Modernland Realty
Modernland Realty
(MDLN) adalah salah satu stockpick penulis di masa lalu, tepatnya di
tahun 2012 – 2013 ketika sektor properti tengah booming, dan anda bisa
baca lagi ulasannya
disini. Namun sayangnya ketika itu hasilnya gak bagus karena kita salah timing
masuk di bulan Juni 2013, dimana dalam enam bulan berikutnya IHSG justru
drop (dari 5,250 hingga mentok di 3,900), dan MDLN juga ikut turun dari 1,000
(sebelum stocksplit, setara 500) hingga mentok di 650 (setara 325). Dan meski
di tahun 2014, seiring dengan pulihnya kondisi market, MDLN kembali naik, tapi kenaikannya
berhenti di level 580-an di awal tahun 2015 karena setelah itu industri
properti mulai lesu, dimana MDLN bersama juga mayoritas emiten properti lainnya
membukukan penurunan kinerja, dan sahamnya ramai-ramai turun lagi.
(Catatan: Dari pengalaman di tahun 2013 tersebut,
penulis banyak belajar tentang market
timing, dan juga tentang siklus ekonomi
industri termasuk industri properti, yang tidak kalah pentingnya dibanding
value investing itu sendiri).
Hingga dua tahunan
berikutnya, penulis tidak pernah melirik-lirik lagi MDLN ini (jadi kerjaan kita
cuma liat laporan keuangan terbarunya setiap tiga bulan, dan ketika MDLN
masih melaporkan penurunan laba maka yo wis, analisanya selesai). Sampai pada awal
tahun/Kuartal I 2017 dimana MDLN akhirnya
membukukan kenaikan laba, barulah kita kembali memasukkan MDLN kedalam planning.
Hingga tahun penuh 2017, laba MDLN masih naik menjadi Rp615 milyar,
dibanding Rp501 milyar di tahun 2016. Actually, jika dibandingkan dengan
kinerjanya di tahun 2012 – 2013 lalu, maka kinerja terbaru MDLN ini masih
kurang memuaskan. Namun jika melihat sektor propertinya sendiri yang mulai bangkit lagi setelah sempat mati suri dalam lima tahun terakhir, maka setelah tahun
2017 kemarin, kita bisa expect bahwa trend kenaikan laba MDLN akan
berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
Okay, lalu MDLN ini perusahaan
properti apa sih tepatnya? Aset-asetnya ada dimana saja?
MDLN merupakan bagian dari Grup Modern, dengan bisnis utama mereka sebagai distributor film kamera foto berbagai merk terutama Fuji Film dan Kodak, melalui PT Modern Internasional (MDRN). Namun berbeda dengan MDRN yang sekarang mati suri seiring dengan bubarnya industri film kamera (karena diganti oleh kamera digital), MDLN justru maju pesat. Setelah cenderung jalan ditempat sejak perusahaan berdiri di tahun 1983, milestone pertama MDLN dicapai pada tahun 2005 dengan membangun Jakarta Garden City (JGC) di Kawasan Cakung, Jakarta Timur, ketika itu seluas 270 hektar (yang kemudian meningkat menjadi 370 hektar, dan itu sangat luas untuk ukuran township didalam Kota Jakarta), dengan bekerja sama dengan Keppel Land asal Singapura, dan sampai sekarang JGC masih terus dikembangkan, termasuk berdiri IKEA dan Mall AEON. Menariknya, hingga Juni 2017, JGC masih memiliki sisa landbank seluas 250 hektar, yang artinya baru sekitar sepertiga dari total area JGC yang sudah dikembangkan, sehingga potensi pertumbuhan JGC di masa depan masih sangat terbuka lebar.
Selain JGC, MDLN juga
punya beberapa aset properti berikut:
- Padang Golf Modern di Tangerang
- Modernhill Townhouse di Pondok Cabe, Tangerang Selatan
- Kota Modern seluas 400 hektar di Cipondoh, Tangerang
- Modern Cikande Industrial Estate (MCIE) di Cikande, Serang
- Perumahan murah type 36/72 dan 45/90 di MCIE
- Hotel Novotel Gajah Mada, Jakarta Barat, dan
- Sebuah pabrik yang memproduksi panel lantai, dinding, dan tangga.
