, ataupun untuk dipegang
seterusnya. Melainkan yang ia incar adalah aset portofolio investasi milik
perusahaan, yang jika dijual maka akan dihasilkan sejumlah uang yang nilainya
lebih besar dibanding biaya akuisisi Sanborn itu sendiri, plus ‘bonus’ berupa
aset bisnis peta-nya, yang kalaupun ternyata tidak mampu untuk kembali
menghasilkan keuntungan, maka WB tetap profit besar dari menjual portofolio saham
milik Sanborn.
Dan ternyata, untuk pilihan-pilihan sahamnya yang lain pun, WB rata-rata
menggunakan pendekatan yang sama: Ia hanya membeli saham dari perusahaan yang
kalau aset-aset milik perusahaan tersebut dilikuidasi,
maka ia sebagai pemegang saham akan memperoleh keuntungan karena uang yang ia
terima lebih besar dibanding biaya untuk membeli sahamnya. Salah satu rumus
yang ia pakai adalah: Nilai/market cap perusahaan harus lebih rendah dibanding modal kerja bersih (net working
capital), dimana modal kerja bersih
ini adalah aset lancar dikurangi kewajiban lancar. Jadi jika perusahaan A aset
lancarnya 1,000, sedangkan kewajiban lancarnya 300, dan market cap-nya 400,
maka WB tanpa pikir panjang akan langsung membeli saham A tersebut. Sebab jika perusahaan
A dilikudasi, dan kita anggap saja untuk aset tidak lancar-nya hasil
penjualannya adalah nol (karena biasanya memang susah untuk menjualnya, karena
aset tidak lancar disini seperti pabrik, mesin-mesin dll), maka dari penjualan
aset lancarnya (persediaan, piutang) diperoleh 1,000, dikurang utang lancar 300,
hasilnya adalah 700, masih lebih besar dibanding biaya membeli sahamnya sebesar
400.
Dan ada dua cara agar perusahaan dilikuidasi: Perusahaan tersebut
bangkrut, atau WB mengakuisisinya/menjadi pemegang saham mayoritas, sehingga ia
bisa menjual aset-aset perusahaan, dan WB biasanya pakai cara yang kedua,
seperti pada Sanborn diatas. Dengan cara inilah, Warren Buffett Partnership
mencatatkan kinerja yang sangat luar biasa di tahun 1960-an dengan rata-rata
profit 29.8% per tahun, karena mereka hanya berinvestasi pada perusahaan yang sudah pasti akan memberikan keuntungan.
Pada perkembangannya, terutama sejak bertemu dengan Charlie Munger, WB
tidak lagi menggunakan metode diatas, melainkan ia kemudian lebih banyak
membeli saham dari perusahaan bagus yang diharapkan akan menghasilkan
keuntungan konsisten dalam jangka panjang, dan tidak masalah kalau harga belinya
tidak terlalu murah. Namun metode ‘membeli saham pada harga yang sedemikian rendahnya, sehingga kalaupun
perusahaannya bangkrut dan aset-asetnya dilikuidasi, maka investor pemegang
saham tetap akan memperoleh keuntungan’, tetap digunakan oleh banyak value
investor lain. Walter Schloss, value investor seangkatan WB, mengatakan bahwa
ia tertarik membeli saham pada price to net
net capital (PNNC) 0.67 kali atau kurang dari itu, dimana PNNC disini
dihitung dari nilai aset lancar dikurangi semua kewajiban (jadi aset tidak
lancar tidak dihitung/dianggap nilainya nol), dengan anggapan bahwa hanya aset
lancar inilah yang bisa dengan mudah dijual, jika perusahaan dibubarkan. Dengan
metode Schloss ini, saham dengan PBV yang sangat rendah sekalipun bisa jadi
belum cukup murah, jika sebagian besar aset perusahaan merupakan aset
tetap/tidak lancar.
Pertanyaannya kemudian, bisakah kita, sebagai investor ritel,
menggunakan metode-nya WB ketika dulu ia mengakuisisi Sanborn, atau metodenya
Walter Schloss diatas? Well, tentu bisa saja, dengan syarat anda punya cukup dana untuk mengakuisisi
perusahaan yang diincar, sehingga anda bisa menendang direkturnya keluar,
membubarkan perusahaan, dan mengobral aset-asetnya. Tapi jika dana anda
terbatas, maka ya anda nggak bisa melakukan itu. Kalaupun ada investor besar
lain yang membeli saham A dimana PNNC-nya kurang dari 0.67 kali, dengan tujuan menjual
aset-asetnya, maka anda juga tetap tidak akan mendapatkan keuntungan, karena si
investor besar ini, sebelum melikuidasi perusahaan, biasanya ia akan membeli
saham milik publik (termasuk yang anda miliki) dengan mekanisme tender offer berdasarkan
harga pasar, bukan berdasarkan nilai perusahaan.
Okay, Pak Teguh, tapi kalau perusahaannya bangkrut, maka dia otomatis
akan dilikuidasi dong? Dan saya sebagai pemegang saham akan terima duit bukan?
