Harga DMO Batubara, dan Pengaruhnya ke Emiten Tambang

Pada hari Jumat, 9 Maret 2018, Pemerintah melalui Kementerian ESDM menerbitkan peraturan domestic market obligation (DMO) terkait harga jual batubara, dimana perusahaan-perusahaan batubara diwajibkan untuk menjual sebagian produksi batubara mereka ke konsumen dalam negeri, dalam hal ini PT PLN, pada harga yang sudah ditetapkan, alias tidak lagi mengikuti harga pasar. Dan berapa persisnya ‘harga yang sudah ditetapkan’ tersebut? Well, maksimal hanya US$ 70 per ton. Karena harga DMO ini jauh lebih rendah dibanding harga batubara acuan (HBA) yakni US$ 102 per ton per Maret 2018, maka jadilah peraturan DMO ini menjadi sentimen negatif bagi saham-saham batubara dan alhasil, dalam seminggu terakhir saham-saham batubara berjatuhan antara 10 hingga 20%, atau lebih dalam lagi.

Nah, jadi sekarang pertanyaannya ada dua. Pertama, seberapa besar dampak peraturan DMO ini terhadap kinerja Adaro Energy dkk? Dan kedua seperti biasa, apakah penurunan saham-saham batubara karena sentimen DMO ini merupakan peluang, ataukah ini justru merupakan akhir dari rally sektor batubara yang sudah terjadi sejak dua tahunan terakhir? Okay, kita langsung saja.

Jadi cerita soal DMO ini berawal ketika pada tahun 2016 lalu, PT PLN sebagai konsumen terbesar batubara di Indonesia mengeluhkan kenaikan harga batubara yang terlalu cepat, yang otomatis menaikkan biaya produksi (setidaknya 40% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan batubara sebagai bahan bakar), tapi disisi lain mereka tidak bisa begitu saja menaikkan tarif listrik, sehingga praktis posisinya jadi besar pasak daripada tiang, karena disisi lain PLN tidak lagi disubsidi sebesar sebelumnya (karena duitnya dialihkan ke pembangunan infrastruktur). Ketika itu harga batubara patokan Newcastle memang naik dengan cepat hingga sempat tembus US$ 100 per ton di bulan November 2016, dari sebelumnya US$ 50 per ton di awal 2016. Atau dengan kata lain, setelah sebelumnya turun pelan-pelan antara tahun 2011 hingga awal 2016, harga batubara tiba-tiba melejit hingga dua kali lipat dalam waktu kurang dari setahun. Untuk memahami posisi PLN disini, anda boleh bayangkan ketika anda mampir ke pom bensin seperti biasa, dan harga Pertamax, yang tadinya katakanlah Rp8,900 per liter, tiba-tiba saja dalam hitungan bulan naik jadi Rp18,000 per liter. Kira-kira anda bakal tenang-tenang saja nggak?

Dan sekarang harga batubara Newcastle Australia malah sudah nongkrong di level US$ 105 per ton. Dalam kondisi ini biasanya Pemerintah akan mengeksekusi salah satu dari dua opsi: Menaikkan tarif dasar listrik (TDL), atau kembali mensubsidi PLN. However, menaikkan TDL tentunya bakal menimbulkan efek domino dimana itu bisa menaikkan harga-harga barang kebutuhan pokok, dan mengganggu ekonomi secara umum. Sementara kalau PLN disubsidi lagi, maka pembangunan infra bisa terganggu karena duitnya jadi berkurang sebagian.

Jadi solusinya gimana? Well, bagaimana kalau para perusahaan batubara ini disuruh jual ke PLN pada harga yang lebih ekonomis?? Dan menurut penulis pribadi, ini adalah solusi yang masuk akal karena, pertama, sejak awal batubara sebagai kekayaan alam adalah dikuasai oleh negara (UUD Pasal 33, Ayat 3). ‘Dikuasai’ disini maksudnya, perusahaan swasta diperbolehkan untuk memiliki sumber-sumber cadangan batubara, tapi negara tetap berhak dan wajib memanfaatkan batubara tersebut jika itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Karena tujuan peraturan DMO ini adalah agar tarif listrik tidak sampai dinaikkan, maka disinilah Pemerintah menjalankan perannya untuk memenuhi kepentingan orang banyak tadi.