Dan yang
terbaru, sejak tahun 2016 lalu MDLN bekerja sama dengan Astra Land Indonesia untuk mengembangkan JGC, dimana kedua
perusahaan mendirikan anak usaha dengan nama PT Astra Modern Land (AML). Ini
menarik, karena seperti yang kita ketahui, Grup Astra dalam 2 – 3 tahun
terakhir banyak berinvestasi ke sektor properti melalui Astra Land diatas,
namun mungkin karena menyadari bahwa mereka belum berpengalaman di bidang properti ini,
maka Astra kemudian bekerja sama dengan beberapa developer termasuk
MDLN. Yep, jadi MDLN menawarkan pengalaman sebagai developer serta kompleks JGC itu
sendiri (jadi Astra gak perlu repot-repot membangun sendiri township-nya
sejak awal), sementara Astra menawarkan dukungan modal yang kuat serta brand
Astra (karena brand ‘Modernland’ biar gimana belum sepopuler
‘Bumi Serpong Damai’, ‘Ciputra’, atau ‘Alam Sutera’). Thus, ini akan jadi kerjasama yang sangat baik. AML diproyeksikan akan
menghasilkan pendapatan total Rp3.2 trilyun dalam beberapa tahun kedepan, yang
akan dibagi dua untuk MDLN dan Astra Land.
Jadi
secara prospek MDLN memang menarik, karena sebelum bekerja sama dengan Astra,
perusahaan sebelumnya sudah bekerja sama dengan Keppel Land untuk mengembangkan
JGC. Dan memang kalau dari sisi nilai revenue/pendapatan, kinerja MDLN sudah
terbilang bagus bahkan ketika industri properti tengah lesu antara tahun 2013 –
2016, dimana pendapatannya konsisten di angka Rp2.5 – 3 trilyun per tahun. Problemnya,
karena MDLN
mengembangkan sebagian besar proyek-proyeknya dengan bekerja sama dengan pihak
ketiga (Keppel Land, dan sekarang Astra), dan juga menggunakan utang obligasi (per akhir tahun 2017,
MDLN memiliki utang obligasi senilai Rp4.7 trilyun, atau terbilang besar
dibanding total asetnya yang Rp14.6 trilyun), maka jadilah margin laba MDLN terbilang tipis dibanding kebanyakan perusahaan properti
lain, yakni hanya 15 – 20%, karena besarnya beban profit sharing dan
bunga obligasi. Ini artinya, kalau nanti Feni Rose kembali sering nongol di
televisi dengan slogannya yang terkenal, ‘Senin harga naik!’, maka mungkin laba
bersih MDLN tetap akan segitu-gitu saja, atau naik tapi naiknya gak banyak,
bahkan meski pendapatannya naik banyak (selain dari JGC, sejak tahun 2017
kemarin MDLN juga mulai panen dari MCIE dan Kota Modern Cipondoh).
Valuasi MDLN = Paling
Murah
Kombinasi antara kurang
populernya nama perusahaan (karena sekali lagi, Grup Modern lebih dikenal
sebagai tukang foto ketimbang tukang bikin rumah), dan relatif kecilnya margin
laba, menyebabkan MDLN tidak begitu disukai investor di market, dan alhasil
sahamnya hingga awal tahun 2017 cenderung turun terus, tapi hikmahnya itu bikin valuasi sahamnya jadi paling murah
dibanding developer besar lain. Yup, kalau melihat total aset perusahaan
yang lebih dari US$ 1 milyar, serta posisi JGC yang juga sudah well
established, maka MDLN bukanlah developer kelas teri yang masih harus struggle
untuk sekedar bertahan hidup, melainkan developer besar yang cuma butuh kondisi
dimana sektor properti itu sendiri mulai menggeliat lagi, agar bisa kembali
profit. Dan seperti yang sudah kita bahas disini,
dan disini,
intinya penulis personally sepakat dengan pernyataan manajemen MDLN (dan juga
manajemen developer properti lainnya), yang mengatakan bahwa tahun 2017 kemarin
merupakan titik terendah/titik balik
dari industri properti setelah sebelumnya industri ini turun terus, sehingga
untuk tahun 2018 dan kedepannya, properti berpeluang untuk booming lagi
(meski, seperti halnya trend penurunannya terjadi pelan-pelan selama lima tahun,
maka industri properti juga gak akan langsung booming dalam waktu singkat,
melainkan perlu waktu).
