Strategi Investasi Saham u/ Dana Pensiun
Secara harfiah, yang
dimaksud ‘dana pensiun’ adalah sejumlah dana yang terbilang cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari pemiliknya selama sekian tahun, bahkan meski ia
sudah pensiun alias tidak lagi bekerja. Di perusahaan-perusahaan besar biasanya gaji karyawan dipotong
sekian persen setiap bulannya sebagai iuran pensiun, dimana dana yang terkumpul kemudian bisa disimpan sendiri oleh perusahaan, atau diserahkan untuk dikelola
oleh pihak ketiga, misalnya BPJS Ketenagakerjaaan, sehingga menghasilkan
keuntungan yang pada akhirnya akan dikembalikan ke si pemilik dana (karyawan)
ketika nanti ia pensiun, entah itu dibayar semuanya secara sekaligus di awal,
atau dibayar setiap bulan selama batas waktu tertentu, atau hingga si karyawan
meninggal dunia.
***
Jadwal
Seminar:
Karena imbas Covid-19, penulis sampai hari ini masih #rebahanathome, jadi untuk
sekarang belum ada jadwal. Namun anda bisa memperoleh rekamannya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 6,000.
***
However, sebanyak
apapun aset atau tabungan yang dimiliki seorang pensiunan, pada akhirnya
tabungan itu bisa saja habis sebelum waktunya. Karena itulah, masih ada satu
lagi definisi dari dana pensiun: Itu adalah adalah sejumlah dana, tabungan,
atau aset yang menghasilkan pendapatan
bagi pemiliknya bahkan meski ia sudah pensiun, alias tidak lagi bekerja, dimana
jumlah pendapatan tersebut terbilang cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini yang dimaksud dana pensiun adalah lebih
dari sekedar tabungan, melainkan merupakan investasi
yang mampu menghasilkan passive income bagi pemiliknya.
Dan dalam kaitannya
dengan investasi di saham, maka boleh baca bagian ini baik-baik (yang mau copy paste, be smart, jangan lupa menyebut nama saya sebagai penulisnya):
Jika anda bekerja dan memiliki penghasilan,
maka anda bisa membuat ‘dana pensiun’ milik anda sendiri dengan cara membeli
satu atau beberapa saham tertentu secara menyicil setiap bulannya (misalnya
tiap kali anda gajian, maka tiap kali itu pula anda menyetor ke sekuritas untuk langsung beli lagi/tambah posisi di
saham yang sama), untuk kemudian disimpan untuk jangka panjang, dimana setelah
katakanlah 15 – 20 tahun, diharapkan
bahwa anda akan memiliki saham tersebut dalam jumlah yang cukup besar. Hingga ketika akhirnya anda sudah tidak memiliki penghasilan lagi (karena sudah pensiun/berhenti bekerja), maka sebagian dari capital gain atau dividen yang dihasilkan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga anda bisa menariknya tanpa perlu khawatir bahwa jumlah tabungan anda di saham akan
berkurang.
Kemudian mungkin ada
pertanyaan, kenapa harus 15 – 20 tahun? Karena kalau kita ambil contoh
peraturan dari BPJS Ketenagakerjaan, seorang pekerja hanya diperbolehkan untuk
ikut program jaminan hari tua jika ia masih akan bekerja/bisa menyetor
iuran bulanan hingga minimal 15 tahun
kedepan. Ini artinya para fund manager profesional disitu juga sudah bisa
memperkirakan bahwa kalau si pekerja menyetor iuran pensiunnya dalam jangka
waktu yang kurang dari itu, katakanlah hanya selama 5 – 10 tahun, maka hasilnya
tidak akan cukup besar karena, pertama, total iuran yang terkumpul masih
sedikit, dan kedua, jangka waktunya tidak cukup lama dimana dana yang disetor,
yang kemudian diputar di instrumen investasi seperti saham, obligasi, pasar
uang dll, juga belum menghasilkan keuntungan sebesar yang diharapkan.
