Rupiah Menguat??

Setelah sebelumnya melemah terus, dalam seminggu terakhir Rupiah tiba-tiba saja menguat terhadap US Dollar dimana hingga ketika artikel ini ditulis, posisinya sudah dibawah level psikologis Rp15,000, tepatnya Rp14,632. Praktis, pasar pun segera meresponnya dengan positif dimana kemarin IHSG kembali naik hingga hampir saja tembus 6,000 lagi. Pertanyaannya tentu, penguatan Rupiah ini cuma sementara atau untuk seterusnya? Dan sebenarnya faktor-faktor apa saja sih yang membuat Rupiah menguat atau melemah?

Pergerakan Rupiah sejak 1 Sept 2018 sampai sekarang. Sumber: Bank Indonesia

Seperti halnya saham, secara umum ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap USD, yakni faktor jangka panjang, dan faktor jangka pendek. Untuk faktor-faktor jangka panjang, seperti dikutip dari Wikipedia, adalah sebagai berikut:

Pertama, neraca pembayaran, alias transaksi jual beli yang dilakukan orang-orang, organisasi dan perusahaan, hingga Pemerintah di Indonesia dengan negara-negara lainnya di seluruh dunia, termasuk didalamnya neraca ekspor impor. Simpelnya jika Indonesia lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor produk dan jasa, maka Rupiah akan melemah. However, defisit neraca ekspor impor tidak selalu melemahkan Rupiah, karena itu baru satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran. Contohnya, jika jumlah wisatawan mancanegara di Indonesia meningkat, maka itu akan meningkatkan permintaan terhadap mata uang Rupiah (karena wisatawan ini ya harus transaksi jual beli pake Rupiah ketika mereka berada di Indonesia), dan itu bisa mendorong neraca pembayaran menjadi surplus.

Kedua, tingkat suku bunga, atau dalam hal ini BI Rate, dimana jika BI Rate naik maka tingkat bunga di Indonesia secara umum akan naik, termasuk bunga obligasi, deposito dll juga ikut naik, dan itu bisa menarik minat investor dari luar negeri untuk menginvestasikan dana mereka disini, yang otomatis meningkatkan permintaan terhadap Rupiah.

Ketiga, inflasi. Ketika terjadi inflasi maka itu menunjukkan bahwa purchasing power Rupiah melemah, dimana harga-harga barang didalam negeri akan tampak naik, padahal sebenarnya itu karena nilai Rupiah yang turun. Dan jika pada satu waktu inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding di Amerika Serikat (AS), maka Rupiah otomatis akan melemah. Di artikel ini penulis sudah jelaskan bahwa salah satu penyebab Rupiah dalam jangka panjang terus turun terhadap USD, adalah karena inflasi disini hampir selalu jauh lebih tinggi dibanding di AS, setiap tahunnya.

Keempat, kebijakan fiskal dan moneter, alias tingkat pendapatan serta belanja pemerintah, dimana jika angkanya defisit (pengeluaran lebih besar dibanding penerimaan pajak) maka itu juga bisa melemahkan Rupiah. Tapi disisi lain jika Pemerintah mengetatkan/menurunkan anggaran belanja, atau menaikkan tarif pajak dalam rangka agar APBN menjadi surplus, maka itu bisa melambatkan perputaran roda ekonomi, dan ujungnya bisa melemahkan Rupiah juga. Jadi dalam hal ini yang penting bukan surplus atau defisitnya, melainkan bagaimana agar kebijakan fiskal ini bisa seimbang dalam jangka panjang, alias gak defisit terus menerus, dan sebaliknya gak surplus terus menerus.

Kelima, intervensi pemerintah. Seperti halnya saham, Rupiah bisa juga fluktuatif, alias naik atau turun secara tajam dalam waktu singkat karena faktor-faktor non fundamental seperti adanya aksi spekulan domestik yang memborong USD, sehingga Rupiah melemah meski ekonomi dalam negeri sejatinya baik-baik saja. Dalam hal ini Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) atau organisasi lainnya bisa melakukan intervensi dengan membeli kembali Rupiah di pasar, sehingga harapannya Rupiah kembali menguat. Pada negara tertentu, termasuk di Indonesia, intervensi pemerintah ini bisa dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang.

Dan keenam, sekaligus yang paling penting, adalah kondisi fundamental ekonomi dalam negeri. Simpelnya kalau terjadi krisis maka Rupiah otomatis akan melemah, dan sebaliknya kalau ekonomi lagi bagus-bagusnya dimana usaha lancar, orang-orang mudah memperoleh pekerjaan dst, maka Rupiah juga akan menguat.

