Amerika Resesi??
Dua bulan lalu,
tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2018, ada satu fakta peristiwa penting yang
menarik perhatian penulis, tapi cenderung diabaikan oleh para pelaku pasar
lainnya karena memang hampir gak ada beritanya: Dow Jones ketika itu kembali break
new high ke level 26,828 (all time
high Dow sebelumnya adalah di level 26,617, yang dicapai pada 26 Januari
2018), dan itu terjadi ketika valuasi AMZN dkk sudah amat sangat mahal, cerita
perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China juga masih ramai, plus adanya
kekhawatiran krisis di negara-negara emerging
market. Berdasarkan pengalaman, ini justru berarti bahwa Dow rawan untuk jatuh lagi sewaktu-waktu,
dimana ketika itu terjadi maka barulah beritanya
bakal ramai. Penulis kemudian menyampaikan soal kemungkinan penurunan Dow
ini, plus faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pergerakan pasar secara umum,
pada buletin
analisis IHSG edisi Oktober, dimana intinya kita harus waspada/jangan
dulu belanja saham.
Daaan ternyata
benar: Masih di bulan Oktober, Dow dengan cepat drop sampai 24,442, pada 29
Oktober. Tapi mungkin karena penurunannya tidak terlalu signifikan (totalnya
8.8%), dan karena memasuki November Dow dengan cepat rebound lagi sampai
26,191, maka tetap belum ada cerita negatif apapun. However, setelah Dow
kembali turun hingga menyentuh 23,593 pada 17 Desember, atau turun total 12.1% dibanding posisi
tertingginya pada awal Oktober (secara psikologis, jika Dow turun lebih dari
10% dari posisi tertingginya, maka pasar saham Amerika ‘resmi’ memasuki periode
bear market), maka barulah para
investor dan analis di seluruh dunia seperti terbangun dari tidur: Ada apa
ini?? Lalu entah dari mana asalnya tiba-tiba muncul kabar bombastis: Amerika
bakal resesi!
Tapi benarkah
demikian? Bahwa Amerika akan resesi?? Nah, memang itulah yang akan kita bahas
disini, okay kita langsung saja:
Terkait cerita ‘Amerika
Resesi’ ini, maka penulis termasuk yang tidak kaget ketika isunya nongol,
karena seperti yang disampaikan diatas, sejak Oktober kami sudah melihat
kemungkinan Dow akan jatuh, dimana ketika itu terjadi maka barulah beritanya akan
ramai, dan akan dibumbui banyak sentimen
negatif. Yup, jadi ya sama saja seperti 2 – 3 bulan kemarin di Indonesia,
yakni ketika IHSG berada di 5,600 – 5,700 dimana anda tentu masih ingat ketika
itu ramai cerita Krisis
Turki, pelemahan Rupiah
dst, dan banyak juga yang mengatakan bahwa pasar bakal lanjut turun.
Tapi ketika
sekarang IHSG naik lagi, maka seperti yang bisa anda lihat, hampir semua berita
negatif menghilang dengan sendirinya. Jadi untuk Amerika juga sebenarnya sama
saja: Kalau besok-besok Dow, S&P, dan Nasdaq naik lagi, maka kekhawatiran
terkait resesi akan mereda, dan anda tidak akan lagi diganggu oleh broadcast
aneh-aneh tentang krisis bla bla bla di grup whatsapp. Hanya saja disisi lain,
jika penurunan Dow ternyata berlanjut, maka tentu saja cerita Amerika Resesi
ini akan terdengar semakin kencang.
Kemana Arah
Dow Jones Selanjutnya?
Pergerakan DJIA dalam dua tahun terakhir: Perhatikan bahwa meski Dow saat ini sudah turun lumayan, namun posisinya masih jauh lebih tinggi dibanding posisinya pada awal 2017 lalu |
Dan sayangnya
memang masih terdapat kemungkinan bahwa penurunan
Dow akan berlanjut. You see, soal penurunan Dow Jones ini sebenarnya sudah
kita bahas pada Februari 2018 lalu, dimana ketika itu Dow turun total 10.3%
dari 26,616 ke 23,860 (baca lagi ulasannya
disini), dan di artikel berikutnya penulis katakan bahwa penurunan tersebut
bukanlah karena Amerika lagi krisis atau gimana, melainkan karena valuasi
saham-saham disana sudah pada mahal saja,
atau minimal sudah tidak bisa dikatakan murah lagi (istilahnya ‘price in’, baca penjelasannya
disini), setelah pasar saham
Amerika itu sendiri naik banyak dalam dua tahun sebelumnya.