Sebagai ilustrasi, pada
tahun 2003, saham Unilever Indonesia (UNVR) berada di level 3,350. Katakanlah
anda membeli UNVR senilai Rp1 juta setiap bulannya, dan anda terus
melakukan itu hingga hari ini sahamnya sudah berada di level 44,100. Sebagai
catatan, antara tahun 2003 – 2008 UNVR berada di rentang 3,000 – 7,000, antara
tahun 2008 – 2013 UNVR berada di rentang 7,000 – 23,000, dan antara tahun 2013
– 2018 UNVR berada di rentang 23,000 – 58,000.
Maka pada hari ini
atau setelah 15 tahun, anda akan memiliki saham UNVR dengan total nilai modal Rp180 juta (Rp1 juta per bulan dikali
12, dikali 15 tahun), pada rata-rata harga beli sekitar 10,000 – 15,000 per saham. Karena UNVR itu sendiri sekarang berada
di level 44,100, sementara total dividen yang dibayar UNVR antara tahun 2003 –
2017 adalah sekitar Rp7,000-an per saham (setelah pajak jadi Rp6,000-an), maka
nilai investasi anda hari ini beserta capital gain serta dividennya bukan lagi
180 juta, melainkan sekitar Rp600 – 900 juta.
Ini adalah dengan asumsi, pertama, nilai setoran anda gak berubah, tetap Rp1
juta per bulan sampai sekarang. Kedua, anda beli sahamnya tanpa strategi, pokoknya tiap ada duit langsung haka alias hajar
kanan. Dan ketiga, anda tidak
menginvestasikan kembali dividen yang diterima, melainkan tetap disimpan
dalam bentuk cash.
Nah, ketika melihat
asumsi pertama saja maka sudah langsung kelihatan bahwa, pada prakteknya, hasil
investasi jangka panjang anda di UNVR seharusnya bakal jauh lebih besar dari sekedar
Rp600 – 900 juta. Karena kalau anda di tahun 2003 sudah bisa menyisihkan Rp1
juta per bulan untuk diinvestasikan, maka dalam waktu 5, 10, hingga 15 tahun
berikutnya, cicilan investasi anda seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu, minimal sudah menembus angka
belasan juta per bulannya. Sebab, just remember, pada awal dekade 2000-an,
seorang PNS dengan gaji Rp1 jutaan per bulan sudah menjadi calon mantu idaman bagi setiap orang tua yang punya anak gadis. Sementara sekarang? Well, penulis punya
teman yang kerja di bank dengan gaji Rp25 juta per bulannya, dan dia bilang
gaji segitu masih kecil, karena cicilan rumah serta mobilnya saja sudah Rp9 jutaan.
Jadi akan lebih masuk akal kalau kita katakan bahwa, meski pada tahun 2003 setoran
anda ke sekuritas cuma Rp1 juta, atau bahkan lebih kecil lagi, tapi pada hari
ini nilai setoran tersebut seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu. Thus, nilai modal anda di saham UNVR seharusnya juga jauh lebih besar dari
sekedar Rp180 juta, melainkan mungkin sekitar Rp400 – 500 juta, dimana setelah ditambah
capital gain serta dividen, totalnya sudah tembus sekian milyar Rupiah.
Tapi bahkan, sekali
lagi, itu dengan adanya asumsi No. 2 dan 3 tadi, yakni anda investasi tanpa strategi,
dan tidak menginvestasikan kembali dividen yang diperoleh! Lalu bagaimana jika
kita menerapkan strategi tertentu? Maka sudah tentu, hasilnya akan lebih besar
lagi! Kemudian ingat pula: Anda selama 15 tahun tersebut masih bekerja, yang artinya
anda masih punya penghasilan, jadi anda belum
butuh dividen tunai kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
sehingga dividen yang diterima mestinya bisa diinvestasikan kembali. Dividen
tersebut baru perlu ditarik, sekali lagi, kalau nanti anda sudah pensiun.
Lalu Bagaimana
Strateginya?
