Prospek IPO GMF Aero Asia
Sepanjang tahun 2017
hingga ketika artikel ini ditulis, terdapat setidaknya 29 emiten baru yang
melantai di bursa alias IPO, atau jauh lebih banyak dibanding tahun-tahun
sebelumnya, namun kebanyakan dari saham IPO ini memiliki market cap yang kecil,
sehingga tidak terlalu menarik perhatian investor. Cerita berbeda dialami oleh
IPO Garuda Maintenance Facility Aero Asia (GMFI), dimana nilai IPO-nya cukup
besar yakni Rp1.1 trilyun, dan market cap GMFI itu sendiri mencapai Rp11.3 trilyun
pada harga perdana Rp400 per saham. Pertanyaannya sekarang, bagaimana
prospeknya?
Garuda Maintenance Facility Aero Asia, atau GMFI, adalah anak
usaha dari perusahaan maskapai penerbangan, Garuda Indonesia (GIAA), yang
bergerak di bidang penyediaan jasa perawatan/maintenance, perbaikan/repair,
dan overhaul pesawat terbang serta fasilitas-fasilitas pendukungnya.
Yang dimaksud overhaul adalah pemeriksaan komponen-komponen mesin pesawat
terbang secara berkala, termasuk inspeksi keamanan/safety secara rutin setiap
kali pesawat tersebut hendak terbang kembali. GMFI juga menyediakan jasa training
bagi teknisi untuk pekerjaan maintenance pesawat, jasa perdagangan suku cadang
pesawat terbang, jasa logistik dan transportasi pesawat terbang serta
komponen-komponennya, serta jasa konsultan/tenaga ahli di bidang maintenance
pesawat. Perusahaan merupakan anak usaha dari Garuda Indonesia (GIAA) dan
berkantor pusat di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, serta memiliki
dan mengoperasikan 44 maintenance station yang tersebar dari Banda Aceh
hingga Papua, plus 3 maintenance station di Bandara Kuala Lumpur, Singapura,
dan Jeddah.
Jika dibandingkan
dengan bisnis maskapai penerbangan oleh GIAA itu sendiri yang margin labanya
sangat kecil karena tingginya beban operasional, mulai dari untuk sewa pesawat
(tidak semua pesawat yang dioperasikan GIAA adalah milik sendiri), bahan bakar,
gaji pegawai (gaji pilot dan pramugari terbilang mahal), biaya ticketing
(karena GIAA, seperti halnya kebanyakan maskapai lainnya, menjual tiket pesawat
melalui pihak ketiga seperti Traveloka/perusahaan travel), maintenance pesawat,
biaya bandara, hingga beban penyusutan, maka bisnis maintenance pesawat oleh
GMFI terbilang lebih profitable, karena beban terbesarnya cuma buat gaji
teknisi dan biaya material (minyak pelumas, listrik, dll). Anda bisa bayangkan
bahwa GIAA ini adalah seperti perusahaan rental mobil, yang biaya
operasionalnya macem-macem mulai dari bensin sampai gaji supir, sementara GMFI ini adalah bengkel mobil yang biaya terbesarnya cuma buat gaji tukang
servis-nya saja. Kalo misalnya ada mobil yang mau ganti ban bocor, maka harga ban
barunya juga ditanggung oleh si pemilik mobil bukan? Jadi bukan ditanggung oleh
bengkel.
Dan alhasil, meskipun
GIAA dalam lima tahun terakhir selalu membukukan pendapatan yang cukup besar, yakni
antara US$ 3.5 – 4 milyar per tahun, namun perolehan laba bersihnya sama sekali
tidak konsisten, termasuk pernah merugi di tahun 2014 dan 2017 (setidaknya hingga
Kuartal II kemarin). Sementara GMFI, meski pendapatannya hanya berkisar US$ 300
– 400 juta per tahun, namun perolehan labanya jauh lebih konsisten dan senantiasa
bertumbuh, dari hanya US$ 16 juta di tahun 2014, menjadi US$ 12 juta di Kuartal
I 2017, alias US$ 48 juta jika disetahunkan. Dari sisi return on equity, ROE
terbesar GIAA hanyalah 11% di tahun 2012, sementara ROE GMFI stabil diatas 25%
per tahun.
Kesimpulannya, meski
penulis sendiri sejak awal tidak pernah suka dengan GIAA karena memang dari
dulu bisnis maskapai pesawat terbang itu margin profitnya sangat kecil (anda bisa
baca-baca lagi arsip artikel tahun 2011 – 2012, penulis ketika itu banyak
membahas GIAA, dan mayoritas rekomendasinya negatif), namun untuk GMFI, track
record kinerjanya jauh lebih baik, sehingga otomatis prospeknya juga lebih
menarik. Dalam hal ini penulis juga jadi ingat dengan Cardig Aero Services
(CASS), perusahaan penyedia jasa pendukung kegiatan penerbangan di bandara/aviation
support, termasuk jasa catering/penyediaan makanan untuk penumpang pesawat,
yang juga membukukan kinerja serta margin laba yang cukup baik. So, I don’t
know, tapi mungkin meski bisnis maskapai penerbangan tidaklah menguntungkan,
tapi bisnis jasa pendukungnya, termasuk bisnis maintenance pesawat oleh
GMFI, justru cukup menguntungkan.
