Menurut Investopedia, repurchase
agreement, atau biasa disingkat repo,
adalah perjanjian antara dua belah pihak dimana pihak pertama meminjam
sejumlah dana dari pihak kedua dengan jaminan aset keuangan tertentu, misalnya
saham, obligasi, hingga surat utang negara, dengan janji bahwa pihak pertama akan membeli kembali saham tersebut (sehingga pihak kedua akan memperoleh uangnya kembali). Biasanya nilai pinjamannya lebih
rendah dari nilai aset yang dijaminkan, misalnya A meminjam dana Rp100 juta dari
B dengan jaminan 100,000 lembar saham X pada harga Rp1,000 per saham (jadi
nilai pinjamannya Rp100 juta), sementara harga saham X di pasar mencapai Rp1,500.
Sehingga teorinya adalah, kalau ternyata si A tidak dapat melunasi utangnya,
maka si B sebagai pemilik dana tinggal menjual saham X yang ia pegang sebagai jaminan,
dan ia tetap akan meraup untung 50% (karena ia bisa menjual saham X di
pasar pada harga 1,500, sementara modalnya cuma 1,000).
***
Live
Webinar Value Investing, Sabtu
10 Juni 2023, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
Penting: Artikel ini sejatinya diposting pada tanggal 12 November 2017, namun diposting ulang pada tanggal 29 Mei 2023, karena belakangan ini ada banyak investor yang mengaku ditawari repo saham-saham tertentu. Perhatikan bahwa saham-saham terindikasi repo yang dibahas di artikel ini, seperti RIMO, TAXI, TRAM, SIAP, MYRX, dan SUGI, semuanya pada hari ini sudah tidak diperdagangkan lagi di bursa entah itu karena mati di gocap, bangkrut, disuspen, atau delisting. Sehingga siapapun yang memegang saham-saham tersebut menderita rugi besar hingga uangnya habis sama sekali.
***
Pada prakteknya,
mekanisme dari transaksi repo ini terbilang macam-macam/berbeda satu sama lain,
tergantung dari poin-poin perjanjian antara si peminjam dan pemilik dana.
Contoh, ada transaksi repo dimana si peminjam sejak awal tidak akan membeli
kembali saham yang dijaminkan, atau dengan kata lain ia benar-benar menjual
sahamnya ke si pemilik dana, dan alhasil si pemilik dana hanya bisa memperoleh
kembali uangnya dengan cara menjual saham tersebut di pasar. Ada juga repo dimana
saham yang menjadi jaminan baru boleh dijual kembali di pasar oleh si pemilik
dana setelah jangka waktu tertentu (istilahnya sahamnya di-lock). Dan
ada repo dimana si peminjam menjaminkan saham pada harga yang sama dengan harga
pasar, sehingga si pemilik dana tidak akan memperoleh keuntungan kalau menjual saham
jaminan tersebut di pasar, namun dengan janji bahwa saham tersebut akan dibeli
lagi pada harga yang sama, plus bunga.
Kalau di negara maju
seperti Amerika, transaksi repo ini dianggap aman karena aset yang dijaminkan
biasanya berupa surat utang negara atau treasury bonds, yang risikonya
tentu jauh lebih rendah dibanding saham. However, kalau di negara berkembang
seperti Indonesia, maka ‘repo’ ini memiliki konotasi yang buruk. Karena sering terjadi kasus repo dimana meski si
peminjam berjanji akan membeli kembali saham yang dijaminkan pada harga yang sudah
ditentukan, namun janji tersebut ternyata tidak dipenuhi. Atau ketika si
pemilik dana akan menjual saham jaminan yang ia pegang di pasar, ternyata
harganya sudah turun duluan, misalnya saham X diatas dimana harganya tadinya
1,500, tapi ternyata sekarang harganya tinggal 500, sehingga posisi si pemilik
dana menjadi rugi (karena modalnya di harga 1,000).
Dan untuk kasus yang
kedua, yakni saham yang dijaminkan sudah turun duluan, biasanya melibatkan
‘saham-saham gorengan’ yang pada waktu-waktu
tertentu bergerak liar dan terbang tinggi, tapi ketika sekalinya turun maka
bakal gila-gilaan turunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa saham
gorengan yang turun secara tidak wajar hingga menyebabkan kerugian
besar-besaran dari para pemegang sahamnya, dan ditengarai bahwa penyebab
kejatuhan saham-saham tersebut salah satunya adalah karena transaksi repo.
Sebut saja saham
Trada Maritime (TRAM),
Sekawan
Intipratama (SIAP), Express Transindo Utama (TAXI), Hanson International
(MYRX), hingga Sugih Energy (SUGI).
Tapi kenapa penurunan
saham-saham diatas dianggap ada kaitannya dengan repo? Well, karena biasanya
modusnya seperti ini. Pertama, ada individu atau perusahaan tertentu, sebut
saja A, yang memegang saham X dalam jumlah besar (individu/perusahaan ini biasanya
merupakan pemegang saham mayoritas/pemilik dari emiten X tersebut, tapi bisa
juga pihak lain). A kemudian memperjual belikan saham X miliknya sendiri di
market (jadi yang membeli dan menjual adalah pihak yang sama, tapi
tentunya pake dua atau beberapa rekening sekuritas yang berbeda), dimana setiap
transaksi dilakukan pada harga yang lebih tinggi dari transaksi sebelumnya.