Faktor Jangka Pendek

Nah, itu diatas adalah faktor-faktor jangka panjang. Terus bagaimana dengan faktor-faktor jangka pendeknya? Ya simply berdasarkan hukum supply and demand, dimana Rupiah bisa menguat kalau permintaan terhadap Rupiah meningkat, demikian sebaliknya, dimana faktor supply and demand ini bisa berubah setiap saat. Contohnya itu tadi: Jika ada spekulan yang memborong USD, maka Rupiah bisa melemah untuk sesaat, tapi sebesar apapun modal si spekulan ini maka tetap saja dia tidak bisa terus menerus membeli USD, sehingga Rupiah bisa langsung menguat lagi. Ketika mata uang negara lain seperti Turki, Argentina dst melemah terhadap USD, maka secara psikologis itu juga bisa membuat investor yang memegang Rupiah menjadi khawatir (karena Indonesia adalah juga emerging market), sehingga mereka buru-buru menukarnya dengan USD, dan nilai Rupiah turun. Tapi ketika mata uang negara lain tersebut kembali menguat, maka rupiah juga akan ikut menguat.

Dan ketika terjadi perubahan cepat antara supply and demand, maka Rupiah bisa menjadi sangat fluktuatif: Tiba-tiba melemah, tapi tapi tak lama kemudian menguat lagi. Nah, seperti halnya saham, maka ketika harga suatu saham fluktuatif maka itu disukai akan oleh para trader/spekulan (yang berharap bisa dapet profit cepat) tapi tidak disukai oleh investor jangka panjang, maka demikian pula jika nilai tukar Rupiah fluktuatif, itu tidak akan disukai oleh pengusaha, karena mereka jadinya pusing ketika menghitung harga jual produk dan biaya produksi, terutama jika bisnisnya berhubungan dengan ekspor impor. Dalam hal inilah intervensi kemudian Pemerintah menjadi penting agar Rupiah menjadi stabil, tapi terkadang dengan adanya intervensi sekalipun, fluktuasi itu tetap terjadi.

Proyeksi Kurs Rupiah Kedepannya

Tapi mau Rupiah naik atau turun kaya gimana, pada akhirnya dia akan mengikuti fundamental ekonomi makro. Dan kabar baiknya, dari faktor-faktor jangka panjang yang mempengaruhi nilai tukar Rupiah, kesemuanya menunjukkan bahwa, yes, Rupiah memang normalnya melemah terhadap USD, tapi seharusnya tidak akan sampai bernasib seperti Turkish Lira yang nilai tukarnya terhadap Dollar jeblok hingga separuhnya (sedangkan pelemahan Rupiah sepanjang 2018 ini baru sekitar 10%). You see, ‘current account’ atau transaksi berjalan Indonesia, yang merupakan komponen dari neraca pembayaran, memang defisit sejak tahun 2012 lalu, salah satunya karena defisit neraca ekspor impor, namun angkanya hanya -1.7%, dibanding -5.5% milik negara Turki. Untuk BI Rate, angkanya juga turun terus sejak tahun 2009 hingga mencapai titik terendahnya dalam sejarah yakni 4.25% di tahun 2017, tapi belakangan dinaikkan lagi ke level 5.75% agar investor asing kembali tertarik investasi disini, dan sejauh ini dampaknya cukup terasa: Asing mulai masuk lagi, dan Rupiah turut menguat. Kenaikan suku bunga biasanya bisa berdampak negatif terhadap inflasi (baca lagi hubungan antara BI Rate, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi di artikel ini), sehingga ujungnya Rupiah bisa tetap melemah lagi, namun inflasi Indonesia sampai saat ini masih stabil di angka 3.16%, lebih rendah dibanding rata-rata inflasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir yang mencapai 6 – 7%, dan juga jauh lebih rendah dibanding inflasi Turki yang mencapai 25.2% (jadi kenaikan BI Rate masih aman).

