Konstruksi.. Lagi!
Sebentar
lagi kita akan memasuki musim rilis laporan keuangan (LK) Kuartal III, dan
seperti biasa beberapa emiten merilis LK-nya lebih awal. Salah satunya adalah
emiten konstruksi Waskita Karya (WSKT), plus anak usahanya Waskita Beton Precast
(WSBP), dimana hasilnya cukup mengesankan: Laba bersih WSKT melonjak dari Rp1.1
menjadi Rp2.6 trilyun, sementara laba WSBP juga naik dari Rp502 menjadi Rp825
milyar. Kemungkinan karena keluarnya LK inilah, saham WSKT dan WSBP dengan
cepat melonjak dalam semingguan terakhir, demikian pula saham-saham konstruksi
yang lain terutama karena adanya anggapan bahwa kalau WSKT kinerjanya bagus,
maka demikian pula kinerja konstruksi BUMN lainnya bakal bagus juga. Pertanyaannya
sekarang, mengingat sebelumnya WSKT dkk justru turun terus, maka apakah ini
merupakan tanda bahwa penurunannya sudah maksimal, dan selanjutnya konstruksi
akan balik arah? Atau bagaimana?
Sepanjang
tahun 2017 ini mungkin tidak ada sektor yang paling bikin pusing selain
konstruksi ini, karena jika dilihat dari kinerja keuangan perusahaan,
prospeknya, hingga progress riil dari pembangunan infrastruktur di lapangan,
maka semuanya tampak OK, plus IHSG-nya juga masih strong di level atas (5,900-an).
Tapi nyatanya saham-saham di sektor ini justru turun sendiri ketika mayoritas
saham-saham kelompok big caps lainnya masih baik-baik saja. I mean,
kalau memang terjadi perubahan
fundamental dimana WSKT dkk mencatat penurunan laba atau bahkan rugi, maka
ya sudah, penulis sendiri juga akan minggir dulu dari konstruksi ini. Namun
faktanya, seperti yang bisa anda lihat, BUMN konstruksi masih mencatat kenaikan
laba yang signifikan, bahkan justru paling signifikan dibanding emiten BUMN
lainnya.
Rangkuman Kinerja WSBP hingga Kuartal III 2017: Everything seems good |
Dan
penulis sendiri sudah ngomong seperti diatas sejak saya menyampaikan update
analisis untuk sektor konstruksi pada Agustus 2017 lalu. Yup, kalau anda
baca-baca lagi blog ini, kita sudah membahas sektor konstruksi sejak Desember
2016 lalu, dimana inti analisanya adalah, 1. Saham-saham konstruksi belum naik
banyak sepanjang tahun 2016, sehingga valuasinya relatif masih rendah, 2.
Kinerja fundamental serta prospeknya masih bagus seiring dengan realisasi
percepatan pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah, dan 3. Penyebab belum
‘jalannya’ saham-saham konstruksi adalah karena faktor kurang stabilnya kondisi
politik nasional menjelang Pilkada DKI Jakarta ketika itu, yang praktis menimbulkan
kekhawatiran bahwa itu akan mengganggu kelanjutan pembangunan infra, tapi
penulis termasuk yang percaya bahwa isu politik ini nantinya akan mereda dengan
sendirinya. Anda bisa baca lagi ulasan lengkapnya disini.
Kemudian
pada artikel di bulan Agustus 2017, analisis diatas diperbaharui, yang intinya
terkait selesainya drama Pilkada DKI dimana yang
menang adalah pasangan calon Gubernur – Wagub dari kubu partai oposisi, dan
bukannya partai pendukung pemerintah. Yang itu artinya, ketidak stabilan
politik yang sebelumnya penulis harapkan bakal segera mereda, kemungkinan
justru akan berkepanjangan. Tapi untungnya diluar drama politik tersebut, yang
lain-lainnya masih nggak ada masalah, malah untuk outlook-nya masih
sangat menarik dimana WSKT dkk masih terus memperoleh banyak kontrak baru dari
pemerintah. Jadi saya menganggap bahwa sektor konstruksi tetap menarik, namun
dengan mempertimbangkan faktor isu politik tersebut maka kita harus menghargai saham-saham konstruksi pada valuasi yang lebih
konservatif. Berdasarkan pengalaman, angka PBV terendah bagi saham
konstruksi berfundamental bagus adalah 1.4 kali, itupun
dicapai ketika IHSG drop di tahun 2013, dan 2015.
