Strategi Investasi Saham u/ Dana Pensiun

Secara harfiah, yang dimaksud ‘dana pensiun’ adalah sejumlah dana yang terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pemiliknya selama sekian tahun, bahkan meski ia sudah pensiun alias tidak lagi bekerja. Di perusahaan-perusahaan besar biasanya gaji karyawan dipotong sekian persen setiap bulannya sebagai iuran pensiun, dimana dana yang terkumpul kemudian bisa disimpan sendiri oleh perusahaan, atau diserahkan untuk dikelola oleh pihak ketiga, misalnya BPJS Ketenagakerjaaan, sehingga menghasilkan keuntungan yang pada akhirnya akan dikembalikan ke si pemilik dana (karyawan) ketika nanti ia pensiun, entah itu dibayar semuanya secara sekaligus di awal, atau dibayar setiap bulan selama batas waktu tertentu, atau hingga si karyawan meninggal dunia.

                                                                          ***

Jadwal Seminar: Karena imbas Covid-19, penulis sampai hari ini masih #rebahanathome, jadi untuk sekarang belum ada jadwal. Namun anda bisa memperoleh rekamannya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 6,000.

***

However, sebanyak apapun aset atau tabungan yang dimiliki seorang pensiunan, pada akhirnya tabungan itu bisa saja habis sebelum waktunya. Karena itulah, masih ada satu lagi definisi dari dana pensiun: Itu adalah adalah sejumlah dana, tabungan, atau aset yang menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya bahkan meski ia sudah pensiun, alias tidak lagi bekerja, dimana jumlah pendapatan tersebut terbilang cukup atau lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini yang dimaksud dana pensiun adalah lebih dari sekedar tabungan, melainkan merupakan investasi yang mampu menghasilkan passive income bagi pemiliknya.

Dan dalam kaitannya dengan investasi di saham, maka boleh baca bagian ini baik-baik (yang mau copy paste, be smart, jangan lupa menyebut nama saya sebagai penulisnya):

Jika anda bekerja dan memiliki penghasilan, maka anda bisa membuat ‘dana pensiun’ milik anda sendiri dengan cara membeli satu atau beberapa saham tertentu secara menyicil setiap bulannya (misalnya tiap kali anda gajian, maka tiap kali itu pula anda menyetor ke sekuritas untuk langsung beli lagi/tambah posisi di saham yang sama), untuk kemudian disimpan untuk jangka panjang, dimana setelah katakanlah 15 – 20 tahun, diharapkan bahwa anda akan memiliki saham tersebut dalam jumlah yang cukup besar. Hingga ketika akhirnya anda sudah tidak memiliki penghasilan lagi (karena sudah pensiun/berhenti bekerja), maka sebagian dari capital gain atau dividen yang dihasilkan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga anda bisa menariknya tanpa perlu khawatir bahwa jumlah tabungan anda di saham akan berkurang.

Kemudian mungkin ada pertanyaan, kenapa harus 15 – 20 tahun? Karena kalau kita ambil contoh peraturan dari BPJS Ketenagakerjaan, seorang pekerja hanya diperbolehkan untuk ikut program jaminan hari tua jika ia masih akan bekerja/bisa menyetor iuran bulanan hingga minimal 15 tahun kedepan. Ini artinya para fund manager profesional disitu juga sudah bisa memperkirakan bahwa kalau si pekerja menyetor iuran pensiunnya dalam jangka waktu yang kurang dari itu, katakanlah hanya selama 5 – 10 tahun, maka hasilnya tidak akan cukup besar karena, pertama, total iuran yang terkumpul masih sedikit, dan kedua, jangka waktunya tidak cukup lama dimana dana yang disetor, yang kemudian diputar di instrumen investasi seperti saham, obligasi, pasar uang dll, juga belum menghasilkan keuntungan sebesar yang diharapkan.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, saham Unilever Indonesia (UNVR) berada di level 3,350. Katakanlah anda membeli UNVR senilai Rp1 juta setiap bulannya, dan anda terus melakukan itu hingga hari ini sahamnya sudah berada di level 44,100. Sebagai catatan, antara tahun 2003 – 2008 UNVR berada di rentang 3,000 – 7,000, antara tahun 2008 – 2013 UNVR berada di rentang 7,000 – 23,000, dan antara tahun 2013 – 2018 UNVR berada di rentang 23,000 – 58,000.

