Prospek ANTM, TINS, PTBA Pasca Pembentukan Holding Tambang
Pada Rabu, 29 November
kemarin, tiga BUMN tambang yakni PT Aneka Tambang (ANTM), PT Timah (TINS), dan
PT Bukit Asam (PTBA), secara hampir bersamaan (hanya beda jam) menyelenggarakan
RUPS untuk menyetujui rencana pembentukan perusahaan holding tambang, dimana
saham milik pemerintah di ketiga perusahaan (hanya saham milik pemerintah saja,
jadi saham milik investor publik tetap dimiliki oleh publik/ketiga perusahaan
tersebut tetap berstatus Tbk) semuanya dialihkan ke PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Dengan demikian Pemerintah
sekarang memiliki satu perusahaan tambang yang besar, yang merupakan gabungan
dari Inalum, ANTM, TINS, dan PTBA, dimana Inalum menjadi induk (holding) dari
tiga perusahaan lainnya.
Pertanyaannya, apa
tujuan dari pembentukan holding tambang ini? Apa benefitnya bagi ANTM, TINS,
PTBA, dan juga Inalum itu sendiri? Dan kenapa Inalum yang dijadikan holding?
Cerita pembentukan
holding tambang ini berawal ketika pada Agustus 2017, Pemerintah melalui
Kementerian ESDM sukses memaksa Freeport McMoran Corp (FCX), induk dari PT Freeport McMoran Indonesia (FMI),
untuk menjual 51% saham FMI ke pihak nasional Indonesia. Problemnya, FCX
meminta harga yang tidak kecil, yakni US$ 4 milyar atau sekitar Rp54 trilyun. Dan meski harga tersebut
masih di-negosiasikan untuk turun, tapi tetap saja selisihnya tidak akan
terlalu jauh. Yup, jadi berbeda dengan kalau anda beli saham sebuah
perusahaan secara ritel alias minoritas, maka anda mungkin bisa dapet harga
murah, tergantung harga saham perusahaan tersebut di market (jika perusahaan
tersebut merupakan perusahaan Tbk). Tapi kalau anda membeli sahamnya secara
mayoritas alias mengakuisisinya, maka harga belinya adalah harga premium.
Nah, berdasarkan undang-undang,
kalau ada perusahaan asing yang melepas aset mereka di Indonesia, maka yang berhak
mengakuisisinya adalah (diurutkan sesuai prioritas): 1. Pemerintah Pusat, 2.
Pemerintah Daerah, 3. BUMN, 4. BUMD, 5. Swasta nasional. Namun dalam banyak
kasus divestasi saham oleh perusahaan asing, Pemerintah pusat ataupun daerah
biasanya gak mau ambil pusing dan langsung menyerahkan peluang akuisisi
tersebut kepada swasta nasional. Sebab ketika Pemerintah hendak mengakuisisi
sebuah perusahaan, maka artinya mereka harus keluar dana APBN (atau APBD, kalau
Pemerintah daerah) untuk biaya akuisisinya, dan itu artinya harus nego lagi
sama DPR (atau DPRD), dimana prosesnya bakal berkepanjangan/bisa nggak
kelar-kelar karena terlalu banyak tawar menawar politik. Tapi kalau peluang
akuisisi tersebut langsung dilempar ke swasta, maka soal pembiayaan, termasuk
soal pengelolaan perusahaan yang diakuisisi menjadi urusan perusahaan swasta
tersebut, sehingga para penentu kebijakan di Pemerintah tinggal duduk santai
terima komisi serta royalti. Contoh terakhir, ketika Newmont Corp. melepas
saham mereka di PT Newmont Nusa Tenggara,
maka perusahaan swasta lokal yang beruntung bisa mengakuisisinya adalah Medco
Energi (MEDC).
However, ketika
perusahaan swasta asing menjual aset mereka di Indonesia, tapi yang menampung
adalah swasta lokal (sementara pejabatnya cuma jadi makelar), maka
negara sejatinya nggak dapet apa-apa.
Jadi terkait divestasi Freeport, kali ini Pemerintah ngotot untuk mengakuisisinya
sendiri. Tapi balik lagi, kalau Pemerintah langsung yang ambil maka prosesnya
bakal ribet dan bahkan bisa bermasalah (misalnya ada oknum pejabat yang korupsi
dalam proses akuisisinya).
