Sido Muncul

Beberapa waktu lalu penulis mendengar cerita unik. Jadi pada tanggal 15 Oktober kemarin di Kota Bantul, Jogja, dilangsungkan pernikahan dengan mas kawin bukan emas, seperangkat alat shalat atau semacamnya, melainkan mas kawin saham, dalam hal ini saham Sido Muncul (SIDO) sebanyak 500 lot senilai Rp27.7 juta, atau Rp555 per saham. Ini menarik, mengingat mempelai pria memang seorang investor yang sudah mulai mengenal saham sejak tahun 2013, dan tentunya ia tidak main-main ketika memberikan mas kawin berupa saham tersebut. Pertanyaannya, kenapa saham SIDO yang dijadikan mas kawin, dan bukannya saham lain?

SIDO, seperti yang pastinya anda ketahui (karena SIDO ini merupakan salah satu perusahaan paling populer di tanah air), adalah perusahaan produsen obat-obatan herbal atau yang biasa disebut jamu, dengan merk andalannya Jamu Tolak Angin plus berbagai variannya (Tolak Angin Anak, Tolak Angin Flu, Tolak Angin Herbal, dst). Selain jamu, SIDO juga adalah produsen dari makanan dan minuman suplemen dengan merk-merk yang juga terkenal, seperti Kuku Bima Ener-G, Este-Emje, Kopi Jahe Sidomuncul, Kunyit Asam, dan Alangsari. Dan sejak tahun 2014 lalu, SIDO juga memasuki industri farmasi dengan mengakuisisi PT Berlico Mulia Farma, yang merupakan produsen obat-obatan ringan dengan merk Anacetine (obat panas anak), Berlosid (obat maag), dan Suprabion (suplemen vitamin). Hingga ketika artikel ini ditulis, SIDO masih terus meluncurkan banyak varian produk baru dengan tetap fokus di obat-obatan/suplemen herbal, termasuk berinovasi dengan meluncurkan Cafe Jamu Sido Muncul, yakni program franchise dimana masyarakat bisa membuka usaha cafe/warung yang menjual produk-produk jamu Sido Muncul, dengan modal mulai dari Rp1 juta saja. Program ini bisa dibilang sebagai franchise usaha jamu pertama di Indonesia (dan mungkin juga di dunia). Sebelum meluncurkan Cafe Jamu, SIDO melalui anak usahanya, PT Muncul Mekar, sudah memiliki jaringan distribusi milik sendiri yang tersebar dari Sumatera Utara hingga Papua. SIDO juga mengekspor produk-produknya ke setidaknya 16 negara berbeda, meski porsinya masih sangat kecil yakni hanya 2% dari total pendapatan.

Siapa disini yang punya stok Jamu Tolak Angin di lemari dapur di rumah??

Nah, sejak SIDO melantai di bursa untuk pertama kalinya pada Desember 2013 lalu, penulis sudah sangat tertarik dengan SIDO ini karena beberapa pertimbangan berikut. Pertama, seperti yang sudah disebut diatas, SIDO merupakan salah satu perusahaan paling terkenal di tanah air, dengan merk-merk produk yang juga terkenal. Seperti yang pernah kita bahas disini, popularitas hingga kekuatan merk yang dimiliki SIDO merupakan aset yang sangat berharga, yang membuat sahamnya layak dihargai pada valuasi tinggi. Dalam hal ini SIDO tidak kalah dengan katakanlah Unilever, Kalbe Farma, hingga Indofood. SIDO juga merupakan perusahaan jamu paling populer, paling mapan (sudah berdiri sejak tahun 1940), dan paling besar dibanding para kompetitornya, seperti PT Air Mancur, Jamu Jago, Jamu Nyonya Meneer, dst.