Berdasarkan
pengalaman penulis selama ini maka terdapat tiga strategi, dimulai dari yang strategi yang mudah, sulit, dan paling
sulit, tapi disisi lain nilai profit yang dihasilkan juga akan
setimpal dengan tingkat kesulitan dari strategi yang anda pilih. Dan kesamaan
dari ketiga strategi ini adalah, tidak hanya dana setoran bulanan, anda juga harus menggunakan/menginvestasikan kembali
dividen yang anda terima untuk membeli kembali saham yang sama, dan jangan pernah berpikir untuk menarik/mencairkan sepeserpun hasil investasi anda sebelum waktunya, karena ingat sekali lagi bahwa itu adalah tabungan untuk hari tua anda nanti.
Kita mulai dari
strategi yang mudah: Dengan asumsi anda mampu memilih saham yang benar-benar berfundamental bagus hingga
saham tersebut bisa di-hold forever (baca lagi kriteria wonderful
company disini),
maka risiko terbesarnya terbatas pada fluktuasi
pasar, dimana saham anda hanya akan turun kalau IHSG/pasar turun. Nah,
meski kita tidak pernah bisa tahu persis kapan IHSG atau saham yang kita pegang akan
naik atau turun, tapi kita tentu sudah hafal bahwa pasar akan mengalami koreksi setiap beberapa waktu sekali, atau
bahkan market crash (seperti tahun
1998, atau 2008) pada jangka waktu
yang lebih panjang.
Jadi, pertama, kita
harus ingat bahwa dalam jangka puanjaaaanng, maka rata-rata persentase kenaikan
saham yang paling bagus sekalipun sebenarnya tidak terlalu besar setiap tahunnya. Kalau kita ambil contoh UNVR,
maka dari tahun 2003 sampai hari ini, jika dirata-ratakan sahamnya hanya naik
sekitar 19% per tahun. Kedua, ini
artinya jika saham yang anda pegang naik lebih cepat dibanding biasanya,
misalnya mencapai 40 – 50% atau lebih dalam waktu satu tahun atau kurang, maka cepat atau lambat kedepannya dia akan
turun, entah itu turun sendiri, atau turun karena koreksi pasar/IHSG. Nah,
pada kondisi inilah, anda tetap menyetor ke sekuritas setiap bulan, tapi
duitnya jangan langsung dipake beli
saham, melainkan diamkan saja dulu dalam bentuk cash. Demikian pula jika anda memperoleh dividen, maka diamkan saja dulu.
Lalu kapan boleh belinya? Yakni ketika saham anda tersebut sudah turun 10 – 20% dari harga tertingginya, atau lebih rendah lagi. Seperti yang pernah kita bahas disini, IHSG bisa dikatakan berada dalam periode bearish jika sudah turun 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan kalau IHSG-nya saja sudah turun sedalam itu maka penurunan saham-saham tertentu biasanya lebih dalam lagi. Sebagai contoh, ketika beberapa waktu lalu IHSG drop dari 6,700 sampai 5,600-an, atau turun 15%, maka saham Bank BNI (BBNI) yang notabene no problem secara fundamental, ikut turun dari 10,000 sampai sempat menyentuh 6,400, atau drop lebih dari 30%.
Lalu kapan boleh belinya? Yakni ketika saham anda tersebut sudah turun 10 – 20% dari harga tertingginya, atau lebih rendah lagi. Seperti yang pernah kita bahas disini, IHSG bisa dikatakan berada dalam periode bearish jika sudah turun 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan kalau IHSG-nya saja sudah turun sedalam itu maka penurunan saham-saham tertentu biasanya lebih dalam lagi. Sebagai contoh, ketika beberapa waktu lalu IHSG drop dari 6,700 sampai 5,600-an, atau turun 15%, maka saham Bank BNI (BBNI) yang notabene no problem secara fundamental, ikut turun dari 10,000 sampai sempat menyentuh 6,400, atau drop lebih dari 30%.