Kedua, jika masyarakat tetap menikmati tarif listrik yang stabil tapi imbasnya perusahaan-perusahaan batubara pada tekor, maka itu juga nggak adil dong? Nah, dalam hal inilah penetapan harga DMO yang US$ 70 per ton tadi menjadi penting. Sekarang kita balik lagi ke tahun 2016 lalu, ketika harga batubara mulai naik: Berdasarkan perkiraan dari manajemen United Tractors dkk sendiri, maka berapa sih perkiraan harga batubara dalam beberapa tahun kedepan? Well, seperti yang dulu kita bahas disini, hanya US$ 70 – 75 per ton.

Jadi ketika harga batubara Newcastle dengan cepat naik sampai US$ 100 per ton, dan sampai sekarang masih stabil di level harga tersebut, maka itu diluar ekspektasi semua orang. Karena asalkan harga batubara stabil di level US$ 70 – 75 saja, maka Bumi Resources dkk sejatinya sudah kembali untung besar. Sebab meski harga US$ 70 – 75 tersebut belum setinggi harga di tahun 2011 ketika terjadi puncak booming batubara, yakni US$ 120 per ton, namun saat ini para perusahaan batubara diuntungkan oleh dua kondisi sekaligus. Yang pertama, volume produksi batubara yang lebih besar. Sepanjang tahun 2017 lalu, Indonesia memproduksi 461 juta ton batubara, meningkat signifikan dibanding hanya 353 juta ton di tahun 2011, dan diperkirakan akan kembali meningkat di tahun 2018 ini dan seterusnya. Dan yang kedua, biaya produksi yang lebih murah. Di tahun 2011, harga minyak mencapai US$ 100 – 110 per barel, yang otomatis bikin harga minyak solar untuk bahan bakar excavator dll jadi mahal. Sementara harga minyak sekarang? Cuma US$ 64 per barel, malah beberapa bulan lalu cuma US$ 47 per barel.

Kesimpulannya, kalau perusahaan batubara harus jualan pada harga US$ 70, maka mereka gak akan rugi/masih profit lumayan, hanya saja profitnya jadi nggak terlalu besar. Dan juga yang perlu dicatat, peraturan DMO menyebutkan bahwa perusahaan batubara hanya harus menjual 25% produksinya ke pasar domestik pada harga US$ 70 tadi, sementara selebihnya boleh tetap dijual ke pasar ekspor pada harga pasar. Jadi, yup, jangan dibayangkan bahwa pendapatan ADRO dkk akan langsung jeblok hingga sepertiganya, karena sebagian besar produksi batubara mereka tetap dijual pada harga diatas US$ 100 per ton, yang notabene sangat tinggi.

Tidak Semua Emiten Batubara Terkena Dampak DMO

Dari ulasan diatas maka bisa dipahami bahwa penetapan harga DMO yang US$ 70 per ton tadi tidaklah asal-asalan, apalagi disengaja agar para perusahaan batubara jadi susah karena, perlu diingat pula bahwa Pemerintah mengandalkan para produsen batubara untuk mendorong nilai ekspor nasional (karena dari dulu sampai sekarang, batubara masih merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia diluar migas), yang pada akhirnya meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga memberikan insentif berupa tambahan kuota ekspor 10% bagi perusahaan batubara yang memenuhi kewajiban DMO ini, yang itu berarti bahwa meski pendapatan perusahaan dari pasar domestik turun, tapi pendapatan dari pasar ekspor akan naik, sehingga totalnya kurang lebih bakal sama saja. Sebelumnya Pemerintah memang sengaja membatasi kuota ekspor batubara nasional dalam rangka menjaga cadangan batubara dalam negeri untuk masa depan, tapi sekarang peraturan itu sedikit dilonggarkan.