Lalu soal kebijakan fiskal, APBN Indonesia sudah defisit lebih dari -2% sejak tahun 2013 (sebelumnya defisit juga, tapi rata-rata hanya 0 – 1%), dan ini mungkin turut melemahkan Rupiah karena untuk menutup defisit tersebut, Pemerintah mengambil utang luar negeri sehingga otomatis membeli Dollar (rasio debt to GDP Indonesia naik dari 23.0% di tahun 2012, menjadi 28.7% di tahun 2017). Kemudian soal intervensi Pemerintah, maka beberapa waktu lalu ketika Rupiah untuk pertama kalinya kembali tembus diatas Rp15,000 per USD, maka Kementerian Keuangan dll terbilang cepat tanggap dengan segera meluncurkan paket kebijakan pembatasan impor dll, dan itu juga berpengaruh positif terhadap Rupiah. Dan terakhir, kondisi ekonomi dalam negeri, dimana itu bisa dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, juga stabil di kisaran 5 – 5.2%. Angka 5% ini mungkin tampak kurang mengesankan, mengingat pada tahun 2011 lalu Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi sampai 6%, tapi perlu dilihat pula bahwa GDP nasional ketika itu masih US$ 750-an milyar, sedangkan saat ini GDP nasional sudah tembus US$ 1 trilyun. Yang itu berarti, ketika saat ini pertumbuhan ekonomi tercatat 5%, maka GDP bertambah US$ 50 milyar, atau masih sedikit lebih besar dibanding ketika pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi tercatat 6%, dimana GDP hanya bertambah US$ 45 milyar.

Kesimpulannya, beberapa faktor seperti defisit APBN dan defisit current account memang berpengaruh negatif terhadap Rupiah, namun faktor-faktor lainnya menunjukkan bahwa ekonomi kita masih aman. Sehingga sekali lagi, yep, Rupiah normalnya harus melemah, tapi pelemahannya tidak akan signifikan, apalagi sampai kejadian seperti tahun 1998. Dan itu berarti, jika sewaktu-waktu Rupiah kumat lagi dengan terjun bebas ke 15,000 atau bahkan 16,000 sekalipun (karena faktor jangka pendek supply and demand tadi), tapi pada akhirnya ya dia akan menguat lagi. Untuk bisa balik lagi ke level 12,000 – 13,000 mungkin agak berat karena diatas kita sudah menyebutkan beberapa faktor yang membuat Rupiah melemah, tapi jika kita katakan bahwa Rupiah kedepannya akan stabil di 14,000-an, maka itu adalah proyeksi yang realistis.

Nah, jadi ketika semingguan ini Rupiah menguat lagi, maka itu seperti mengkonfirmasi bahwa, yep, posisi Rupiah saat ini sudah cukup rendah, dan seharusnya gak akan melemah lebih lanjut. Rupiah tentunya masih bisa melemah lagi sesekali karena fluktuasi jangka pendek, salah satunya jika nanti ramai lagi isu perang dagang bla bla bla, tapi selama tidak ada perubahan berarti terhadap fundamental ekonomi makro, maka seperti yang sudah penulis sampaikan di artikel bulan September 2018, seharusnya tidak sulit bagi Pemerintah untuk menjaga agar Rupiah, dalam jangka panjang, tetap bertahan di level sekarang.

Okay Pak Teguh, jadi saham-saham apa saja yang diuntungkan oleh penguatan atau pelemahan Rupiah ini? Lalu bagaimana juga pengaruhnya ke IHSG? Well, karena artikelnya sudah cukup panjang, maka silahkan temen-temen yang lain bantu menjawab.

Untuk artikel minggu depan kita akan membahas rencana BEI untuk menyesuaikan bobot pengaruh dari pergerakan tiap-tiap saham anggota LQ45 terhadap naik turunnya indeks LQ45 itu sendiri, dan apa pengaruhnya terhadap saham yang bobotnya dinaikkan, ataupun diturunkan.

Ebook Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan Edisi Kuartal III 2018 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Jadwal seminar Value Investing, Jakarta, Sabtu & Minggu, 1 - 2 Desember 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak teguh, bahas tentang free float yg baru terjadi dong, apa yg sebenar nya terjadi
Shanti Putri mengatakan…
Mau nambahin mas, USD Index juga pengaruh! Sejak 2013 saya pantau index dollar. Index dollar sedang kuat sekarang. Sealu lebih di atas 95. Dulu saat di bawah 80 nilai Rupiah 9000/USD. Index dollar naik saat Obama merespon protes US Shutdown dan ditambah lagi Trump buat kebijakan yang menguntungkan seperti tax cut, alhasil kita lihat Dollar sekarang begitu perkasa. Suka atau tidak, index dollar sedang tinggi. Bukan cuma Rupiah, semua negara yang punya hubungan dagang sama US pasti kurs nya kena imbas karena memang US dollar sedang gagah-gagahnya.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?