Wijaya Karya Gedung
Wika Gedung (WEGE) menjadi
salah satu saham anyar di BEI yang menarik untuk diperhatikan setelah
perusahaan melaporkan laba bersih Rp295 milyar untuk tahun penuh 2017, dimana
kalau kita bandingkan dengan ekuitasnya setelah dikurangi dana hasil IPO-nya
(karena perusahaan baru menggelar IPO pada November 2017, sehingga dana hasil
IPO-nya masih belum digunakan), yakni 1,698 – 833 = Rp865 milyar, maka laba
tersebut mencerminkan return on equity (ROE) 34.1%, alias sangat besar
baik itu jika dibandingkan dengan emiten-emiten konstruksi yang lain, ataupun
dibandingkan dengan semua emiten di BEI secara umum. Disisi lain dengan PBV 1.5
kali pada harga saham 264, maka valuasi WEGE juga tidak bisa dikatakan mahal.
Prospek kedepan?
PT Wijaya Karya Bangunan
Gedung, Tbk (WEGE) adalah salah satu anak usaha dari Wijaya Karya (WIKA), yang
spesialis bergerak di bidang konstruksi bangunan gedung dan properti seperti
apartemen, hotel, mall & pusat perbelanjaan, menara perkantoran, gedung
kampus, kompleks olahraga, hingga rumah sakit. Berbeda dengan WIKA itu sendiri
yang sebagian besar pendapatannya berasal dari proyek-proyek pekerjaan umum
milik pemerintah termasuk dari sesama BUMN dan BUMD, sekitar 80% pendapatan
WEGE berasal dari swasta. Jadi jika WIKA adalah kompetitor dari Waskita Karya
(WSKT) dan Adhi Karya (ADHI), dalam hal membangun infrastruktur/fasilitas umum
milik negara, maka WEGE sebagai konstruktor gedung properti milik swasta adalah
kompetitor dari Total Bangun Persada (TOTL), Nusa Raya Cipta (NRCA), Acset
Indonusa (ACST), hingga Totalindo Eka Persada (TOPS), tapi posisi WEGE secara
umum lebih unggul dibanding para kompetitornya tersebut. Berdasarkan pangsa
pasarnya baik itu dari pelanggan pemerintah maupun swasta, maka WEGE adalah
perusahaan konstruksi gedung terbesar ketiga di tanah air, setelah Pembangunan
Perumahan (PTPP), dan Adhi Persada Gedung, anak usaha dari ADHI. Selain menjual
jasa konstruksi, WEGE juga jualan beton pracetak (precast) khusus untuk
kontruksi gedung, tapi kontribusinya berdasarkan nilai laba bersih tidak
signifikan/hanya sekitar 1% dari total laba perusahaan.
Selain usaha konstruksi
dan beton pracetak, sejak tahun 2013 WEGE juga punya usaha usaha properti milik
sendiri jenis apartemen dan hotel di beberapa kota di Pulau Jawa, dan
kontribusi usaha properti ini terbilang signifikan, dimana dari laba bersih
WEGE sebesar Rp295 milyar di tahun 2017, Rp80 milyar berasal dari properti, dan
angka tersebut melonjak dari Rp32 milyar di tahun 2016. Berhubung perusahaan
masih punya cukup banyak stok apartemen yang siap dijual maupun masih dalam
tahap pembangunan, dan sektor properti itu sendiri secara umum mulai hot
lagi sejak tahun 2017 kemarin, maka seharusnya momentum lonjakan
kinerja WEGE dari unit usaha propertinya bisa berlanjut pada tahun 2018 ini.
Kembali ke usaha
konstruksi WEGE. Dibanding konstruksi infrastruktur yang rata-rata berskala
besar (bisa mencapai belasan trilyun untuk satu proyek) serta butuh waktu
pengerjaan hingga bertahun-tahun, konstruksi gedung nilainya lebih kecil (ratusan
milyar), tapi disisi lain: 1. Margin labanya lebih besar, dan 2. Waktu pengerjaannya
lebih singkat yakni hanya hitungan bulan, sehingga WEGE bisa lebih cepat
menerima pembayaran dari pemilik proyek. Yup, awalnya penulis bingung, kenapa
WEGE labanya terbilang besar padahal WIKA itu sendiri dari dulu ROE-nya paling
besar hanya di kisaran 20 – 24%, tapi kemudian saya sadar bahwa WEGE ini, kalau
melihat fokus usahanya, maka lebih cocok dibandingkan dengan TOTL dkk,
ketimbang WSKT dkk, dan ROE TOTL sejak dulu memang selalu diatas rata-rata.