Maka pada hari ini atau setelah 15 tahun, anda akan memiliki saham UNVR dengan total nilai modal Rp180 juta (Rp1 juta per bulan dikali 12, dikali 15 tahun), pada rata-rata harga beli sekitar 10,000 – 15,000 per saham. Karena UNVR itu sendiri sekarang berada di level 44,100, sementara total dividen yang dibayar UNVR antara tahun 2003 – 2017 adalah sekitar Rp7,000-an per saham (setelah pajak jadi Rp6,000-an), maka nilai investasi anda hari ini beserta capital gain serta dividennya bukan lagi 180 juta, melainkan sekitar Rp600 – 900 juta. Ini adalah dengan asumsi, pertama, nilai setoran anda gak berubah, tetap Rp1 juta per bulan sampai sekarang. Kedua, anda beli sahamnya tanpa strategi, pokoknya tiap ada duit langsung haka alias hajar kanan. Dan ketiga, anda tidak menginvestasikan kembali dividen yang diterima, melainkan tetap disimpan dalam bentuk cash.

Nah, ketika melihat asumsi pertama saja maka sudah langsung kelihatan bahwa, pada prakteknya, hasil investasi jangka panjang anda di UNVR seharusnya bakal jauh lebih besar dari sekedar Rp600 – 900 juta. Karena kalau anda di tahun 2003 sudah bisa menyisihkan Rp1 juta per bulan untuk diinvestasikan, maka dalam waktu 5, 10, hingga 15 tahun berikutnya, cicilan investasi anda seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu, minimal sudah menembus angka belasan juta per bulannya. Sebab, just remember, pada awal dekade 2000-an, seorang PNS dengan gaji Rp1 jutaan per bulan sudah menjadi calon mantu idaman bagi setiap orang tua yang punya anak gadis. Sementara sekarang? Well, penulis punya teman yang kerja di bank dengan gaji Rp25 juta per bulannya, dan dia bilang gaji segitu masih kecil, karena cicilan rumah serta mobilnya saja sudah Rp9 jutaan.

Jadi akan lebih masuk akal kalau kita katakan bahwa, meski pada tahun 2003 setoran anda ke sekuritas cuma Rp1 juta, atau bahkan lebih kecil lagi, tapi pada hari ini nilai setoran tersebut seharusnya sudah jauh lebih besar dari itu. Thus, nilai modal anda di saham UNVR seharusnya juga jauh lebih besar dari sekedar Rp180 juta, melainkan mungkin sekitar Rp400 – 500 juta, dimana setelah ditambah capital gain serta dividen, totalnya sudah tembus sekian milyar Rupiah.

Tapi bahkan, sekali lagi, itu dengan adanya asumsi No. 2 dan 3 tadi, yakni anda investasi tanpa strategi, dan tidak menginvestasikan kembali dividen yang diperoleh! Lalu bagaimana jika kita menerapkan strategi tertentu? Maka sudah tentu, hasilnya akan lebih besar lagi! Kemudian ingat pula: Anda selama 15 tahun tersebut masih bekerja, yang artinya anda masih punya penghasilan, jadi anda belum butuh dividen tunai kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga dividen yang diterima mestinya bisa diinvestasikan kembali. Dividen tersebut baru perlu ditarik, sekali lagi, kalau nanti anda sudah pensiun.

Lalu Bagaimana Strateginya?

Berdasarkan pengalaman penulis selama ini maka terdapat tiga strategi, dimulai dari yang strategi yang mudah, sulit, dan paling sulit, tapi disisi lain nilai profit yang dihasilkan juga akan setimpal dengan tingkat kesulitan dari strategi yang anda pilih. Dan kesamaan dari ketiga strategi ini adalah, tidak hanya dana setoran bulanan, anda juga harus menggunakan/menginvestasikan kembali dividen yang anda terima untuk membeli kembali saham yang sama, dan jangan pernah berpikir untuk menarik/mencairkan sepeserpun hasil investasi anda sebelum waktunya, karena ingat sekali lagi bahwa itu adalah tabungan untuk hari tua anda nanti.

