Analisa Cash Flow Dalam Value Investing
Kalau anda terbiasa
baca laporan keuangan (LK) perusahaan, maka anda akan hafal bahwa format
standar LK di Indonesia adalah urutannya sebagai berikut: 1. Laporan posisi keuangan (aset,
kewajiban, dan ekuitas), 2. Laporan laba rugi (pendapatan, hingga laba bersih),
3. Laporan perubahan posisi ekuitas, dan terakhir 4. Laporan arus kas. Normalnya,
kalau penulis sendiri melakukan analisa
cepat LK, maka yang kita pelajari hanyalah perkembangan aset hingga laba
bersih perusahaan saja, dan jarang melihat sampai laporan arus kas, tapi
mungkin dari sinilah kemudian timbul pertanyaan: Apa bedanya laporan arus kas
dengan laporan laba rugi? Bagaimana kalau perusahaan di laporan laba ruginya
membukukan profit sekian Rupiah, tapi jumlah kas yang diterima (yang tercantum
di laporan arus kas) lebih kecil? Lalu bagaimana jika perusahaan membukukan
arus kas negatif? Dan seterusnya.
Nah, sebelum kita
bahas lebih lanjut, mari kita pelajari dulu definisi arus kas ini dari awal.
Laporan arus kas,
atau cash flows statement, adalah sama seperti laporan keuangan itu
sendiri secara keseluruhan, namun informasi yang dicantumkan hanya sebatas
jumlah uang Rupiah (atau Dollar) yang benar-benar diterima atau dibayarkan oleh
perusahaan pada periode laporan keuangan yang bersangkutan. Dalam hal ini perlu
dicatat bahwa ketika perusahaan membukukan pendapatan Rp100 pada Kuartal I
2018, maka uang Rp100 itu bisa saja baru akan diterima (dalam bentuk tunai)
pada Kuartal II, atau lebih lama lagi.
Analogi sederhananya
sebagai berikut. Let say anda sebagai fund manager membeli saham A, dan perusahaan A
kemudian mengumumkan pembayaran dividen sebesar Rp100 dengan tanggal cum 15 Maret,
dan tanggal pembayaran 10 April. Karena anda tetap meng-hold saham A hingga lewat
tanggal cum-nya tersebut, maka anda otomatis berhak atas dividennya, sehingga
ketika anda membuat laporan keuangan untuk periode Kuartal I (per tanggal 31
Maret) untuk dipresentasikan ke klien, maka di LK tersebut bisa dicantumkan pendapatan dividen sebesar Rp100, tapi di laporan cashflow uang
Rp100 tersebut belum masuk. Why?
Ya karena itu tadi: Dividen tersebut baru akan dibayar/ditransfer ke rekening anda
pada tanggal 10 April, sehingga untuk LK per tanggal 31 Maret, uangnya memang
belum masuk.
Tapi sekali lagi,
meski per tanggal 31 Maret dividen tersebut belum benar-benar masuk ke rekening,
namun anda sudah pasti akan memperoleh uangnya karena anda masih memegang saham
A hingga lewat tanggal cum dividennya. Sehingga di LK yang anda buat, anda sudah bisa
melaporkan pendapatan dividen Rp100. Got it?
Selain kondisi
dimana ‘pendapatan dicatat duluan, sementara uangnya masuk belakangan’, bisa
juga terjadi kondisi dimana ‘uangnya masuk duluan, tapi belum bisa dicatat
sebagai pendapatan’. Contohnya perusahaan developer properti, dimana mereka bisa menerima sejumlah uang kas dari pelanggan yang membeli properti,
tapi jika unit rumah/kantor/apartemen-nya belum diserah terimakan (karena
memang masih dibangun), maka uang tersebut belum bisa dicatat sebagai
pendapatan, melainkan harus dicatat sebagai uang muka
pembelian, yang merupakan utang. Thus,
di laporan keuangan akan tampak bahwa perusahaan menerima ‘uang kas dari
pelanggan’ sebesar sekian, tapi pendapatannya lebih kecil dari itu. Dan pihak developer baru bisa mengakui uang yang diterima dari pelanggan sebagai
pendapatan, jika unit propertinya nanti sudah diserah terimakan.
