Kirana Megatara, dan Prospek Harga Karet
Kirana Megatara (KMTR) membukukan laba bersih
Rp69 milyar hingga Kuartal III 2018, anjlok dibanding periode yang sama di
tahun 2017 sebesar Rp391 milyar, dan karena itulah sahamnya terjun bebas dari 900-an,
Februari 2018 lalu, hingga mentok di 250 pada November, sebelum kemudian naik
lagi ke posisi sekarang (350-an). Namun yang menarik perhatian penulis adalah
ketika perusahaan menggelar right issue pada Januari 2019 kemarin di harga 530, alias jauh diatas harga sahamnya
dipasar, dimana pembeli siaganya adalah perusahaan asal Singapura dengan nama Hainan State Farm (HSF) Pte. Ltd. Dan setelah
right issue tersebut, pemegang saham mayoritas KMTR berubah dari sebelumnya Grup Triputra milik konglomerat Theodore
P. Rachmat, menjadi HSF diatas (Grup Triputra masih jadi pemegang saham di
KMTR, namun persentase kepemilikannya sedikit berkurang/terdilusi). Pertanyaannya,
kenapa HSF bela-belain nyetor saham baru di KMTR pada harga diatas harga pasar?
Termasuk kenapa mereka sampai mengambil alih KMTR dari Grup Triputra?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, mari kita
pelajari dulu KMTR ini sejak awal.
Kirana Megatara adalah perusahaan holding dari beberapa anak usaha di
bidang usaha produksi karet remah (crumb rubber), perkebunan karet, dan perkebunan kelapa sawit, namun lebih dari
99% pendapatan perusahaan berasal dari jualan karet remah saja. Dan meski KMTR
itu sendiri baru berdiri tahun 1991 sebagai kendaraan investasi Grup Triputra
di bidang karet, namun anak-anak usahanya sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun
1964, dengan memiliki total 15 pabrik karet yang tersebar di Sumatera dan
Kalimantan. Mungkin tidak banyak yang mengetahui, namun selain batubara dan
CPO, Indonesia adalah juga salah satu produsen karet alam terbesar di dunia
(karena memang pohon karet hanya bisa tumbuh di daerah sekitar garis khatulistiwa),
dan KMTR merupakan perusahaan terbesar di Indonesia di bidang ini. Karet, dalam
hal ini crumb rubber, adalah bahan baku utama pembuatan ban mobil dan motor, thus pelanggan utama KMTR adalah
produsen-produsen ban terkemuka di dunia seperti Bridgestone, Michelin, dan
Goodyear. KMTR punya kebun karetnya sendiri, namun kapasitas panen-nya masih
sangat kecil dibanding kapasitas produksi pabriknya, sehingga mereka membeli
sebagian besar bahan baku getah karet dari petani. KMTR kemudian menjual
sekitar 97% produksi karet remah-nya ke pasar ekspor, dan karena itulah harga jualnya mengikuti harga karet
internasional.
Nah, terkait kalimat yang di-bold diatas, hal ini menyebabkan kinerja KMTR dalam jangka panjang terbilang
tidak konsisten karena sangat dipengaruhi oleh harga karet internasional. Pada
tahun 2014 perusahaan menderita rugi Rp46 milyar, yang berbalik menjadi laba
bersih Rp423 milyar di tahun 2017, sangat besar dibanding ekuitasnya (sebelum
ditambah laba tersebut) yang hanya Rp1 trilyun. Dan seperti yang bisa anda
tebak, harga karet di tahun 2014 terbilang rendah di level US$1.61 per
kilogram, sedangkan di tahun 2017-nya naik tinggi hingga sempat menyentuh US$2.71
per kg. Memasuki tahun 2018, harga karet turun lagi hingga mentok di US$1.32
per kg, dan karena itulah laba KMTR nyungsep lagi. Namun fakta bahwa harga
karet di tahun 2018 kemarin bahkan lebih rendah lagi dibanding tahun 2014,
sedangkan KMTR so far masih membukukan laba (jadi gak sampe rugi lagi), maka
kinerja KMTR terbilang masih bagus, sekali lagi, jika perbandingannya adalah kinerjanya
di tahun 2014 diatas.