Hanya masalahnya,
karena industri properti ini tidak sampai benar-benar terpuruk seperti halnya
sektor batubara di tahun 2016 lalu (di tahun tersebut ada banyak perusahaan
batubara yang kolaps, berhenti beroperasi sama sekali, hingga gagal bayar
utang. Dan kecuali Bakrieland Development, sampai sekarang tidak ada developer besar lain yang terpaksa melego aset-aset mereka), maka saham-saham properti turunnya tidak terlalu dalam, dan alhasil valuasi
saham-saham di sektor ini tidak sampai kelewat rendah, dimana mayoritas saham
dari developer papan atas masih dihargai pada PBV 1 – 2 kali. Memang, untuk
developer yang kecil-kecil seperti Gading
Development, Bumi Citra
Permai, dst, valuasi mereka jauh lebih murah, tapi kan barangnya juga
kurang bagus.
Tapi untuk MDLN ini,
pada harga 330 dan berdasarkan LK Tahun Penuh 2017, PER dan PBV-nya
masing-masing hanya 6.7 dan 0.6 kali,
clearly undervalue whatsoever, dan itu pula yang menyebabkan penurunan
sahamnya selama setahun terakhir mentok di 270 – 300. Jadi asalkan
perusahaan bisa kembali membukukan kenaikan laba di tahun 2018 (yang penting
asal naik saja, jadi laba tersebut gak usah terlalu besar), dan itu adalah
ekspektasi yang masuk akal, maka MDLN berpeluang untuk naik pelan-pelan dengan
risiko penurunan yang terbatas karena sekali lagi, valuasinya paling murah
dibanding saham properti lain di kelasnya. Indikasi sudah rendahnya valuasi
saham MDLN juga tampak dari keputusan manajemen yang mengalokasikan maksimal Rp250 milyar untuk buy back saham
MDLN di market, dimana hingga akhir Desember 2017 kemarin, manajemen sudah
membelanjakan sekitar Rp20 milyar untuk membeli saham MDLN di harga 290 – 330 (jadi
sisa dananya masih banyak yakni sekitar Rp230 milyar, dimana kalau nanti
sewaktu-waktu MDLN turun lagi, misalnya kalau pasar
terkoreksi, maka penurunannya gak akan terlalu dalam/langsung naik lagi,
karena ada yang nampung).
Kesimpulannya, jika
dibanding beberapa saham yang pernah dibahas di blog ini, maka MDLN mungkin
tidak menawarkan potensi profit yang terlalu besar, tapi disisi lain risikonya
juga terbatas, sehingga it’s still a good deal. Disisi lain kalau
misalnya kinerja perusahaan di tahun 2018 ini beyond expectation, misalnya
karena joint venture-nya dengan Astra sukses menaikkan popularitas
perusahaan sehingga unit-unit properti di JGC laku keras, maka potensi kenaikan
harga saham hingga 50 – 100% dalam 1 – 2 tahun kedepan terbilang realistis
mengingat di masa lalu, PBV MDLN ini serendah-rendahnya di 1.5 – 1.7 kali. Well, let see bagaimana nanti kinerja perusahaan di
tahun 2018 ini.
PT Modernland Realty, Tbk (MDLN)
Rating Kinerja pada
2017: BBB
Rating Saham pada 330:
AA
Disclosure: Ketika analisis ini dipublikasikan, Avere sedang
dalam posisi memegang MDLN di harga 324. Posisi ini bisa berubah setiap saat
tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG & stockpick saham
bulanan edisi Maret 2018 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini,
gratis konsultasi langsung dengan penulis via email.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
tahun 2017 sudah merupakan turning point dari kerugian yang cukup besar di tahun sebelumnya