Alhasil, saham X naik terus. Misalnya tadinya saham X harganya cuma 100,
setelah ‘digoreng’ seperti itu maka bisa naik sampai 500. Dan A inilah yang
sering disebut dengan istilah bandar, sedangkan saham X disebut saham gorengan.
Kemudian, A mendatangi
banyak investor, entah itu investor individu atau institusi, untuk meminjam
uang dengan jaminan saham X tersebut. Biasanya dikatakan bahwa uang pinjaman
tersebut akan digunakan untuk mengembangkan/ekspansi usaha dari emiten X itu
sendiri. Misalnya salah satu investor tersebut adalah B, yang setuju
meminjamkan dana Rp30 juta, dengan jaminan 100,000 lembar (1,000 lot) saham X
pada harga Rp300 per saham. Karena saham X di pasar adalah Rp500, maka sekilas
B tidak perlu khawatir, karena kalau A tidak bisa melunasi utangnya/membeli kembali
saham yang dijaminkan, maka ia tinggal menjual saham X di pasar, dan ia akan
tetap memperoleh keuntungan.
Problemnya, sejak awal kenaikan
harga saham X dari 100 ke 500 itu
bukan
karena mekanisme pasar yang wajar (misalnya karena X ini memiliki fundamental
yang bagus sehingga investor ramai-ramai membelinya, dan alhasil harganya
naik), melainkan karena rekayasa bandar tadi. Ini artinya kalau bukan si bandar
itu sendiri yang membeli/menaikkan saham X di pasar, maka gak akan ada orang
lain lagi yang mau membeli saham X (kecuali mungkin spekulan, atau trader yang
gak ngerti apa-apa/cuma tertarik karena kenaikan sahamnya saja). Alhasil ketika
saham X turun signifikan dalam sehari, misalnya 5%, maka investor yang memegang
repo-nya bisa langsung panik dan cepat-cepat menjual saham jaminan yang mereka
pegang, atau bisa juga mereka kena
forced sell. Dan ketika
semua investor pemegang repo ini menjual
saham X dalam waktu bersamaan ketika disisi lain tidak ada orang lain yang
nampung, maka inilah hasilnya: Pada Oktober 2014 lalu
, saham TRAM terjun
bebas dari 1,850 hingga 330 hanya dalam sebulan, dan setelah itu dia
kembali lanjut turun sampai akhirnya mati di gocap. Dan meski belakangan ini
TRAM mulai ‘hidup' lagi, tapi untuk saham repo lainnya seperti
SIAP,
nasibnya ternyata lebih buruk yakni hilang sama sekali dari peredaran (SIAP masih
ada/belum
delisting dari BEI, tapi sahamnya sudah tidak diperdagangkan
lagi).
Penurunan Saham RIMO
Nah, jadi ketika saham
Rimo International Lestari (RIMO) tiba-tiba saja drop dari 700 hingga dibawah
200 hanya dalam seminggu terakhir, maka wajar jika kemudian muncul rumor repo,
karena kronologisnya memang sangat mirip dengan kasus-kasus sebelumnya: RIMO
ini pertama-tama menerbitkan saham baru dalam jumlah besar (40.6 milyar lembar)
melalui
right issue, pada Maret 2017 lalu, pada harga Rp101 per saham. Alhasil
jumlah saham beredar RIMO menjadi sangat banyak, dan sahamnya di market jadi
likuid. Memasuki bulan April dan Mei, RIMO mulai merangkak naik ke 150, dan
pada titik ini kenaikannya masih tampak wajar karena nilai ekuitas perusahaan
juga meningkat signifikan setelah right issue-nya.
Namun memasuki bulan
Juni, tiba-tiba saja RIMO bergerak naik dengan volume transaksi yang amat
sangat besar (pernah sampai setengah milyar lembar per hari), dan terus saja naik,
hingga menyentuh 770 di bulan Oktober kemarin, atau terbang lebih dari empat kali lipat dalam waktu kurang
dari enam bulan! Lalu apakah kenaikan tersebut karena fundamental RIMO memang
bagus? Actually, nggak juga, karena penulis sudah bolak balik baca laporan
keuangan RIMO sejak awal 2017 lalu, dan kesimpulannya adalah dia sama sekali
gak istimewa. Intinya sulit untuk mengatakan bahwa kenaikan RIMO tersebut
adalah karena faktor fundamental, dan penulis biasanya bisa dengan santai
mengatakan bahwa saham-saham model RIMO ini cepat atau lambat bakal turun lagi.
Dan ternyata memang benar: Kasus kejatuhan TRAM dan SIAP beberapa waktu lalu, kali
ini kembali terulang di RIMO ini, dan tentunya dengan menyeret banyak korban,
baik itu yang memegang RIMO karena membeli sahamnya di pasar, atau dari hasil
repo-nya.