Beberapa hal penting terkait perusahaan:
- Modal utama KMTR sejak awal adalah koneksi owner-nya, Theodore P. Rachmat, dengan perusahaan-perusahaan ban kelas dunia, karena memang dulu Mr. Rachmat merupakan dirut Astra Internasional, perusahaan otomotif terbesar di Indonesia. Saat ini 12 dari 20 produsen ban terbesar di dunia merupakan pelanggan KMTR, dan bisa dibilang bahwa Mr. Rachmat simply menghubungkan Bridgestone dkk dengan petani dan pabrik karet di Indonesia, yang jumlahnya sangat banyak (karena seperti yang disebut diatas, Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia, setelah Thailand).
- Pohon karet butuh waktu 5 – 6 tahun dari sejak ditanam hingga dewasa dan bisa disadap, alias lebih lama dibanding pohon sawit yang hanya butuh 3 tahun, sehingga akan lebih mudah bagi KMTR untuk membeli karet mentah dari petani-petani pemilik kebun yang sudah ada, daripada menanam pohon karetnya sendiri. Inilah kenapa meski pendapatan KMTR bisa mencapai lebih dari Rp10 trilyun setiap tahunnya, namun laba bersihnya hanya sekian ratus milyar Rupiah, karena ada beban pokok yang sangat besar berupa pembelian bahan baku.
- Karena KMTR membeli bahan baku dari petani, maka fokus perusahaan sedari dulu adalah membantu para petani itu sendiri untuk bisa terus produktif, karena para petani kecil ini umumnya terbatas dalam hal modal, pengetahuan dll, dibanding perusahaan perkebunan karet skala besar. And so far, KMTR cukup baik dalam hal memberdayakan petani tersebut, dimana perusahaan belum pernah kekurangan pasokan bahan baku.
- Karena bisnisnya sederhana, yakni beli getah karet dari petani, diolah jadi crumb rubber, lalu jual, maka neraca KMTR juga terbilang bersih dan simpel. Perusahaan memang punya utang bank jangka panjang sebesar Rp1.7 trilyun, cukup besar dibanding ekuitasnya yang hanya Rp1.5 trilyun, namun itu adalah untuk keperluan membeli bahan baku karet mentah. Dan karena omzet/pendapatan KMTR mencapai Rp12 trilyun per tahun, maka dana pinjaman bank tersebut memang muter buat beli bahan baku tadi/omzet KMTR bisa lebih kecil andaikan utang tersebut tidak ada. Bunga utangnya juga terbilang murah, yakni US Libor 3 bulan (sekitar 2.7%) ditambah margin maksimal 4.0%, sehingga totalnya hanya 6.7% per tahun.
Sekarang balik lagi soal harga karet
internasional. Seperti yang bisa anda lihat di grafik berikut, harga karet
pernah mencapai level yang sangat tinggi di US$6.26 per kg di tahun 2011, tapi
setelah itu terjun bebas hingga mentok US$1.23 di awal tahun 2016, sebelum
kemudian naik lagi sampai US$2.71 di awal tahun 2017, lalu turun lagi hingga
US$1.35 di bulan November 2018, dan terakhir berada di posisi US$1.59 pada
Januari 2019.
Nah, dari sini bisa kita lihat bahwa harga
karet dunia terbilang sangat fluktuatif,
jauh lebih fluktuatif dibanding harga minyak atau batubara. Kondisi ini
mungkin menjelaskan kenapa nggak banyak perusahaan karet skala besar di
Indonesia meski kita notabene adalah produsen karet alam terbesar di dunia,
karena bisnis karet ini sangat risky, yakni
gimana kalau besok-besok harga karet anjlok lagi? Sedangkan Indonesia tidak punya kendali terhadap harga karet
dunia, karena kita baru bisa memproduksi karet-nya, tapi belum bisa bikin ban
dll (memang ada Gajah Tunggal, tapi GJTL masih jauh lebih kecil dibanding
Bridgestone dkk). Namun KMTR diuntungkan karena perusahaan, sekali lagi,
memiliki hubungan baik dengan pabrik-pabrik ban di seluruh dunia yang selalu
siap membeli crumb rubber hasil produksi perusahaan, berapapun harganya.