Kedua, produk jamu itu sendiri memiliki reputasi sebagai produk obat-obatan yang lebih alami dan ‘lebih sehat’ dibanding obat biasa, karena dibuat langsung dari bahan baku tanaman berkhasiat seperti kunyit, jahe, temulawak, dst. Plus, harga jualnya juga lebih murah sehingga otomatis pangsa pasarnya lebih luas. Problemnya, karena saking alaminya maka produk jamu biasanya berupa serbuk yang diseduh air panas sehingga tidak praktis, dan rasanya pun pahit, sehingga kadang orang enggan untuk mengkonsumsinya. Tapi untungnya sekarang ini para produsen jamu, termasuk SIDO, berinovasi dengan meluncurkan produk-produk jamu berbentuk cair dan tablet/permen yang lebih praktis, dan rasanya pun lebih enak/manis.
Ketiga, selaras dengan statusnya sebagai salah satu produsen jamu terbesar di Indonesia, kinerja SIDO juga terbilang bagus dan terus bertumbuh secara konsisten. Pada tahun 2008, SIDO membukukan pendapatan Rp1.04 trilyun, yang tumbuh menjadi RpRp2.56 trilyun di tahun 2016 (sementara total aset perusahaan hanya Rp2.99 trilyun). Laba bersih SIDO juga terus tumbuh hingga terakhir tercatat Rp380 milyar di Kuartal III 2017. Hebatnya, pertumbuhan kinerja diatas dicapai dengan hampir tidak menggunakan leverage sama sekali. Yup, dari dulu sampai terakhir per Kuartal III 2017, SIDO tidak pernah memiliki utang bank, obligasi, atau semacamnya, melainkan hanya utang usaha saja. Kondisi ini menyebabkan margin laba SIDO terbebas dari beban bunga pinjaman, dan posisi perusahaan sangat aman dari risiko business turnaround, dimana kalau industri jamu tiba-tiba drop maka SIDO secara keuangan akan baik-baik saja, karena perusahaan tidak memiliki liabilitas apapun (kita gak akan pernah mendengar cerita SIDO melakukan restrukturisasi utang atau semacamnya, itu tidak akan pernah terjadi). Disisi lain, sebagai bagian dari industri consumer goods, usaha jamu itu sendiri memiliki risiko yang rendah, dimana risiko usaha ini terbatas pada risiko fluktuasi harga bahan baku, dan risiko persaingan (dan untungnya, SIDO sejak awal sudah merupakan ‘one of the best players’ di bidangnya).

Terakhir keempat, SIDO dikelola oleh tim manajemen yang sangat tradisional, dimana mereka hanya membuat jamu, kemudian menjualnya, that’s it. Pemilik SIDO, dalam hal ini Pak Irwan Hidayat beserta keluarga (unfortunately, he’s not my uncle), selama ini juga senantiasa fokus mengelola SIDO dan hampir tidak memiliki usaha lain, kecuali jaringan Hotel Candi di Jawa Tengah dan Jogja, dan mereka juga memiliki reputasi yang sangat baik dimana Pak Irwan bersama beberapa tokoh lainnya seperti Dato’ Tahir (owner Grup Mayapada), pengusaha sekaligus Wapres M. Jusuf Kalla, hingga desainer kebaya Anne Avantie, pernah dinobatkan Majalah Forbes sebagai 4 dari ’48 orang paling dermawan di Asia’. Yup, seperti halnya Mr. Tahir, Mr. Irwan melalui SIDO memang terkenal dengan kegiatan filantropinya, yang dikemas dalam bentuk CSR. Contohnya, sejak tahun 2011 sampai sekarang, SIDO rutin menggelar operasi katarak gratis untuk masyarakat umum.

