Krakatau Steel
Krakatau Steel
(KRAS) kembali melaporkan rugi US$ 16 juta di Kuartal II 2018, sehingga dari
sini saja sahamnya sudah tidak layak invest, terutama karena dalam lima tahun
terakhir, atau bahkan lebih lama lagi, KRAS
selalu merugi. Hanya memang valuasi sahamnya yang sudah sangat murah, yakni
PBV 0.3 kali, sementara perusahaannya sendiri punya segudang proyek
pengembangan yang, kalau nanti sudah beroperasi, diperkirakan akan meningkatkan
pendapatan KRAS secara signifikan, menyebabkan sahamnya mulai banyak dilirik
investor. Jadi mungkin pertanyaannya sekarang simpel saja: Apakah KRAS akan
menjadi The Next INDY? Atau justru malah menjadi The Next AISA??
Okay, kita langsung saja.
Sejak sahamnya
listing di BEI, tahun 2011 lalu, KRAS nyaris tidak pernah menarik minat
investor karena itu tadi: Perusahaannya tiap tahun rugi mulu, dan ini
sebenarnya aneh mengingat KRAS sudah ekspansi membangun pabrik ini dan itu
beserta infrastruktur pendukungnya bahkan sejak tahun 2010 lalu. Contohnya,
seperti yang dulu kita bahas
disini, pada akhir tahun 2013 lalu KRAS menyelesaikan pembangunan
pabrik slab steel dan steel plate lengkap dengan fasilitas
pelabuhan serta pembangkit listrik di Cilegon, Banten, dengan bekerja sama
dengan Posco Steel asal Korea Selatan, dan pabrik tersebut sudah beroperasi
sejak tahun 2014. Kemudian di tahun 2014 tersebut, KRAS juga tengah membangun
pabrik baja blast furnace, pabrik baja hot strip, pabrik pipa
baja, hingga kawasan industri, semuanya berlokasi di Cilegon. Karena sekarang
sudah tahun 2018, maka secara teori seharusnya pabrik-pabrik tersebut sudah
selesai dibangun dan juga sudah menghasilkan pendapatan.
Okay, lalu berapa
pendapatan KRAS sekarang? US$ 854 juta di Semester I 2018, yang kalau
disetahunkan menjadi US$ 1.7 milyar, dimana meski itu meningkat lumayan
dibanding tahun 2015, 2016, dan 2017, tapi masih lebih kecil dibanding
pendapatan KRAS di tahun 2013 yang mencapai US$ 2.1 milyar. Aneh? Yep, jelas
aneh. Karena diatas sudah dikatakan bahwa pabrik baja milik Krakatau – Posco
mulai beroperasi tahun 2014, yang artinya pendapatan KRAS harusnya mulai
melonjak di tahun 2014 tersebut, tapi kenapa pendapatan KRAS sampai sekarang
malah lebih kecil dibanding pendapatannya di tahun 2013?
Tapi apapun itu,
yang jelas investor pada akhirnya hanya melihat perolehan laba bersih
perusahaan (yang sayangnya selalu minus), dan alhasil saham KRAS terus turun
pelan-pelan hingga menyentuh 260-an, akhir tahun 2015 lalu. Memasuki tahun
2016, KRAS dengan cepat naik hingga menyundul level 800-an, tapi penyebabnya
bukan faktor fundamental, melainkan karena perusahaan menggelar right issue
yang kemudian ditetapkan pada level Rp525 per saham. Ketika itupun lagi-lagi
KRAS ini heboh karena dikatakan bahwa perusahaannya bakal profit besar kalau pabriknya nanti sudah jadi
(karena memang dana hasil right issue-nya digunakan untuk membangun satu lagi
pabrik baja hot strip, yang dijadwalkan selesai tahun 2019). However,
karena pada tahun 2016 tersebut, dan berlanjut sampai hari ini, KRAS masih
tetap merugi, maka jadilah sahamnya turun lagi.
Lalu untuk
kedepannya bagaimana? Nah, sebelum bicara prospek, penulis sebenarnya sudah
mengidentifikasikan beberapa problem menahun yang dialami KRAS (yang sampai sekarang
belum ada solusinya), dan inilah yang menyebabkan perusahaan terus saja merugi.
Pertama, perusahaan sejak dulu tidak efisien
dalam kegiatan operasionalnya dimana ada banyak biaya-biaya yang sebenarnya
bisa ditekan. Contohnya, KRAS membeli gas dari PT Pertamina sebanyak 8,942.5
MSCF (million standard cubic feet) per tahun, pada harga US$ 6.75 per MMBTU,
dimana dalam perjanjiannya yang terakhir di-amandemen pada tahun 2016, KRAS
diwajibkan untuk membayar penuh harga beli gas sebanyak 8,942.5 MSCF tersebut, baik itu gasnya diambil semuanya atau tidak.
Dan harga beli yang US$ 6.75 itu juga lebih
tinggi dari instruksi Kementerian ESDM di tahun 2017, yang menyebutkan bahwa
perusahaan-perusahaan distributor gas, termasuk Pertamina, harus menjual gasnya
maksimal pada harga US$ 6 per MMBTU kepada pelanggan industri.
Lalu kenapa kok KRAS
seperti gak bisa meng-amandemen perjanjiannya dengan Pertamina agar lebih menguntungkan buat perusahaan? Well, tanya direktur
utamanya!