Kabar baiknya, anda
gak perlu nongkrongin pasar untuk tahu bahwa pasar sedang terkoreksi. Sebab
sudah menjadi tabiat penghuni pasar dari dulu bahwa kalau pasar lagi aman/IHSG
naik terus, maka orang-orang akan diem-diem aja, tapi sekalinya IHSG drop 5%
saja, maka mereka bakal langsung ribut dan panik. Yep, jadi kalau pasar sedang bearish,
maka kecuali anda tinggal di goa, anda
akan mengetahuinya, misalnya ketika ada yang mulai curhat di Facebook. Dan ketika itulah duit yang
masih nganggur bisa mulai dibelanjakan, semakin turun sahamnya maka semakin
banyak belinya, dan kalaupun pada satu titik duit cash tersebut sudah habis
maka gak usah khawatir, karena anda masih menyetor tiap bulannya bukan?
Kemudian strategi
kedua, yakni strategi sulit, yang sebenarnya masih sama dengan strategi mudah
diatas, namun ditambah dengan menyiapkan
payung (payung apaan? Coba baca dulu link-nya). Intinya, ketika saham anda
naik lebih cepat dari biasanya (bagi saham blue chips, kenaikan 50% dalam setahun sudah bisa dikatakan 'lebih cepat dari biasanya'), maka ketika itulah anda bisa jual dulu, untuk nanti duitnya dipake untuk nyicil beli lagi saham yang sama
ketika harganya turun, tambah dalem turunnya maka tambah banyak pula belinya.
Dengan cara ini maka anda akan punya lebih
banyak amunisi untuk membeli lagi saham anda pada harga terbaik.
However, cara ini
sulit dilakukan karena, pertama, sering juga terjadi kasus dimana kita jual
saham tertentu karena menganggap naiknya sudah tinggi, tapi ternyata dia masih lanjut naik lagi, dan secara
psikologis itu akan sangat mengganggu, karena kita akan jadi berpikir bahwa
kita baru saja kehilangan investasi berharga yang seharusnya bisa menjadi
pegangan jangka panjang. Dan pada kasus terburuk, anda bisa saja, karena takut
ketinggalan kereta, kemudian beli lagi saham tersebut pada harga yang lebih tinggi
dari harga ketika kemarin anda menjualnya, tapi justru tak lama kemudian saham
itu turun! Nah, dalam hal ini strategi yang tadinya bertujuan untuk
‘memaksimalkan profit’, hasilnya justru malah rugi.
Nevertheless, risiko
terjadinya ‘strategi yang tidak berjalan sesuai rencana’ diatas bisa
diminimalisir dengan cara anda tidak menjual seluruh saham yang anda pegang,
melainkan sebagian saja, entah itu
seperlima, sepertiga, atau separuh. Dengan cara ini maka, kalau saham itu ternyata
masih naik lagi, maka yo wes biarken saja, toh kita masih pegang barangnya
bukan? Dan karena kita tahu bahwa setinggi apapun kenaikan suatu saham namun
pada akhirnya dia akan turun lagi, maka uang cash yang anda pegang tetap bisa
dipakai untuk beli lagi saham tersebut, sekali lagi, ketika harganya sudah
turun 10 – 20% atau lebih dari posisi tertingginya.
Ketiga, strategi
yang paling sulit, yakni dengan menerapkan
value investing, dimana rule-nya sederhana: Ketika saham anda
naik banyak hingga valuasinya menjadi
overvalue, maka ketika itulah kita mulai jualan entah itu sedikit-sedikit
atau sekaligus, lalu tunggu. Ketika
pasar kemudian terkoreksi, dan saham yang anda jual sebelumnya mulai turun,
maka anda boleh membelinya bukan ketika saham tersebut sudah turun 10 – 20%
dari posisi puncaknya, melainkan ketika valuasinya
sudah murah kembali. Dan seperti contoh BBNI diatas, sebuah saham bisa
turun sampai 30% atau bahkan lebih, dan barulah valuasinya akan berubah dari tadinya
mahal menjadi murah.
