Cara ‘Membeli’ IHSG
Pada salah satu sesi
kelas private kemarin, ada pertanyaan menarik dari peserta: ‘Pak Teguh, saya
ini kan gak mengejar profit besar ataupun profit cepat dari saham. Asal bisa
dapet profit decent diatas bunga deposito, katakanlah 10 – 15% per
tahun, dan juga konsisten dalam jangka panjang, saya sudah sangat puas. Nah,
saya perhatikan kenaikan IHSG dalam jangka panjang, kalau dirata-ratakan adalah
sekitar segitu per tahun. Jadi bisa gak kita gak usah beli saham, tapi beli IHSG-nya saja?’
Kemudian berikut ini
adalah jawaban penulis.
Berbeda dengan beberapa
negara lain, di Indonesia kita tidak bisa membeli IHSG (kalau di Hong Kong,
misalnya, selain membeli saham-saham yang menjadi komponen indeks Hang Seng,
kita juga bisa membeli indeks Hang Seng itu sendiri seperti layaknya membeli
saham biasa). However, jika tujuannya adalah agar portofolio kita
bertumbuh/naik secara selaras dengan kenaikan IHSG (jadi nggak harus lebih
tinggi dari kenaikan IHSG), maka ada beberapa cara. Pertama, dengan membeli
reksadana saham. Reksadana saham, terutama yang dana kelolaannya
besar-besar/trilyunan Rupiah (misalnya Schroder, Panin, Mandiri, dst) biasanya
memiliki kinerja jangka panjang yang kurang lebih sama dengan kinerja indeks,
karena manajer investasinya biasanya hanya membeli saham-saham big caps penggerak indeks, seperti ASII, TLKM, BBCA
dkk. Yup, jadi kalaupun mereka ada beli juga saham-saham kecil/saham-saham
diluar indeks LQ45, maka biasanya alokasi dananya gak banyak, gak sampai 1%
dari total nilai portofolio. Misalnya reksadana A nilai, dana kelolaannya Rp1
trilyun, dan manajer investasinya beli saham X yang bukan merupakan saham
bluechip. Maka belinya paling cuma Rp5 – 7 milyar saja, apalagi jika saham X
itu kurang likuid.
Problemnya, pernyataan
bahwa ‘kinerja jangka panjang reksadana, terutama yang besar-besar, adalah
kurang lebih sama dengan kinerja indeks’, itu sebenarnya tidak terlalu tepat
juga. Karena penulis sudah dari dulu mengamati kinerja reksadana, dan
kesimpulannya adalah: Sangat jarang ada
reksadana yang mampu mencetak profit setara atau diatas kinerja IHSG. Dan
kalaupun ada reksadana tertentu yang sukses beat the market pada tahun
tertentu, maka biasanya pada tahun berikutnya, atau tahun berikutnya
lagi, dia justru rugi/nilai NAV-nya turun. Atau dengan kata lain, kinerja
reksadana tersebut tidak konsisten dalam jangka panjang.
Sebagai ilustrasi,
berikut adalah data kinerja 10 reksadana terbesar di Indonesia dari sisi nilai
dana kelolaan (asset under management, atau AUM), secara year to
date, dalam hal ini sampai penutupan pasar tanggal 11 Desember 2017. Sumber:
www.bareksa.com. Perhatikan bahwa dari
10 reksadana tersebut, hanya 1 reksadana yang sukses menghasilkan kinerja
diatas kenaikan IHSG.
