Ketika Anda Sadar Anda Membeli Saham yang Salah, Segera Jual Saham Tersebut!
Di artikel
minggu lalu tentang Warren Buffett, penulis menyampaikan setidaknya tiga
alasan kenapa saya, secara personal, menjadikan beliau sebagai panutan. Alasan
tersebut adalah: 1. Penulis gak punya cukup waktu untuk baca-baca lagi tentang
investor besar lainnya, 2. Tidak hanya mengajarkan tentang investasi saham,
Buffett juga mengajarkan untuk menjadi ‘a good person’, yang tidak berusaha
mengambil keuntungan dari kerugian orang lain, 3. Buffett merupakan satu dari
sedikit investor yang selalu happy dan santai/rileks dalam menjalankan
pekerjaannya di Berkshire, dan itu membuatnya menjadi pribadi yang menyenangkan.
However, masih ada satu
lagi alasan kenapa Buffett ini sangat unik dibanding banyak sekali investor
lainnya, sehingga layak menjadi contoh: Berbeda dengan kebanyakan investor lainnya
yang hanya menceritakan kesuksesan-kesuksesan mereka dalam meraih profit besar
dari saham (dengan harapan bahwa orang-orang akan menganggap mereka investor hebat,
atau semacamnya), Buffett justru banyak menceritakan kesalahan-kesalahannya, yang kita kemudian bisa belajar banyak dari situ. Salah satu ‘kesalahan’ yang sering
ia ceritakan berulang-ulang adalah keputusannya untuk mengakuisisi Berkshire
Hathaway, tahun 1962 lalu, dimana bisnis tekstil yang dimiliki Berkshire
ternyata tetap saja tidak mampu menghasilkan keuntungan bahkan meski tim
manajemen sudah bekerja sangat keras selama bertahun-tahun kemudian.
Tapi kesalahan Buffett bahkan
lebih dari itu. Yup, meski Berkshire terus saja merugi, namun Buffett malah bersikeras
mempertahankan aset-aset pabrik tekstil milik perusahaan, dan imbasnya itu menurunkan kinerja portofolio
investasinya secara keseluruhan. Buffett baru benar-benar menyerah dan
memutuskan untuk menjual pabrik tekstil terakhir milik Berkshire pada tahun
1986, atau lebih dari 20 tahun
kemudian sejak ia pertama kali membeli saham Berkshire. Dalam banyak
tulisan-tulisan selanjutnya, Buffett banyak mengeluh bahwa andai saja ia langsung
cut loss di Berkshire
sejak awal, kemudian menggunakan uang hasil cut loss tersebut dan waktu 20
tahun berikutnya untuk sepenuhnya fokus di investasi-investasi lainnya yang lebih
menguntungkan, maka ia seharusnya bakal jadi jauh lebih kaya dibanding saat ini.
This company is actually one of Buffett's biggest mistakes |
Jadi pelajarannya
disini adalah, kalau anda menyadari bahwa anda sejak awal salah pilih saham,
maka jangan tunda-tunda lagi: Segera
jual saham tersebut, bahkan meski dalam posisi rugi.
Tapi Pak Teguh,
bagaimana kalau nyangkut/ruginya sudah kelewat besar? Kalau itu saham dijual, nanti
realisasi ruginya jadi gede banget dong? Nah terkait hal ini, baru saja
beberapa waktu lalu penulis menerima email dengan isi sebagai berikut, sebut
saja Pak A:
‘Pak Teguh, saya masuk
pasar saham sejak Maret 2013 (hampir 5 tahun, alias sudah cukup lama), tapi
setiap tahunnya porto saya justru rugi terus. Pada pertengahan tahun 2017
kemarin saya baca buku Anda yang berjudul ‘Value Investing: Beat the Market in
Five Minutes!’, dan mulai membeli saham berdasarkan strategi yang anda
sampaikan di buku tersebut. Dan ternyata hasilnya dalam beberapa bulan ini saja
sudah sangat baik meski secara keseluruhan masih negatif, karena ada beberapa saham saya yang nyangkut lama
seperti WTON dan PTPP. Mohon masukannya pak.’
