Lippo Cikarang: Unbelievably Undervalue, But..
Kalau anda sudah sering
baca-baca artikel di blog teguhhidayat.com ini, anda mungkin beberapa kali
menemukan istilah unbelievably
undervalue. Yup, itu adalah istilah yang penulis ciptakan sendiri
untuk mendeskripsikan situasi dimana valuasi sebuah saham sudah sedemikian
murahnya, sampai-sampai kita sebagai investor sulit untuk mempercayai bahwa ada
saham semurah itu, dan malah jadi takut
karenanya. Analoginya seperti kalau anda ditawari untuk membeli rumah mewah
seluas 1,000 meter persegi di Pondok Indah pada harga Rp100 juta saja, dimana
anda pasti berpikir, apakah sertifikatnya bermasalah? Atau jangan-jangan itu
rumah angker?? Dan seterusnya.
Diluar ilustrasi rumah
diatas, masih ada banyak contoh ilustrasi lain yang menunjukkan bahwa secara
psikologis, orang cenderung gak mau
kalau ditawari untuk membeli sesuatu pada harga yang kelewat rendah, karena
ia akan otomatis berpikir bahwa mungkin barangnya ‘kenapa-napa’. Kalau motor
Honda CBR dijual pada harga Rp5 juta saja, maka mungkin itu motor curian. Kalau
tas Louis Vuitton harganya Rp1 juta, maka biasanya itu cuma tas LV mangga dua.
Dan kalau duren montong harganya cuma Rp25,000, maka biasanya buahnya kurang
sempurna/rusak sebagian.
Padahal, tidak semua
barang murah itu bermasalah. Kalau anda pernah jalan-jalan ke mall di malam
hari, ada beberapa toko kue dan roti yang, mulai pukul 20.00 keatas, menjual barang
dagangan mereka pada harga diskon 50% atau bahkan lebih. Apakah itu berarti
roti yang dijual itu kualitasnya jelek/tidak sebagus roti yang dijual di siang
hari? Tentu tidak. Itu roti sama saja kok, dimana harganya jadi murah karena
biar cepet habis saja, sebab besok rotinya akan sudah tidak fresh from the oven lagi. Malah bagi
pelanggan yang udah ngerti, mereka sengaja datang malam hari agar bisa membeli
rotinya pada setengah harga.
Tapi tetap saja, bagi
mereka yang belum mengerti cara kerja toko roti, mereka mungkin malah takut
ketika ditawari membeli roti pada harga diskon.
Nah, ‘cara kerja psikologis’
seperti itu juga sangat berlaku di pasar saham: Ketika sebuah saham bergerak
turun hingga PER dan PBV-nya menjadi rendah, maka para investor, terutama
mereka yang sudah cukup mengerti cara menghitung valuasi saham, mungkin akan
mulai tertarik untuk masuk. Tapi ketika kemudian saham itu terus saja turun hingga valuasinya menjadi tidak masuk akal, maka mereka yang tadinya berminat untuk masuk
biasanya malah jadi ragu, sementara mereka yang sudah masuk akan panik dan kocar
kacir cari info kesana-kemari: Jangan-jangan perusahaannya kenapa-napa?? Dan
bahkan kalaupun itu saham/perusahaan sebenarnya gak ada masalah apa-apa, tapi
kalau sahamnya terus saja turun/gak mau naik-naik, maka orang akan berasumsi liar, bahwa memang
perusahaannya ada masalah. Dari sinilah biasanya kemudian muncul rumor-rumor negatif terkait perusahaan
yang sahamnya turun terus tersebut. Analoginya ya itu tadi: Kalau anda ditawari
membeli rumah bagus di lokasi bagus tapi pada harga yang kelewat murah, maka
anda akan otomatis berburuk sangka
bahwa rumahnya bermasalah, bahkan meski itu rumah sejatinya aman-aman saja.