However, meski tampak sempurna secara fundamental (atau, kalau mengutip istilah Opa Warren, SIDO ini merupakan ‘wonderful company’), SIDO tetap memiliki kelemahan, yakni terkait prospek pertumbuhan perusahaan di masa depan. Seperti yang disebut diatas, SIDO dikelola secara tradisional, tanpa leverage apapun (padahal kalau Mr. Irwan mengumumkan bahwa SIDO butuh pinjaman, maka penulis yakin para bank bakal langsung antri), dan sayangnya juga hampir tanpa ekspansi apapun dimana dalam beberapa tahun terakhir SIDO hanya pernah sekali mengakuisisi perusahaan (PT Berlico), dan sampai sekarang perusahaan masih mengerjakan penambahan kapasitas pabrik jamu cair-nya, padahal itu sudah dikerjakan sejak awal tahun 2014 (dananya dari hasil IPO). Lambannya ekspansi perusahaan juga bisa dilihat dari kebijakan manajemen yang membagikan 99% laba bersihnya setiap tahun sebagai dividen, jadi hampir tidak ada dari laba bersih tersebut yang disimpan untuk diinvestasikan kembali. Dan bahkan meski SIDO sangat royal dividen, tapi posisi cash-nya selalu tebal. Per Kuartal III 2017, dari total aset perusahaan senilai Rp2.97 trilyun, Rp810 milyar atau 27% diantaranya merupakan cash yang tidak produktif. Kalau kita lihat Berkshire Hathaway-nya Warren Buffett, maka perusahaan senantiasa menjaga posisi cash sekitar 15% untuk jaga-jaga kalau terjadi market crash atau semacamnya, tapi bahkan posisi cash sebesar itu saja sudah dianggap terlalu hati-hati (perusahaan besar lain biasanya hanya menjaga posisi cash-nya di level 5 – 10% dari total aset). Tapi posisi cash SIDO jauh lebih besar dari itu, dan bahkan bisa lebih besar lagi andaikata perusahaan tidak membagikan dividen dalam jumlah terlalu besar.

Jadi, yup, dalam hal ini SIDO bisa disebut sebagai kebalikan dari Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), yang juga merupakan perusahaan consumer goods, namun AISA sangat agresif dalam berekspansi dimana perusahaan sudah beberapa kali menggelar right issue, mengambil utang obligasi, utang bank, hingga private placement. Dan jika AISA sukses mencatat pertumbuhan yang sangat cepat namun disisi lain perusahaannya rawan bangkrut/menderita rugi besar kalau-kalau terjadi peristiwa buruk tertentu (dan memang AISA sudah beberapa kali kena masalah, misalnya terkait investasinya di Golden Plantation/GOLL), maka SIDO tidak akan kena masalah apapun, tapi disisi lain pertumbuhan riil perusahaan menjadi sangat lamban. Yup, meski diatas disampaikan bahwa SIDO memiliki kinerja konsisten dalam jangka panjang, namun ‘jangka panjang’ disini adalah antara 5 hingga 10 tahun, atau lebih lama lagi. Sementara kalau kita melihatnya hanya dalam waktu 2 – 3 tahun kedepan, maka bisa jadi nilai pendapatan, laba bersih, serta ekuitas SIDO hanya akan segitu-gitu saja (tetap naik, tapi dengan persentase kenaikan yang rendah).

Maksud penulis adalah, jika saya menjadi pemegang saham pengendali di SIDO, maka perusahaan tetap tidak akan mengambil utang (buat apa?), namun SIDO hanya akan membagikan dividen dalam jumlah wajar saja, yakni 30 – 40% dari laba bersih setiap tahunnya, sementara selebihnya bisa dipakai untuk akuisisi perusahaan jamu lain atau lainnya, tinggal cari saja yang harganya cocok (baca: murah). Dengan cara ini maka pendapatan SIDO bisa bertumbuh secara lebih cepat, namun disisi lain risiko usahanya tetap rendah karena, sekali lagi, kita gak pake utang apapun untuk akuisisi tersebut. Dan perlu diingat pula bahwa meski produk-produk SIDO sudah terkenal di seantero nusantara, namun jika pihak manajemen sedikit lebih ambisius, maka Jamu Tolak Angin bisa juga menyusul jejak Indomie milik Grup Indofood, yang sekarang sudah menjadi produk mie instan populer di banyak negara mulai dari Taiwan, Nigeria, hingga Belanda. Pendek kata, SIDO sebenarnya memiliki banyak peluang untuk tumbuh hingga menjadi perusahaan yang benar-benar besar, sekali lagi, asalkan pihak pengelola perusahaan mau bekerja lebih keras.

