Indo-Rama Synthetics

Jika ada pertanyaan, siapakah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, maka temen-temen investor mungkin akan menjawab, Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL). Karena dari sejumlah saham-saham tekstil yang ada di BEI memang hanya SRIL yang ramai diperdagangkan, dan SRIL sendiri dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang sudah mengekspor produknya ke seluruh dunia. Namun sebenarnya di BEI ada satu lagi perusahaan tekstil yang, kalau berdasarkan nilai aset serta cakupan bisnisnya yang sudah worldwide, maka perusahaan tersebut lebih besar lagi dari SRIL. Yup, dia adalah Indo-Rama Synthetics (INDR), and seriously, INDR ini memang merupakan perusahaan yang benar-benar besar. Okay, kita langsung saja.


Sejarah INDR dimulai ketika founder perusahaan, Sri Prakash Lohia, pindah dari kampung halamannya di India ke Indonesia, tepatnya ke Kota Purwakarta, Jawa Barat, pada tahun 1974. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1976, INDR didirikan sebagai perusahaan pemintalan benang dengan lokasi pabrik di Purwakarta, dan di tahun-tahun berikutnya perusahaan berekspansi dengan memproduksi benang filamen, benang polyester, kain polyester, PET resin (untuk membuat botol air mineral, dll), yang kesemuanya dijual ke pasar global. Per hari ini INDR sudah memiliki pabrik-pabrik tekstil & petrochemical yang tersebar di Purwakarta, Bandung, Jakarta Timur, Bekasi, hingga di luar negeri seperti Tekirdag (Turki), Andiambalama (Sri Lanka), dan Kokand (Uzbekistan). Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tekstil lainnya di tanah air, maka perkembangan INDR terbilang amat sangat pesat, dimana selain lokasi-lokasi pabrik yang disebut diatas, Grup Indorama masih punya banyak pabrik lainnya lagi. Mr. Lohia kemudian mendirikan Indorama Corporation Pte Ltd di Singapura, yang dijadikan sebagai holding dari seluruh operasional Grup Indorama yang tersebar di seluruh dunia.

Karena itulah, meski total aset INDR per Kuartal I 2018 ‘hanya’ US$ 845 juta, tapi total aset Indorama Corp jauh lebih besar dari itu, karena ada banyak aset Indorama Corp seperti pabrik polyolefin dan fertilizer di Nigeria, pabrik fiber di Jerman, pabrik benang di India, yang tidak ditempatkan dibawah INDR. Indorama Ventures, salah satu unit investasi milik Indorama Corp, berkantor pusat di Thailand dan memiliki setidaknya 75 lokasi pabrik polyester dll di seantero Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika.

Dan ini pula sebabnya Mr. Lohia kemudian masuk daftar Majalah Forbes sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, dengan net worth US$ 7.1 milyar. Mr. Lohia sendiri adalah saudara ipar dari Lakshmi Mittal, pemilik serta CEO dari Arcellor Mittal yang merupakan salah satu perusahaan baja terbesar di dunia, sekaligus salah satu orang terkaya di dunia dengan net worth sekitar US$ 17.9 milyar. Kemungkinan koneksi langsung dari Mr. Mittal inilah yang menyebabkan Mr. Lohia kemudian sukses menjalin hubungan dengan perusahaan-perusahaan supplier kimia kelas dunia seperti Du Pont, BP, Toyota Chemical, untuk kebutuhan bahan baku Indorama, termasuk menjalin hubungan dengan pelanggan yang juga kelas dunia seperti Nike, Adidas, Uniqlo, Coca Cola, dan ini semua pada akhirnya membuat Indorama Corp turut menjadi perusahaan kelas dunia itu sendiri.

Sayangnya meski mengawali usahanya di Indonesia, dan Mr. Lohia sendiri juga sudah (dan masih) berstatus sebagai WNI, namun seperti yang sudah disebut diatas, pada akhirnya Mr. Lohia menempatkan Indorama Corp bukan disini, melainkan di Singapura (dan Mr. Lohia sendiri tinggalnya di London, bukan di Blok A Tanah Abang), dan Indorama Corp kemungkinan hanya menempatkan sebagian kecil aset-asetnya di INDR. Yep, jadi yang berstatus sebagai ‘perusahaan kelas dunia’ adalah Indorama Corp, bukan INDR itu sendiri. Dan inilah yang penting untuk diperhatikan: Meski Indorama Corp secara keseluruhan terus tumbuh pesat, dimana itu bisa dilihat dari net worth Mr. Lohia yang terus naik dari tahun ke tahun (sekitar tahun 2009, menurut Majalah Forbes, net worth Lohia Family hanya sekitar US$ 800 juta), namun pertumbuhan INDR itu sendiri terbilang lambat, dengan track record laba rugi yang juga tidak mencerminkan kinerja dari ‘perusahaan kelas dunia’. Antara tahun 2011 hingga 2017, INDR membukukan laba bersih paling besar hanya US$ 9.8 juta di tahun 2015, alias sangat kecil dibanding ekuitasnya di tahun 2015 tersebut yang tercatat US$ 297 juta. Jika dirata-ratakan, ROE INDR bahkan hanya 1 – 2% setiap tahunnya, which is, sekali lagi, tidak mencerminkan kinerja dari perusahaan kelas dunia. Total aset INDR juga hanya tumbuh sedikit dari US$ 674 juta di akhir tahun 2011, menjadi US$ 845 juta pada hari ini. Sebenarnya kalau dari sisi pendapatan, kinerja INDR terbilang bagus karena pendapatannya mencapai US$ 700 – 800 juta setiap tahunnya, atau kurang lebih sama dengan total nilai aset perusahaan (salah satu kriteria wonderful company adalah pendapatan perusahaan dalam satu tahun sudah sama atau lebih besar dibanding total asetnya), tapi entah kenapa margin laba kotornya gak sampai 10% dari pendapatannya tersebut, dan margin laba bersihnya lebih kecil lagi.

