PGAS, dan Rencana Penurunan Harga Gas
Hingga hari ini, Kamis,
10 Agustus, Perusahaan Gas Negara (PGAS) masih belum merilis laporan keuangan Kuartal
II 2017 dikarenakan adanya limited review. Namun jika kita melihat
kinerja perusahaan di Kuartal I, dimana labanya masih turun tipis 3.8%, maka
PGAS merupakan satu dari dua perusahaan besar di BEI (satunya lagi SMGR) yang
kinerjanya masih belum pulih sejak Indonesia mengalami
titik terendah perlambatan ekonominya pada tahun 2015 lalu. Dilihat dari sini
saja maka wajar jika dalam dua tahun terakhir, saham PGAS ketinggalan jauh
dibanding saham-saham blue chip lainnya. Namun demikian kinerja PGAS
sebenarnya tidak seburuk itu juga, dan perusahaan tidak memiliki problem
spesifik terkait operasional, GCG, maupun industri gas itu
sendiri.
Dengan kata lain, kalau
kita berpandangan jauh kedepan, maka tetap terdapat ekspektasi atau harapan bahwa kinerja PGAS pada akhirnya
nanti akan kembali bertumbuh, terutama karena PGAS memiliki track record sebagai
sebagai salah satu perusahaan paling profitable dan konsisten di BEI (atau
setidaknya di masa lalu). Dan keberadaan harapan ini menyebabkan saham PGAS,
meski memang tidak akan naik dulu dalam waktu dekat ini, tapi juga tidak akan turun terlalu dalam. Contoh lainnya dari ‘pengaruh faktor harapan terhadap
harga saham’ ini adalah Astra International (ASII), dimana meski kinerja perusahaan
sempat stagnan cukup lama antara tahun 2012 – 2016, namun selama periode waktu
tersebut para investor tidak pernah menghargai ASII pada valuasi yang terlalu
rendah, dimana bahkan ketika terjadi panic selling pada Agustus –
September 2015 lalu, ASII hanya turun hingga level 5,000-an, yang mencerminkan PBV 2.0 kali (berdasarkan ekuitas
perusahaan ketika itu), alias masih relatif tinggi bahkan jika
dibandingkan dengan sesama saham blue chip. And indeed, memasuki tahun 2017 ini
kinerja ASII akhirnya kembali tumbuh signifikan.
However, contoh keberadaan ‘faktor
harapan’ pada saham ASII diatas hanya berlaku untuk saham dari perusahaan dengan
reputasi, kualitas brand, dan
track record kinerja dalam jangka
panjang yang amat sangat baik, sehingga kepercayaan investor tetap tidak luntur
bahkan meski perusahan mengalami penurunan kinerja pada satu atau dua tahun
tertentu. Namun untuk perusahaan-perusahaan lainnya dengan kriteria yang tidak
sebaik itu, maka penurunan kinerja sedikit saja bisa langsung menyebabkan
sahamnya jatuh. Contohnya? Well, Lippo Cikarang (LPCK). Ketika perusahaan
membukukan kinerja yang sangat baik antara tahun 2011 – 2015, maka selama itu
pula sahamnya terus naik hingga sempat tembus 12,000. Tapi begitu kinerjanya
mulai turun pada tahun 2015, dan penurunan tersebut masih berlanjut sampai
sekarang, maka tanpa ampun sahamnya anjlok hingga sempat menyentuh 4,000, beberapa
waktu lalu, dimana PBV LPCK pada harga terendahnya tersebut hanya 0.5 kali, atau jauh dibawah PBV terendah
yang pernah dicapai ASII diatas. Perbedaan valuasi yang signifikan
antara ASII dan LPCK ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku pasar
berpikir, ‘Untuk ASII, saya percaya bahwa stagnan-nya kinerja perusahaan hanyalah sementara. Pada akhirnya ASII bakal profit lagi, dan nilai intrinsik perusahaan masih jauh
diatas harga sahamnya saat ini. Namun untuk LPCK, saya tidak punya
gambaran tentang bagaimana kinerja perusahaan di masa yang akan datang, jadi
kenapa ambil risiko dengan membeli sahamnya pada harga yang masih lebih tinggi
dibanding nilai bukunya?’