Namun kalau ada yang
mengganjal, maka itu adalah fakta bahwa sekitar 60% pendapatan GMFI berasal
dari Grup Garuda (Garuda Indonesia, Citilink) itu sendiri, dimana itu artinya pihak
GIAA bisa saja membayar lebih ke GMFI untuk jasa maintenance pesawat yang
mereka terima agar pendapatan GMFI tampak naik (dan itu gak jadi soal bagi GIAA
karena duitnya kan gak kemana-mana/cuma keluar kantong kanan lalu masuk kantong
kiri). Manajemen GMFI memang mengatakan bahwa mereka akan terus berusaha
mengurangi ketergantungan pendapatan dari Grup Garuda, termasuk dari dana hasil
IPO-nya sebesar Rp1.1 trilyun, sekitar 60% diantaranya akan digunakan untuk
meningkatkan kapasitas line MRO (maintenance, repair, and overhaul) dalam
rangka untuk melayani pelanggan baru, namun untuk realisasinya kita masih harus
menunggu barang 1 – 2 tahun kedepan.
Tapi jika kita balik
lagi ke track record kinerja GMFI dalam beberapa tahun ke belakang, maka
penulis bisa katakan bahwa GMFI menawarkan fundamental yang jauh lebih baik
ketimbang induknya. Prospek dari industri penerbangan itu sendiri secara
keseluruhan sebenarnya masih sangat cerah, seiring dengan terus meningkatnya minat
dan kebutuhan masyarakat luas dalam hal bepergian jarak jauh/travelling, dimana
pesawat terbang merupakan alat transportasi yang paling bisa diandalkan. Jadi
asalkan tidak ada masalah di beban operasionalnya, maka pendapatan GMFI normalnya akan terus naik dari tahun ke tahun, demikian pula dengan laba
bersihnya.
Okay, lalu bagaimana
dengan sahamnya?
Seperti yang disebut
diatas, melalui IPO-nya (GMFI akan melantai di bursa pada hari Selasa, 10
Oktober), GMFI akan meraup dana Rp1.1 trilyun. Posisi ekuitas GMFI sebelum IPO
adalah US$ 184 juta, atau setara Rp2.45 trilyun (asumsi kurs Rp13,300 per USD),
sehingga total ekuitasnya pasca IPO adalah Rp3.58 trilyun. Jumlah saham GMFI setelah IPO adalah 28.2 milyar lembar, sehingga book value-nya Rp3.58
trilyun / 28.2 milyar lembar, sama dengan Rp127
per saham.
Kemudian karena harga
IPO-nya adalah Rp400 per saham, maka PBV-nya 400 / 127, sama dengan 3.15 kali. Mahal? Iya lah mahal.
Apalagi jika dibandingkan dengan PBV dari GIAA itu sendiri, yang cuma 0.6 kali pada harga 330. Penulis tidak mengerti
apa yang menjadi dasar pertimbangan dari penjamin emisi untuk menetapkan harga
IPO GMFI di level yang cukup tinggi tersebut, termasuk kenapa GIAA hanya
melepas 10% sahamnya dalam IPO GMFI ini (kalau saham yang dilepas ke publik adalah
20 – 30% seperti IPO yang lain pada umumnya, maka valuasinya akan jauh lebih
murah), karena terlepas dari kinerja fundamental perusahaan yang cukup bagus,
namun orang-orang juga tidak akan terlalu berminat dengan GMFI ini karena
sentimen negatif dari kegagalan IPO induknya dulu (harga IPO GIAA waktu itu di
level 750). Selain itu, publik juga tentu belum lupa dengan IPO dari sesama anak
usaha BUMN, Waskita
Beton Precast (WSBP), dimana harga sahamnya sekarang ini justru cukup jauh
dibawah harga IPO-nya dulu yakni 490, padahal WSBP ini secara fundamental juga
cukup meyakinkan. Jadi siapa yang bisa menjamin bahwa GMFI ini tidak akan
mengalami cerita yang sama?
Jadi kesimpulan
akhirnya, kecuali mungkin kalau nanti bisa dapet di harga yang lebih reasonable,
penulis sendiri tidak berminat dengan GMFI ini, entah itu untuk investasi
jangka panjang maupun sekedar trading jangka pendek. Memang, seperti halnya
WSBP, GMFI juga bisa saja naik dulu, terutama jika mempertimbangkan nilai
IPO-nya yang relatif kecil yakni hanya Rp1.1 trilyun (bandingkan dengan nilai IPO
WSBP, yang mencapai Rp5.2 trilyun) sehingga lebih gampang ngangkatnya, sementara
mood pasarnya juga lagi bagus karena IHSG-nya cukup strong di
level 5,900-an. Namun demikian, kecuali ada faktor X dimana sahamnya dikerek
seperti beberapa saham BUMN di masa lalu (baca lagi ceritanya
disini), maka penulis ragu bahwa kenaikannya akan cukup tinggi, dan pada
akhirnya dia tetap akan turun. Jika anda sejak awal sudah pegang barang, maka boleh
pertimbangkan untuk segera keluar pada minggu-minggu awal perdagangan sahamnya,
mulai 10 Oktober nanti.
PT. GMF Aero Asia, Tbk
Rating Kinerja pada
Kuartal I 2017: A
Rating saham pada 400:
BB
Buletin Analisis IHSG & Stockpick saham
pilihan edisi Oktober 2017 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, gratis konsultasi saham untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Mas, bagaimana presfectif mas terhadap prospect saham-saham perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Apakah mas bersedia memberikan rekomendasi, saham perusahaan perkebunan apa yang paling prospek dan memberikan keuntungan yang paling besar?
Terimakasih atas perhatiannya mas.
Salam
Oscar Tamba