LPCK = Unbelievably
Undervalue = Bad News Come Out
Dan pada kasus emiten Lippo Cikarang (LPCK), that is exactly
the case. Pada awal tahun 2015, seiring dengan moncernya kinerja fundamental
perusahaan ketika itu, saham LPCK terus saja naik hingga sempat tembus 12,000. Setelah
itu saham LPCK mulai turun seiring dengan penurunan IHSG, dan karena memasuki
tahun 2016 kinerja/laba LPCK juga mulai turun, maka jadilah sahamnya gak
naik-naik lagi. Hingga pada pertengahan 2017, setelah LPCK berada di level
4,000-an, beberapa orang notice bahwa PBV LPCK ketika itu tinggal 0.5
kali, sementara ketika itu juga mulai ramai iklan megaproyek Meikarta yang disebut-sebut bernilai
Rp200 sekian trilyun. Thus, meski kinerja perusahaan hingga Kuartal II
2017 masih belum bagus, namun mulai muncul ekspektasi bahwa LPCK menawarkan
prospek yang luar biasa cerah. Dan alhasil sahamnya sempat naik lagi sampai
hampir tembus 5,000.
However, entah karena
di kuartal-kuartal berikutnya laba LPCK tetap saja turun, atau karena mulai
muncul beberapa kejanggalan seperti: 1. LPCK terlambat merilis laporan
keuangan, 2. Perusahaan tiba-tiba mengumumkan rencana right issue, tapi tidak
jelas kapan right issue itu akan dilaksanakan, 3. Cerita terkait Meikarta
menjadi simpang siur, malah ada rumor di media sosial bahwa pekerjaan
konstruksi salah satu menaranya ‘ditunda hingga waktu yang belum ditentukan’
(meski kemudian rumor ini dibantah oleh perusahaan kontraktor yang
bersangkutan), dan 4. Saham-saham Grup Lippo lainnya seperti MLPL, MPPA, LPKR
terus saja turun, maka jadilah LPCK kembali turun.. dan terus turun. Puncaknya
adalah ketika pada April – Mei 2018 ini, seiring dengan IHSG-nya mulai dilanda
koreksi, sementara surprisingly kinerja LPCK sampai Kuartal I 2018 juga
masih saja jelek/labanya masih turun, maka jadilah sahamnya bablas hingga
kemarin mentok di 1,600.
Tapi disinilah
menariknya: Pada harga sahamnya saat ini (1,870), PBV LPCK sekarang hanyaaa... 0.2 kali. Dalam banyak artikel-artikel
analisis di blog ini, penulis sudah sering mengatakan bahwa kalau ada saham
(yang dulunya pernah) bagus dihargai pada PBV kurang dari 0.4 kali, maka itu
sudah masuk kategori unbelievably undervalue. Dan kalau saham tersebut termasuk saham yang (pernah) populer di
kalangan investor dan trader, maka biasanya akan ada saja rumor jeleknya, dimana rumor-rumor tersebut sebenarnya
berasal dari buruk sangka investor itu sendiri. Contohnya, masih ingat beberapa
bulan lalu ketika salah satu saham second liner paling populer di BEI, Tiga
Pilar Sejahtera Food (AISA), terus saja anjlok dari 2,000-an hingga dibawah
500? Ketika itu memang karena perusahaan tersangkut masalah hukum, berencana
menjual unit usaha berasnya, dan rating obligasinya pun turun. Tapi diluar
fakta-fakta diatas, beredar pula rumor simpang siur bahwa AISA ini bangkrut bla
bla bla, dimana sekali lagi, rumor-rumor itu berasal dari kepanikan investor
itu sendiri karena pada harga dibawah 500, PBV
AISA juga sudah persis 0.4 kali. Yep, alias sudah unbelievably undervalue.
Jadi mungkin perlu
dicatat bahwa rumusnya adalah, kalau ada saham populer (populer itu bukan berarti berfundamental bagus,
hati-hati!) yang terus turun hingga valuasinya undervalue, maka orang-orang
akan meliriknya. Tapi jika dia turun lebih lanjut hingga valuasinya
unbelievably undervalue, maka orang-orang justru akan ragu, dan akan mulai
keluar berita-berita jelek. So, when a stock is unbelievably undervalue = bad
news would come out.
Tapi berbeda dengan
AISA yang beneran bermasalah, LPCK
sebenarnya gak ada masalah hukum atau apapun. Silahkan anda buka http://www.idx.co.id/berita/pengumuman/,
kemudian masukkan ‘LPCK’ pada kotak kata kunci, lalu klik CARI. Maka anda tidak akan menemukan keterbukaan informasi
apapun yang menjelaskan permasalahan tertentu yang tengah dihadapi
perusahaan (kecuali klarifikasi dari kontraktor terkait isu penghentian
pekerjaan salah satu tower di Meikarta). Ini berbeda dengan AISA, dimana informasi
faktual terakhir adalah terkait penurunan rating obligasinya, yang artinya
setelah kemarin berurusan sama polisi terkait penutupan pabrik berasnya,
sekarang utang obligasi perusahaan yang bermasalah.