Nah, jika anda bisa secara akurat menghitung valuasi saham yang anda incar, maka disinilah anda berpeluang untuk memperoleh profit maksimal, dimana hasil investasi anda setelah 15 tahun bukan lagi sekian milyar Rupiah, melainkan jauh lebih besar lagi. Dan karena nilai portofolio anda lebih besar, maka otomatis nilai dividennya juga lebih besar lagi, hingga nilai dividen ini pada satu waktu bisa saja mengimbangi atau bahkan sudah lebih besar dibanding nilai dana yang anda setor tiap bulannya!
Nah, jika anda bisa secara akurat menghitung valuasi saham yang anda incar, maka disinilah anda berpeluang untuk memperoleh profit maksimal, dimana hasil investasi anda setelah 15 tahun bukan lagi sekian milyar Rupiah, melainkan jauh lebih besar lagi. Dan karena nilai portofolio anda lebih besar, maka otomatis nilai dividennya juga lebih besar lagi, hingga nilai dividen ini pada satu waktu bisa saja mengimbangi atau bahkan sudah lebih besar dibanding nilai dana yang anda setor tiap bulannya!
Lalu dimana letak
sulitnya? Ya tentunya anda harus bisa menghitung apakah valuasi sebuah saham
terbilang murah, wajar, atau mahal, dimana meski secara teori sebenarnya itu
mudah saja (baca saja buku penulis, atau dengarkan rekaman seminar, anda akan
langsung ngerti caranya), tapi tetap saja untuk penerapannya butuh pengalaman. Sebab, pertama, adalah
tidak mungkin bagi siapapun, termasuk value investor yang paling berpengalaman
sekalipun, untuk menentukan secara
persis bahwa sebuah saham maksimalnya akan naik/turun sampai level berapa.
Dengan kata lain, bisa saja anda bilang bahwa saham A di harga 500 sudah murah,
tapi nyatanya saham itu kemudian turun ke 450, 400, atau lebih rendah lagi. Dan
meski saham tersebut, selama tidak terjadi perubahan fundamental, pada akhirnya
akan naik lagi, tapi dalam jangka pendek ini akan menjadi ujian bagi si investor itu sendiri, apakah ia akan tetap yakin
dengan perhitungannya, atau mulai ragu sendiri. Kemudian kedua, secara
psikologis, kebanyakan investor/trader saham itu berperilaku kebalikan dengan yang dilakukan value
investor, yakni mereka membeli saham yang lagi naik, bukan saham yang lagi turun!
In fact, ketika selama beberapa bulan terakhir ini IHSG terkoreksi, dan ada
banyak saham yang valuasinya kemudian menjadi murah, tapi tetap saja
orang-orang, bahkan termasuk penulis sendiri, seringkali ragu-ragu untuk masuk,
karena sudah sejak jaman baheula, setiap
koreksi pasar selalu diiringi dengan berita-berita negatif, yang kemudian
bikin kita bukannya antusias karena banyak kesempatan buy, melainkan ikutan
panik. Demikian pula ketika saham tertentu sudah naik tinggi, bukannya
menghindar kita malah membelinya karena penasaran, termasuk karena takut ketinggalan kereta. Fenomena
ini, sekali lagi, sudah terjadi sajak dulu, dan akan terus terjadi sampai
kapanpun.
Tantangan Tersulit
Tantangan Tersulit
Anyway, jika anda
mampu mengatasi problem-problem psikologis diatas, sehingga alhasil anda bisa
menerapkan value investing secara efektif, then there you go: Profit yang anda
peroleh akan maksimal namun disisi lain risikonya tetap terbatas, karena saham
yang anda pilih sejak awal merupakan saham terbaik. Tapi jika anda memilih
strategi yang paling mudah pun (yang gak pake analisis apapun, pokoknya kalau sahamnya turun 10 - 20% dari posisi tertingginya maka hajar!), maka tetap saja profitnya akan lebih besar
dibanding jika anda langsung haka tiap kali anda nyetor ke sekuritas. Cuma
balik lagi: Strategi manapun yang anda pilih, ada dua kesulitan yang mau tidak mau akan anda hadapi. Pertama, anda
harus memilih saham yang benar-benar
bagus, yang anda cukup yakin untuk ‘tetap bersamanya sehidup semati’, dan
masalahnya dari sekian banyak saham di BEI, cuma ada sedikit saham yang masuk
kriteria wonderful company seperti itu. Sementara sebagian besar saham
lainnya, tak peduli selama apapun anda meng-hold-nya, biasanya nanti akan ada
saja waktu-waktu dimana anda harus
menjualnya, untuk kemudian pindah ke saham lain.