Catatan: Di lampiran yang disertakan, Pak A ini
memegang 11 saham berbeda, dimana kecuali WTON dan PTPP, yang masing-masing
dibeli pada tahun 2015 dan 2016, sembilan saham lainnya baru dibeli pada Kuartal
III dan IV 2017. Menariknya, dari kesembilan saham tersebut, yang tentunya dibeli
berdasarkan metode value investing, tujuh diantaranya menghasilkan profit
signifikan hingga ada yang sampai ratusan persen (INDY),
sementara dua lainnya turun tapi hanya 1 – 2%. Namun karena posisi WTON dan
PTPP masih minus masing-masing 46 dan 36%, sedangkan lebih dari 50% portofolio masih tertahan di dua saham tersebut,
maka jadilah secara keseluruhan kinerja portonya masih minus sekitar 4%.
Jadi respon penulis
kemudian sebagai berikut:
‘Portonya sudah bagus
pak, saham-saham yang dipegang termasuk harga belinya juga sesuai kriteria
value investing. Hanya saja, Pak A harus belajar untuk ‘menerima kesalahan di
masa lalu’ dan ‘move on’, dengan
cara cut loss di WTON dan PTPP, karena memang dua saham ini tidak dibeli
berdasarkan kaidah value investing bukan? Memang, itu artinya Pak A akan
merealisasikan kerugian yang nilainya tidak kecil, tapi coba pikirkan berapa
keuntungan yang bisa dihasilkan kedepannya jika
uang hasil cut loss tersebut kembali diinvestasikan ke saham-saham yang tepat,
ketimbang dibiarkan mengendap di dua saham tersebut tanpa ada kejelasan kapan
bakal balik modal.’
Nah! Apa yang dialami
Pak A diatas kemungkinan merupakan kasus yang umum terjadi pada investor ritel,
tak peduli ia seorang pemula atau berpengalaman. Sekarang jujur aja deh: Coba
lihat lagi porto anda, apakah disitu masih ada satu atau dua saham nyangkut yang
dulu anda beli secara asal-asalan dan tanpa analisa/hanya mengikuti rekomendasi
yang gak jelas dari mana asalnya? Sudah berapa tahun anda hold saham
tersebut? Dan bisakah anda bayangkan berapa besarnya keuntungan yang seharusnya anda peroleh andaikan anda
sejak awal segera menjual saham tersebut, dan menggunakan uangnya untuk membeli
saham-saham lain yang lebih baik??
Inilah sebabnya kalau
ada investor yang minta saran ke penulis terkait portofolionya, dan ternyata
porto tersebut isinya saham-saham yang gak jelas (atau saham yang sebenernya
cukup bagus, tapi harga belinya salah/kemahalan), dan si investor juga mengakui
bahwa ia membeli saham-saham tersebut tanpa strategi dan analisa sama sekali,
maka saran penulis adalah: Jual semua
saham tersebut, baik itu yang posisinya untung maupun rugi, lalu mulai lagi semuanya dari awal. Tapi
Pak, itu artinya saya merealisasikan kerugian dong? Yap, itu benar, tapi
pertama, anggap itu sebagai biaya
belajar dari pengalaman. Sebab tidak hanya anda, penulis sendiri (dan juga
Warren Buffett, dan juga banyak lagi investor besar lainnya) juga pernah
terpaksa harus jual saham dalam posisi rugi besar, tapi justru karena kita
ketika itu berani untuk menerima kenyataan bahwa kita salah pilih
saham, lalu move on, maka hasilnya sekarang ini terbilang sangat baik. Yup,
karena ‘pengalaman’ adalah guru yang paling berharga, dan sekaligus paling mahal, jauuuuh lebih mahal
dibanding jika anda beli buku, ikut seminar dll, tapi disisi lain hasil ‘pelajarannya’
justru paling baik dan tidak akan pernah anda lupakan seumur hidup. Anda bisa
baca lagi cerita
lengkapnya disini.