Karena hal-hal yang
disebut diatas, pada akhirnya laporan cashflow sebuah
perusahaan, dalam hal ini cashflow operasional, itu tidak pernah persis sama dengan laporan laba ruginya, melainkan
pasti ada saja bedanya. Faktor-faktor tambahan seperti administrasi bank, dimana
kalau anda transfer/setor ke suatu bank maka duitnya baru akan masuk besoknya
(misalnya kalau anda beli unit apartemen seharga Rp1 milyar secara cash, maka hampir gak
mungkin bayarnya pake duit kertas bukan? Melainkan harus pake transfer bank), juga bisa menyebabkan
perbedaan antara laporan laba rugi dengan laporan cashflow operasional. Yup,
jadi dalam hal ini anda tidak perlu khawatir jika perusahaan membukukan profit
sekian, tapi di laporan cashflow-nya jumlah uang tunai yang masuk lebih kecil,
apalagi sampai menganggap bahwa laporan keuangannya ‘direkayasa’. Berdasarkan
pengalaman penulis sendiri, jarang terjadi kasus dimana laporan keuangan dipermak
dari sisi laporan cashflow-nya. Ketika laporan keuangan diutak atik,
maka bagi analis berpengalaman, itu bisa langsung kelihatan dari posisi neraca serta
laporan laba rugi, tanpa perlu lagi melihat laporan arus kas-nya.
Pentingnya Analisa Cashflow
untuk Investasi Jangka Panjang
Karena itulah,
seperti yang sudah disampaikan diatas, ketika melakukan analisa cepat (sebelum
kemudian dilanjut analisa mendalam), biasanya penulis berhenti pada angka laba
bersih perusahaan. However, untuk perusahaan consumer goods, dimana ketika seorang pembeli membeli produk kebutuhan sehari-hari maka pihak perusahaan langsung menerima pembayaran tunai, dan pembayaran itu bisa langsung diakui sebagai pendapatan karena barangnya juga sudah diserahkan ke pelanggan tersebut, maka barulah laporan cashflow
ini penting untuk diperhatikan. Jadi anda boleh bersikap kritis kalau misalnya Indofood CBP (ICBP) melaporkan
pendapatan Rp1,000, tapi penerimaan dari pelanggan di laporan arus kas-nya hanya
Rp500. Sebab ICBP kan jualannya Indomie dan semacemnya, yang harga per bungkusnya
murah sehingga orang belinya hampir selalu tunai, dan saya belum pernah dengar ada orang beli Indomie di Alfamart namun barangnya baru dikasiin sebulan kemudian.
Jadi berbeda dengan katakanlah Waskita Karya (WSKT), dimana perusahaan bisa membukukan pendapatan sekian trilyun Rupiah sekaligus dari 1 proyek jalan tol, namun karena duitnya gede banget maka uang tersebut baru benar-benar diterima perusahaan beberapa minggu hingga beberapa bulan kemudian (karena proses pencairan dananya dll perlu waktu), maka pendapatan ICBP harusnya gak beda jauh dengan laporan arus kasnya. Simpelnya, jika perusahaan di sektor lain biasanya memiliki perputaran omzet yang lambat, dimana WSKT belum tentu menerima pembayaran tunai tiap hari (kalau lagi gak ada proyek, atau ada proyek tapi selesainya masih lama, maka WSKT juga belum akan menerima pembayaran dulu), maka perusahaan consumer goods memiliki perputaran omzet yang cepat, dimana boleh dikatakan bahwa ICBP menerima pembayaran cash tiap hari. Dan memang, anda bisa cek sendiri, sampai laporan keuangan terakhirnya, laporan pendapatan ICBP tidak beda jauh dengan laporan arus kas-nya.
Fast Moving Consumer Goods milik ICBP |
Jadi berbeda dengan katakanlah Waskita Karya (WSKT), dimana perusahaan bisa membukukan pendapatan sekian trilyun Rupiah sekaligus dari 1 proyek jalan tol, namun karena duitnya gede banget maka uang tersebut baru benar-benar diterima perusahaan beberapa minggu hingga beberapa bulan kemudian (karena proses pencairan dananya dll perlu waktu), maka pendapatan ICBP harusnya gak beda jauh dengan laporan arus kasnya. Simpelnya, jika perusahaan di sektor lain biasanya memiliki perputaran omzet yang lambat, dimana WSKT belum tentu menerima pembayaran tunai tiap hari (kalau lagi gak ada proyek, atau ada proyek tapi selesainya masih lama, maka WSKT juga belum akan menerima pembayaran dulu), maka perusahaan consumer goods memiliki perputaran omzet yang cepat, dimana boleh dikatakan bahwa ICBP menerima pembayaran cash tiap hari. Dan memang, anda bisa cek sendiri, sampai laporan keuangan terakhirnya, laporan pendapatan ICBP tidak beda jauh dengan laporan arus kas-nya.
Selain perusahaan consumer, perusahaan perbankan juga normalnya memiliki laporan
laba rugi yang tidak jauh berbeda dengan laporan arus kas-nya, karena itu tadi:
Mereka menjual jasanya (kredit KPR, jasa administrasi bank, dll) langsung ke konsumen akhir yang membayar bunga secara tunai, dan konsumen ini juga sudah menerima jasa yang dimaksud sehingga pihak bank bisa langsung mengakui uang yang mereka terima sebagai pendapatan.