Anyway, diluar faktor lambannya pertumbuhan diatas, in the end penulis tetap setuju bahwa SIDO merupakan wonderful company, yang layak dijadikan sebagai ‘pasangan sehidup semati’ alias dipegang untuk jangka panjang, kalau bisa sampai anak cucu. Sebenarnya pada tahun 2014 lalu ketika saham SIDO mulai turun terus dari 900-an hingga mentok di 480 – 500 pada pertengahan 2015, penulis ketika itu termasuk yang menganggap bahwa meski SIDO ini sangat menarik, tapi sebaiknya kita tunggu di harga yang lebih rendah dulu, karena PBV 2.5 – 3 kali masih sedikit terlalu mahal untuk ukuran perusahaan yang nyaris tidak menawarkan prospek pertumbuhan apapun (ketika itu SIDO sudah membagikan hampir seluruh labanya sebagai dividen).

However, sudah dua tahun berlalu, dan ternyata SIDO tidak turun lebih rendah lagi (meski disisi lain juga belum naik-naik lagi), sementara disisi lain kinerjanya masih lancar jaya seperti biasanya. Jadi ya sudah, kemungkinan kisaran harga sekarang sudah cukup rendah bagi SIDO ini. Jika anda mencari saham dengan risiko rendah dan bisa dipegang untuk jangka panjaaang, maka SIDO bisa dipertimbangkan, dimana kalau kita melihatnya dalam waktu 5 – 10 tahun kedepan, penulis yakin SIDO ini pada akhirnya akan naik juga. Selain itu ingat pula bahwa meski SIDO tampak kurang bagus dari sisi kenaikan sahamnya, namun para pemegang sahamnya tetap akan memperoleh profit dari dividennya yang cukup besar yakni sekitar Rp26 per saham, atau 5% dari harga sahamnya. Sebagai perbandingan, dividend yield dari emiten-emiten bluechip biasanya hanya 2 – 3% per tahun.

Okay, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, kenapa si mempelai pria memilih saham SIDO sebagai mas kawin? Kenapa bukan saham BUMI, misalnya?? Well, menurut anda??

PT Industri Jamu & Farmasi Sido Muncul, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal III 2017: AA
Rating saham pada 500: A

Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan (Ebook Kuartalan) Edisi Kuartal III 2017 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Marta mengatakan…
Wah kalau bandingin brand nya sama Unilever, kejauhan ke mana2 Pak Teguh. Tidak semua orang minum jamu, tapi semua orang Indonesia berpotensi pakai salah satu produk Unilever. Unilever tandingannya mungkin P&G.
andreas mengatakan…
Postingan yang sangat bagus bung Teguh, saya masih hold SIDO di 486 sampai sekarang, rencananya lepas pas anak kuliah nanti
Anonim mengatakan…
coz Sido bikin Kuku Bima Ener-G
Unknown mengatakan…
pak teguh
SIDO tahun ini berencana ekspansi ke philipina loh, mungkin owner sangat memegang teguh prinsip Jawa alon alon asal kelakon hehehe
bearr mengatakan…
herbs manufacturer melakukan akuisisi perusahaan farmasi lapis 2 -3 seperti Berlico sbgai tanda kekuatiran nasib segmen market yg smakin mengecil seperti nyonya meneer + jamu jago + kondisi VUCA (disruption era) slma 10 thn lebih kdepan.....
Anonim mengatakan…
SIDO beneran dibeli KKR Pak Teguh?
Unknown mengatakan…
Apakah benar produk sido seperti tolak angin ini semuanya herbal(bukannya campuran essence, perasa kimia dll) dan bagaimana unsur pengawetnya agar cairan tidak basi apakah pengawet dari herbal . Sebab klu tidak akan .... ?
Unknown mengatakan…
Yth.bpk teguh hidayat saya datang dari lampung berobat di RSCM jakrta pusat.tpi kekurangan biaya apa bisa saya mengajukan proposal bantuan dana kpd pt sido muncul.jika bisa bagai mana caranya?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek Saham Adaro Minerals Indonesia (ADMR): Better Than ADRO?