Kita mulai dari strategi yang mudah: Dengan asumsi anda mampu memilih saham yang benar-benar berfundamental bagus hingga saham tersebut bisa di-hold forever (baca lagi kriteria wonderful company disini), maka risiko terbesarnya terbatas pada fluktuasi pasar, dimana saham anda hanya akan turun kalau IHSG/pasar turun. Nah, meski kita tidak pernah bisa tahu persis kapan IHSG atau saham yang kita pegang akan naik atau turun, tapi kita tentu sudah hafal bahwa pasar akan mengalami koreksi setiap beberapa waktu sekali, atau bahkan market crash (seperti tahun 1998, atau 2008) pada jangka waktu yang lebih panjang.

Jadi, pertama, kita harus ingat bahwa dalam jangka puanjaaaanng, maka rata-rata persentase kenaikan saham yang paling bagus sekalipun sebenarnya tidak terlalu besar setiap tahunnya. Kalau kita ambil contoh UNVR, maka dari tahun 2003 sampai hari ini, jika dirata-ratakan sahamnya hanya naik sekitar 19% per tahun. Kedua, ini artinya jika saham yang anda pegang naik lebih cepat dibanding biasanya, misalnya mencapai 40 – 50% atau lebih dalam waktu satu tahun atau kurang, maka cepat atau lambat kedepannya dia akan turun, entah itu turun sendiri, atau turun karena koreksi pasar/IHSG. Nah, pada kondisi inilah, anda tetap menyetor ke sekuritas setiap bulan, tapi duitnya jangan langsung dipake beli saham, melainkan diamkan saja dulu dalam bentuk cash. Demikian pula jika anda memperoleh dividen, maka diamkan saja dulu.

Lalu kapan boleh belinya? Yakni ketika saham anda tersebut sudah turun 10 – 20% dari harga tertingginya, atau lebih rendah lagi. Seperti yang pernah kita bahas disini, IHSG bisa dikatakan berada dalam periode bearish jika sudah turun 10 – 20% dari posisi tertingginya, dan kalau IHSG-nya saja sudah turun sedalam itu maka penurunan saham-saham tertentu biasanya lebih dalam lagi. Sebagai contoh, ketika beberapa waktu lalu IHSG drop dari 6,700 sampai 5,600-an, atau turun 15%, maka saham Bank BNI (BBNI) yang notabene no problem secara fundamental, ikut turun dari 10,000 sampai sempat menyentuh 6,400, atau drop lebih dari 30%.

Kabar baiknya, anda gak perlu nongkrongin pasar untuk tahu bahwa pasar sedang terkoreksi. Sebab sudah menjadi tabiat penghuni pasar dari dulu bahwa kalau pasar lagi aman/IHSG naik terus, maka orang-orang akan diem-diem aja, tapi sekalinya IHSG drop 5% saja, maka mereka bakal langsung ribut dan panik. Yep, jadi kalau pasar sedang bearish, maka kecuali anda tinggal di goa, anda akan mengetahuinya, misalnya ketika ada yang mulai curhat di Facebook. Dan ketika itulah duit yang masih nganggur bisa mulai dibelanjakan, semakin turun sahamnya maka semakin banyak belinya, dan kalaupun pada satu titik duit cash tersebut sudah habis maka gak usah khawatir, karena anda masih menyetor tiap bulannya bukan?

Kemudian strategi kedua, yakni strategi sulit, yang sebenarnya masih sama dengan strategi mudah diatas, namun ditambah dengan menyiapkan payung (payung apaan? Coba baca dulu link-nya). Intinya, ketika saham anda naik lebih cepat dari biasanya (bagi saham blue chips, kenaikan 50% dalam setahun sudah bisa dikatakan 'lebih cepat dari biasanya'), maka ketika itulah anda bisa jual dulu,  untuk nanti duitnya dipake untuk nyicil beli lagi saham yang sama ketika harganya turun, tambah dalem turunnya maka tambah banyak pula belinya. Dengan cara ini maka anda akan punya lebih banyak amunisi untuk membeli lagi saham anda pada harga terbaik.