Kemudian kalau kita pakai contoh
saham WSBP, maka PBV 1.4 kali tersebut adalah pada harga 400. Dan memang ketika WSBP terus saja turun sepanjang Semester I
2017 lalu, mentoknya ya di kisaran 400 tersebut (tepatnya di 416), sebelum
kemudian membal dan naik lagi. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
Jadi pada ulasan di bulan Agustus
tersebut, penulis menganggap bahwa saham-saham konstruksi sudah ketemu bottom-nya,
sehingga dengan catatan tidak terjadi peristiwa force majeure tertentu
dimana IHSG anjlok atau semacamnya, maka saham-saham konstruksi sudah layak
buy. Tapi lagi-lagi, meski sempat stabil selama beberapa saat, memasuki bulan
September konstruksi kembali ndlosor kebawah, dan WSBP bahkan sempat nyungsep
sampai dibawah 340. So what happen?? Well, meski penulis sendiri terlambat
menyadarinya, namun pada September tersebut kita menyimpulkan bahwa pasar
sedang dalam kondisi yang boleh dibilang belum pernah terjadi sebelumnya,
dimana ada banyak saham-saham di BEI baik itu big, mid, maupun small
cap yang turun signifikan, terutama karena investor asing jualan terus, namun entah gimana caranya IHSG-nya tidak ikut turun.
Dan penulis menyebut situasi ini
dengan koreksi yang tidak kelihatan. Jika
anda perhatikan, sekarang ini kita berada dalam situasi pasar dimana saham
yang naik terus saja naik, sementara saham yang turun terus saja turun
(detilnya baca lagi disini), Dan sayangnya saham-saham konstruksi
termasuk dari saham-saham yang sebelumnya
sudah turun banyak sejak awal tahun, sehingga jadilah mereka turun lebih
lanjut.
Lalu kira-kira turunnya sampai
berapa? Nah, untuk kali ini penulis terus terang belum ada gambaran, karena
setelah barrier PBV 1.4 kali tadi ditembus, maka selanjutnya belum ada benchmark lagi soal berapa kira-kira valuasi terendah
yang mungkin dicapai sebuah saham konstruksi. Tapi ketika WSBP kemarin turun
sampai 340 dimana PBV-nya 1.2 kali, lalu kemudian naik lagi, maka apakah itu
yang menjadi batas valuasi terendah bagi konstruksi? Well, belum tentu. Sekarang
begini, yang bikin konstruksi terbang semingguan kemarin itu apa sih? Karena
adanya sentimen laporan keuangan bukan? Tapi faktanya kinerja emiten konstruksi
di Kuartal III, dalam hal ini kalau kita pakai contoh WSKT dan WSBP, meskipun
bagus tapi gak lebih bagus dibanding
Kuartal I dan II kemarin. Atau dengan kata lain belum ada perubahan fundamental
dari sisi laporan keuangan, dimana sekitar tiga bulanan lalu juga WSKT dkk
sempat naik ketika LK Kuartal II keluar, tapi kesininya turun lagi. Dari sisi
perkembangan politik maupun situasi pasar juga belum ada perubahan, dimana
isu-isu politik masih menjadi perhatian semua orang (malah cenderung semakin
panas menjelang 2019), dan investor asing, hingga ketika artikel ini ditulis,
masih terus jualan. Pendek kata, yup, kalau kita lihat pergerakan sahamnya,
maka WSKT dkk memang kelihatannya sudah rebound. Tapi kalau kita lihat lagi
kinerja fundamental perusahaan, situasi pasar dll, maka belum ada perubahan
berarti yang bisa membuat konstruksi menjadi layak buy, tidak untuk sekarang
ini (masih belum waktunya!).