Lalu bagaimana dengan
PGAS? Nah, dalam hal likuiditas saham, reputasi perusahaan, serta track record
kinerja, maka PGAS tidak kalah dibanding ASII, dimana dengan melihat kinerja
perusahaan di masa lalu maka PGAS tetap memiliki harapan untuk kembali
membukukan kinerja yang bertumbuh di masa yang akan datang, dan soal ini juga sudah
kita sampaikan diatas. However, dalam hal brand alias merk, maka PGAS
kalah jauh dibanding ASII, dimana PGAS tidak memiliki merk-merk terkenal seperti
‘Toyota Avanza’, ‘Motor Honda’, atau ‘Komatsu’. PGAS juga kalah populer
dibanding sister company-nya, Pertamina. Maksud penulis adalah, kalau anda survey ke tetangga
sebelah rumah yang bukan investor saham, maka mereka tentu familiar dengan
nama ‘Astra’ atau ‘Pertamina’, tapi mereka mungkin tidak tahu dengan nama PGN.
Karena itulah, valuasi terendah
bagi PGAS tidak bisa disamakan dengan ASII, tapi juga tidak bisa disamakan dengan LPCK, melainkan normalnya di
tengah-tengahnya. Lalu persisnya di berapa? Well, dalam hal ini kita bisa pakai
contoh saham blue chip lainnya lagi: Bank BNI (BBNI). Pada awal tahun 2016
lalu, tepatnya ketika ramai cerita pembatasan
NIM perbankan yang kemudian menjadi sentimen negatif bagi saham-saham big
caps di sektor banking, maka BBNI ketika itu drop sampai mentok di 4,000,
dimana PBV-nya tercatat 1.0 kali,
tapi dia cuma sebentar berada di level harga tersebut dan langsung naik
lagi. Nah, kalau kita lihat lagi BBNI ketika itu, maka situasinya juga mirip
dengan PGAS sekarang ini: Kinerjanya masih belum begitu bagus, brand-nya
tidak terlalu populer terutama jika dibandingkan tiga bank besar lainnya (BBCA,
BBRI, BMRI), dan sahamnya sedang diliputi sentimen negatif yang sangat kuat,
yakni soal pembatasan NIM tadi, namun demikian perusahaan memiliki track record
kinerja yang sangat baik di masa lalu, sehingga terdapat ekspektasi bahwa cepat
atau lambat kinerja BBNI akan bagus lagi.
Jadi seandainya salah
satu faktor diatas dihilangkan, misalnya ketika sentimen negatif terkait NIM
tadi menguap/dilupakan orang dengan sendirinya, maka BBNI juga akan naik lagi
ke posisi normalnya ketika itu yakni sekitar 5,000-an, dimana PBV-nya
(berdasarkan ekuitasnya saat itu) adalah 1.2
– 1.4 kali.
Okay, balik lagi ke
PGAS. Sejak tahun 2015 lalu, maka pada kondisi pasar yang normal dan tidak ada
sentimen negatif, berapa harga rata-rata PGAS? Sekitar 2,400 – 2,700. Dan
berapa PBV PGAS pada harga tersebut? Sekitar 1.3 – 1.5 kali, alias tidak jauh berbeda dengan PBV BBNI diatas. Dan
berkaca pada BBNI, dimana meski sahamnya turun ketika ada sentimen negatif namun pada akhirnya naik lagi, maka
demikian pula dengan PGAS, dimana sejak tahun 2015 lalu sahamnya sempat
beberapa kali drop sampai dibawah 2,400, entah itu karena IHSG-nya lagi turun
atau sedang ada sentimen negatif, namun pada akhirnya naik lagi. Disisi lain, pada
pertengahan tahun 2016 lalu ketika pasar sedang ramai sentimen tax
amnesty yang menyebabkan investor asing ramai-ramai belanja saham di
mari, maka salah satu saham yang paling banyak diborong asing adalah PGAS ini,
dimana sahamnya sempat melompat dari 2,300-an hingga tembus 3,400 (however,
setelah sentimen TA mereda, maka PGAS juga segera balik kandang lagi ke 2,400 –
2,700, mengingat kinerjanya sampai sekarang masih gitu-gitu aja).