Jadi
pertanyaannya sekarang, apakah saham-saham di Amerika sana, atau dalam hal ini 30
saham komponen indeks Dow Jones Industrial Average sudah relatif murah setelah
kemarin Dow itu sendiri turun banyak, atau masih mahal? Well, mari kita lihat
saja datanya, sebagai berikut:
No.
|
Company
|
Price (US$
per share)
|
PER (x)
|
PBV (x)
|
Dividend
Yield (%)
|
1
|
Travelers
Companies
|
119.2
|
13.3
|
1.4
|
2.5
|
2
|
IBM
|
116.4
|
18.8
|
5.4
|
5.3
|
3
|
Walt Disney
|
109.2
|
13.1
|
3.3
|
1.6
|
4
|
DowDuPont
|
52.2
|
58.5
|
1.2
|
5.6
|
5
|
Microsoft
|
103.7
|
42.7
|
9.6
|
1.7
|
6
|
McDonald's
|
179.2
|
27.2
|
-
|
2.3
|
7
|
Verizon
Communications
|
55.9
|
7.1
|
4.2
|
4.3
|
8
|
Walmart
|
90.6
|
51.7
|
3.7
|
2.3
|
9
|
Merck
|
73.8
|
59.7
|
6.1
|
2.6
|
10
|
Procter &
Gamble
|
91.8
|
24.0
|
4.5
|
3.0
|
11
|
Coca-Cola
|
47.9
|
72.8
|
11.2
|
3.2
|
12
|
Pfizer
|
42.0
|
10.6
|
3.4
|
3.2
|
13
|
UnitedHealth
Group
|
250.3
|
19.6
|
4.8
|
1.3
|
14
|
Visa
|
131.3
|
29.7
|
10.2
|
0.7
|
15
|
JPMorgan
Chase
|
97.3
|
12.1
|
1.4
|
2.5
|
16
|
Goldman Sachs
Group
|
169.3
|
12.4
|
0.9
|
1.8
|
17
|
Home Depot
|
167.6
|
18.3
|
143.6
|
2.4
|
18
|
Caterpillar
|
122.3
|
19.4
|
4.6
|
2.6
|
19
|
Exxon Mobil
|
70.8
|
13.0
|
1.6
|
4.4
|
20
|
United
Technologies
|
113.8
|
18.3
|
2.8
|
2.4
|
21
|
Chevron
|
107.8
|
14.5
|
1.3
|
4.1
|
22
|
Cisco Systems
|
43.1
|
164.7
|
4.4
|
2.9
|
23
|
Johnson &
Johnson
|
127.6
|
224.3
|
5.3
|
2.7
|
24
|
American
Express
|
98.8
|
23.8
|
3.9
|
1.4
|
25
|
3M
|
190.0
|
25.5
|
10.8
|
2.7
|
26
|
Boeing
|
319.6
|
18.8
|
-
|
2.0
|
27
|
Walgreens
Boots Alliance
|
73.3
|
14.5
|
2.7
|
2.2
|
28
|
NIKE
|
69.0
|
54.7
|
12.2
|
1.1
|
29
|
Apple
|
160.9
|
13.5
|
7.1
|
1.6
|
30
|
Intel
|
45.6
|
14.2
|
2.9
|
2.5
|
Catatan:
- Data diambil dari www.finance.yahoo.com, dimana untuk PBV McDonald’s dan Boeing memang nggak ada datanya. Semua angka diatas adalah per tanggal 20 Desember 2018, ketika Dow berada di posisi 23,324. Untuk melihat valuasi Travelers Companies, misalnya, maka klik disini.
- Angka PER yang diambil adalah trailing PER, yakni PER yang dihitung berdasarkan angka laba bersih terbaru perusahaan. Jika laba perusahaan diasumsikan akan naik, maka PER-nya di masa yang akan datang, atau forward PER-nya juga bisa turun. Dan karena ke-30 perusahaan diatas rata-rata labanya tahun ini masih pada naik semua, maka PER-nya nanti bisa saja turun/forward PER-nya lebih rendah dibanding trailing PER-nya.