Kemudian kedua, seperti
yang sudah disampaikan diatas, cobalah untuk melihat kedepan, yakni pikirkan berapa keuntungan yang bisa
dihasilkan kedepannya jika kita menjual saham yang tidak produktif lalu uangnya
kembali diinvestasikan ke saham-saham yang tepat, ketimbang uang tersebut dibiarkan
mengendap di saham-saham yang tidak produktif tadi tanpa ada kejelasan kapan
bakal balik modal. Yup, jadi ketika anda terus saja meng-hold saham yang
posisinya nyangkut selama bertahun-tahun, maka sekilas anda memang gak rugi
apa-apa (karena kan itu saham belum dijual? Jadi ruginya belum direalisasikan),
tapi kenyataannya anda justru sudah rugi dua
kali. Yakni: 1. Saham tersebut bisa saja turun lagi, terutama jika
fundamentalnya memang buruk sehingga memang sejak awal sahamnya tidak layak invest, dan 2. Anda
kehilangan peluang profit di saham lain, yang jauh lebih bagus.
Anyway, mumpung
sekarang masih awal tahun, maka jika sekarang ini terdapat satu atau dua ‘saham
nyangkut menahun’ di porto anda, inilah saatnya untuk move on! Dan jika
setelah membaca tulisan ini anda segera memutuskan untuk move on, maka
itu artinya anda (dalam hal ini) bahkan sudah lebih baik dari Warren Buffett,
yang butuh waktu sampai 20 tahun untuk
menyadari bahwa pabrik tekstil milik Berkshire tidak akan menghasilkan profit
lagi. What? Anda masih gak berani untuk cut loss karena ruginya terlalu besar?
Ya sudah, kalo gitu jualnya separuh pegangan saja dulu. Jadi kalau anda pegang
itu saham 100 lot, maka anda bisa jual 50 lot saja dulu, kemudian gunakan
uangnya untuk beli saham lain yang lebih baik, dan lihat lagi bagaimana
hasilnya beberapa bulan dari sekarang.
Untuk artikel minggu
depan kita akan membahas update analisa terbaru dari salah satu sektor berikut:
1. Konstruksi, 2. Properti, 3. Batubara, atau 4. Perkebunan kelapa sawit.
Silahkan anda pilih sektor yang mana, anda bisa menyampaikannya melalui kolom
komentar dibawah.
Jadwal Seminar Value Investing: Cara Santai u/ Menghasilkan Keuntungan dari
Pasar Saham. Jakarta 13 Januari, dan
Surabaya 20 Januari. Keterangan
selengkapnya baca
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Konstruksi: euphoria sudah dimulai lagi. Ambil jangan ya..??
Property: Jauhi dulu deh.. Anies baru layangkan surat ke BPN, minta semua sertipikat di pulau-pulau reklamasi dibatalkan / ditunda. Pulau reklamasi Ciputra di Makasar bisa terimbas kah? Meikarta? masih berjuang soal ijin juga.
Agriculture: wow.. hampir lupa ada sektor ini.. he he he .. INI AJA Pak Teguh... Terima kasih sebelumnya.
NB: sudah bisa beli e-book Kuartal 1 2018? boleh langsung transfer besok
Salam hangat,
Simon Pardede
9 bulan di saham gorengan paling panas. Untung stok sabar masih banyak, kalo ga lemes hayati bang.
Kalau batubara saya yakin masih hot sampai kuartal I 2018 hehehe
Karena :
Saham properti lagi murah" nih
Bisa di check sendiri :)
Jadi bagus sekali kalau bisa diproyeksikan lg outlooknya
Bicara soal move-on, apakah bapak ada kriteria/perhitungan kapan sebaiknya harus move on dari saham nyangkut yang dimiliki. Sebagai contoh, saya membeli saham yg undervalue (pbvr kurang dari 1) dan ternyata setelah dibeli malah turun. Kapan sebaiknya kita sudah harus jual saham ini. Apakah setelah maksimum jangka waktu tertentu atau maksimum persentase nilai penurunan?
Terima kasih sebelumnya