Tapi untuk
perusahaan-perusahaan diluar sektor consumer dan perbankan, maka laporan
cashflow tidak terlalu penting untuk diperhatikan, karena tidak menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba atau earnings power, yang perlu kita perhatikan dalam
menghitung nilai intrinsik/valuasi sebuah perusahaan (earnings power itu ya dilihatnya
dari track record laba bersih perusahaan, serta track record pertumbuhan
ekuitasnya dari tahun ke tahun). Nevertheless, laporan cashflow menjadi sangat penting untuk
diperhatikan jika: 1. Anda berencana
untuk membeli perusahaan secara penuh/menjadi pemegang saham mayoritas disitu, atau
2. Anda berencana untuk hold forever sahamnya, misalnya untuk dijadikan
sebagai mesin dividen.
Sebab jika anda
memiliki serta mengendalikan
perusahaan A, maka anda akan memiliki akses dan juga bertanggung jawab terhadap arus keluar masuk uang tunai, dan anda
mungkin akan puyeng sendiri ketika misalnya harus bayar supplier bahan
baku, tapi uang hasil penjualan masih belum masuk (tapi jika anda cuma pegang
saham A sebanyak 1 lot, maka anda gak perlu pusing soal ini). Demikian pula
jika anda membeli saham untuk tujuan memperoleh dividennya tiap tahun, maka perusahaan
akan bisa membayar dividen secara teratur tidak hanya jika perusahaan konsisten
membukukan laba, tapi juga jika cashflow-nya lancar/selaras dengan laporan laba
bersihnya tersebut. Karena yang namanya bayar dividen, itu harus pake duit
tunai toh?
Tapi sayangnya
berdasarkan pengalaman selama ini, jika penulis ditanya saham apa yang bisa di-hold
forever di bursa saham Indonesia, baik itu kita belinya dalam jumlah
besar/mayoritas maupun hanya beli 1 – 2 lot, maka berdasarkan ‘syarat-syarat saham
yang bisa dipegang sehidup semati’ yang pernah kita
bahas disini, penulis gak punya banyak opsi lain selain saham consumer goods atau
perbankan. Sedangkan untuk saham-saham dari sektor lainnya, meski kita bisa saja
hold sampai bertahun-tahun, tapi biasanya nanti ada waktunya untuk
menjualnya kembali (baca lagi penjelasannya
disini). Jadi balik lagi, analisa cashflow hanya penting untuk saham di sektor
consumer dan perbankan. Sementara untuk saham-saham di sektor lainnya, kita bisa
menghemat waktu dengan menganalisa hingga sebatas laporan laba bersih komprehensif
perusahaan saja.
Btw penulis sengaja
menulis soal cashflow sekarang karena saya baru sadar, sejak tahun 2010
sampai sekarang kita sama sekali belum membahas soal cashflow ini. Jadi untuk
kedepannya bagi anda yang mungkin sudah baca-baca semua artikel di blog ini dari dulu sampai sekarang, anda boleh kasih usul kita akan bahas soal apa lagi, yang mungkin
belum pernah penulis bahas sebelumnya. Tapi untuk minggu depan kita akan kasih analisa saham lagi.
Jadwal
Seminar Value Investing
(hari Sabtu): Jakarta 30 Juni, Medan 7 Juli, Surabaya 14 Juli. Keterangan
selengkapnya baca
disini.
Jadwal
Seminar Value Investing – Advanced
Class (hari
Minggu): Jakarta 1 Juli, Medan 8 Juli, Surabaya 15 Juli. Keterangan selengkapnya
baca
disini.
Buletin
Bulanan Analisis IHSG
& Stockpick Saham
Bulanan edisi Juli 2018 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi
saham via email langsung dengan penulis untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Keep sharing, Pak.
Thanks pak sudah mengaminkan permintaan saya :D
Yg PBV nya cuma 0,3 x
Makasi
Ketika lpck berhasil membukukan net profit hingga 900milyar, harga sahamnya melonjak hingga diatas 2kali nilai buku. Apakah net profit 900 tsb akan bisa dicapai lagi. Kemungkinan iya jika kas dr pelanggan 4.2T tsb mulai masuk sbg pendapatan.
Boleh diberikan sedikit insight apa pertimbangan suatu perusahaan mau invest di saham lain yang jelas-jelas secara fundamental sangat buruk, sebut saja : BUMI, BNBR, ELTY, dll. Bukankah selain investasi, sebagai perusahaan mereka juga harus mencetak profit agar tercermin di LK dan meningkatkan valuasi perusahaan mereka terlebih dahulu? Atau saya ada yang miss dalam hal ini. Thx.
Dan kenapa harga nya langsung terjun setelah akuisisi?
Trims
ceo cfo tanda tangan laporan keuangan bukan dari kondisi sejujur jujurnya tapi dsri kondisi paling menguntungkan bagi perusahaannya secara legal :D