Karena itulah, meski INDR sejatinya merupakan perusahaan besar, dan juga merupakan bagian dari konglomerasi yang lebih besar lagi, tapi sahamnya sangat sangat sepi pengunjung. Penulis sendiri awalnya bingung, kenapa kok Mr. Lohia bisa berada di posisi No. 3 sebagai orang terkaya di Indonesia, karena market cap INDR ketika sahamnya dulu masih di 1,000-an, itu cuma Rp600-an milyar. Tapi rupanya yang dilihat oleh Forbes gak cuma INDR, melainkan Indorama Corp, dan Indorama Corp adalah memang perusahaan raksasa dengan kepemilikan aset yang tersebar di seluruh dunia.

INDR = The Next INKP?

Meski INDR hanyalah bagian kecil dari Indorama Corp, namun dengan total aset yang, kalau di-Rupiah-kan, mencapai lebih dari Rp10 trilyun, maka INDR bukanlah perusahaan kecil juga, dan masih merupakan salah satu perusahaan kimia serta tekstil terbesar di Indonesia. Dalam hal ini penulis langsung ingat dengan Indah Kiat Pulp & Paper (INKP), yang merupakan perusahaan kertas terbesar di Indonesia, tapi INKP juga hanyalah salah satu anak usaha dari Asia Pulp & Paper (APP), milik Grup Sinarmas. Seperti halnya INDR, INKP dulu juga sepi pengunjung karena kinerjanya sama sekali gak bagus, dan ketika itu tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa dia adalah perusahaan besar (sekaligus bagian dari grup yang lebih besar lagi). Tapi setelah perusahaan tiba-tiba saja membukukan laba bersih yang cukup besar pada tahun 2017 lalu, maka ketika itulah sahamnya mulai naik dengan cepat karena, setelah dicek lagi, PBV-nya ketika itu cuma 0.2 kali (pada harga saham 2,000-an).

Dan untuk tahun 2018 ini sepertinya giliran INDR untuk naik panggung karena kronologisnya sangat mirip: INDR ini, karena memang track record kinerjanya gak bagus, maka sahamnya sejak dulu gak pernah kemana-mana di level 800 - 1,000, tapi PBV-nya pada harga tersebut juga cuma 0.1 – 0.2 kali. Thus, ketika perusahaan membukukan laba bersih US$ 13.6 juta di Kuartal I 2018, yang mencerminkan annualized ROE 18.0%, maka seketika itulah sahamnya langsung terbang, dan pada harga sekarang pun (7,475), PBV-nya masih 1.1 kali, dan PER 6.7 kali, clearly still undervalue jika mempertimbangkan status perusahaan sebagai big company, dan notabene merupakan market leader di bidangnya.

Jadi dengan asumsi di Kuartal II nanti kinerja INDR masih sama bagusnya seperti sekarang/ROE-nya stabil di angka 15 - 20%, maka hampir pasti sahamnya bakal naik lebih lanjut. Karena sejak awal, seperti yang sudah disebut diatas, kinerja INDR sebenarnya cukup bagus dari sisi nilai pendapatan, maka mungkin sebenarnya mudah saja bagi Mr. Lohia untuk membuat INDR membukukan laba yang besar (tinggal pertanyaannya, beliau mau atau tidak?), sama seperti INKP yang sampai sekarang labanya masih besar.