Harga Gas Akan
Diturunkan?
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diatas, dalam beberapa kesempatan penulis selalu
mengatakan bahwa kalau nanti PGAS turun sampai PBV-nya hanya 1.0 – 1.2 kali, alias
kisaran harganya sekarang ini (2,200-an), maka kita mungkin punya peluang jangka
pendek disini. Namun, juga tidak akan
semudah itu untuk masuk ke PGAS pada harga rendah seperti sekarang, karena setiap kali PGAS turun maka pasti ada saja cerita negatif tertentu
yang bikin orang-orang jadi ragu untuk masuk. Jadi sama saja seperti ketika satu
setengah tahun yang lalu BBNI jatuh ke 4,000-an, dimana meski logika
sederhananya adalah itu merupakan big
opportunity, tapi tidak
semua orang cukup berani untuk masuk, karena ketika itu cerita pembatasan
NIM masih dibicarakan dimana-mana, bahkan khusus untuk BBNI ini juga muncul
cerita tambahan tentang kredit macetnya di Trikomsel Oke (TRIO) senilai Rp1
trilyun! (yang sebenarnya merupakan cerita lama yang sudah basi, tapi ceritanya
muncul lagi setelah BBNI ketika itu turun cukup dalam hingga menyentuh panic
level-nya).
Tapi yah, berapa BBNI
sekarang??
Balik lagi ke PGAS. Dan
untuk kali ini, cerita negatif tersebut adalah terkait berita wacana
Kementerian ESDM untuk menerbitkan peraturan menteri (Permen) untuk
perusahaan-perusahaan distributor gas, yang pada intinya: 1. Margin penjualan gas dibatasi maksimal 7%, 2. Tingkat internal rate return (IRR)
dari bisnis pipa gas maksimal 11% per tahun. Sekilas peraturan tersebut,
kalau nanti jadi di-sah-kan, akan menyebabkan laba bersih PGAS, yang memang
sudah mini sejak tahun 2015 lalu, bakal jadi lebih mini lagi.
Tapi sayangnya belum ada
penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan ‘margin’ dan ‘IRR’
diatas, serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya di lapangan, termasuk belum
ada klarifikasi apapun dari manajemen PGAS terkait berita tersebut. However,
dalam hal ini ada beberapa hal yang penulis perhatikan. Pertama, cerita soal
pembatasan margin diatas, yang kemudian diterjemahkan sebagai ‘harga jual gas
akan turun’, itu sebenarnya bukan cerita baru, karena sudah sejak awal tahun
2015 lalu Presiden Jokowi mengatakan bahwa dalam rangka mendorong kemajuan
industri dalam negeri, maka harga gas harus turun (waktunya hampir bersamaan
dengan ketika beliau mengatakan bahwa harga semen akan diturunkan Rp1,000 per
sak. Inget nggak?). Namun sampai hari ini belum ada peraturan baru dari pemerintah
yang secara spesifik mengatur harga jual gas.
Kedua, Permen
diatas masih sebatas wacana, dimana pengesahannya masih menunggu diskusi
lanjutan antara Kementerian ESDM dengan PGAS, Pertagas, hingga INGTA (Indonesia
Natural Gas Trader Association). Jadi masih ada kemungkinan bahwa Permen yang nanti
diterbitkan, itupun kalau Permen tersebut jadi
diterbitkan, maka isinya tidak akan persis sama dengan yang diwacanakan.