Kemudian, kalau kita lihat data yang ada, maka dari puluhan emiten batubara di Indonesia, hanya beberapa yang mensuplai batubara dalam jumlah besar ke PLN. Mereka adalah Bukit Asam (PTBA), Indika Energy (INDY, melalui anak usahanya PT Kideco Jaya Agung), Adaro Energy (ADRO), dan Indo Tambangraya Megah (ITMG). Sementara selebihnya hanya menjual sebagian kecil produksi batubara mereka ke pasar domestik, atau 100% ekspor. Ini artinya diluar keempat emiten batubara diatas, maka emiten batubara lainnya tidak terkena dampak apapun dari peraturan DMO ini, karena mereka nyaris sepenuhnya jualan ke pasar ekspor.

Kalau ada perusahaan batubara yang paling terkena dampak peraturan DMO, maka itu adalah PTBA

Tapi Pak Teguh, seperti yang sudah disebut diatas, bukannya seluruh perusahaan batubara diwajibkan untuk menjual minimal 25% batubaranya ke pasar domestik? Artinya perusahaan batubara yang sebelumnya 100% ekspor, maka mulai sekarang mereka harus menyisihkan sebagian produksinya untuk dijual ke pasar dalam negeri bukan? Well, secara teori memang iya begitu, tapi pada prakteknya belum tentu. Let say, semua perusahaan batubara di Indonesia tanpa terkecuali menjual 25% produksi mereka ke PLN, maka pertanyaannya sekarang, apakah PLN dkk bisa membeli/menampung semua batubara tersebut?

Sebab di tahun 2017 kemarin, dari total produksi nasional 461 juta ton, hanya 97 juta ton atau 21% yang terserap oleh pasar domestik termasuk PLN (jadi untuk PLN-nya sendiri, kebutuhan batubaranya lebih kecil lagi). Untuk tahun-tahun sebelumnya malah lebih kecil, hanya sekitar 16 – 19%. Konsumsi batubara dalam negeri memang tengah meningkat akhir-akhir ini setelah banyak berdiri pembangkit listrik baru sebagai bagian dari megaproyek 35,000 MW, tapi perjalanannya masih sangat puanjang sebelum megaproyek itu kelar semuanya, dan konsumsi batubara PLN benar-benar melonjak signifikan. Sementara sebelum itu, ya mau gak mau para produsen batubara jualannya ke pasar ekspor, karena pasar dalam negeri belum siap untuk menampung.

Jadi penulis kira, tetap pada akhirnya hanya emiten yang punya porsi penjualan besar ke pasar domestik-lah, yang terkena dampak peraturan DMO ini, itupun dampaknya tidak signifikan karena hal-hal yang sudah dibahas diatas. Kalaupun peraturan kuota 25% untuk pasar domestik tetap diberlakukan, maka yang bakal kena duluan adalah yang besar-besar seperti BUMI, ADRO (ADRO saat ini hanya menjual sekitar 23% produksinya ke pasar domestik), dan INDY, sementara selebihnya bakal aman-aman saja/kenanya belakangan. Karena, coba pikir: Tujuan dari peraturan DMO ini kan agar PLN bisa memperoleh pasokan batubara pada harga yang normal/gak terlalu mahal. Dan kalau dari perusahaan batubara yang besar-besar saja PLN sudah bisa memperoleh pasokan batubara yang cukup, dan memang seharusnya demikian, maka ngapain juga PLN masih nyari-nyari lagi pasokan ke perusahaan batubara yang kecil-kecil? Untuk ilustrasi, BUMI sebagai coal miner terbesar di Indonesia memproduksi 100 juta ton batubara per tahun, jadi 25%-nya sudah 25 juta ton. Sedangkan beberapa coal miner kecil seperti Harum Energy, Resource Alam Indonesia, hingga Mitrabara Adiperdana, produksi mereka cuma 4 juta ton per tahun, jadi 25%-nya cuma 1 juta ton, alias gak signifikan.