Kemudian, berbeda dengan harga batubara dan
minyak yang sudah naik lagi dibanding titik terendahnya di tahun 2016 lalu,
harga karet saat ini masih berada di salah satu titik terendahnya. Yang ini
artinya, meski harga karet kedepannya memang tidak bisa diprediksi, namun no way dia bakal turun lebih rendah lagi,
karena harga karet sekarang ini bahkan
tidak lebih tinggi dibanding harganya 15 tahun yang lalu. Perlu diketahui
juga bahwa terdapat dua jenis karet: Karet alam (natural rubber) yang dibuat dari getah pohon karet, dan karet sintetis,
yang dibuat dari proses kimia minyak bumi. Karena di negara-negara maju produsen
otomotif seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman tidak ada pohon karet,
maka dimasa lalu 65% produksi karet dunia merupakan karet sintetis, namun karet
alam lebih disukai karena kualitasnya lebih baik/lebih tahan lama. Tingginya
permintaan karet alam menyebabkan negara-negara di Asia Tenggara menanam pohon
karet secara besar-besaran sejak awal dekade 2000-an, sehingga suplai karet
alam meningkat, dan alhasil saat ini produksi karet dunia tinggal 57% yang
merupakan karet sintetis, sedangkan 43% sisanya adalah karet alam. Karena trend
penggunaan karet alam masih terus meningkat, maka sekali lagi, harga karet seharusnya
tidak akan turun lebih rendah lagi (harga karet diatas adalah harga karet
alam). Dan asal harga karet kedepannya tidak turun, maka selanjutnya cuma soal
waktu sebelum dia akan naik.
Nah, semua uraian diatas menjelaskan kenapa HSF
berani setor modal lagi ke KMTR, bahkan pada harga saham diatas harga pasar, termasuk
menjadi pemegang saham mayoritas dengan memegang 50.5% saham KMTR: Mungkin itu
karena mereka melihat bahwa harga karet saat ini, yakni US$1.59 per kg, itu
sudah sangat rendah, dan cuma soal waktu sebelum nanti akan naik lagi. Sebab
dulu juga ketika harga karet turun sampai menyentuh US$1.5 per kg, maka
perusahaan-perusahaan karet di Indonesia, Thailand, dan Malaysia, dengan
dukungan pemerintah di ketiga negara, pernah membuat kesepakatan untuk
membatasi volume ekspor dalam rangka menurunkan pasokan karet dunia, dan pada akhirnya
menaikkan kembali harga karet. Thus, kalaupun
besok-besok harga karet turun lagi, maka kita tahu bahwa perusahaan dan
pemerintah tidak akan tinggal diam.
Dan gak perlu naik sampai US$6 seperti di tahun
2011, jika harga karet naik sampai US$2.5 – 3 per kg saja, maka KMTR bakal
jackpot lagi. Untuk urusan pembeli sudah aman, karena Grup Triputra juga masih
ada disitu. Dan untuk urusan bahan baku juga sudah aman karena KMTR sudah
sangat berpengalaman dalam hal memberdayakan petani. Satu-satunya risiko adalah
jika Grup Triputra, karena posisinya tidak lagi menjadi pemegang mayoritas,
kemudian melepaskan pengelolaan KMTR ini secara seluruhnya ke tangan HSF,
sedangkan sejak awal KMTR ini bisa maju karena tangan dingin dari Mr. Rachmat
(atau melalui putranya yang menjadi direktur perusahaan, Arif Rachmat). Tapi
seharusnya itu tidak terjadi, karena saham Triputra di KMTR masih lebih dari
40%, alias masih cukup besar, sehingga kalau KMTR kenapa-napa maka mereka sendiri
yang rugi (dan Triputra juga mungkin butuh keberadaan HSF yang berasal dari Singapura, karena KMTR banyak ekspor melalui Singapura, dan harga karet internasional juga ditentukan di Singapore Commodity Exchange).