Valuasi Konstruksi: Masih Lebih Mahal
Dibanding Valuasi Saham-saham Lain
However, dalam rangka mencoba
menggali berapa kira-kira valuasi terendah yang mungkin dicapai konstruksi,
penulis barusan lihat-lihat lagi arsip lama laporan keuangan dll, dan diperoleh
fakta berikut: Sektor konstruksi sejatinya mulai booming kurang lebih di
tahun 2009, yakni setelah Pemerintah meluncurkan rencana pembangunan jangka
panjang yang terangkum dalam Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI
setahun sebelumnya (2008). Yup, jadi meski pembangunan infrastruktur baru benar-benar dikebut sejak jaman
Presiden Jokowi, namun pembangunan itu sendiri sejatinya sudah dimulai sejak
beberapa tahun sebelumnya, dimana ADHI dan WIKA (beberapa emiten konstruksi
lainnya baru IPO beberapa waktu kemudian) sudah menikmati kinerja cemerlang
sejak 2009, dan praktis saham mereka juga sudah naik banyak sejak tahun 2009
tersebut. Hingga akhirnya pada pertengahan tahun 2013, saham-saham konstruksi
mencapai salah satu titik tertinggi mereka dimana ADHI terbang sampai 4,000 (dari sebelumnya 500), dan WIKA 3,000 (dari sebelumnya 300 –
400), dan praktis valuasinya jadi jauh
lebih mahal dibanding saham-saham lain pada umumnya (PBV ADHI dkk sempat
menyentuh 4 – 5 kali).
Setelah itu konstruksi perlahan tapi pasti mulai turun lagi, namun penurunan
mereka tidak pernah mencapai titik yang
benar-benar rendah dari sisi valuasi, dimana seperti yang disebut diatas,
PBV terendah yang pernah dicapai saham konstruksi adalah 1.4 kali, itupun
ketika market mengalami crash di penghujung tahun 2013 dan 2015.
Padahal kalau kita ambil contoh
saham-saham batubara atau properti, maka ketika sektornya sedang benar-benar
terpuruk (misalnya ketika harga batubara mencapai titik terendahnya di tahun 2016 lalu), PBV
saham-saham di sektor ini bisa serendah 0.4
– 0.5 kali atau lebih rendah lagi. Yup, jadi batas PBV 1.4 kali bagi konstruksi tadi sebenarnya masih tergolong tinggi, tapi itu bisa dijelaskan mengingat tidak
seperti batubara dan properti yang kinerjanya sempat hancur lebur, kinerja
emiten-emiten konstruksi sampai sekarang masih lancar jaya. Dan memang kalau kita
ambil data ke belakang sampai tahun 2009, maka valuasi saham-saham konstruksi
tidak pernah benar-benar murah.
Namun demikian kalau
kita ambil data lebih jauh lagi ke belakang, dalam hal ini sebelum tahun 2009
dimana sektor infrastruktur masih belum booming dan kinerja ADHI dkk
masih biasa-biasa saja, maka valuasi
saham-saham konstruksi ketika itu juga sama saja seperti saham-saham lain pada
umumnya. Memasuki tahun 2009 sampai sekarang, sektor konstruksi memang
memperoleh ‘penghargaan’ dari market berupa valuasi yang relatif tinggi, karena
sektor ini didukung oleh banyak nilai-nilai
kualitatif (Apa itu nilai kualitatif? Baca penjelasannya
disini) seperti likuiditas sahamnya yang encer, status sebagai big caps
(WSKT termasuk salah satu dari hanya 30-an saham di BEI dengan market cap
diatas US$ 1 milyar), popularitas dari nama/merk perusahaan, kegiatan
operasional perusahaan yang bisa dengan mudah dilihat di lapangan (karena WSKT
dkk membangun jalan layang dll di tengah kota, bukan di tengah hutan), hingga
optimisme bahwa pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut sekarang ini akan
terus berlanjut di masa yang akan datang.