Dan kedua, inilah tantangan tersulitnya: Anda harus berinvestasi minimal selama 15 tahun, sebelum barulah kemudian nilai portofolio yang anda
pegang menjadi cukup besar, dan profit yang anda peroleh per tahunnya jadi ‘lebih
terasa’. Yep, ini pula sebabnya penulis di buku ‘Value Investing: Beat the
Market In Five Minutes!’ dan juga seminar mengatakan bahwa, jangankan dalam
waktu beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun, anda bahkan tidak akan menghasilkan
keuntungan yang signifikan dari investasi anda di saham dalam waktu 10 tahun!
(Dan masalahnya
adalah, sejauh yang bisa penulis amati, hanya sedikit sekali investor profesional
yang ngomongnya seperti diatas. Kebanyakan ‘investor sukses’ lainnya mengklaim
bahwa mereka bisa ‘cepat kaya dari saham’, ‘menjadi milyader di usia muda’, ‘profit
700% dalam setahun’, dst. Intinya, menjadi kaya dalam 15 – 20 tahun dari saham bukanlah
ide yang menarik bagi calon investor manapun, dimana mereka maunya ya begitu
beli saham langsung cuan besoknya, kalo bisa AR kanan!)
Tapi balik lagi, jika
anda mampu melewati 10 tahun pertama dengan baik, maka 10 tahun berikutnya akan jauh lebih mudah. Kemudian ingat pula, ini kan tujuannya untuk persiapan nanti kalau anda pensiun, jadi ngapain buru-buru?? Yep, jadi ketimbang ikut
program dana pensiun maka anda bisa membuat dana pensiun milik anda sendiri, anda
bisa pilih strateginya sendiri, dan anda bisa tentukan sendiri berapa ‘iuran’ alias
setoran perbulannya. Kabar baiknya, anda gak perlu nyetor terlalu besar, karena
bahkan hanya Rp1 – 2 juta per bulan sudah cukup, dan anda bisa pilih strategi
yang paling aman jika memang tidak mau ambil risiko. Dan kalau anda kemudian
bisa melewati bagian tersulitnya, yakni menunggu selama 15 – 20 tahun dimana anda
selama itu mampu berinvestasi secara konsisten (itu juga akan sangat menantang,
karena dalam perjalanannya anda akan dihantam koreksi pasar, dikerjai bandar
dll), maka baru setelah itulah anda akan memperoleh hadiah terbesarnya:
Sejumlah aset dalam bentuk saham yang nilainya cukup besar, atau bahkan sangat besar, sehingga capital
gain dan dividend yang dihasilkan juga besar, dimana anda hanya
perlu menarik sebagian diantaranya untuk kebutuhan sehari-hari, atau bahkan keliling dunia jika anda mau, sementara
selebihnya bisa diinvestasikan kembali. Dan sudah tentu, anda tidak perlu
bekerja lagi, melainkan boleh pergi memancing seharian, atau melakukan hobi apapun
yang anda sukai.
Anda mau belajar sabar? Cobalah memancing |
Well, sounds good
eh? Nah, mumpung kondisi pasar sekarang ini masih jauh dari kata bullish, lalu
apa lagi yang anda tunggu??
***
Video
Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik
hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda
bisa memperolehnya disini.
Komentar
Baik pak, akan saya Haka UNVR dan BBRI untuk long term ...
Thankyou Pak Teguh..
Terima kasih banyak untuk pencerahannya pak
Penjelasannya sangat jelas dan keren sekali
This is the one knowledge I need