Sementara untuk LPCK, sekali
lagi, tidak ada masalah spesifik tertentu, sehingga informasi apapun yang anda
dengar dari koran, media elektronik, ataupun medsos, rata-rata itu cuma rumor ‘saya dengar’, atau 'katanya' yang gak jelas kata siapa, dan biasanya sih rumor-rumor seperti ini akan
menghilang dengan sendirinya jika nanti LPCK naik lagi. Masih ingat sekitar
September – Oktober 2017 lalu ketika saham-saham
BUMN konstruksi terus saja turun hingga keluar rumor aneh-aneh bahwa proyeknya
mangkrak lah, pemerintah kehabisan duit lah, tapi ketika WSBP dkk kemudian naik
lagi, maka semua rumor itu menguap dengan sendirinya dan berganti cerita
optimis bahwa ‘Pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur’, atau
semacamnya?? Well, mari kita lihat kalau LPCK juga nanti bakal sama kaya gitu. Sebab kalau kita pakai lagi analogi 'barang murah' diatas, maka LPCK ini bukanlah tas Lous Vuitton KW mangga dua, melainkan roti berkualitas baik yang harganya lagi diskon saja.
Masalah LPCK:
Manajemennya
However, kalau
dikatakan bahwa LPCK tidak ada masalah sama sekali, maka itu kurang tepat juga.
Seperti yang sudah disebut diatas, masalah utama LPCK adalah ketika muncul kejanggalan-kejanggalan
seperti laporan keuangannya telat keluar, right issue-nya gak jelas kapan
dilaksanakan (dan pada harga berapa), dan yang paling penting, sampai sekarang
labanya masih turun. Jadi kemana semua hasil pra penjualan/marketing sales Meikarta
yang tercatat Rp7.5 trilyun
sepanjang tahun 2017?? Disisi lain aset LPCK tiba-tiba saja melonjak dari Rp5.6
menjadi Rp12.4 trilyun, ekuitasnya juga melonjak, tapi tidak jelas dari mana asal lonjakan tersebut.
Lebih aneh lagi: Kalau anda search laporan keuangan serta dokumen public
expose LPCK, maka anda tidak akan menemukan kata ‘Meikarta’, sama sekali! Manajemen LPCK
hanya menyebut soal Meikarta di laporan tahunannya, itupun tidak secara spesifik.
Pendek kata, kalau ada
masalah di LPCK, maka itu adalah terkait fakta-informasinya yang serba
membingungkan bahkan bagi analis/investor berpengalaman sekalipun, dan ada
kesan bahwa itu semua disengaja (soalnya
dulu LPCK gak begini, dimana laporan keuangannya bersih/gak ada akun yang
aneh-aneh, dan selalu keluar tepat waktu). Yup, jadi wajar saja kalau rumor ‘LPCK
vs Meikarta’ kemudian menjadi liar di publik, karena ketika saham Waskita Beton
Precast (WSBP) turun, misalnya, maka investor bisa tetap santai karena toh biar
gimana fundamental perusahaan masih sangat bagus. Sementara LPCK? Well, laba perusahaan
biar gimana masih turun. Jadi meski valuasinya memang sudah sangat murah, tapi
kecuali di Kuartal II 2018 nanti labanya (akhirnya) naik, maka secara fundamental
belum ada alasan bagi sahamnya untuk naik lagi.
Anyway, seperti halnya
AISA yang, meski belum naik lagi ke 1,000-an, tapi juga tidak turun lebih
lanjut bahkan meski perusahaan masih menghadapi segudang masalah (LK AISA malah
belum keluar), maka demikian pula LPCK nanti akan ketemu bottom-nya di berapa
(atau mungkin memang sudah, yakni di 1,600-an kemarin), dan selanjutnya dia akan sideways, dan bisa naik lagi sewaktu-waktu. Yup, kata kuncinya disini adalah, seperti halnya
AISA, LPCK tidak mengalami rugi, gagal bayar utang, bangkrut, atau semacamnya -malah
kejauhan lah kalau dibilang bangkrut-, jadi perusahaannya tetap memiliki nilai, dan valuasinya beneran murah/bukan value
trap. Dan ini berarti, seperti halnya AISA yang sempat beberapa kali membal naik dari posisi terendahnya (378) sampai tembus 700, maka LPCK juga bisa mengalami hal yang sama.