Kesimpulan

Okay, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, apakah penurunan saham-saham batubara karena sentimen DMO ini merupakan peluang, mengingat dampak DMO ini sepertinya tidak seburuk kelihatannya? Well, mari kita lihat lagi: Harga batubara sepanjang awal tahun 2018 ini stabil di level US$ 100 – 105 per ton, naik signifikan dibanding awal 2017 lalu di level US$ 80 per ton, sedangkan peraturan DMO baru ditetapkan awal Maret ini, sehingga implementasinya baru akan berlaku dalam beberapa waktu kedepan. Ini berarti, mayoritas emiten batubara berpeluang besar untuk kembali membukukan kenaikan atau bahkan lompatan laba di laporan keuangan mereka di Kuartal I 2018 nanti. Berdasarkan pengalaman di awal tahun 2017 lalu, saham-saham batubara sudah naik banyak bahkan sebelum LK Kuartal I 2017 mereka keluar, tapi setelah LK tersebut keluar, sahamnya malah turun sejenak (baca lagi ceritanya disini). Pada tahun 2018 ini, saham PTBA dkk juga naik banyak sejak awal tahun kemarin, namun akibat sentimen DMO ini mereka turun lagi, tapi boleh anda cek, turunnya gak sampai dibawah level sebelum mereka naik, awal Januari lalu. Dengan kata lain, secara YTD, saham-saham batubara masih dalam trend naik.

Dan yang terpenting adalah, valuasi saham-saham batubara, meski tidak lagi semurah awal tahun 2016 lalu, tapi juga belum bisa disebut mahal, dimana kalau beneran laba (dan ekuitas) mereka naik lagi di tahun 2018 ini, maka valuasi tersebut otomatis jadi lebih murah. Perhatikan juga bahwa mayoritas saham-saham batubara belum naik banyak lagi sepanjang tahun 2017 kemarin (mereka naik banyaknya di tahun 2016), dan baru naik lagi awal 2018 ini karena adanya ekspektasi kenaikan laba diatas, tapi kemudian ‘rehat’ sejenak karena cerita DMO ini. Tapi jika benar bahwa peraturan DMO tidak berdampak besar pada kinerja fundamental emiten-emiten batubara, dan para emiten ini tetap membukukan kinerja yang lebih baik lagi di tahun 2018, maka rally jangka panjang saham-saham batubara yang sudah terjadi sejak awal tahun 2016 lalu seharusnya tidak akan langsung berakhir, tidak dalam waktu dekat ini.

Kesimpulannya, yep, bagi anda yang ketinggalan kereta di saham-saham batubara awal Januari kemarin, perhaps this is your opportunity. Kalau ada yang perlu dikhawatirkan maka itu adalah harga batubara Newcastle itu sendiri, yang belum tentu bisa terus bertahan di level diatas US$ 100 per ton seperti sekarang. Tapi selama itu yang terjadi, maka sentimen DMO ini pada akhirnya nanti akan menguap dengan sendirinya, sama seperti pada September 2017 lalu saham PTBA pernah tiba-tiba anjlok 22% dari 12,400 ke 9,600-an (harga sebelum stocksplit), demikian pula saham-saham batubara yang lain ikut turun, karena ketika itu juga sempat keluar cerita DMO ini. Tapi yah, setelah itu PTBA dkk naik lagi, dan cerita DMO ini hilang dengan sendirinya. So let see, apakah untuk sekarang juga kejadiannya bakal sama seperti itu.