Ketiga, penulis masih belum ‘ngeh dengan istilah ‘margin’ diatas,
namun kalau maksudnya adalah margin laba bersih dari perusahaan distributor gas
dibanding nilai pendapatannya, maka khusus untuk PGAS, margin tersebut memang sudah turun menjadi hanya 10% pada tahun 2016, dibanding rata-rata 20%
pada tahun-tahun sebelumnya. Jadi kalaupun margin tersebut harus turun lagi
menjadi hanya 7%, maka pengaruhnya tidak akan terlalu terasa, dan laba bersih PGAS tetap bisa naik selama
omzet/pendapatannya naik. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Wakil Menteri
ESDM, Arcandra Tahar, menyatakan akan mendorong pembangunan infrastruktur pipa
gas, dan memang jaringan pipa gas milik PGAS sendiri bertambah 252 km atau 3.6%
sepanjang Kuartal I 2017 kemarin, menjadi total 7,278 km, dan PGAS sampai sekarang masih terus membangun jaringan pipa-pipa baru.
Peta rencana pengembangan jaringan distribusi gas milik PGAS hingga tahun 2018. Klik gambar untuk memperbesar |
Keempat, diluar
berinvestasi pada jaringan pipa gas baru, PGAS sejak beberapa tahun lalu juga sudah
berinvestasi ke sektor hulu dengan mengakuisisi kepemilikan di beberapa ladang
migas, dan pada tahun 2017 ini hasilnya mulai kelihatan, dimana pada Kuartal I
2017, PGAS membukukan pendapatan US$ 100 juta dari eksplorasi dan produksi
migas, dibanding hanya US$ 57 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Nah, kecuali kalau nanti Pemerintah mewacanakan peraturan lainnya lagi, maka margin untuk bisnis produksi migas ini tidak
dibatasi, sehingga margin PGAS secara keseluruhan bisa tetap maksimal terutama
jika perusahaan mampu mengoptimalkan kinerja di segmen produksi migas ini.
Dan kelima, sekaligus
yang paling penting, sebagai salah satu saham big caps di BEI, maka PGAS
ini sering sekali muncul di pemberitaan, dimana pada satu hari beritanya bisa
bagus, tapi besoknya ceritanya bisa beda lagi. Actually dalam sebulanan
terakhir ini saja, maka selain berita wacana Permen diatas, juga muncul setidaknya
dua berita lainnya yakni bahwa PGAS akan investasi capex US$ 200 juta,
dan bahwa anak usaha PGAS akan mengambil pinjaman senilai US$ 300 juta. Maksud
penulis adalah, karena sekarang ini PGAS lagi turun, maka sangat wajar jika berita yang muncul ke permukaan adalah soal Permen tadi. Sekarang
anda bayangkan kalau seorang broker saham, ketika ditelpon sama nasabahnya, ‘Mas,
kenapa ini PGAS turun?’, kemudian dia menjawab, ‘Soalnya PGAS mau investasi
capex US$ 200 juta pak’. Gak nyambung bukan? Penjelasan soal ini bisa dibaca
lagi di artikel ini: Dari
Mana Asalnya Sentimen Negatif?
Tapi bagaimana kalau
nanti PGAS naik lagi? Maka tentu, cerita yang keluar bakal beda lagi, dan
mungkin cerita Permen diatas malah menghilang begitu saja.
