Prospek HM Sampoerna Setelah Peraturan Free Float

Saham Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), seperti yang kita ketahui, menjadi saham yang paling terpukul oleh rencana penerapan bobot free float terhadap indeks LQ45, karena memang bobot HMSP yang turun paling signifikan (baca lagi ceritanya disini), dan alhasil HMSP kemarin drop dari 3,950 hingga sempet menyentuh level 3,290, sebelum kemudian naik lagi ke level 3,400-an. However, penulis sendiri tetap melihat penurunan HMSP ini dari sudut pandang value investing: Kita tahu bahwa HMSP ini barang bagus, hanya saja sejak awal valuasinya kelewat premium, dan makanya penulis sendiri nggak tertarik. Tapi kerana saat ini harganya sudah jauh lebih rendah dibanding sebelumnya (HMSP pada Januari 2018 kemarin malah sempat berada di level 5,200), maka apakah valuasinya sudah murah?


Sebelum menjawab pertanyaan diatas, mari kita pelajari lagi HMSP ini dari awal.

HMSP adalah perusahaan rokok tertua (berdiri sejak tahun 1913) sekaligus terbesar di Indonesia baik dari sisi nilai aset, pangsa pasar (sekitar 33% per tahun 2017), power of brand, nilai pendapatan dan laba, hingga market cap. Perusahaan adalah pemegang merk rokok kretek paling populer di Indonesia, ‘Dji Sam Soe’, dan sejak tahun 1989 juga sukses meluncurkan merk ‘A Mild’, yang sekarang menjadi ‘Sampoerna A’. HMSP listing di bursa pada tahun 1990 dengan harga perdana Rp12,600, yang setelah beberapa kali perubahan nilai nominal dan stocksplit, itu setara dengan Rp50.4 per saham (bandingkan dengan harganya saat ini yakni 3,400). Kenaikan sahamnya sebanyak total 6,600% dalam waktu hampir 30 tahun terakhir, belum termasuk dividen, kemungkinan adalah yang terbaik kedua di Bursa Efek Indonesia, setelah Unilever Indonesia (UNVR), dan itu selaras dengan kinerja fundamental HMSP dalam jangka panjang yang, meski amat sangat baik dibanding rata-rata emiten lainnya di BEI, tapi masih terhitung No.2 jika dibandingkan dengan UNVR. HMSP dulunya dimiliki dan dikendalikan oleh Keluarga Sampoerna asal Surabaya, Jawa Timur, namun sejak tahun 2005 perusahaan diakuisisi oleh Philip Morris, perusahaan rokok terbesar di dunia asal Amerika Serikat, yang juga sukses menjadi besar karena merk legendaris ‘Marlboro’. Dan sejak dipegang oleh Philip Morris, HMSP juga menjadi distributor rokok Marlboro di Indonesia.

Okay, sekarang kita gali kinerja keuangan HMSP. Ketika perusahaan diambil alih oleh Philip Morris, sempat ada kekhawatiran bahwa gaya manajemen yang sebelumnya sangat tradisional dan konservatif (mengembangkan merk, bikin rokoknya, lalu jual, that’s it) akan berubah, tapi untungnya itu tidak terjadi: Hingga Kuartal III 2018 kemarin, HMSP tetap menjadi perusahaan rokok dengan neraca yang bersih (perusahaan tidak punya aset aneh-aneh kecuali yang berhubungan dengan usaha rokoknya), zero liabilities (HMSP hampir gak punya utang bank, obligasi, atau utang lainnya yang mengandung bunga), dan nilai aset lancar terutama kas yang besar (yang biasanya akan dibayarkan sebagai dividen). Pendapatan HMSP juga konsisten naik terus dalam 5 – 10 tahun terakhir, dimana meski ini bisa kita katakan karena memang jumlah penduduk Indonesia selalu meningkat, termasuk harga rokok juga selalu naik karena inflasi (dan anehnya orang-orang tetep beli), tapi faktor lainnya adalah karena HMSP sukses menjaga posisinya sebagai market leader. Perusahaan juga terbilang sukses dalam meluncurkan merk-merk baru (U Mild atau Sampoerna U, Sampoerna Hijau, Magnum Mild), dan sukses beradaptasi dengan selera pasar dimana meski pada tahun 2014 sempat harus menutup pabriknya di Jember dan Lumajang yang memproduksi rokok sigaret kretek tangan (SKT), tapi pendapatan HMSP tetap naik karena perusahaan mampu dengan cepat berpindah ke produksi rokok sigaret kretek mesin (SKM). Beberapa problem seperti kenaikan tarif cukai rokok juga sempat menyebabkan pertumbuhan laba HMSP menjadi stagnan pada tahun 2013 – 2015, but still, secara keseluruhan perusahaan terus bertumbuh bahkan meski manajemen selalu membayar dividen sebesar 99 – 100% laba bersih HMSP setiap tahunnya (jadi hampir tidak ada dari laba bersih tersebut yang diinvestasikan kembali).