Namun jika anda tertarik untuk masuk, maka ingat bahwa karena, sekali lagi, fakta-informasi terkait LPCK ini serba membingungkan, maka LPCK untuk saat ini sulit untuk dianalisa (apalagi kalau anda masih pake jurus ‘katanya’, atau 'denger-denger Meikarta bla bla bla'), sehingga jika anda tidak mau ambil risiko maka boleh ambil saham lain saja yang ‘lebih jelas’, atau boleh juga tunggu sampai nanti laba perusahaan akhirnya naik (itu bisa terjadi dalam waktu dekat ini, karena pra penjualan Meikarta yang Rp7.5 trilyun itu bukan rumor, melainkan informasi faktual yang sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris & Direksi di laporan tahunan LPCK itu sendiri).
Namun jika anda tertarik untuk masuk, maka ingat bahwa karena, sekali lagi, fakta-informasi terkait LPCK ini serba membingungkan, maka LPCK untuk saat ini sulit untuk dianalisa (apalagi kalau anda masih pake jurus ‘katanya’, atau 'denger-denger Meikarta bla bla bla'), sehingga jika anda tidak mau ambil risiko maka boleh ambil saham lain saja yang ‘lebih jelas’, atau boleh juga tunggu sampai nanti laba perusahaan akhirnya naik (itu bisa terjadi dalam waktu dekat ini, karena pra penjualan Meikarta yang Rp7.5 trilyun itu bukan rumor, melainkan informasi faktual yang sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris & Direksi di laporan tahunan LPCK itu sendiri).
Kutipan laporan Dewan Direksi di Annual Report 2017 Lippo Cikarang |
Sementara bagi anda
yang sudah masuk, maka meski situasinya sekarang mungkin sudah desperate, tapi sebenarnya anda hanya perlu menunggu dua hal: 1. Pelaksanaan right issue LPCK, dimana kalau
mempertimbangkan valuasi sahamnya yang saat ini kelewat rendah, maka
kemungkinan besar right issue-nya akan dilakukan pada harga yang jauh diatas harga pasar, dan itu akan
jadi sentimen positif bagi saham LPCK (masih ingat analisa Bank
Bukopin (BBKP) kemarin?), dan 2. Membaiknya laporan keuangan perusahaan,
dimana itu bisa terjadi kapan saja. Salah satu alasan kenapa LPCK masih belum
mengakui pra penjualan unit-unit apartemen di Meikarta sebagai pendapatan,
adalah karena megaproyek sebesar itu tentunya perlu waktu untuk dikerjakan (pra penjualan baru akan diakui sebagai pendapatan setelah unit propertinya selesai dibangun dan sudah diserah terimakan ke pembeli), tapi
progressnya tetap berjalan, dimana
update terakhir adalah sudah dilakukan topping off untuk dua tower
apartemen perdana, dan tower-tower lainnya akan menyusul. Yep, jadi meski
penulis juga gak bisa kasih saran untuk average down karena LPCK biar gimana
labanya masih turun, tapi dalam value investing, anda baru boleh ‘quit and
never look back’ kalau perusahaannya memang sudah ‘no hope’ sama sekali, baik
itu dalam jangka panjang maupun pendek. Sedangkan untuk LPCK ini, the hope is still there. So, your call!
Jika anda punya analisa sendiri terkait LPCK, baik itu rekomendasinya buy, sell, hold, atau ignore, boleh sampaikan melalui kolom komentar dibawah.
Jika anda punya analisa sendiri terkait LPCK, baik itu rekomendasinya buy, sell, hold, atau ignore, boleh sampaikan melalui kolom komentar dibawah.
PT. Lippo Cikarang, Tbk
Rating Kinerja pada Q1
2018: BBB
Rating Saham pada
1,870: AAA
Buletin Analisis IHSG, Update Situasi Pasar, Serta
Stockpick Saham Pilihan edisi Juni 2018 akan terbit hari Jumat, 1 Juni mendatang.