Kemudian kedua,
seperti yang disebut diatas, KRAS punya banyak planning pengembangan usaha
dimana perusahaan banyak membangun pabrik baja ini itu, lengkap beserta infrastruktur
pendukungnya, tapi sayangnya progress-nya tidak secepat pembangunan Simpang
Susun Semanggi di Jakarta, dimana sebagian dari pabrik-pabrik itu harusnya sudah selesai beberapa waktu lalu, tapi sampai sekarang masih on progress. Contohnya
kompleks pabrik baja blast
furnace, yang sudah digarap sejak tahun 2011 dan dijadwalkan sudah selesai
dan beroperasi pada tahun 2015, tapi sampai penghujung tahun 2017 kemarin masih
belum selesai juga. Kemudian, pada bulan November 2016 lalu KRAS memperoleh
dana Rp1.9 trilyun dari right issue, yang rencananya akan dipakai untuk
membangun pabrik hot strip mill keduanya. Lalu bagaimana progress-nya?
Well, setelah hampir lewat dua tahun, maka berdasarkan laporan penggunaan dana
hasil right issue per tanggal 30 Juni 2018, ternyata sisa dana right issue
tersebut masih tercatat Rp1.9 trilyun juga.. alias belum digunakan sepeser pun! (Jadi bisa dipastikan bahwa pembangunan pabrik hot strip ini gak bakal selesai sesuai jadwal, yakni 2019, melainkan bakal molor lagi).
Jadi sepertinya
masalah KRAS ini sejak awal di manajemennya, yang memang tidak kompeten, dan kondisi
KRAS ini mengingatkan penulis dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang dulu juga rugi melulu karena manajemennya amburadul setengah mati. Tapi setelah direktur lamanya ditendang dan
digantikan Ignasius Jonan, maka barulah PT KAI sekarang menjadi perusahaan
yang profesional dan menguntungkan, dan sampai sekarang penulis sendiri tetap
nyaman pake kereta api meski Pak Jonan sudah resign (karena jadi Menteri). Nah, jadi kecuali nanti ada figur tertentu yang masuk menjadi direktur utama KRAS dan kemudian mentransformasi perusahaan secara besar-besaran, maka untuk saat ini penulis tidak tertarik untuk menjadi pemegang saham
di KRAS. Okay, kalau denger-denger cerita bahwa pabrik blast furnace-nya
sebentar lagi bakal jadi (sebentar lagi itu artinya belum jadi kan?), dermaganya
sudah jadi bla bla bla, maka sekilas memang KRAS ini menarik. Tapi, hey,
bukankah KRAS ini juga sudah menjanjikan prospek begini begitu sejak 2014 lalu?
Tapi mana hasilnya?
Anyway, kalau nanti,
entah gimana caranya, susunan direksi KRAS digantikan oleh orang-orang baru
yang lebih kompeten, maka barulah KRAS ini menarik, possibly bahkan bisa dipertimbangkan untuk investasi serius untuk jangka
panjang. Sebab sejatinya prospek bisnis baja di Indonesia itu sangat
menarik karena tingkat konsumsi baja nasional masih sangat rendah (data dari
Worldsteel.org menunjukkan bahwa konsumsi baja di negara-negara Asia termasuk
Indonesia tapi diluar China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, rata-rata
hanya 87.3 kilogram per kapita, atau jauh dibawah rata-rata konsumsi baja dunia
yang mencapai 214.5 kg per kapita, di tahun 2017), sementara sekarang sedang dikebut
pembangunan infrastruktur, dan KRAS sejak awal sudah merupakan salah satu
market leader di pasar baja tanah air. Dan ingat pula bahwa pemilik perusahaan
baja terbesar di dunia Arcellor Mittal, yakni Lakshmi Mittal, ia juga dulu
memulai usaha pabrik bajanya di Indonesia, tepatnya di Sidoarjo! Dan menariknya
Chaacha Mittal ini juga memulai pabrik bajanya di Sidoarjo pada tahun 1970,
atau hanya setahun sebelum Krakatau Steel berdiri dan beroperasi pada tahun 1971.
Nah, kalau ada dua
pabrik baja yang usianya kurang lebih sama, dan juga memulai usahanya di negara
yang sama, tapi yang satu kemudian tumbuh menjadi perusahaan raksasa, sementara yang
satunya lagi malah bikin kesel karena rugi melulu, maka dimana letak
masalahnya? Sudah pasti, pada orang-orang yang bertanggung jawab atas
operasional perusahaan. Actually, soal manajemen ini juga sepertinya sudah menjadi perhatian serius dari pemilik KRAS itu sendiri (baca: Pemerintah),
dimana pada Maret 2017 lalu kembali dilakukan penggantian dewan direksi,
setelah sebelumnya juga terjadi pergantian dewan direksi pada April 2015. However,
hingga Kuartal II 2018 kemarin hasilnya belum kelihatan, jadi mari kita lihat
lagi gimana perkembangannya dalam beberapa waktu kedepan.
PT Krakatau Steel, Tbk
Rating Kinerja pada Q2
2018: BB
Rating Saham pada
400: A
Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (‘Ebook
Kuartalan’) edisi Kuartal II 2018 sudah
terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini.
Jadwal Value Investing Private Class, Jakarta,
Minggu 12 Agustus (sisa 1 seat lagi). Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Biar management dan proses bisnisnya diperbaiki.. ( kayak pemain bola) dan kita bisa foxus ke yg lain.