Ah, ceuk saha??? Teorinya iya memang begitu, tapi coba kita lihat prakteknya.
Dulu waktu Dayaindo
Resources (KARK) kolaps, maka apakah pemegang saham publiknya terima duit?
Demikian pula waktu Sekawan
Intipratama (SIAP) bubar, atau Berau
Coal Energy (BRAU) bangkrut dan delisting, maka apakah pemegang sahamnya
dapet duit yang nilainya lebih gede dibanding biaya yang mereka keluarkan buat
beli sahamnya?? Yang ada mereka kehilangan semua uangnya sama sekali, dan
melapor ke OJK pun percuma karena mereka masih puyeng menampung keluhan korban rentenir
online.
Jadi kalau kita beli saham dengan pakai asumsi bahwa ‘kalaupun
perusahaannya bangkrut, maka kita tetap bakal dapet untung’, maka jujur saja, itu
tidak realistis. Kemudian ingat pula bahwa tidak segampang
itu bagi sebuah perusahaan untuk dinyatakan bangkrut/pailit oleh pengadilan,
karena harus ada syarat-syarat seperti gagal bayar utang atau semacamnya. Inilah
kenapa di BEI ada buanyak sekali perusahaan-perusahaan yang kinerjanya dari
dulu rugi mulu, dan sahamnya juga udah lama mati di gocap, tapi tetep aja gak
bangkrut-bangkrut, sehingga aset-nya pun tidak mungkin di-likuidasi. Jadi kalau
anda beli saham gocapan ini hanya karena alasan ‘PNNC-nya dibawah 0.67 kali’,
then congratulations, you played yourself.
Okay Pak Teguh, jadi apa ini maksudnya kita jangan ikutin apa kata
Walter Schloss? Well, boleh kita ikutin, tapi jangan telan mentah-mentah. Demikian pula dengan metode-nya WB,
kita jangan telan begitu saja, karena ingat bahwa di tahun 1960-an sekalipun,
WB sudah merupakan investor besar. Just remember: Sebagai investor ritel, peluang
profit kita hanya ada dua, yakni dari kenaikan harga saham, dan dividen, tapi
bukan dari penjualan aset-aset perusahaan.
Jadi yang penulis lakukan selama ini adalah, kita tidak pernah mengambil
asumsi terburuk bahwa perusahaan yang sahamnya kita beli bakal bangkrut dan
dilikuidasi, melainkan hanya asumsi bahwa kinerjanya/laba bersihnya bakal turun,
atau terjadi force majeure yang
mengubah fundamental atau prospek perusahaan, dan sahamnya otomatis ikut turun.
Kemudian untuk saham dengan valuasi super duper murah, misalnya PBV dibawah 0.4
kali (kita pakenya PBV aja, bukan PNNC tadi ataupun modifikasi lainnya), maka
biasanya itu adalah saham dari perusahaan yang kinerjanya jelek/rugi. Dan untuk
saham model gini maka yang kita lihat adalah, seberapa besar peluangnya untuk kembali membukukan laba di masa yang akan
datang, dimana itu bisa dilihat dari track record kinerjanya di masa lalu,
rencana pengembangan usaha, kualitas manajemen, kebijakan pengelolaan utang,
hingga kondisi terkini dari industri/bidang usaha yang dijalani perusahaan.
Jika peluangnya besar, maka kita ambil sahamnya. Tapi jika peluangnya kecil,
atau hasil analisanya tidak menghasilkan gambaran yang jelas soal prospek perusahaan,
maka kita abaikan sahamnya. Contohnya adalah ketika kita menganggap bahwa
saham-saham batubara menarik di tahun 2016 lalu bahkan meski laba mereka ketika
itu masih pada turun, karena adanya prospek cerah dari kenaikan harga batubara
(baca lagi ceritanya
disini). Dan memang kemudian coal
stocks waktu itu naik banyak.
Tapi sekali lagi, kita tidak pernah membeli perusahaan dengan asumsi
bahwa perusahaannya bakal pailit. Atau, jika setelah dianalisa maka
kesimpulannya perusahaan tersebut ada risiko bakal bangkrut, maka ya sudah kita
gak akan masuk, dan kita tidak akan mengatakan bahwa sahamnya undervalue, tak peduli serendah apapun valuasinya.
Buletin Analisis IHSG &
stockpick saham bulanan edisi Maret
2019 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.
Jadwal Kelas Value Investing Advanced, Sabtu & Minggu, Jakarta, 23 - 24 Maret 2019. Info selengkapnya baca disini.
Jadwal Kelas Value Investing Advanced, Sabtu & Minggu, Jakarta, 23 - 24 Maret 2019. Info selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto aktivitas penulis di INSTAGRAM, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Terima Kasih
pak teguh tele pailit neh,melihat aset lancarnya yang besar. tolong hitungin dong kira2 pemegang saham tele dapat untung berapa dari pailitnya tele.