No
|
Nama Reksadana
|
AUM (milyar Rp)
|
YTD (%)
|
1
|
Schroder Dana
Prestasi Plus
|
16,038
|
10.9
|
2
|
Mandiri Saham Atraktif
|
5,799
|
16.3
|
3
|
Ashmore Dana
Ekuitas Nusantara
|
4,066
|
12.2
|
4
|
Schroder Dana
Prestasi
|
3,742
|
9.7
|
5
|
Panin Dana Maksima
|
2,973
|
2.1
|
6
|
Schroder 90 Plus
Equity Fund
|
2,703
|
10.0
|
7
|
BNP Paribas
Infrastruktur Plus
|
2,676
|
13.2
|
8
|
BNP Paribas Ekuitas
|
2,263
|
11.4
|
9
|
Schroder Dana
Istimewa
|
2,008
|
3.1
|
10
|
KAM Kapital Optimal
|
2,000
|
8.5
|
IHSG
|
13.8
|
Jadi selain
berinvestasi melalui reksadana, maka terdapat pilihan kedua yakni, anda bisa
membuat ‘reksadana’ milik anda sendiri. Caranya? Dengan itu tadi: Anda hanya
membeli saham-saham yang menjadi komponen
utama penggerak indeks, dan itu adalah saham-saham likuid yang menjadi
komponen dari Indeks LQ45. Namun,
seperti yang sudah penulis sampaikan dulu di artikel ini, saham-saham yang
menjadi komponen Indeks LQ45 itu tidak
selalu merupakan saham-saham berfundamental terbaik, karena fokus utamanya
adalah di likuiditas sahamnya saja. Yup, jadi saham-saham gak jelas seperti Trada Maritime
(TRAM) juga pernah masuk Indeks LQ45, hanya karena nilai transaksi
perdagangannya sangat besar. Padahal secara fundamental, dia tentu saja tidak
bisa disetarakan dengan saham-saham LQ45 lainnya seperti ASII, TLKM dkk.
Karena itulah, kalau
mau benar-benar aman maka pilihan sahamnya harus dipersempit lagi menjadi hanya
saham-saham dengan likuiditas serta market cap terbesar di
BEI. Dan untuk itu anda bisa membuka statistik BEI (ini link-nya), kemudian scroll kebawah
hingga ketemu tabel ‘Top Market Cap’, sebagai berikut (datanya per tanggal
14 Des 2017, klik gambar untuk memperbesar):
Nah,
berbeda dengan Indeks LQ45, tabel ‘elit’ yang berisi 10 saham dengan market cap
terbesar di BEI diatas hanya akan berisi saham-saham yang tidak hanya likuid,
tapi juga mewakili perusahaan-perusahaan paling aman, besar, serta populer di Indonesia, dan kita
bisa juga asumsikan, meski tidak selalu, bahwa mereka memiliki fundamental bagus. Sebagai
contoh, United
Tractors (UNTR) baru sekarang-sekarang ini saja masuk tabel
top market cap diatas, setelah sahamnya naik terus sejalan dengan perbaikan
kinerjanya dalam 1 – 2 tahun terakhir, seiring dengan kenaikan harga batubara
yang menjadi bisnis utama perusahaan.
Jadi
dengan strategi berikut yakni: Anda membagi porto anda menjadi sepuluh bagian,
kemudian tiap-tiap bagian tersebut dipakai untuk membeli 10 saham diatas, maka
anda baru saja ‘membeli IHSG’, dimana naik
turunnya kinerja porto anda akan selaras dengan naik turunnya IHSG. Strategi ‘membeli IHSG’
ini sangat cocok bagi anda yang gak mau ambil pusing dengan analisa
saham yang kadang bisa sangat rumit, termasuk bagi anda yang tidak tahan mental
dengan fluktuasi harian saham (karena berbeda dengan saham-saham kecil yang
bisa terbang atau jeblok 10 – 20% dalam sehari, saham-saham top cap diatas
jarang naik turun diatas 2 – 3% dalam sehari). Malahan jika anda membeli saham-saham
seperti BBCA, HMSP, TLKM, dan BBRI saja sejak awal 2017 ini, maka kinerja
investasi anda mungkin bahkan bisa diatas IHSG, karena faktanya saham-saham
tersebut
sepanjang 2017 ini naiknya lebih tinggi dibanding kenaikan IHSG, yang
baru naik sekitar
14.3% YTD. Dan kalaupun kita ketemu kondisi pasar yang turun atau bahkan market
crash, misalnya seperti tahun 2008 (ketika itu IHSG drop 50.1%), atau
tahun 2015 lalu (drop 12.1%), maka meski saham-saham blue chip yang anda pegang
bakal bertumbangan, tapi ketika pasar kemudian pulih kembali maka saham-saham
anda tersebut juga akan naik lagi, sekali lagi, seiring dengan kenaikan IHSG.
