Inikah Penyebab Anjloknya Saham UNVR?
Pada hari Jumat, 9
November kemarin, IHSG drop 1.7% setelah dua saham yang pergerakannya selama ini berpengaruh besar terhadap naik turunnya indeks, yakni HM Sampoerna (HMSP)
dan Unilever Indonesia (UNVR), jeblok masing-masing 10.3% dan 4.7%, dan demikian
pula sebagian besar saham lainnya turun, namun ada beberapa saham bluechip yang
malah naik. Tak lama kemudian barulah muncul penyebabnya: Penurunan IHSG, yang
terutama disebabkan oleh jatuhnya saham HMSP dan UNVR, adalah karena adanya
rencana dari BEI untuk menyesuaikan perhitungan bobot pengaruh dari pergerakan tiap-tiap saham
anggota LQ45 terhadap naik turunnya indeks LQ45 itu sendiri, dimana memang
bobot HMSP dan UNVR adalah yang turunnya paling signifikan. Lebih jelasnya
sebagai berikut.
***
Ebook terbaru berisi Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan (Ebook Investment Planning) Edisi Kuartal I 2021 Sudah Terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio langsung dengan penulis.
***
Jadi begini. Selain
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG, dimana naik turunnya IHSG merupakan
cerminan atau rata-rata dari pergerakan semua saham yang diperdagangkan di BEI,
maka ada juga indeks LQ45, yang
merupakan cerminan dari pergerakan 45 saham anggota LQ45, yang sudah
diseleksi oleh tim dari BEI berdasarkan kriteria tertentu, terutama karena
likuiditas perdagangannya. Jadi bisa dibilang bahwa 45 saham anggota LQ45
adalah saham-saham paling likuid di
bursa. Pihak BEI sendiri melakukan evaluasi setiap enam bulan sekali dimana saham-saham yang tidak
lagi memenuhi kriteria sebagai ‘saham LQ45’ akan dikeluarkan dari daftar, dan digantikan
oleh saham lain sehingga jumlahnya tetap 45 saham. Anda bisa baca lagi
penjelasan lebih lanjut di artikel
berikut.
Kemudian, selama ini
bobot pengaruh dari tiap-tiap saham terhadap indeks IHSG, dan
juga indeks LQ45, itu dihitung berdasarkan kapitalisasi pasar atau market
capitalization, atau market cap,
dimana pergerakan saham dengan market cap besar akan lebih berpengaruh terhadap
naik turunnya IHSG, dibanding pergerakan saham dengan market cap yang lebih
kecil. Contohnya, dengan market cap Rp400-an trilyun, maka pergerakan HMSP
memberikan bobot pengaruh sekitar 6.0% terhadap pergerakan IHSG secara
keseluruhan. Jadi ketika saham HMSP kemarin turun 10.3%, itu ikut menurunkan
IHSG hingga 40.1 point, tapi ketika saham Transcoal Pacific (TCPI) auto
reject atas sampai 20.0%, maka itu hanya menaikkan IHSG sebesar 4.6 point,
karena market cap TCPI memang hanya Rp32 trilyun.
Masalahnya adalah,
beberapa saham dengan market cap jumbo, termasuk HMSP, itu sahamnya tidak
se-likuid saham-saham big caps lainnya seperti Bank BCA (BBCA), Astra
International (ASII), hingga Bank BRI (BBRI). Atau dengan kata lain, pergerakan
HMSP sebenarnya tidak benar-benar mencerminkan arah pasar, karena
investor/trader yang memperjual belikan sahamnya tidak sebanyak trader yang
memperjual belikan saham BBCA dan lainnya, sehingga tidak adil jika saham HMSP
justru lebih berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG/indeks LQ45.
Karena itulah,
kemudian diusulkan peraturan baru: Bobot pengaruh dari pergerakan tiap-tiap
saham LQ45 terhadap naik turunnya indeks LQ45 itu sendiri, itu tidak lagi
dihitung berdasarkan market cap perusahaan secara keseluruhan, melainkan hanya market cap free float. Jadi begini:
Rumus market cap adalah harga saham dikali jumlah saham beredar. Kita ambil
contoh HMSP, harga sahamnya Rp3,400, dan jumlah sahamnya 116.3 milyar lembar.
Maka market capnya Rp3,400 x 116.3 milyar = Rp395.5 trilyun.
Sedangkan rumus
market cap free float, atau kita singkat saja market cap FF, adalah harga saham dikali jumlah saham beredar yang dimiliki oleh investor publik, alias saham free float (disebut ‘free float’,
karena saham yang dimiliki publik inilah yang bebas diperdagangkan di bursa,
sedangkan saham yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali biasanya hanya di-hold
saja). Yang dimaksud ‘investor publik’ disini adalah investor yang memegang
suatu saham kurang dari 5% dari total jumlah saham beredar.
Nah, balik lagi ke
HMSP, jumlah saham free float-nya adalah 8.7 milyar lembar. Maka market cap
FF-nya adalah Rp3,400 x 8.7 milyar = Rp29.6
trilyun, atau jauh lebih kecil dari market cap-nya diatas yang Rp395.5
trilyun.
Karena itulah,
berdasarkan aturan baru dimana bobot pengaruh saham terhadap indeks LQ45 tidak
lagi dihitung berdasarkan market cap-nya, melainkan hanya berdasarkan market
cap FF-nya, maka saham-saham dengan porsi kepemilikan publik alias free
float yang kecil, itu bobot
pengaruhnya terhadap pergerakan indeks LQ45 akan turun.
Sementara untuk saham-saham
dengan free float yang besar, pengaruhnya akan naik. Perubahan selengkapnya
sebagai berikut. Catatan: Saham yang ditampilkan adalah saham anggota indeks IDX30, yakni saham-saham anggota LQ45
yang sudah diseleksi lebih lanjut berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,
sehingga jumlahnya berkurang dari 45 menjadi 30 saham:
Saham
|
Bobot Penuh
(%)
|
Bobot FF (%)
|
Perubahan (%)
|
HMSP
|
11.12
|
2.36
|
-8.76
|
UNVR
|
8.45
|
3.43
|
-5.02
|
GGRM
|
3.56
|
1.75
|
-1.81
|
ICBP
|
2.67
|
1.52
|
-1.15
|
PTBA
|
1.25
|
0.90
|
-0.35
|
BRPT
|
0.88
|
0.68
|
-0.20
|
JSMR
|
0.77
|
0.66
|
-0.11
|
WSKT
|
0.50
|
0.49
|
-0.01
|
WSBP
|
0.21
|
0.20
|
-0.01
|
ANTM
|
0.42
|
0.42
|
-0.00
|
SRIL
|
0.19
|
0.22
|
0.03
|
MEDC
|
0.37
|
0.42
|
0.05
|
BBTN
|
0.57
|
0.65
|
0.08
|
PTPP
|
0.21
|
0.30
|
0.09
|
INKP
|
1.78
|
2.07
|
0.29
|
PGAS
|
1.38
|
1.69
|
0.31
|
BSDE
|
0.54
|
0.89
|
0.35
|
BBCA
|
14.79
|
15.15
|
0.36
|
BBNI
|
3.47
|
3.96
|
0.49
|
UNTR
|
3.20
|
3.70
|
0.50
|
LPPF
|
0.36
|
0.88
|
0.52
|
SMGR
|
1.37
|
1.91
|
0.54
|
INDF
|
1.34
|
1.90
|
0.56
|
INTP
|
1.63
|
2.27
|
0.64
|
BMRI
|
8.11
|
9.26
|
1.15
|
KLBF
|
1.65
|
2.96
|
1.31
|
ADRO
|
1.35
|
2.81
|
1.46
|
BBRI
|
9.86
|
12.17
|
2.31
|
ASII
|
8.20
|
10.55
|
2.35
|
TLKM
|
9.77
|
13.84
|
4.07
|
Total
|
99.97
|
100.01
|
0.04
|
Sebelumnya perlu
dicatat bahwa meski pada tabel diatas total persentasenya tidak bulat 100%, tapi
itu adalah karena faktor pembulatan dari persentase bobot tiap-tiap saham. Sedangkan
total yang sebenarnya adalah 100% untuk bobot penuh, dan juga 100% untuk bobot
free float, sehingga perubahannya adalah 0%.
Nah, dari tabel
diatas tampak jelas bahwa saham yang bobot pengaruhnya turun paling signifikan
adalah HMSP dan UNVR, sedangkan saham yang bobotnya naik paling banyak adalah
TLKM, ASII, dan BBRI. Ini artinya, setelah nanti peraturan free float ini
diberlakukan pada Februari 2019, maka pengaruh pergerakan HMSP dan UNVR tidak akan
lagi se-signifikan sebelumnya terhadap naik turunnya indeks LQ45. Sedangkan sebaliknya,
pergerakan TLKM, ASII, dan BBRI akan menjadi lebih berpengaruh terhadap indeks
LQ45.
Efeknya Terhadap Outlook
Tiap-tiap Saham
Bagi investor
profesional, mereka memiliki patokan ukuran atau benchmark untuk menilai
apakah kinerja portofolio mereka, dalam satu waktu periode tertentu (biasanya 1
tahun) terbilang memuaskan atau tidak. Dan patokan
tersebut adalah IHSG. Yup, jadi kalau anda profit 20% dalam satu tahun
tertentu, tapi pada tahun yang sama IHSG naik 25%, maka kinerja porto anda
tidak bisa dikatakan bagus. Demikian pula jika anda rugi 5% ketika IHSG turun
15%, maka anda sejatinya masih beat the market.
Namun diluar IHSG,
maka beberapa fund manager di perusahaan asset management, asuransi, hingga
dana pensiun, terkadang juga menggunakan indeks
LQ45 sebagai benchmark tadi, dimana target profit mereka adalah ‘lebih
tinggi, atau minimal sama dengan naik atau turunnya indeks LQ45’. Konsekuensinya,
mereka kemudian akan lebih banyak membeli saham-saham yang paling berpengaruh
terhadap naik turunnya indeks LQ45, dan alhasil saham-saham big caps
seperti BBCA, HMSP, dan UNVR hampir selalu menjadi pilihan utama mereka.
Tapi dengan adanya
peraturan baru ini, maka otomatis HMSP dan UNVR, dan mungkin juga GGRM serta ICBP
(selebihnya harusnya tidak akan berpengaruh, karena perubahan bobotnya sangat
kecil), akan mulai ditinggalkan para fund manager ini, dan mereka beralih ke
TLKM, ASII, dan BBRI. However, ada beberapa hal yang kemudian menjadi
perhatian:
Pertama, fund
manager yang lebih menggunakan indeks LQ45 sebagai patokan kinerja ketimbang
IHSG, itu jumlahnya berapa banyak sih? Well, penulis sudah diskusi dengan
temen-temen di reksadana, jawabannya tidak
banyak. Sebagian besar fund manager ya tetep pake IHSG sebagai patokan, dan
fund manager yang pake indeks LQ45 biasanya hanya karena mereka kesulitan
mengalahkan IHSG itu sendiri (karena memang, hingga ketika artikel ini ditulis,
IHSG sudah turun 7.6% YTD, sedangkan LQ45 turun lebih signifikan yakni 13.8%,
sehingga indeks LQ45 ini ‘lebih mudah untuk dikalahkan’). Sementara di kelompok
investor ritel, malah boleh dibilang hampir gak ada satupun yang melihat indeks
LQ45, karena mereka semua ngeliatnya ya IHSG. Untuk mudahnya biar penulis tes:
Tahukah anda, berapa posisi IHSG saat ini? Anda mungkin bisa langsung menjawab:
5,800 sekian! Tapi jika saya tanya lagi, berapa posisi indeks LQ45 saat ini?
Well, ada yang bisa jawab?
Nah, karena
perubahan perhitungan bobot diatas hanya
berlaku untuk indeks LQ45 (dan juga indeks IDX30), namun tidak atau belum berlaku untuk IHSG, maka
artinya sebagian besar fund manager akan tetap membeli HMSP dan UNVR. Yep,
karena ketika peraturan diatas diberlakukan, maka ketika HMSP dan UNVR ini turun,
itu memang tidak akan lagi terlalu berpengaruh terhadap indeks LQ45, tapi IHSG akan tetap jatuh. Demikian pula
kalau dua saham itu naik, maka IHSG akan tetap naik. Jadi bagi para fund
manager yang menggunakan IHSG sebagai benchmark, maka mau tidak mau
mereka tetap harus memegang dua saham consumer ini, kecuali jika nanti
perubahan bobot pengaruh ini juga diberlakukan terhadap IHSG, tapi jujur saja, itu akan sulit dilakukan. Penjelasannya
sebagai berikut:
Kedua, diatas
disebutkan bahwa definisi ‘saham free
float’ adalah saham dari suatu emiten yang dimiliki/dipegang oleh ‘investor
publik’, yakni investor dengan kepemilikan kurang dari 5% dari total jumlah
saham beredar.