Jadwal Seminar Value Investing: Kelas Pemula, Amaris Thamrin City Jakarta, Sabtu 24 Maret. Keterangan selengkapnya baca disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Unknown mengatakan…
betul banget, contoh KKGI, mereka untuk skala domestik ga sampe 1% hampir semuanya untuk ekspor, tapi penurunannya harganya luar biasa dan g masuk akal, padahal di neraca mereka termasuk net cash.. cash lebih besar dari hutang-hutangnya.. dengan dollar yang naik tidak berpengaruh pada beban keungan ditambah produksi batubara naik untuk tujuan ekspor saya kira akan ada lompatan laba di KKGI.. tapi sahamnya malah turun..
TOP KIDS mengatakan…
Pak Teguh, PTBA menjual coal hasil produksinya 55% ke PLN. Harga wajib DMO USD 70 adalah untuk 25% hasil produksi. Boleh saya bertanya Pak ? sisa produksi PTBA 30% yang dijual ke PLN, apakah menggunakan harga pasar atau harga DMO?
Terima kasih sebelumnya Pak. salam.
Briandhika mengatakan…
Hai mas Teguh, once again. an outstanding article!
Masalahnya langkah pemerintah ini terkesan mengorbankan resource Indonesia yang semakin menipis. Menurut rencana pemerintah sendiri, seharusnya ekspor semakin menurun. Jadi, mungkin lebih baik untuk menaikkan TDL dari pada memaksakan kehendak seperti ini. Well, hanya pendapat saya loh ya.
cheers!
Anonim mengatakan…
Terima kasih pak teguh atas ulasannya. Saham batubara ternyata masih bagus. Ini saya sedang menanti bumi breakout 350 menuju 400.
Hendy mengatakan…
Pinginnya saya optimis juga mas, tapi setelah baca ini jadi mikir: https://industri.kontan.co.id/news/harga-dmo-batubara-bisa-gulung-pebisnis-kecil

Karena yang ngomong direktur APBI, beliau lebih paham lah ya soal ini daripada investor ?

Kesimpulan sementara saya: hindari emiten batubara yang tidak ekspor...

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menuding patokan harga batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) untuk pembangkit listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak fair. Harga patokan S$ 70 per ton bisa membuat perusahaan tambang batubara kecil berguguran.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan harga jual batubara ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam negeri yang dipatok senilai US$70 per ton hanya untuk kalori 6.322 kkal/kg GAR.

Sementara kalori di bawah itu, menggunakan harga yang berbeda. Jika kalorinya semakin kecil, jelas harganya akan semakin menekan harga . "Meskipun memakai harga pasar. Harga batubara jenis tersebut sudah tergolong rendah," terangnya saat ditemui di kantornya, Menara Kuningan, Jakarta, Kamis (22/3).

Hendra menjelaskan produsen-produsen kecil yang hanya memiliki batubara berkalori rendah tersebut biasanya tidak ekspor. Dengan harga yang sangat rendah, batubara tersebut menjadi tidak ekonomis jika harus dikapalkan.

Sedangkan untuk produsen besar masih cukup leluasa menyiasati harga khusus DMO karena memiliki pasar di luar negeri. Mereka masih bisa mendapat margin tinggi hasil ekspor. "Dampak terbesarnya mungkin ke pemasok kecil karena hampir semua batubaranya mereka pasok ke PLN. Kalau mau diekspor juga gak ekonomis," ungkapnya.

Hendra memaparkan, apabila menggunakan harga batubara acuan (HBA) Maret 2018 senilai US$ 101,86 per ton untuk kalori 6.322 kkal/kg GAR, harga batubara dengan kalori 2.995 kkal/kg GAR senilai US$ 25,81 per ton. Namun, jika menggunakan patokan dari pemerintah, harganya menjadi US$ 17,74 per ton. "Harga itu lebih besar dari biaya produksi," tandasnya.

Meskipun harga batubara DMO untuk pembangkit listrik dipatok US$ 70 per ton. PLN hanya akan membeli batubara dengan harga US$ 37 per ton US$ 53 per ton. Pasalnya, kebanyakan pembangkit listrik PLN menggunakan kalori 4.200 Kcal per Kg hingga 5.000 Kcal per Kg.

Direktur Pengadaan Strategis PLN, Supangkat Iwan Santoso mengungkapkan, PLN tidak menggunakan batubara dengan kalori 6.322 Kcal per Kg. Pembangkit listrik milik PLN menggunakan batubara kalori 4.500–5.900 Kcal per Kg sebanyak 63% dan sisanya untuk 4.200 Kcal per Kg sebanyak 36%. "Untuk batubara kalori 4.200 Kcal per Kg harganya US$ 37 per ton. Sementara kalori 5.000 Kcal per Kg harganya US$ 53 per ton, terangnya.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?