However, cara ini sulit dilakukan karena, pertama, sering juga terjadi kasus dimana kita jual saham tertentu karena menganggap naiknya sudah tinggi, tapi ternyata dia masih lanjut naik lagi, dan secara psikologis itu akan sangat mengganggu, karena kita akan jadi berpikir bahwa kita baru saja kehilangan investasi berharga yang seharusnya bisa menjadi pegangan jangka panjang. Dan pada kasus terburuk, anda bisa saja, karena takut ketinggalan kereta, kemudian beli lagi saham tersebut pada harga yang lebih tinggi dari harga ketika kemarin anda menjualnya, tapi justru tak lama kemudian saham itu turun! Nah, dalam hal ini strategi yang tadinya bertujuan untuk ‘memaksimalkan profit’, hasilnya justru malah rugi.

Nevertheless, risiko terjadinya ‘strategi yang tidak berjalan sesuai rencana’ diatas bisa diminimalisir dengan cara anda tidak menjual seluruh saham yang anda pegang, melainkan sebagian saja, entah itu seperlima, sepertiga, atau separuh. Dengan cara ini maka, kalau saham itu ternyata masih naik lagi, maka yo wes biarken saja, toh kita masih pegang barangnya bukan? Dan karena kita tahu bahwa setinggi apapun kenaikan suatu saham namun pada akhirnya dia akan turun lagi, maka uang cash yang anda pegang tetap bisa dipakai untuk beli lagi saham tersebut, sekali lagi, ketika harganya sudah turun 10 – 20% atau lebih dari posisi tertingginya.

Ketiga, strategi yang paling sulit, yakni dengan menerapkan value investing, dimana rule-nya sederhana: Ketika saham anda naik banyak hingga valuasinya menjadi overvalue, maka ketika itulah kita mulai jualan entah itu sedikit-sedikit atau sekaligus, lalu tunggu. Ketika pasar kemudian terkoreksi, dan saham yang anda jual sebelumnya mulai turun, maka anda boleh membelinya bukan ketika saham tersebut sudah turun 10 – 20% dari posisi puncaknya, melainkan ketika valuasinya sudah murah kembali. Dan seperti contoh BBNI diatas, sebuah saham bisa turun sampai 30% atau bahkan lebih, dan barulah valuasinya akan berubah dari tadinya mahal menjadi murah.

Nah, jika anda bisa secara akurat menghitung valuasi saham yang anda incar, maka disinilah anda berpeluang untuk memperoleh profit maksimal, dimana hasil investasi anda setelah 15 tahun bukan lagi sekian milyar Rupiah, melainkan jauh lebih besar lagi. Dan karena nilai portofolio anda lebih besar, maka otomatis nilai dividennya juga lebih besar lagi, hingga nilai dividen ini pada satu waktu bisa saja mengimbangi atau bahkan sudah lebih besar dibanding nilai dana yang anda setor tiap bulannya!

Lalu dimana letak sulitnya? Ya tentunya anda harus bisa menghitung apakah valuasi sebuah saham terbilang murah, wajar, atau mahal, dimana meski secara teori sebenarnya itu mudah saja (baca saja buku penulis, atau dengarkan rekaman seminar, anda akan langsung ngerti caranya), tapi tetap saja untuk penerapannya butuh pengalaman. Sebab, pertama, adalah tidak mungkin bagi siapapun, termasuk value investor yang paling berpengalaman sekalipun, untuk menentukan secara persis bahwa sebuah saham maksimalnya akan naik/turun sampai level berapa. Dengan kata lain, bisa saja anda bilang bahwa saham A di harga 500 sudah murah, tapi nyatanya saham itu kemudian turun ke 450, 400, atau lebih rendah lagi. Dan meski saham tersebut, selama tidak terjadi perubahan fundamental, pada akhirnya akan naik lagi, tapi dalam jangka pendek ini akan menjadi ujian bagi si investor itu sendiri, apakah ia akan tetap yakin dengan perhitungannya, atau mulai ragu sendiri. Kemudian kedua, secara psikologis, kebanyakan investor/trader saham itu berperilaku kebalikan dengan yang dilakukan value investor, yakni mereka membeli saham yang lagi naik, bukan saham yang lagi turun! In fact, ketika selama beberapa bulan terakhir ini IHSG terkoreksi, dan ada banyak saham yang valuasinya kemudian menjadi murah, tapi tetap saja orang-orang, bahkan termasuk penulis sendiri, seringkali ragu-ragu untuk masuk, karena sudah sejak jaman baheula, setiap koreksi pasar selalu diiringi dengan berita-berita negatif, yang kemudian bikin kita bukannya antusias karena banyak kesempatan buy, melainkan ikutan panik. Demikian pula ketika saham tertentu sudah naik tinggi, bukannya menghindar kita malah membelinya karena penasaran, termasuk karena takut ketinggalan kereta. Fenomena ini, sekali lagi, sudah terjadi sajak dulu, dan akan terus terjadi sampai kapanpun.