- Untuk dividend yield juga sama, dimana yang diambil adalah trailing dividend yield, sehingga realisasi dividen untuk tahun depan mungkin lebih besar jika laba perusahaan pada tahun ini naik.
- Beberapa perusahaan mencatat PER yang rendah namun PBV-nya sangat tinggi, karena memang ROE-nya juga sangat besar. Contohnya Home Depot, dimana ROE-nya mencapai 500%.
Okay, sekarang
kita analisis. Dari tabel diatas dimana angka PBV rata-rata cukup tinggi
dibanding PER, maka bisa kita katakan bahwa secara return on equity (ROE), ke-30 perusahaan komponen Dow mayoritas
membukukan ROE yang cukup besar, yakni sekitar 20 – 30% (sebagai perbandingan,
jika suatu saham PER-nya 10 kali, sedangkan PBV-nya 2 kali, maka ROE-nya adalah
20%), dan itu lebih tinggi dibanding level ROE di Indonesia dimana Astra
International dkk ROE-nya terakhir hanya di kisaran 15% saja. Kinerja para
emiten Amerika yang lebih baik dibanding Indonesia juga sekaligus menjelaskan
kenapa Dow naik lebih banyak dibanding IHSG dalam lima tahun terakhir (antara
Desember 2013 – Desember 2018, Dow naik total 48.6%, sedangkan IHSG hanya naik
38.6%).
Namun disisi
lain, jika menggunakan standar valuasi yang sama dengan di Indonesia, maka saat
ini valuasi IBM dkk sudah (dan masih) mahal, dimana PER-nya rata-rata mencapai
15 – 20 kali, sedangkan PBV-nya juga sudah mencapai 2, 3, atau 4 kali (kecuali PBV
perusahaan minyak dan perbankan, yang mungkin karena dipengaruhi fluktuasi harga
minyak, serta isu kenaikan suku bunga The Fed yang selalu diulang-ulang).
Sekali lagi perlu dicatat bahwa itu adalah valuasi ketika Dow sudah turun ke level 23,000-an, dan
bukan ketika kemarin masih berada di level 26,000-an. Mengingat kinerja para
perusahaan yang masih bagus, maka memang tidak realistis jika kita katakanlah
mau beli saham Apple pada harga yang mencerminkan PER 7 kali, tapi PER 10 – 11 kali
tentunya masih sangat mungkin bukan? Karena beberapa tahun lalu PER Apple memang stabilnya disitu, dan
baru naik tinggi sampai sempat tembus 19 kali (sebelum sekarang turun lagi ke
13 kali) dalam dua tahun terakhir. Demikian pula saham-saham yang lain, dimana
meski valuasi mereka turun signifikan seiring dengan penurunan harga sahamnya
sejak Oktober 2018 kemarin, tapi valuasi
mereka saat ini mayoritas masih lebih tinggi dibanding dua atau tiga tahun yang lalu.
Karena itulah,
diatas penulis sudah sampaikan bahwa Dow masih mungkin untuk lanjut turun lagi.
Namun soal seberapa dalem Dow bakal turun, maka seharusnya juga tidak akan terlalu dalem, karena problemnya
disini hanya terkait valuasi para emiten disana saja, dan bukan karena ada
problem ekonomi. Yep, beberapa analis luar negeri mengatakan bahwa posisi
bottom Dow adalah sekitar 20,000,
dan penulis sependapat dengan itu, selain karena berdasarkan pengalaman, koreksi
pasar yang ‘sehat’, yakni koreksi untuk mengembalikan valuasi saham-saham ke
level yang seharusnya/nggak mahal lagi (jadi sekali lagi, bukan karena kinerja
perusahaan lagi jelek, atau karena ada krisis), adalah jika Dow turun 20 – 25% dari posisi tertingginya, tapi nggak lebih dari itu. Karena
posisi tertinggi Dow adalah 26,828, maka artinya target penurunannya adalah
sampai kurang lebih 20,000 – 21,000.