Karena, you know, ketika perusahaan konstruksi BUMN membangun jalan tol dll
milik pemerintah, maka mereka tidak mengambil keuntungan terlalu besar karena
sebagai badan usaha milik pemerintah itu sendiri, maka sejak awal tujuannya bukan
untuk meraup profit sebesar-besarnya, melainkan untuk membangun infrastruktur
untuk kepentingan umum. Ini berbeda dengan konstruksi gedung milik swasta, katakanlah
gedung apartemen, dimana perusahaan konstruksi bisa mengambil margin yang
besar, karena pemilik gedung itu juga nanti bakal untung lebih besar lagi
ketika mereka menjual unit-unit apartemennya ke konsumen akhir.
Kemudian, jika ADHI katakanlah
harus menunggu sampai 3 – 4 tahun untuk menerima pembayaran dari proyek light
rail transit (LRT) yang mereka kerjakan, karena proyek LRT tersebut memang
butuh waktu selama itu untuk bisa selesai seluruhnya, maka WEGE tidak perlu
menunggu selama itu karena mayoritas proyek-proyeknya bisa diselesaikan hanya
dalam hitungan bulan saja, sehingga omzet/perputaran usahanya jauh lebih cepat,
dan otomatis labanya pun lebih besar. Dan berbeda dengan proyek infra skala
besar yang berisiko tinggi untuk mangkrak karena kurangnya dana, ketidak
stabilan politik, dll, maka konstruksi gedung skala kecil risikonya lebih
rendah/tidak akan mangkrak kecuali perusahaan pemilik proyeknya tiba-tiba
bangkrut/gak bisa bayar.
Kesimpulannya, yep,
sepertinya kita baru saja ketemu ‘BUMN konstruksi rasa swasta’ di WEGE ini, dimana
margin laba WEGE tidak kalah dibanding TOTL dkk, tapi perusahaan tetap
diuntungkan karena statusnya sebagai anak usaha BUMN, dimana jika WIKA dapet
proyek membangun jalan tol, misalnya, maka WEGE bisa dapet jatah membangun
fasilitas rest area-nya. Demikian pula jika kawasan tertentu berkembang
pesat karena sudah ada infrastruktur yang lebih lengkap disitu (yang dibangun
oleh WIKA), maka daripada repot-repot cari kontraktor baru, para developer
properti yang hendak membangun apartemen dll di kawasan tersebut bisa langsung
menunjuk WIKA saja, dimana WIKA kemudian memberikan pekerjaan konstruksi tersebut
kepada WEGE, atau bahkan WEGE bisa membangun apartemen miliknya sendiri.
Dan yang paling menarik
adalah valuasi sahamnya: Dengan PBV 1.5 dan PER 8.6 kali pada harga saham 264,
maka WEGE, meski valuasinya tampak belum begitu murah dibanding sesama anak
usaha BUMN konstruksi seperti Wika Beton (WTON), Waskita Beton (WSBP), hingga
PP Precast (PPRE), tapi dia jelas lebih murah dibanding TOTL dkk. Jadi kalau
pada Kuartal I 2018 nanti WEGE kembali membukukan kenaikan laba yang
signifikan, maka sahamnya bisa naik banyak.. entah sampai berapa, meski mungkin
naiknya tidak akan sekaligus/cenderung pelan-pelan, karena orang-orang di
market masih akan perlu waktu untuk menyadari bahwa WEGE, sekali lagi, lebih
cocok untuk dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan konstruksi swasta,
dibanding konstruksi BUMN lainnya.
Hanya saja, mengingat
perusahaan belum punya track record jangka panjang yang solid (WEGE sudah berdiri
dan beroperasi sejak tahun 2008, tapi kinerjanya baru lompat 2 tahunan terakhir
ini saja) maka mungkin ada baiknya juga kita tunggu sampai perusahaan
benar-benar merilis LK Kuartal I 2018 nanti, kalau labanya beneran naik maka
baru kita masuk. Juga pertanyaan selanjutnya adalah, seberapa cepat perusahaan
dalam menggunakan dana Rp833 milyar hasil IPO-nya kemarin? Sebab jika dana ini
tidak segera diputar untuk menghasilkan laba/dibiarkan menganggur, maka dana
tersebut cuma bikin ROE WEGE jadi tampak kecil, dan sayangnya belum ada
informasi soal berapa total nilai kontrak anyar yang diperoleh WEGE untuk tahun
2018 ini. Tapi jika melihat mulai bangkitnya industri properti, serta masih
gencarnya pembangunan infra, maka momentum pertumbuhan kinerja WEGE yang
terjadi sejak 2016 kemarin harusnya masih berlanjut pada tahun 2018, dan
demikian pula dana hasil IPO-nya bisa digunakan lebih cepat. We’ll see!
PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung, Tbk (WEGE)
Rating Kinerja pada
2017: AA
Rating Saham pada 264:
A
Jadwal seminar/workshop Value Investing:
Advanced Class. Bali, Rivavi Hotel Pantai Kuta, 28 April (masih available). Keterangan selengkapnya baca
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Wika Gedung (WEGE) membukukan kontrak baru senilai Rp 2,6 triliun per 5 April 2018. Kontrak baru itu mencapai 33% dari target tahun 2018 yang sebesar Rp 7,8 triliun.