Balik lagi ke soal
repo. Namun meski kita bisa katakan bahwa penurunan RIMO, atau saham lainnya, ditengarai
karena repo, tapi kita tidak bisa mengetahui secara persis, apakah penurunan
RIMO tersebut beneran karena adanya repo atau tidak. Karena kalaupun RIMO ini
di-repo-kan, maka biasanya investor yang memegang saham repo-nya nggak mau
ngaku (bahwa dia pegang repo RIMO), karena 1. Ia sejak awal sadar bahwa
keputusannya untuk ikut repo tersebut merupakan spekulasi, atau 2. Ia diberi tahu oleh si peminjam/orang yang
menawarkan repo tersebut, untuk jangan cerita-cerita lagi soal repo ini ke
orang lain. Soalnya kan gak enak, orang lain harus beli RIMO di harga 700
(harga pasar), tapi bapak/ibu bisa dapet saham RIMO ini sebagai jaminan di
harga 300 saja. Jadi mirip-mirip lah seperti kalau anda dapat telepon yang
mengatakan bahwa anda menang undian, tapi sebelum menyuruh anda ke mesin ATM,
si penelpon biasanya akan kasih tau agar anda ‘jangan bilang ke siapa-siapa’
bahwa anda menang undian tersebut.
And btw, selama wara
wiri di market sejak 2009, penulis sendiri sudah beberapa kali ditawari repo
seperti ini, atau bahkan ditawari untuk menjual kembali repo tersebut ke pihak lain, dengan iming-iming komisi. Tapi penulis tolak semuanya karena, entah
kebetulan atau bukan, saham-saham yang direpokan biasanya emitennya memiliki kinerja
fundamental yang gak jelas, dan manajemennya cuma jualan prospek. Contoh, dulu
saham SIAP banyak direpokan dengan iming-iming bahwa tambang batubara milik perusahaan
kalau nanti sudah beroperasi maka akan menghasilkan laba bersih yang sangat
besar, padahal tambang yang dimaksud sama sekali belum diapa-apakan/masih berupa
hutan lebat yang tentunya butuh banyak biaya untuk dibabat, digali, dan
seterusnya, tapi SIAP ini sama sekali gak punya duit untuk pengembangan
tersebut (makanya owner perusahaan me-repo-kan saham SIAP untuk memperoleh dana
untuk menggali batubaranya). Sayangnya karena timing-nya salah, dimana meski si
bandar kemudian punya duit banyak hasil jualan repo untuk kegiatan tambangnya, tapi tetap saja tambang batubaranya belum bisa digali dulu, karena ketika itu (tahun 2015) harga
batubara justru sedang rendah-rendahnya (jadi kalau perusahaan memaksakan menggali batubara, mereka justru akan rugi). Dan sebelum SIAP benar-benar memproduksi batubara, sahamnya sudah
keburu nyungsep duluan, dan SIAP itu sendiri kemudian bubar sama sekali.
Jadi maksud penulis
adalah, kalau misalnya saya ditawari repo saham ASII, BBRI, atau UNVR pada harga
yang jauh dibawah harga pasarnya, maka dengan senang hati penulis akan mengambilnya,
kalo perlu jual rumah lah! Tapi kalau anda ditawari repo dari saham-saham yang bahkan mungkin belum
pernah anda dengar sebelumnya, maka sekarang anda sudah tahu, apa yang
harus anda lakukan. Dalam hal ini penulis juga hendak menyampaikan sedikit
kritik kepada BEI dan OJK, yang sekarang lagi banyak berbenah untuk menata
pasar modal Indonesia, tapi so far belum ada tindakan atau peraturan
baru yang secara khusus mengatur soal repo ini. Penulis khawatir jika ini
dibiarkan, maka tidak hanya akan terus jatuh korban dari investor ritel, tapi
reputasi pasar saham Indonesia di mata fund manager global juga bakal jadi
jelek, karena disini isinya cuma gorengan melulu.
Anyway, sambil menunggu
para bos besar ini melakukan tindakan, yang terpenting disini adalah kita
sendiri sebagai investor jangan mudah tergiur kalau misalnya ada orang yang
menawari anda repo dengan iming-iming tertentu (kadang si peminjam menolak
untuk menyebut ini ‘repo’ melainkan menyebutnya dengan istilah yang lebih keren
seperti private placement atau lainnya, padahal private placement jelas berbeda dengan repo), atau tergiur dengan ‘saham-saham terbang’
padahal kenaikannya tidak didukung faktor fundamental. Intinya kita invest
saham dengan cara yang lurus-lurus sajalah! Dan bukannya malah macem-macem dengan
ikut repo atau sejenisnya, OK?
Buku Kumpulan Analisis Saham-saham pilihan (Ebook Kuartalan) edisi Kuartal
I 2023 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini.
Komentar
Thanks
Base fundamental is better. Jangan spekulasi.
penjelasan repo nya mudah dimengerti dan aplikatif
salam sukses dan sehat selalu
mau tanya pak, apakah transaksi REPO ini ada Undang-undang nya? atau landasan hukumnya?
Terima kasih. semoga sukses dan sehat selalu Pak Teguh Hidayat