Well, sedikit lagi lah :D Termasuk jika ada yang bilang bahwa tahun 2019 nanti
pasar saham Amerika bakal lesu, maka itu juga penulis setuju karena, well, dalam
satu dekade terakhir Dow Jones dkk memang sudah naik buanyak banget sejak
terakhir krisis tahun 2008 lalu, jadi ya mau naik sampai berapa lagi??
Sedangkan sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, pertumbuhan ekonomi yang
riil di Amerika juga tidak bisa terlalu tinggi (3 - 4% per tahun sudah sangat bagus,
beda dengan Indonesia yang mencapai 5 – 6%). Jadi tentu sangat normal jika
pasar saham Amerika ‘beristirahat’ dulu sejenak dari rally panjangnya, dimana kalau Dow nggak turun maka minimal stagnan lah, sebelum baru tahun 2020 atau
2021 nanti lanjut naik lagi.
Tapi Pak Teguh,
bagaimana dengan berita bahwa Amerika katanya sedang resesi? Bukankah kalau Amerika beneran krisis maka Dow bakal turun lebih dalem lagi?? Nah, sebenarnya
kalau kita baca-baca lagi data ekonomi makro Amerika (paling gampang lihat di www.tradingeconomics.com), kemudian
menganalisa kinerja emiten di Amerika seperti yang sudah saya kerjakan pada
tabel diatas, hingga baca tulisan-tulisan dari analis beneran (jadi bukan
berita yang ditulis wartawan), maka kesimpulannya, gak ada resesi apapun. Sebelumnya perlu dipahami bahwa definisi
dari ‘resesi’ adalah satu periode dalam perputaran siklus ekonomi dimana kegiatan
ekonomi masyarakat (investasi dan konsumsi) secara umum melambat atau turun, dan
perusahaan-perusahaan membukukan penurunan laba. Resesi berbeda dengan krisis, dimana ketika terjadi resesi
maka pendapatan perusahaan-perusahaan mungkin akan stagnan atau turun, tapi mereka
gak akan sampai bangkrut atau gagal bayar utang (itu hanya akan terjadi ketika
krisis).
Namun karena
perbedaan definisi inilah, maka hal-hal paling sepele sekalipun bisa langsung
diberikan label sebagai ‘pertanda resesi’. Contohnya, ketika mall-mall di Amerika
cenderung sepi dari orang yang berbelanja (padahal harusnya rame, karena ini sebentar
lagi libur Natal), media dan orang-orang di medsos langsung menyebut itu
sebagai ‘sinyal resesi’ atau semacamnya, yang kemudian dikatakan sebagai penyebab
penurunan Dow Jones. Padahal jika kita mau telaah datanya sedikiiiit saja, maka
akan langsung kelihatan bahwa mall sepi karena orang-orang sudah pindah ke toko
online. Demikian pula isu perang dagang US vs China, yang sudah muncul sejak setahunan terakhir, tapi sampai sekarang belum ada dampak riil dari
isu perang dagang tersebut terhadap ekonomi US.
Anyway, seperti
yang sudah disebut diatas, jika besok-besok Dow lanjut turun, maka cerita soal
resesi ini akan semakin ramai dibicarakan, dan masalahnya diatas juga sudah
disampaikan bahwa Dow memang masih mungkin untuk lanjut turun lagi, so brace
yourself. Tinggal pertanyaannya sekarang, jika nanti Dow beneran bablas jeblok
sampai 20,000 atau lebih rendah lagi, maka gimana kira-kira pengaruhnya
terhadap IHSG??
Namun berhubung artikelnya
sudah cukup panjang, maka kita akan menjawab itu pekan depan.
Buletin Analisa IHSG & stockpick saham
bulanan edisi Januari 2019 akan
terbit hari Rabu, 2 Januari mendatang. Anda bisa memperolehnya
disini, gratis konsultasi saham untuk member selama masa berlangganan.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Untuk standar valuasi tidak boleh di samakan dengan perusahaan di amrika karena perbedaan inflasi. perusahaan di ameraka rata2 pernya 15x pbv 1 kali , di indonesia misalnya asii per nya 15 x juga, pbv juga 1 kali.Artinya Roe = 6,6%. jelas perusahaan di amerika lebih murah. kalau roe 6,6% mending aku deposito aja masih dapat 6,75%. Tapi di amerika 6,6% sudah diatas bunga desito berkali kali. jadi jelas perusahan di amrik lbh murah.