Tantangan Tersulit

Anyway, jika anda mampu mengatasi problem-problem psikologis diatas, sehingga alhasil anda bisa menerapkan value investing secara efektif, then there you go: Profit yang anda peroleh akan maksimal namun disisi lain risikonya tetap terbatas, karena saham yang anda pilih sejak awal merupakan saham terbaik. Tapi jika anda memilih strategi yang paling mudah pun (yang gak pake analisis apapun, pokoknya kalau sahamnya turun 10 - 20% dari posisi tertingginya maka hajar!), maka tetap saja profitnya akan lebih besar dibanding jika anda langsung haka tiap kali anda nyetor ke sekuritas. Cuma balik lagi: Strategi manapun yang anda pilih, ada dua kesulitan yang mau tidak mau akan anda hadapi. Pertama, anda harus memilih saham yang benar-benar bagus, yang anda cukup yakin untuk ‘tetap bersamanya sehidup semati’, dan masalahnya dari sekian banyak saham di BEI, cuma ada sedikit saham yang masuk kriteria wonderful company seperti itu. Sementara sebagian besar saham lainnya, tak peduli selama apapun anda meng-hold-nya, biasanya nanti akan ada saja waktu-waktu dimana anda harus menjualnya, untuk kemudian pindah ke saham lain.

Dan kedua, inilah tantangan tersulitnya: Anda harus berinvestasi minimal selama 15 tahun, sebelum barulah kemudian nilai portofolio yang anda pegang menjadi cukup besar, dan profit yang anda peroleh per tahunnya jadi ‘lebih terasa’. Yep, ini pula sebabnya penulis di buku ‘Value Investing: Beat the Market In Five Minutes!’ dan juga seminar mengatakan bahwa, jangankan dalam waktu beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun, anda bahkan tidak akan menghasilkan keuntungan yang signifikan dari investasi anda di saham dalam waktu 10 tahun!

(Dan masalahnya adalah, sejauh yang bisa penulis amati, hanya sedikit sekali investor profesional yang ngomongnya seperti diatas. Kebanyakan ‘investor sukses’ lainnya mengklaim bahwa mereka bisa ‘cepat kaya dari saham’, ‘menjadi milyader di usia muda’, ‘profit 700% dalam setahun’, dst. Intinya, menjadi kaya dalam 15 – 20 tahun dari saham bukanlah ide yang menarik bagi calon investor manapun, dimana mereka maunya ya begitu beli saham langsung cuan besoknya, kalo bisa AR kanan!)

Tapi balik lagi, jika anda mampu melewati 10 tahun pertama dengan baik, maka 10 tahun berikutnya akan jauh lebih mudah. Kemudian ingat pula, ini kan tujuannya untuk persiapan nanti kalau anda pensiun, jadi ngapain buru-buru?? Yep, jadi ketimbang ikut program dana pensiun maka anda bisa membuat dana pensiun milik anda sendiri, anda bisa pilih strateginya sendiri, dan anda bisa tentukan sendiri berapa ‘iuran’ alias setoran perbulannya. Kabar baiknya, anda gak perlu nyetor terlalu besar, karena bahkan hanya Rp1 – 2 juta per bulan sudah cukup, dan anda bisa pilih strategi yang paling aman jika memang tidak mau ambil risiko. Dan kalau anda kemudian bisa melewati bagian tersulitnya, yakni menunggu selama 15 – 20 tahun dimana anda selama itu mampu berinvestasi secara konsisten (itu juga akan sangat menantang, karena dalam perjalanannya anda akan dihantam koreksi pasar, dikerjai bandar dll), maka baru setelah itulah anda akan memperoleh hadiah terbesarnya: Sejumlah aset dalam bentuk saham yang nilainya cukup besar, atau bahkan sangat besar, sehingga capital gain dan dividend yang dihasilkan juga besar, dimana anda hanya perlu menarik sebagian diantaranya untuk kebutuhan sehari-hari, atau bahkan keliling dunia jika anda mau, sementara selebihnya bisa diinvestasikan kembali. Dan sudah tentu, anda tidak perlu bekerja lagi, melainkan boleh pergi memancing seharian, atau melakukan hobi apapun yang anda sukai.