Dan IHSG, meski bisa
naik dan turun (termasuk mengalami crash) dalam jangka pendek, namun pada
akhirnya akan terus naik dalam jangka panjang. Jadi dengan strategi membeli
IHSG ini maka setelah 5 – 10 tahun, keuntungan yang anda peroleh akan sangat
memuaskan. Pada penghujung 2008, IHSG berada di level 1,300-an. Dan sekarang, atau
belum genap 10 tahun kemudian, IHSG sudah berada di level 6,000-an, atau sudah
naik 4 – 5 kali lipat, sudah termasuk menghitung penurunan di tahun 2013 dan 2015. Thus, dengan strategi ‘membeli IHSG’ ini maka nilai
portofolio anda akan meningkat kurang lebih 4 – 5 kali lipat pula, dan itu
belum termasuk ‘bonus’ dividen.
Dua Kelemahan
However,
berdasarkan pengalaman, terdapat setidaknya dua kelemahan dari strategi ‘membeli IHSG’ ini. Pertama, pergerakan dari 10
saham-saham dengan market cap terbesar di BEI sebenarnya tidak selalu selaras dengan IHSG. Seperti yang disampaikan diatas, jika anda
membeli saham-saham
seperti BBCA, HMSP, TLKM, dan BBRI pada awal 2017 ini, maka kinerja investasi anda bisa
diatas IHSG, karena saham-saham tersebut sepanjang 2017 ini naiknya lebih
tinggi dibanding kenaikan IHSG. However, kalau anda membeli saham-saham yang
persis sama di tahun 2016 lalu, maka kinerja
portofolio anda akan cukup jauh dibawah IHSG. Contohnya, sepanjang tahun 2016,
saham BBRI hanya naik tipis dari 11,425 ke 11,650 (sebelum stocksplit), atau
hanya naik 2.0%, sementara IHSG melonjak signifikan yakni 15.3%.
Dan penulis sudah cek
naik turunnya saham-saham big caps pada tahun-tahun tertentu dalam beberapa
tahun terakhir, dan kesimpulannya adalah saham ASII dkk kadang naiknya lebih
tinggi dibanding IHSG pada tahun-tahun tertentu, tapi pada tahun-tahun yang
lain giliran IHSG-lah yang naiknya lebih tinggi. Kondisi ini sekilas tidak akan
jadi masalah, toh pada akhirnya ASII dkk akan terus naik dalam jangka panjang
bukan? Jadi jika pada tahun tertentu ASII ini tampak gak naik-naik, ya sudah
hold saja, toh nanti juga naik lagi? Well, tapi pada prakteknya nggak segampang itu. Contoh, sepanjang
2017 ini, kwartet banking terbesar yakni BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI totalnya
sudah menghasilkan gain sekitar 40% bagi para pemegang sahamnya, atau jauh
diatas kenaikan IHSG (dan itu bahkan belum termasuk dividen). Tapi pada tahun
2016 lalu, ada banyak investor yang justru cut loss di saham-saham perbankan
ketika BBCA dkk berjatuhan di tengah tahun, dan alhasil ketika saham-saham bank
ini kemudian naik maka para investor ini justru sudah tidak pegang barang. Yup, karena pada tahun 2016 lalu akan
sangat sulit bagi siapapun untuk tetap meng-hold saham-saham big caps banking,
karena tidak hanya anda akan tertekan secara psikologis karena kinerja
portofolio anda akan jauh dibawah rata-rata pasar, sentimen terkait perbankan
ketika itu masih jelek semua (banyak cerita kredit macet, pembatasan
NIM, dll), dan ketika itu juga ada banyak saham-saham lain yang naik lebih
tinggi, misalnya saham-saham
batubara.
Jadi maksud penulis
adalah, yap, kalau anda mampu untuk tetap ‘bersama-sama’ dengan saham-saham big
caps ini baik dalam masa-masa ‘susah’ maupun ‘senang’, maka setelah 5 – 10 tahun,
kinerja investasi anda akan sangat baik. However, pada prakteknya itu sangat
sulit bahkan untuk seorang value investor berpengalaman sekalipun, terutama
kalau kita baru saja melewati tahun dimana kinerja porto ternyata dibawah IHSG
(karena itu jadi tidak sesuai dengan ultimate goal dari seorang investor
itu sendiri, yakni untuk beat the market setiap tahunnya).