Tapi diluar nilai-nilai
kualitatifnya tersebut, maka dari sisi kinerja keuangan, sektor konstruksi sebenarnya tidak sebagus itu, dimana
ROE ADHI dkk dalam beberapa tahun terakhir rata-rata hanya 15 – 20% saja (tidak
seperti ROE perusahaan-perusahaan batubara, misalnya, yang pernah diatas 40%
ketika booming batubara mencapai puncaknya di tahun 2011). Perolehan laba
bersih para emiten konstruksi juga tidak se-konsisten katakanlah emiten
perbankan atau consumer goods, dimana anda bisa cek sendiri: Laba bersih mereka
bisa turun pada tahun-tahun tertentu bahkan meski pembangunan infra tetap
gencar dilaksanakan (jadi pada tahun-tahun sebelum 2009, kinerja mereka bisa
lebih tidak konsisten lagi). Industri konstruksi juga termasuk industri yang
berisiko tinggi, mulai dari risiko ketidak pastian kelanjutan proyek (baca: mangkrak), risiko tidak dibayar oleh
pemilik proyek, risiko supply bahan baku semen dll, risiko bencana alam, hingga
risiko korupsi yang menyebabkan kualitas bangunan yang dihasilkan jadi lebih
rendah dari yang seharusnya. Dan sayangnya untuk yang terakhir ini, Indonesia
memang jagonya. Anda tentu sudah sering mendengar cerita jembatan miring atau
bahkan ambruk bukan? Gara-gara uang pembangunannya ditilep pejabat daerah
setempat.
Anyway, penulis
termasuk yang percaya bahwa pembangunan infra yang sekarang tengah dikerjakan
akan terus berlanjut, jadi saham-saham konstruksi tetap menawarkan prospek yang
menarik. Namun maksud penulis adalah, kalau kita mencocokkan kembali track
record kinerja keuangan emiten dan situasi pasar termasuk situasi politik
dll, dengan valuasi dari saham-saham konstruksi, maka faktanya adalah saham-saham konstruksi belum benar-benar
murah, bahkan pada posisi harga mereka sekarang ini. Contoh, WSKT pada
harga 2,130, PBV-nya masih 2.2 kali, dan WSBP pada harga 400 PBV-nya 1.4 kali.
Sebagai perbandingan, ketika BBRI dan BBNI digebuk oleh isu pembatasan
NIM di tahun 2016 lalu, PBV mereka sempat mencapai masing-masing 1.5 dan 0.9 kali, padahal kita tahu
bahwa jika dibanding konstruksi, maka emiten perbankan memiliki kinerja keuangan
yang jauh lebih baik dan juga lebih konsisten dalam jangka panjang. Okay, dalam
kondisi dimana pembangunan infra masih lancar, dan faktanya WSKT dkk memang mencatat
kenaikan laba yang signifikan, maka valuasi segitu mungkin masih wajar. Tapi
disisi lain jika kita mempertimbangkan ketidak pastian situasi politik yang
bermuara pada aksi jual asing, timbulnya kekhawatiran proyek tidak dibayar dll,
dimana sejak awal kita tahu bahwa itu merupakan salah satu risiko terbesar di
industri konstruksi, maka tentu kita harus lebih konservatif. Ceritanya mungkin
akan berbeda kalau Presiden Jokowi masih rutin gunting pita seperti biasanya,
tapi seperti yang kita ketahui, Pak De sekarang ini lebih sibuk menjalin
komunikasi dengan banyak elemen masyarakat, terakhir melalui acara Rembuk
Nasional 2017 di Jakarta.
Baiklah, kalau gitu
kapan kita bisa masuk ke konstruksi lagi? Dan pada harga berapa? Well, untuk
harganya dan waktunya kita masih belum tahu, tapi untuk sekarang ini kita harus
menunggu beberapa hal untuk terjadi terlebih dahulu kemudian baru kita bisa
masuk, yakni: 1. Perkembangan politik yang lebih baik, misalnya ditandai dengan
Presiden atau Menteri tertentu diberitakan melakukan ground breaking, atau
2. Investor asing kembali masuk ke bursa, termasuk ke saham-saham konstruksi
(sampai sekarang mereka masih jualan terus, yang menunjukkan kekhawatiran
mereka terkait kelanjutan pembangunan infra di tanah air). Actually, karena
investor sudah banyak banget yang nyangkut di konstruksi ini, termasuk
fund-fund besar, maka ada juga kemungkinan menjelang akhir tahun ini
saham-saham konstruksi akan dikerek naik dalam rangka window dressing. However, diluar kemungkinan window dressing
tersebut, maka tetap lebih aman jika kita wait n see dulu, dan melirik
sektor lain yang 1. Valuasi saham-sahamnya lebih
murah, dan 2. Sudah uptrend sejak
awal. Contohnya? Well, bagaimana dengan properti?
Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan (Ebook
Kuartalan) edisi Kuartal III 2017 akan
terbit hari Senin, 6 Nov 2017. Anda bisa memperolehnya
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar