Perusahaan Gas Negara
Hingga hari ini, Selasa, 21 Agustus, Perusahaan Gas Negara (PGAS)
masih belum merilis laporan keuangan untuk Kuartal II 2018, namun kinerjanya di
Kuartal I terbilang kurang bagus dimana labanya kembali turun dari US$ 98
menjadi 81 juta, dan ROE-nya masih tertahan di level 9.9%. Jika pada tahun 2018
ini laba PGAS kembali turun dibanding 2017, maka genap lima tahun sudah laba
perusahaan turun terus, dan ini menjelaskan kenapa sahamnya, meski sempat gagah
di level 6,000-an pada tahun 2014 lalu, sampai sekarang masih belum bangkit
lagi.
Namun inilah menariknya:
Dalam setahun terakhir, setelah penurunannya mentok di level 1,400 pada Oktober
2017 lalu, kesininya PGAS cenderung naik lagi, bahkan sempat mencapai 2,700
pada Januari 2018 (sebelum kemudian turun lagi karena terseret penurunan IHSG).
Kemudian ketika penurunan PGAS mencapai level 1,525, Juli 2018 kemarin,
kesininya dia naik cenderung naik lagi. Secara teknikal, ini mengkonfirmasi
bahwa level 1,400 yang dicapai PGAS pada Oktober 2017 lalu sudah merupakan bottom-nya.
Catatan: Dalam menganalisa saham, seorang value
investor juga memperhatikan faktor teknikal. Namun jika kebanyakan trader hanya
melihat pergerakan saham dalam jangka waktu bulanan, mingguan, harian, atau
bahkan jam-jaman, termasuk heboh sendiri jika saham tersebut naik atau turun katakanlah
5 – 10% dalam sehari, maka kita
mengabaikan fluktuasi jangka pendek seperti itu, dan hanya melihat
pergerakan saham dalam beberapa bulan atau setahun terakhir, atau lebih lama
lagi. Selengkapnya baca disini: https://www.teguhhidayat.com/2014/12/follow-trend-dalam-analisis-fundamental.html
Nah, actually
penulis sendiri sebenarnya sudah tertarik ketika PGAS berada di level 1,400,
delapan bulan lalu, karena PBV-nya pada harga segitu cuma 0.7 kali, clearly undervalue untuk ukuran saham dari
perusahaan besar dan terkemuka, yang di masa lalu pernah konsisten membukukan
kinerja extraordinary dari tahun ke tahun (sebelum tahun 2014, ROE PGAS stabil
di level 30 – 40%), dan PGAS selama ini tidak pernah terkena masalah hukum atau
semacamnya. Namun karena kinerja perusahaan masih belum kembali pulih, dan
tidak ada kejelasan soal outlook-nya kedepan bagaimana (meski rame soal
akuisisi Pertagas, Pertamina bla bla bla, tapi gak ada informasi soal ekspansi
usaha tertentu), maka penulis putuskan untuk wait n see saja dulu.
Dan setelah hampir
satu tahun, sepertinya sekarang sudah waktunya untuk melirik sahamnya lagi. Tapi
sebelum itu mari kita lihat lagi PGAS ini dari awal, apa saja bidang usaha yang
dikerjakan perusahaan saat ini, termasuk bagaimana update terakhir soal akuisisi PGAS terhadap PT Pertamina Gas
(Pertagas).
PGAS adalah
perusahaan kedua tertua di Indonesia (setelah Kimia Farma/KAEF, yang berdiri
tahun 1817), yang berdiri pada tahun 1859 dengan nama LJN Eindhoven & Co.
sebagai perusahaan distributor gas swasta di Batavia, yang pada tahun 1863
diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1958, perusahaan
dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia (sehingga menjadi BUMN), dan
go public pada tahun 2003. Pada perkembangannya, usaha PGAS terbagi
menjadi dua jenis: Distribusi gas,
yakni penyaluran gas melalui truk tangki, tabung gas, hingga pipa-pipa gas
berukuran kecil ke pelanggan-pelanggan di kawasan industri, kawasan komersial,
dan perumahan, dan transmisi gas, yakni
jasa penyaluran gas melalui pipa-pipa khusus berukuran besar, dimana perusahaan
menerima fee dari produsen gas yang mengalirkan gas-nya melalui
pipa-pipa tersebut. Pada tahun 2011, PGAS mulai masuk ke bidang hulu dan hilir
bisnis gas alam, dengan mendirikan PT Saka Energi Indonesia, dan PT Gagas
Energi Indonesia. Melalui Saka Energi, PGAS mengakuisisi kepemilikan saham,
baik mayoritas maupun minoritas, di 11 lapangan migas (10 di Indonesia, 1 di
Amerika Serikat), dan pada saat ini sebagian besar diantaranya sudah
berproduksi. Sementara melalui Gagas Energi, PGAS mengelola hasil produksi gas
dari Blok West Madura Offshore milik Pertamina, menjadi liquefied natural
gas siap pakai yang langsung disalurkan ke sektor transportasi (melalui
SPBG dan Mobile Refueling Unit), sektor industri, dan komersial.
Nah, jika pada
tahun-tahun sebelumnya pendapatan PGAS nyaris sepenuhnya berasal dari usaha
distribusi dan transmisi gas-nya, maka pada Kuartal I 2018 kemarin, dari
pendapatannya sebesar total US$ 872 juta, US$ 219 juta atau 25% diantaranya
berasal dari usaha produksi gas (hulu), pengolahan gas (hilir), dan lain-lain. However,
meski pendapatan PGAS dari usaha diluar distribusi gas terbilang cukup
besar, namun labanya dari unit-unit
usaha baru ini justru minus alias rugi. Penulis tidak tahu apa masalahnya,
namun ini berarti laba bersih PGAS pada hari ini akan lebih besar andaikan perusahaan tetap fokus pada bidang usaha
aslinya, yakni distribusi gas. Sebenarnya diluar keputusan manajemen untuk
masuk ke hulu, hilir, dan lainnya (dalam rangka membangun PGAS menjadi
perusahaan gas yang lengkap serta terintegrasi), maka PGAS juga terus membangun
jaringan pipa gas baru untuk memperluas usaha distribusi gas-nya, dimana update
terakhir menyebutkan bahwa perusahaan tengah menyelesaikan pipa transmisi gas
Duri – Dumai di Riau, yang akan disambungkan dengan jaringan pipa gas di Kota
Medan dan Deli Serdang. However, pemerintah sebenarnya sudah memerintahkan PGAS
untuk membangun jaringan pipa gas di Sumatera Bagian Utara sejak tahun 2014
lalu, sehingga entah ada hubungannya atau tidak dengan kesibukan baru manajemen
PGAS diluar usaha distribusi gas, bisa dikatakan bahwa progress pembangunan
jaringan pipa barunya sangat lambat.
Kesimpulannya, meski
pihak manajemen selalu mengatakan bahwa kinerja perusahaan, yang sampai
sekarang belum profitable lagi seperti sebelum tahun 2014 lalu, adalah karena
perlambatan ekonomi makro bla bla bla, tapi sebenarnya ada faktor lain, yakni
cara kerja perusahaan yang tidak lagi
efisien. Bagi anda investor berpengalaman, kita semua tahu bahwa PGAS
merupakan salah satu big caps paling profitable di bursa di masa lalu,
bahkan lebih profitable dibanding emiten-emiten perbankan dan sebagian emiten
consumer goods, adalah karena dua hal:
PGAS membeli gas
dari produsen (Conoco Phillips, Pertamina, dst) pada harga fix yang nyaris tidak
berubah dalam jangka panjang, namun harga jual PGAS ke konsumen cenderung naik dari
waktu ke waktu karena mengikuti inflasi dan faktor-faktor lain.
Dengan jaringan pipa
gas-nya yang terbesar di Indonesia, maka PGAS nyaris me-monopoli usaha distribusi
gas di tanah air, termasuk bisa menekan produsen untuk menjual gas mereka pada harga
rendah (jadi balik lagi ke point 1 diatas).
However, karena PGAS
terbilang lambat dalam hal menambah jaringan pipa-pipa gas-nya, sementara kompetitor
juga mulai bermunculan (salah satunya Rukun Raharja/RAJA), maka PGAS tidak lagi
monopoli seperti dulu, dimana pangsa pasarnya turun dari tadinya 92%
se-Indonesia, menjadi hanya 81% pada akhir tahun 2014 lalu, dan kalau melihat
pendapatannya yang jalan di tempat sejak tahun 2014 tersebut, maka kemungkinan pangsa
pasarnya sekarang sudah turun lagi. Jika kondisi ini tidak juga berubah, maka
sulit untuk membayangkan bahwa PGAS akan kembali mencetak ROE 30 – 40% seperti
di masa lalu.
Sinergis PGAS – Pertamina
Diluar perkembangan
kinerja fundamental perusahaan, ada satu lagi cerita menarik terkait PGAS: Dalam
rangka pembentukan holding migas, maka saham Pemerintah di PGAS diambil alih
oleh PT Pertamina, dimana proses pengambil alihannya akhirnya selesai pada
tanggal 11 April 2018 kemarin, sehingga PGAS saat ini berstatus sebagai anak
usaha dari Pertamina. Langkah selanjutnya, Pertamina akan meng-integrasi-kan
anak usahanya dibidang gas, yakni PT Pertamina Gas atau Pertagas, menjadi anak usaha dari PGAS. In this way, PGAS
menjadi sub-holding bagi Pertamina untuk unit-unit usaha gas-nya, dan dari
sinergi yang kemudian timbul maka diharapkan akan berdampak positif bagi
kinerja Pertamina, PGAS, dan Pertagas itu sendiri.
Nah, rencana pemerintah
untuk menempatkan PGAS dibawah Pertamina, itu sebenarnya sudah dicanangkan sejak
2 – 3 tahun lalu, tapi lagi-lagi prosesnya
sangat lambat, dimana dalam perjalanannya maka investor selalu dibuat
bingung soal apakah pembentukan holding migas ini akan berdampak positif atau
tidak terhadap fundamental perusahaan. Sementara untuk proses penempatan
Pertagas dibawah PGAS, ini juga belum ada kepastian kapan selesainya, sehingga
bisa dikatakan bahwa proses pembentukan holding migas ini baru separuh jalan. Thus, jangankan mencoba menganalisa soal
bagaimana dampak integrasi Pertamina – PGAS – Pertagas ini terhadap kinerja
ketiga perusahaan, untuk saat ini kita bahkan belum punya gambaran soal kapan proses
integrasi tersebut selesai dilakukan. In short, saham PGAS bisa saja
terbang lagi sewaktu-waktu kalau nanti muncul lagi cerita (positif) terkait
akuisisi Pertagas, tapi abis itu ya turun lagi, karena kinerja PGAS sampai
sekarang masih gitu-gitu saja.
PGAS: Sudah murah?
Anyway, balik lagi
ke pergerakan sahamnya dalam setahun terakhir dimana PGAS ternyata tidak turun
lebih rendah lagi, sementara disisi lain perusahaan masih membukukan laba, ekuitasnya
masih naik, masih membayar dividen, dan tidak ada masalah tertentu, dan brand
‘PGN’ dengan slogannya ‘energy for life’ juga sekarang mulai strong seiring
dengan inisiatif manajemen untuk memasang iklan (in the end, kualitas brand ini
pada akhirnya akan lebih kelihatan dibanding kinerja perusahaan itu sendiri,
karena semua orang bisa nonton televisi/liatin medsos, tapi tidak semua orang
bisa baca laporan keuangan).
Dan fakta kuantitatifnya
adalah, dengan PBV kurang dari 1.0 kali,
maka PGAS bisa dinobatkan sebagai saham blue chip paling murah di jagat BEI
pada saat ini. Kemudian meski prospek kinerja kedepannya masih belum terlalu
cerah, tapi cerita fairytale ‘akuisisi Pertagas’ diatas akan menjaga
sahamnya untuk tetap ‘hidup’, baik itu di pemberitaan media maupun dilihat dari
volume transaksinya di market. Dan terakhir, pada tahun 2017, laba bersih PGAS
totalnya hanya US$ 148 juta, yang itu artinya, masih ada peluang bagi PGAS
untuk mencatat kenaikan laba pada tahun 2018 ini, karena perolehan labanya di
Kuartal I sudah mencapai US$ 81 juta.
Nah, jadi
selanjutnya kita tinggal tunggu satu hal lagi: Jika benar bahwa level 1,400 (yang
dicapai Oktober 2017) dan 1,525 (yang dicapai Juli 2018) sudah merupakan bottom
bagi sahamnya, atau dengan kata lain jika besok-besok PGAS turun lagi (misalnya
karena IHSG turun) tapi penurunannya gak sampai tembus 1,525, maka fix, sahamnya sudah tidak akan turun lebih rendah lagi, dimana jika nanti perusahaan
akhirnya merilis LK Kuartal II, dan labanya ternyata naik, maka pada saat itulah
sahamnya bakal naik pelan-pelan, minimal ke 2,400 dulu. We’ll see.
Minggu depan kita akan membahas profil dan success story dari Pak Joeliardi Sunandar, value investor senior yang sudah berinvestasi di saham sejak tahun 1990an.
Minggu depan kita akan membahas profil dan success story dari Pak Joeliardi Sunandar, value investor senior yang sudah berinvestasi di saham sejak tahun 1990an.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Melansir keterbukaan informasi, Selasa (21/8/2018), laba bersih emiten berkode saham PGAS di semester I-2018 sebesar US$ 145,9 juta atau setara Rp 2,11 triliun (kurs Rp 14.500).
Perolehan laba bersih itu meningkat 190% jika dibandingkan dengan laba bersih di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 50,28 juta.
Huang
Request pandangan Bapak mengenai kasus BFIN..
Karena kasus ini lumayan ruwet sepertinya..
Kira2 dampak apa aja yang akan terjadi?
Terima kasih..
*Pembaca setia blog TeguhHidayat.com..
Masih relevan ya pak utk long Term sesuai info di link diatas tersebut ?
Terima kasih
Boedijanto