Kedua, dengan
menggunakan metode value investing, maka seorang investor memiliki peluang untuk
membeli saham yang menghasilkan gain signifikan hingga 100% atau lebih, dalam
waktu yang relatif singkat, yakni kurang dari 1 tahun saja. Misalnya (beberapa ‘saham
jackpot’ yang penulis temukan sebelum mereka terbang) KMI
Wire & Cable (KBLI), Harum Energy
(HRUM), Indika
Energy (INDY), Medco
Energi (MEDC), dst.
Namun kalau anda
perhatikan, sebagian besar saham-saham jackpot ini, atau malah seluruhnya,
merupakan saham-saham mid atau small cap, atau istilahnya second
liner. Sementara pada contoh ‘value opportunity’ pada saham bluechip,
misalnya Jasa
Marga (JSMR) ketika sahamnya turun ke 4,000 karena right issue, total
gain-nya hanya 50 – 60% saja (meski itu juga tetap sangat memuaskan).
Jadi kalau kita
membatasi diri dengan hanya membeli saham-saham big caps, maka ya sudah, anda
tidak akan pernah menyaksikan saham anda naik hingga triple digit kecuali
mungkin setelah jangka waktu yang relatif panjang, let say 3 – 4 tahun, dan
anda akan kesulitan untuk beat the market. Kalau kita ambil contoh
saham-saham pilihan investor kawakan seperti Pak Lo Kheng Hong, atau Warren
Buffett ketika dana kelolaannya masih ‘kecil’ di tahun 1960-an lalu, maka
mereka berdua juga lebih suka saham-saham menengah atau kecil, dibanding saham
big caps/blue chip. Opa Warren baru membeli saham-saham besar seperti IBM, Well’s
Fargo, hingga Apple pada tahun 2010 keatas, yakni ketika dana kelolaannya sudah
kelewat besar hingga ‘tidak lagi muat’ untuk ditempatkan di saham/perusahaan
yang kecil-kecil.
Anyway, strategi ‘membeli
IHSG’ ini tetap sangat disarankan terutama bagi anda yang, sekali lagi, tidak
mau ambil pusing, atau memang masih awam soal menganalisa fundamental
perusahaan. Yup, karena tidak semudah itu juga untuk menemukan ‘saham-saham
yang bisa naik 100% atau lebih dalam waktu 1 tahun atau kurang’. Atau, anda
boleh juga bereksperimen dengan membagi dua portofolio anda/membuka dua rekening,
dimana satu rekening dipakai untuk membeli saham-saham berdasarkan kaidah value
investing, sementara satu rekening lagi dipakai untuk membeli saham-saham yang
masuk tabel ‘Top Cap’ tadi. Dan setelah beberapa tahun, anda bisa membandingkan
hasil profit yang dihasilkan dari dua rekening tersebut.
Untuk
artikel minggu depan kita akan membahas Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA).
Penulis mengadakan Kelas Private Value Investing ('private class') dengan jumlah peserta per sesi maksimal 5 orang saja. Keterangan selengkapnya baca disini.
Penulis mengadakan Kelas Private Value Investing ('private class') dengan jumlah peserta per sesi maksimal 5 orang saja. Keterangan selengkapnya baca disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Setelah saya cari - cari, di Indonesia belum ada produk seperti Vanguard. Yang mendekati mungkin adalah ETF yang berisi saham - saham LQ45 atau IDX 30. Kinerja ETF tersebut dibandingkan dengan IHSG pun tidak melenceng terlalu jauh. Mungkin dapat menjadi salah satu pilihan apabila ingin 'membeli' IHSG. CMIIW
Salam,
Jovan
2016:
1. Treasure Fund Super Maxxi. +50,85 %
2. Sucorinvest Equity Fund. +47,99%
3. Sucorinvest Sharia Equity Fund. +41,18%
2017 :
1. DMI Dana Saham Syariah. +38,83%
2. HPAM Investa Ekuitas Strategi + 35,94%
3. Narada Saham Indonesia + 35,53%
Sumber : Infovesta Utama
Jadi contoh diatas adalah reksadana yg dana kelolaan ya tidak besar namun return ya melewati IHSG.