Jadi kesimpulannya,
penulis tetap melihat PGAS, pada harganya sekarang, sebagai opportunity. Berdasarkan
catatan penulis sendiri, ini sama sekali bukan kali pertama saham PGAS turun
karena cerita negatif tertentu. Pada Januari 2007, PGAS pernah bablas 23% dalam
sehari setelah keluar berita bahwa manajemen terlambat dalam mengkomersialkan
salah satu pipa transmisinya yang baru selesai dibangun. Pada tahun 2011, PGAS
sempat turun berkepanjangan hingga total 50% di bulan September (selain karena
memang IHSG di bulan September 2011 tersebut juga sedang drop), setelah
perusahaan dikabarkan kesulitan memperoleh pasokan gas dari produsen. Pada
November 2013, PGAS turun karena berita tentang open access, dimana PGAS
‘dipaksa’ oleh Pemerintah untuk mengizinkan distributor gas lain
untuk menggunakan pipa transmisi milik mereka. Terakhir pada April 2015 lalu,
PGAS kembali turun setelah diserang serangkaian sentimen negatif termasuk bahwa perusahaan dipaksa untuk bergabung kedalam holding energi pimpinan Pertamina.
Dan seperti halnya
cerita-cerita diatas pada akhirnya menguap dengan sendirinya, maka untuk kali
inipun penulis percaya bahwa sentimen negatif diatas juga akan menguap seiring
waktu. At the end, yang orang lihat itu adalah kinerja fundamental PGAS, dalam hal ini laporan keuangan terbaru
perusahaan. Jadi selama LK PGAS tidak terlalu berubah dibanding Kuartal I
kemarin, maka kita akan kembali melihat PGAS berada di posisi harga yang
seharusnya (baca lagi contoh ASII, LPCK, dan BBNI diatas).
Hanya saja kalau anda
tertarik masuk ke PGAS ini, maka masih ada sedikit catatan lagi. Pertama, PGAS
kemarin turun sampai menyentuh 2,120, yang merupakan posisi terendahnya dalam lima tahun terakhir, atau lebih lama lagi.
Dan itu artinya, secara teknikal PGAS mungkin masih bisa lanjut turun (karena
sudah tembus support) sampai nanti ketemu bottom barunya di berapa, dan
barulah setelah itu PGAS bakal naik lagi (masih inget penurunan Waskita Beton (WSBP)
kemarin sebelum akhirnya membal lagi? Baca lagi ceritanya
disini). Sebenernya kalo secara valuasi, penulis percaya bahwa kalaupun nanti PGAS lanjut
turun, maka maksimal penurunannya akan mentok di 1,800 – 2,000, itupun hanya kalau
orang-orang sudah desperate sama sekali dengan saham ini, atau keluar
lagi sentimen negatif baru.
Dan kedua, PGAS masih
belum merilis LK-nya untuk Kuartal II, sehingga menimbulkan keragu-raguan investor
tentang fundamental terbaru perusahaan, apakah masih sama seperti Kuartal I
kemarin atau malah labanya turun lebih dalem lagi. Jadi mungkin akan lebih aman
kalau kita wait and see dulu setidaknya sampai bulan depan (PGAS akan
merilis LK-nya paling lambat 31 Agustus), sekalian melihat PGAS turunnya sampai
berapa, dan bagaimana perkembangan dari wacana permen diatas. Jadi kalau anda sudah
memegang PGAS sejak awal maka boleh hold, tapi jangan dulu average down.
Okay, untuk minggu depan kita akan membahas update analisis untuk sektor batubara.
Info Investor: Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan edisi Kuartal II 2017 (‘Ebook Kuartalan’) sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
Saya akan tahan saham2 saya sampai 10 tahun di pegas, habis itu terbang harganya ke planet pluto.
Kesempatan kedua sangat jarang, kinerja perusahaan ke depan tidak ada yang tahu. Kalau saya setuju dgn pak Teguh mending hold dulu jgn avg down.
Terima kasih untuk pembahasannya yang sangat menarik dan jelas, menurut saya tidak ada web/blog tentang saham yang lebih bagus dari ini.
Seminggu yang lalu saya sudah ambil posisi PGAS di harga 2200 dan ada kemungkinan untuk average down lagi jika harga turun, kalau menurut pak teguh TP yg bagus di harga berapa yah?
kalau dari valuasi yang saya hitung nilai wajarny di 2800 - 3200, atau hold aja selama LK perusahaan masih bagus?
Terima Kasih
Denny