Kalau ada kelemahan, maka itu adalah kebijakan dari pihak Philip Morris yang hanya menjadikan HMSP ini sebagai cash cow dengan mengambil seluruh laba bersih sebagai dividen dan tidak menginvestasikannya kembali, jadi nggak pernah kedengeran kalau HMSP akan misalnya mengakuisisi perusahaan rokok lain, demikian pula HMSP hanya memfokuskan pasarnya di Indonesia saja (beda dengan Djarum yang juga mengekspor rokoknya), karena untuk pasar diluar negeri, Philip Morris sudah punya anak usaha yang lainnya lagi. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekuitas HMSP terbilang stagnan, dimana ketika ekuitasnya melompat menjadi Rp32.0 trilyun di tahun 2015 (dibanding Rp13.5 trilyun di tahun 2014), maka itu karena perusahaan memperoleh tambahan modal sebesar Rp20.8 trilyun dari right issue-nya di harga Rp3,080 per saham. Dalam hal ini kita bisa katakan bahwa perusahaan sudah mature, dan anda tidak bisa berharap bahwa perusahaan tumbuh pesat di masa yang akan datang. However, karena nilai dividen HMSP terus bertumbuh, hasil dari laba bersihnya yang juga terus naik, maka sahamnya tetap punya alasan untuk terus naik dalam jangka panjang, sehingga tetap layak invest.

Okay, lalu bagaimana dengan valuasinya?

Aset terbesar HMSP, seperti yang sudah disebut diatas, adalah power of brand-nya, dimana setelah dikombinasikan dengan merk Marlboro milik Philip Morris itu sendiri, maka meminjam quote dari presdir-nya, posisi HMSP sebagai market leader industri rokok di Indonesia menjadi tidak terbantahkan (di Indonesia, HMSP jualan merk rokok paling populer di Indonesia, dan sekaligus merk rokok paling populer di dunia). Sebelum tahun 2015, ROE HMSP konsisten di angka 90 – 100% per tahun, atau sama dengan UNVR, namun valuasinya kira-kira hanya dua per tiganya UNVR (jadi jika PBV UNVR 30 kali, maka PBV HMSP 20 kali), yang mungkin itu karena biar gimana, investor lebih nyaman berinvestasi pada perusahaan sabun mandi dan pasta gigi ketimbang perusahaan rokok. Nevertheless, diluar perbedaan bisnisnya antara rokok dengan barang kebutuhan sehari-hari, maka sebelum tahun 2015, fundamental HMSP sebenarnya tidak kalah dibanding UNVR sekalipun.

However, dalam rangka memenuhi kewajiban free float sebesar minimum 7.5% (apa itu free float? Baca lagi penjelasannya disini), maka pada tahun 2015, HMSP menggelar right issue dengan menerbitkan 6.7 milyar saham baru (sudah disesuaikan stocksplit) pada harga Rp3,080, yang kesemuanya diambil oleh investor publik (individual dan institusional), tapi HMSP kemudian memperoleh tambahan modal Rp20.8 trilyun. Penulis katakan ‘tapi’, karena HMSP sebenarnya sama sekali gak butuh tambahan modal tersebut, karena cashflow-nya sudah sangat lebih dari cukup untuk memenuhi modal kerja maupun capital expenditure-nya. Alhasil boleh dikatakan bahwa dana hasil right issue-nya tersebut menjadi duit nganggur, dimana sampai Kuartal III 2018, posisi kas HMSP juga masih tercatat Rp20 trilyun sekian. Keberadaan dana nganggur ini menyebabkan ekuitas HMSP meningkat signifikan, tapi karena labanya tetap atau hanya naik sedikit, maka jadilah ROE-nya turun ke level 40 – 50%. Tapi disisi lain, valuasi PBV HMSP juga turun menjadi hanya 12 – 14 kali, atau jauh lebih kecil dibanding UNVR, meski mungkin perlu juga dicatat bahwa karena lebih dari separuh nilai buku HMSP adalah uang kas yang tidak produktif, maka valuasi HMSP sejatinya masih tetap mahal.