Hanya saja, jika di Kuartal II nanti laba INDR mengecil lagi, dan itu pernah terjadi di masa lalu (penulis lupa kapan persisnya, tapi INDR pernah membukukan laba besar di Kuartal tertentu, tapi pada akhirnya laba tersebut jadi kecil lagi di akhir tahun), maka praktis sahamnya bisa balik arah dan turun, meski juga gak akan balik lagi ke level sebelum naik (1,000-an), karena orang sudah terlanjur notice bahwa INDR ini undervalue. Actually, jika anda perhatikan, maka selain INDR, ada banyak saham-saham kecil lainnya di sektor kimia atau sektor-sektor lainnya yang tidak populer, yang mulai naik pelan-pelan dalam beberapa bulan terakhir hanya karena PBV mereka masih nol koma sekian, alias masih murah, tak peduli meski kinerjanya/labanya masih turun. Yup, seperti yang pernah penulis sampaikan sebelumnya, meningkatnya popularitas metode value investing di pasar saham Indonesia menyebabkan para investor sekarang tidak lagi melulu mengejar ‘saham terbang’, tapi juga mereka diam-diam masuk ke saham yang masih murah, dan itulah yang menyebabkan saham-saham undervalue ini mulai naik, dan khususnya INDR ini naiknya lebih cepat karena dua faktor itu tadi: 1. INDR sejatinya merupakan perusahaan besar, sama seperti INKP, dan 2. Kinerjanya, atau setidaknya di Kuartal I 2018, terbilang bagus.

Jadi meski risiko terbesar di INDR ini adalah jika nanti di Kuartal berikutnya labanya turun lagi, namun dengan mempertimbangkan trend ‘the rise of undervalued stocks’ di market, maka risiko tersebut relatif terbatas. Sementara disisi lain, jika kinerja apik INDR berlanjut sampai akhir tahun, maka sahamnya bisa dengan mudah naik sampai berapa saja, karena sejauh yang penulis perhatikan, investor ritel yang pegang INDR ini masih belum banyak (orang-orang masih ramai di INKP, TKIM, ERAA, dst). Jadi sekarang strateginya gini saja: Jika anda berani ambil risiko, maka boleh haka dari sekarang. Namun jika anda mau lebih hati-hati, maka boleh tunggu dulu sampai kinerja Kuartal II keluar, akhir Juli nanti, kalau masih bagus dan sahamnya juga belum kemana-mana, maka sikat!

Anyway, penulis sendiri sebenarnya terlambat menemukan peluang value investing di INDR ini (harusnya kita masuknya bulan Mei lalu, waktu sahamnya masih di 3,000-an), tapi kabar baiknya kita masih punya satu lagi pilihan mutiara terpendam yang meski sahamnya juga sudah mulai naik, mungkin masih belum telat untuk masuk, karena ketika artikel ini ditulis, PBV-nya masih 0.3 kali. Kita akan membahasnya lebih lengkap minggu depan.

PT. Indo-Rama Synthetics, Tbk (INDR)
Rating Kinerja pada Q1 2018: BBB
Rating Saham pada 7,475: A

Jadwal Seminar Value Investing (hari Sabtu): Jakarta 30 Juni, Medan 7 Juli, Surabaya 14 Juli. Keterangan selengkapnya baca disini.

Jadwal Seminar Value Investing – Advanced Class (hari Minggu): Jakarta 1 Juli, Medan 8 Juli, Surabaya 15 Juli. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Anonim mengatakan…
Admg ??? Mutiara terpendam yg satu sektor
Newbie Trader mengatakan…
Semoga seperti apa yg saya pikirkan..
Kalau iya, nyesel saya lepas profit 5% di harga 370..
Anonim mengatakan…
INDR tidak begitu menarik, bid offer nya sngt tipis jd mudah sekali naik turun, sementara growth dr sales ny hnya tumbuh 10%, knp laba bersih nya naik drastis, karna effisiensi dan untung kurs. Silahkan dilihat LK nya.
Raihan mengatakan…
PBV 1,1x kenapa masih dibilang undervalue pak untuk perusahaan dengan ROE rata-rataa dibawah 10% kayak INDR ini?
Dan penyebab labanya bisa naik sampai berpuluh-puluh kali apa ya pak? Perasaan peningkatan pendapatannya hanya berkisar di 15-20%an..
Unknown mengatakan…
Mutiara terpendam, bagaimana kalau KRAS ?
PBV masih 0.3 kali, perusahaan terbesar di sektornya dan kinerjanya membaik.
Anonim mengatakan…
Ayo borong INDS ..
Amir Hsb
budi mengatakan…
Anyway, penulis sendiri sebenarnya terlambat menemukan peluang value investing di INDR ini (harusnya kita masuknya bulan Mei lalu, waktu sahamnya masih di 3,000-an), tapi kabar baiknya kita masih punya satu lagi pilihan mutiara terpendam yang meski sahamnya juga sudah mulai naik, mungkin masih belum telat untuk masuk, karena ketika artikel ini ditulis, PBV-nya masih 0.3 kali. Kita akan membahasnya lebih lengkap minggu depan.

kok belum dibahas bahas yg pbv 0.3x, katanya minggu depan pak.. tq..
Anonim mengatakan…
Let me guess PBV 0.3: KRAS/IPOL
Unknown mengatakan…
Saham mutiara terpendamnya apa pak??
Anonim mengatakan…
Pak kok gak di tulis ada kepemilikan di saham ini. Nanti konflik interest analisanya
Unknown mengatakan…
pak. ini kok belum dibahas bahas yg pbv 0.3x, katanya minggu depan pak! di tunggu pak.. terima kasih

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?