Anda mau belajar sabar? Cobalah memancing

Well, sounds good eh? Nah, mumpung kondisi pasar sekarang ini masih jauh dari kata bullish, lalu apa lagi yang anda tunggu??

***

Video Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
Terimakasih Pak Teguh atas sharing ilmunya yang sangat berbobot. Tulisan diatas cukup membuat semangat & motivasi menjadi naik lagi setelah ngliat pasar bearish.

Baik pak, akan saya Haka UNVR dan BBRI untuk long term ...

Thankyou Pak Teguh..

Disiapkan mengatakan…
klo susah milih saham bagus, bisa beli ETF IDX30 aja, cuman kekurangannya ga dpt dividen, sisi baiknya bisa jadi temen sampai tua
Raihan mengatakan…
Mantap pakk, semoga kelak 10 tahun dari sekarang saya bisa mencapai financial freedom sehingga bisa bebas ngapain aja tanpa perlu mikirin duit lagi ^^
Anonim mengatakan…
Ulasan yg sangat membantu sekali pak Teguh
Terima kasih banyak untuk pencerahannya pak
Penjelasannya sangat jelas dan keren sekali
This is the one knowledge I need
Anonim mengatakan…
kalo punya bola kaca sih enak ya, mana ada yg tau saham UNVR bs naik sampe segitu, kalo investnya di lpck / bumi, ambles toh. gak segampang itu pak
MHB mengatakan…
Luar biasa, sangat mencerahkan
Ali ayah Naufal mengatakan…
Mantab sekali pak teguh ulasannya. Jadi makin semangat buat investasi di pasar modal buat bekal hari tua dan dana pendidikan anak.
Unknown mengatakan…
Terimakasih pak Teguh untuk artikelnya. Ini sekaligus reminder buat para investor pemula.
Anonim mengatakan…
Kalau menurut saya, tidak ada wonderful company yang hanya sekali analisis terus kita bisa hold selama 15+ tahun. Tentunya perlu analisis dan review secara berkala. Artikelnya bagus, tapi bisa sedikit menimbulkan persepsi yang keliru, menurut saya. Fakta bahwa, misalnya UNVR, adalah company yg bagus dan konsisten bertumbuh sejak tahun 1990 s/d sekarang tidak menjamin bahwa dia bisa konsisten mempertahankan kinerja ciamiknya di masa yang akan datang. Pemikiran seperti itu adalah bibit-bibit awal dari 'too big to fail' yg dalam kondisi krisis bisa jadi berbahaya.
Unknown mengatakan…
Otewe pak teguh.....haaa
Anonymous mengatakan…
Terima kasih pak Teguh, memberikan semangat baru untuk tetap on the "Value Investing" track. Keep Rock'in !!!
lesmanabenny mengatakan…
Amin.. mampunya sy beli saham murah tp dibawah gopek harapannya bisa naik banyak, maklum kaum duafa dan newbie
Duoluo Tianshi mengatakan…
Saya pikir beli DMAS setiap bulan. Dividen besar, PE tidak mahal dan kalo Sinar Mas milik DMAS, aku tidak pikir Sinar Mas mau DMAS ke 50an.
Anonim mengatakan…
Sekarang yang lagi trend scalping ya pak. Bukan fundamental maupun technical analysis tapi pakai bid and offer. Mirae yang gencar promosiin lewat HOTS.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?