Tapi masalahnya, ketika saham free float suatu emiten katakanlah mencapai 49% (51%
selebihnya dimiliki oleh pemegang saham pengendali), maka benarkah 49% saham
tersebut semuanya dimiliki oleh investor
publik? Belum tentu. Karena faktanya, pemegang saham pengendali pun bisa juga
memiliki/membeli saham perusahaannya sendiri menggunakan banyak rekening terpisah, dimana persentase kepemilikan untuk
tiap-tiap rekening tersebut dibuat kurang dari 5%, sehingga dicatat sebagai ‘investor
publik’. Ini juga menjelaskan kenapa pada beberapa emiten, kepemilikan
publiknya mencapai lebih dari 50%, bahkan ada yang 70%. Contohnya? Bumi Resources (BUMI), dimana ‘kepemilikan
publik’-nya mencapai 77%. Sekarang pake logika saja: Jika benar saham BUMI mayoritas
dimiliki oleh investor publik, maka kenapa perusahaannya masih dikendalikan
oleh Grup Bakrie??
Komposisi Pemegang Saham BUMI, dimana pemilik perusahaan adalah 'masyarakat', alias kita-kita semua. Congrats! |
Jadi intinya, ketika data pemegang saham suatu emiten menyebutkan bahwa saham free float-nya
mencapai katakanlah 1 milyar lembar, maka belum tentu saham yang beredar di
publik adalah sebanyak 1 milyar juga, melainkan sebagian diantaranya tetap dikuasai
oleh pemegang saham pengendali. Karena itulah, kecuali pihak BEI punya cara yang
akurat untuk menghitung berapa jumlah riil saham free float dari 600-an
emiten di bursa, maka penulis menganggap bahwa peraturan perubahan bobot diatas
mungkin bisa berlaku untuk indeks LQ45, tapi tidak akan bisa diberlakukan untuk IHSG. Karena kalau gitu caranya
maka saham model BUMI akan tiba-tiba naik kelas, menjadi saham dengan ‘fundamental
yang lebih bagus’ dibanding UNVR sekalipun.
Dan karena para fund
manager masih lebih banyak yang menggunakan IHSG sebagai patokan kinerja
ketimbang indeks LQ45, maka yo wis, perubahan peraturan diatas tidak akan
berpengaruh apa-apa terhadap outlook jangka panjang dari tiap-tiap saham
anggota LQ45 itu sendiri. Actually ketika pada Jumat 9 November kemarin
IHSG tiba-tiba drop, maka itu lebih karena investor masih bingung saja dengan rencana peraturan baru ini. Sebab yang turun
gak cuma HMSP dan UNVR, tapi TLKM yang jelas-jelas bobotnya naik pun juga malah
ikut turun 2.0%. Penulis sendiri juga perlu waktu seharian untuk mempelajarinya,
sebelum baru kemudian saya bisa menulis artikel ini.
Tapi setelah pasar
nanti pada akhirnya mengerti soal peraturan baru ini, dan harusnya itu gak akan
butuh waktu lama, maka ya sudah, saham-saham yang kemarin ‘kena hantam’ cerita bobot
free float bla bla bla ini akan kembali ke posisi normalnya, sesuai fundamentalnya masing-masing.
*) Artikel ini ditulis dan dipublikasikan di blog untuk pertama kalinya pada tanggal 11 November 2018.
Video seminar value investing, basic and advanced, info selengkapnya baca disini. Bonus: Alumni bisa ikut live webinar pada hari Sabtu, 22 Mei 2021, secara gratis.
Komentar
Setelah saya search tulisan/berita tentang rencana perubahan bobot ini. Tetap tulisan Pak Teguh paling lengkap dan mudah dimengerti.
Btw saya sudah baca 2 buku tulisan Pak Teguh, kapan nih buku ketiga diterbitkan?
Menurut saya, bagi semua investor saham wajib membaca tulisan Pak Teguh.