Faktor keberadaan uang kas ini menyebabkan valuasi HMSP menjadi sulit dihitung dari sisi PBV. Namun dari sisi PER, dan valuasi HMSP bisa dilihat dari PER-nya karena perolehan laba bersih perusahaan nyaris pasti bakal stabil terus saban tahun, maka pada harga 3,400, PER HMSP tercatat 30.6 kali, masih rada mahal dibanding PER dari beberapa saham consumer goods besar dan terkemuka lainnya seperti Kalbe Farma (KLBF), Indofood CBP (ICBP) hingga Mayora Indah (MYOR), tapi jangan lupa bahwa ROE atau profitabilitas HMSP juga jauh lebih tinggi, dan setelah stocksplit-nya kemarin maka sekarang sahamnya juga sudah tidak kalah likuid dibanding saham-saham tersebut. Thus, meski penulis sendiri akan lebih suka membeli saham HMSP pada harga yang mencerminkan PER 20 – 25 kali, tapi mungkin tidak realistis untuk mengharapkan HMSP akan turun serendah itu, karena toh sampai sekarang perusahaannya masih fine-fine aja. Disisi lain, dengan dividend yield 3.1% (HMSP membayar dividen Rp107.3 per saham tahun kemarin), maka HMSP memang sudah murah, atau minimal tidak bisa disebut mahal lagi. Karena pada saat ini, yield HMSP sudah lebih tinggi dibanding rata-rata emiten bluechip lainnya.

Okay Pak Teguh, tapi bagaimana dengan rencana penerapan bobot free float terhadap indeks LQ45 yang kemarin dibahas? Bukankah dengan demikian maka HMSP tidak akan lagi disukai oleh investor institusi/para fund manager, karena pergerakan saham HMSP akan tidak lagi terlalu berpengaruh terhadap naik turunnya indeks LQ45? Well, jika rencana tersebut memang jadi dilakukan (sampai sekarang masih wacana), maka memang akan ada dampaknya dalam jangka pendek, tapi bagaimana dalam jangka panjang? Sekarang coba anda lihat lagi KLBF, ICBP, dan MYOR; Saham-saham ini mungkin tidak terlalu disukai oleh para fund manager karena alasan itu tadi, yakni bobot pengaruhnya terhadap indeks LQ45 (dan juga IHSG) tidak terlalu besar, dan makanya seringkali sahamnya tampak stagnan atau bahkan turun dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi bagaimana jika kita melihatnya 5 – 10 tahun ke belakang? Tetap naik banyak bukan? Intinya, yang berpengaruh terhadap prospek long term sebuah saham ya tetap saja fundamentalnya, dan sebuah saham yang 'tidak terlalu diminati fund manager', entah itu karena alasan free float atau lainnya, tetap akan naik banyak dalam jangka panjang selama fundamentalnya mendukung. Selain saham-saham yang sudah disebut diatas, ada banyak juga saham kecil tidak likuid yang tetap profit bahkan meski likuiditasnya, atau market cap-nya, jauh lebih kecil dibanding saham-saham bluechip 'favorit' fund manager.

Dan HMSP ini sejak awal juga memang hanya ideal untuk investasi jangka panjaaaang diatas 5 tahun, dimana kalau horizon waktunya lebih pendek dari itu, maka anda juga mungkin gak bakal dapet apa-apa kecuali dividen. Namun jika anda bisa komitmen memegangnya as long as possible, maka faktor-faktor jangka pendek seperti rencana peraturan BEI diatas bisa diabaikan, malah justru menjadi peluang untuk membeli/tambah posisi di harga bagus. Seperti yang sudah dibahas diatas, penulis sendiri awalnya gak tertarik sama HMSP ini kerana valuasinya premium, tapi kalau di harga sekarang maka sahamnya minimal sudah bisa dipertimbangkan. Yang terpenting tentu saja, HMSP ini barang bagus, sampai sekarang masih bagus, dan keliatannya juga tidak akan ada faktor-faktor tertentu yang bisa bikin fundamentalnya menjadi buruk, entah itu dalam waktu dekat ini atau nanti. Nah, bagaimana menurut anda?

PT. HM Sampoerna, Tbk
Rating Kinerja Sembilan Bulan 2018: S
Rating Saham pada 3,400: A

Ebook Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan Edisi Kuartal III 2018 Sudah Terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Shanti Putri mengatakan…
Mas, bahas DIGI dong.. Itu anaknya Telkom yg kemarin IPO. Kayaknya tahan badai juga ya ga turun2. Mantap deh kayaknya
Unknown mengatakan…
Jd pengin belajar banyak sama mas teguh tentang saham
Unknown mengatakan…
Mas.. masih layakkah saham hsmp 2019 dibeli
Unknown mengatakan…
Saya orang awam baru mulai terjun di dunia saham nyimak aja. Btw terima kasih atas penjelasanya.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?