Terus solusinya bagaimana? Ya kalau gitu FMI bisa diakuisisi oleh BUMN saja, dalam hal ini BUMN tambang
(karena FMI memang merupakan perusahaan tambang). Bonusnya adalah, selain
proses pendanaan akuisisinya jadi lebih simpel (cukup menggelar RUPS saja, jadi
gak usah menggelar sidang istimewa DPR atau semacamnya), keberadaan tim
manajemen di BUMN tambang tersebut tentunya akan membantu pengelolaan FMI,
dibanding jika FMI diambil langsung oleh Pemerintah sehingga gak jelas nanti yang mengelola FMI ini
siapa. FYI, setelah diakuisisi, jajaran direksi serta komisaris di FMI
biasanya akan diganti semua, tapi kalau yang mengakuisisi FMI ini adalah
Pemerintah langsung, maka orang-orang baru yang menempati posisi direktur dan
komisaris ini bisa jadi tidak kompeten/hanya titipan dari para politisi di DPR,
atau politisi itu sendiri. Dan kalau gitu caranya, maka kinerja FMI (yang kemudian/sekarang
berstatus sebagai BUMN) kemungkinan justru bakal amburadul, dimana perusahaan
bukannya menghasilkan keuntungan/dividen bagi negara, melainkan justru ngabisin
duit negara (dalam bentuk subsidi, atau tambahan setoran modal).
Jadi sekali lagi, FMI
bisa diakuisisi oleh BUMN saja. Toh BUMN ini juga tetap dimiliki oleh Pemerintah.
Problemnya sekarang, BUMN tambang mana yang punya duit Rp54 trilyun? BUMN
tambang terbesar, yakni ANTM, asetnya hanya Rp30.7 trilyun, jadi kalau misalnya
ANTM mengajukan pinjaman ke bank juga bakal sulit, karena aset yang tersedia
tidak cukup sebagai collateral. Tapi, hey, bukankah BUMN tambang di
Indonesia bukan cuma ANTM, melainkan ada juga TINS, PTBA, dan Inalum? Jadi
bagaimana kalau keempat perusahaan tambang ini digabung saja? Sekedar info, per
Kuartal III 2017, total aset ANTM adalah Rp30.7 trilyun, TINS Rp11.6 trilyun,
dan PTBA Rp19.5 trilyun. Untuk Inalum, per akhir tahun 2015, total asetnya
adalah US$ US$ 1.13 milyar atau Rp14.7 trilyun. Jadi kalau ini semua digabung,
maka secara kasar total aset yang terkumpul adalah Rp76.5 trilyun, atau sudah lebih besar dibanding harga akuisisi FMI
yang Rp54 trilyun tadi. Inalum kemudian bisa mengajukan pinjaman ke Bank BUMN,
yang juga dimiliki oleh Pemerintah (so in the end, duitnya nggak kemana-mana).
Okay, lalu kenapa
Inalum yang dijadikan perusahaan induk? Kenapa bukan ANTM, misalnya? Ada dua
alasan. Pertama, pengalihan saham Pemerintah dari ANTM, TINS, dan PTBA ke Inalum ini kan
seperti mindahin duit dari kantong kanan ke kantong kiri, dimana saham Pemerintah di tiga perusahaan tambang tersebut akan tetap dimiliki sepenuhnya oleh
Pemerintah, hanya sekarang dipegangnya melalui Inalum (jadi tiga BUMN tersebut sama
sekali nggak dijual seperti yang disebut dalam rumor-rumor sesat yang
beredar). Lalu kenapa Inalum
yang dipilih sebagai induk? Karena berbeda dengan ANTM, TINS, dan PTBA dimana
sebagian sahamnya dimiliki oleh investor publik, saham Inalum 100% dimiliki oleh Pemerintah. Jadi kalau yang
dijadikan induk adalah PTBA, misalnya, dimana PTBA ini kemudian 'mengakuisisi’
ANTM, TINS, dan Inalum, maka itu artinya Pemerintah secara sukarela menyerahkan
sebagian saham mereka di tiga BUMN tambang tersebut kepada investor publik yang juga menjadi pemegang saham di PTBA. Dan kalo gitu caranya maka bukan lagi ‘mindahin
duit dari kantong kanan ke kantong kiri’, karena ada sebagian saham milik
pemerintah di tiga perusahaan yang diakuisisi, yang tidak lagi dikuasai oleh
pemerintah.