Anda bisa memperolehnya
disini, gratis tanya jawab saham langsung dengan penulis untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
cth kasus BUMI, separah2nya BUMI, asetnya msh sgt bernilai.. hslnya lihat saja Lo Kheng Hong, dpt profit yang besar dr kenaikan harga BUMI krn beliau melihat dr sisi yg berbeda
LPCK tidak pernah membagikan deviden. Laba Beneran adalah deviden. Bentuknya tunai. Dibagi kepada investor atau trader, dan tidak bisa ditarik kembali. Percaya BOD Laba ditahan (reinvesting) "untuk pengembangan"?
Sekarang coba lihat laporan cash flow. Ada pemasukan dr pelanggan 4.2triliun (2017), padahal pendapatan hanya 1.5triliun. Masalahnya kita ga bisa melihat 4.2triliun itu seberapa banyak yg masuk dari pendapatan 1.5triliun tadi. Kalau 3.7triliun pemasukan dr pelanggan kita anggap bersumber dr pra sales yg disebutkan sebesar 7.5triliun hingga akhir 2017. Maka masuk akal. Karena Mahkota Sentosa Utama selaku operator Meikarta saat ini dimiliki 3 pemegang saham utama (Mega Kreasi Cikarang, Peak Asia Investment dan Hansen Holding) penjelasannya ada dilapkeu 2017. Mega kreasi 100% adalah anak usaha LPCk yg memegang 49.9% saham mahkota sentosa. Sedangkan di PeAk Asia, LpCk hanya memiliki sebagian saham didalamnya (yg 49.9% saham mahkota sentosa juga di pegang oleh Peak ini).
Nah, kalau lah misalnya efektif lpck memiliki 50% saham mahkota sentosa, maka 50% dari pra sales tadi sekitar 3.7t menjadi hak lpck. Dan mereka masih memasukkannya ke dalam arus kas penerimaan dari pelanggan. Seperti yg disebutkan diatas, nilai ini belum dimasukkan kedalam income statement Krn unit belum diserahterimakan.
Ingat aturan beli saham yang utama, kata guru: "Management harus bagus"
Management lippo udah pada tahu lah ya...wkwkwk :)
LPCK = Lippo.. you know lah
#InPakTeguhWeBelieve
1. Meikarta bukan dibawah manajemen lippo cikarang melainkan lippo karawaci.
2. Penjualn lippo cikarang anjlok karena memang pasar rumah tapak lagi sepi
3. Keterbatasan lahan untuk perumahan setelah diserobot meikarta menjadi alasan juga kenapa lpck mengerem pembangunan rumah tapak
4.Meikarta sendiri saya prediksi akan terkatung2 sampai 4 tahun kedepan. Karena sekarang yg digembor2kan akan serah terima itu adalah apartment yg dulu bernama orange county yg dijual tahun 2013 lalu.
4. Dual manajemen lpck dan lpkr di cikarang ini sekarang sedang kisruh karena infra yg terbagi tanggung jawabnya. Seperti contoh gorong2 lpck mengarah ke meikarta ditutup yg notabene beda mmanajemen sehingga mampet dll..
Bagi investor meikarta bila ada pertanyaan boleh tanya ke saya
Lagipula,ini siapa sih yg suruh bikin proyek HRB gede2an di Cikarang, padahal market HRB di sana ga kuat. Apalagi market utk tipe studio. Kalo bikinnya di sktr kampus, ok lah masih rasional.
PERUSAHAAN GA BAGUS DIANALISA
pak petar, habis kena kasus suap, bagaimana kelanjutan penjualan meikarta?masih bisa jualan atau sdh stop?
sekarang abis imlek
tanggal 02-02-2020
LPCK juga jebol ke 750-an
lagi OTW menuju 500...
Yuk kita berinpestasi di LPCK
pak teguh analisa berdasarkan apa ? Laporan Keuangan ?
check di laporan keuangan 2018
itu dia revisi laporan keuangan, parah itu revisi nya
2017 untung 400 M an, trus abis di revisi rugi 800 M
situ patokan laporan keuangan ?
wong laporan keuangan nya aja dimanipulasi, jangan kayak bocah
polos amad