Prospek Saham KMTR
Okay Pak Teguh, tapi itu kan dari sudut pandang
HSF dan Triputra sebagai pemegang saham pengendali di KMTR. Lalu bagaimana
prospek KMTR ini dari sudut pandang investor ritel? Well, mari kita cek lagi KMTR
ini dari sudut valuasi saham serta kinerja terakhirnya di Kuartal III 2018
kemarin: Karena laba KMTR terakhir masih turun, dan karena diatas kita baru
mengatakan bahwa harga karet sudah cukup rendah dan harusnya gak turun lebih
dalem lagi, tapi disisi lain kita
nggak tahu juga kapan harga karet akan naik lagi (bisa sangat lama dari sekarang),
maka ini artinya laba KMTR belum tentu akan naik lagi di tahun 2019 ini, atau
bahkan di 2020 nanti. Dan itu artinya, sahamnya juga belum punya alasan untuk
naik. Sebab kalau kita lihat juga harga CPO, yang mencapai titik terendahnya di
1,900 Ringgit Malaysia per ton beberapa tahun lalu, tapi sampai sekarang dia
cuma naik sedikit ke RM2,250 per ton (dan alhasil sampai sekarang emiten-emiten
sawit di Indonesia masih pada tekor), maka bukan tidak mungkin harga karet juga
akan disitu-situ saja dalam 2 – 3 tahun kedepan. Jika HSF memutuskan untuk
masuk lebih banyak ke KMTR, maka itu karena sebagai pengendali perusahaan, horizon
investasi mereka biasanya sangat panjang antara 5 – 10 tahun, tapi jangka waktu
holding investor publik biasanya
lebih pendek dari itu.
Jadi kesimpulannya, akan lebih baik jika kita
menunggu salah satu dari dua hal berikut, sebelum kemudian masuk ke KMTR: 1.
Harga karet naik, linknya bisa dilihat
disini, atau 2. Laba KMTR naik. Untuk langsung masuk di harga sekarang,
maka itu gak worth it, karena meski HSF
menebus saham anyar KMTR pada harga 530, tapi pada harga 356, PBV KMTR masih tercatat 1.7 kali (sudah
memperhitungkan tambahan setoran modal dan peningkatan jumlah saham setelah
right issue-nya), gak bisa disebut murah untuk ukuran saham komoditas yang
relatif high risk, dan belum cukup
populer di mata investor di BEI.
Tapi karena untuk mengecek harga karet, atau
laporan keuangan terbaru KMTR, dua-duanya sangat mudah dilakukan, maka KMTR ini
tetap layak untuk setidaknya masuk watch
list, untuk nanti kita masuk jika timing-nya
sudah tepat. Karena, hey, ingat sekali lagi bahwa, asal harga karet naik sampai
US$2 – 3 per kg saja, maka KMTR ini bakal jackpot lagi, dan demikian pula
sahamnya bisa kembali menggapai langit, seperti tahun 2017 kemarin.
Buku Analisis 30 Saham Pilihan (‘Ebook
Kuartalan’, atau ‘Ebook Investment Planning’) edisi Kuartal IV 2018 sudah
terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini, tersedia pula Ebook edisi lama dengan harga diskon.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Saya izin bertanya pak, kan seperti yang bapak tulis kalau Indonesia adalah salah satu produsen karet terbesar di dunia setelah thailand ya pak (CMIIW). Kenapa Indonesia tidak bisa jadi price maker dari harga karet dunia?
Terima kasih banyak pak