Kedua, secara kinerja
fundamental, Inalum relatif yang terbaik diantara keempat BUMN tambang yang digabung.
Yup, meski terus saja merugi di masa lalu, namun sejak tahun 2011 sampai 2015
(dan kemungkinan sampai sekarang) Inalum secara konsisten membukukan laba
bersih dan juga rutin membayar dividen. Actually, kinerja PTBA lebih bagus
dibanding Inalum (ROE-nya lebih besar), tapi itu karena PTBA merupakan
perusahaan batubara yang kerjanya ‘tinggal gali lalu jual’, jadi beda dengan
Inalum yang kerjanya lebih rumit karena merupakan perusahaan hilir (gali bauksit, lalu
diolah menjadi alumina, lalu diolah lebih lanjut menjadi alumunium ingot, baru
dijual). Jadi harapannya adalah, dengan manajemen Inalum sebagai pengurus baru
di Freeport, maka kinerja FMI akan tetap bagus seperti biasanya, dan akan
benar-benar bisa berkontribusi bagi negara (dalam bentuk pajak, royalti, dan
dividen). Berikut adalah ringkasan kinerja Inalum di tahun 2011 – 2015, angka
dalam jutaan Dollar kecuali disebutkan lain. Sebelumnya mungkin perlu dicatat bahwa harga jual alumunium di pasar internasional cenderung turun dari tahun 2011 hingga 2015, dan baru naik lagi pada tahun 2016.
Year
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
Revenue
|
579.7
|
511.8
|
521.1
|
632.5
|
490.6
|
Net Income
|
57.9
|
17.5
|
64.0
|
156.7
|
79.0
|
Equity
|
1,020.1
|
962.5
|
988.2
|
982.7
|
1,059.0
|
ROE (%)
|
5.7
|
1.8
|
6.5
|
15.9
|
7.5
|
Okay, lalu bagaimana
dampak akuisisi Freeport serta pembentukan holding BUMN tambang ini terhadap kinerja
ANTM, TINS, dan PTBA? Well, karena yang nantinya akan mengakuisisi FMI adalah Inalum,
maka yang dapet cuannya ya Inalum ini, dan sayangnya Inalum bukan perusahaan
Tbk. Namun demikian, karena FMI nantinya akan menjadi ‘sister company’ bagi
ANTM, TINS, dan juga PTBA, maka diharapkan bahwa FMI bisa bersinergi/transfer
teknologi dengan ketiga perusahaan untuk sama-sama menghasilkan kinerja yang lebih
baik di masa yang akan datang. Kemudian FMI itu sendiri mungkin akan menggelar
IPO sehingga investor publik bisa ikut memiliki sahamnya (kalau Inalum-nya
sendiri kayanya gak bakal IPO karena posisinya sekarang menjadi strategis, sama
seperti Pertamina dan PLN), dan terus terang penulis sudah tunggu-tunggu itu dari dulu. Okay, dengan
berpindahnya FMI dari Freeport Corp ke Pemerintah melalui Inalum,
maka itu bukan jaminan bahwa kinerja perusahaan bakal tetap profit, karena
nyatanya kinerja ANTM dan TINS juga masih acakadut, dan anggota direksi Inalum
juga gak dijamin bebas dari titipan politisi. Tapi yah, itu masih lebih bagus dibanding
jika Freeport ini jatuh ke tangan Bakrie bukan?
Untuk artikel minggu
depan, any ideas?
Buletin Analisis IHSG & Stockpick saham edisi Desember 2017 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Btw, gaya tulisannya tetep kece bung Teguh, bisa2nya dari bumn nyambung bakrie, abis baca serius trs senyum-senyum ga jelas
Saran saya untuk minggu depan bisa angkat sektor konstruksi yang belum juga naik hehe
Jangan cuman ingat bakrie yang amburadul, ingat juga gimana amburadulnya ANTM, TINS, PGAS ditangan pemerintah. Ditunggu juga amburadulnya freeport nanti.
Belajar dari Lippo, bagaimana membentuk Cyclical Ownership sehingga setiap kelompok usaha bisa menikmati cash yang sama.
Belajar dari Sinarmas dengan APP atau Panin dengan Strategi Partnershipnya, meraih cash untuk kepentingan dalam negerinya.
Belajar dari Salim / Djarum bagaimana dengan krismon masih bertahan menjadi nomor satu.
dan dari kelompok usaha lainnya...Proficiat...