Antara Investor Saham, dan Pahlawan Kemerdekaan
Sesaat setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sudirman, yang ketika itu merupakan
komandan PETA (pembela tanah air, organisasi militer bentukan Pemerintah Imperial
Jepang di Indonesia), bergegas ke Jakarta untuk menemui Presiden Sukarno,
untuk menyatakan dukungannya terhadap Negara Republik Indonesia (RI) yang baru
berdiri. Pada tanggal 5 Oktober, Pemerintah RI mendirikan Tentara Keamanan
Rakjat (TKR) yang menjadi cikal bakal TNI, dan pada tanggal 12 November, para
anggota TKR melakukan general meeting pertama untuk memilih siapa yang
akan menjadi pimpinan tertinggi/panglima. Sudirman, yang ketika itu baru
berusia 29 tahun, terpilih sebagai pimpinan militer, dengan pangkat kolonel.
Awalnya karena usia
Sudirman yang dianggap masih sangat muda serta latar belakangnya sebagai guru
(sebelum menjadi komandan PETA, Sudirman bekerja sebagai guru di sekolah
Muhammadiyah di Cilacap), maka banyak orang meragukan kapabilitas
beliau sebagai pemimpin militer. Namun Sudirman segera menunjukkan bahwa ia
layak menjadi panglima. Pada tanggal 20 Oktober 1945, Tentara Inggris, yang
merupakan bagian dari Tentara Sekutu (allied forces) yang baru saja memenangkan
Perang Dunia Kedua, mendarat di Semarang, Jawa Tengah, untuk membebaskan
tahanan perang serta melucuti senjata milik Tentara Jepang. Awalnya kedatangan
mereka disambut baik, mengingat Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan RI. Namun ketika mereka terus bergerak maju menuju Ambarawa hingga
Magelang, mereka mulai memberikan senjata kepada tahanan perang Belanda yang
baru saja dibebaskan, dan juga berusaha melucuti senjata milik TKR, sehingga
barulah kelihatan bahwa mereka membantu Pemerintah Belanda untuk kembali
menguasai Indonesia. Tentara TKR kemudian melakukan perlawanan yang memaksa
Tentara Sekutu mundur ke Ambarawa, namun Sekutu membalas dengan merangsek maju ke Magelang, dan pertempuran panjang pun tidak
terhindarkan.
Hingga akhirnya pada 11
Desember 1945, Sudirman melakukan rapat dengan para komandan TKR, dimana
besoknya beliau memimpin langsung pengepungan terhadap tentara Sekutu sejak
subuh di Ambarawa, dan suara tembakan senapan mesin dan ledakan bom segera
terdengar di seluruh penjuru kota. Dan akhirnya, setelah pertempuran sengit
selama empat hari penuh, Sekutu mundur ke Semarang, dan Ambarawa dikuasai penuh
oleh RI. Dalam peristiwa Palagan Ambarawa ini, tak kurang dari 2,000
tentara TKR mengorbankan jiwa mereka untuk Indonesia, sementara korban jiwa di
pihak sekutu hanya sekitar 200 tentara (tentara sekutu sejak awal kalah jumlah,
namun mereka didukung oleh persenjataan yang lengkap plus tank). Namun demikian
kemenangan ini menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Negara RI yang baru
berdiri tidak bisa dianggap remeh, dan pada 18 Desember, Kol. Sudirman dikukuhkan
sebagai Panglima TKR, dimana pangkatnya dinaikkan menjadi Jendral
(namun pada reorganisasi tentara beberapa waktu kemudian, dimana TKR menjadi
Tentara Nasional Indonesia/TNI, pangkat tersebut diturunkan menjadi Letjend).
Di tahun-tahun
berikutnya, ketika Presiden Sukarno bersama jajaran kabinetnya terus
mengupayakan negosiasi dengan Pemerintah Belanda (yang masih terus berusaha
menguasai Indonesia), termasuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, maka
Sudirman terus memimpin perlawanan secara militer. However, ketika Belanda
melakukan operasi militer besar-besaran dengan membawa lebih dari 120,000
tentara pada Juli 1947, yang dikenal sebagai Agresi Militer I, maka TNI yang inferior segala-galanya segera
menderita kekalahan, dimana dari 200,000 tentara dan relawan yang dimiliki TNI, sekitar 150,000
diantaranya terluka atau tewas (berbanding 6,000 korban dari pihak Belanda),
dan Belanda kemudian sukses menguasai seluruh Sumatera dan sebagian Jawa. Namun
demikian Sudirman tetap tidak menyerah, dan
terus melakukan perlawanan dengan taktik perang
gerilya, yang kemudian memaksa Belanda untuk membuat perjanjian dengan Pemerintah RI, dimana sebagian
wilayah Jawa, dalam hal ini Banten, Jogja, dan sebagian Jawa Timur (termasuk
Madiun), tetap berada dalam naungan RI. Sudirman kemudian memimpin
tentaranya untuk pulang dari persembunyian di hutan-hutan menuju Kota Jogja.
Namun situasi Indonesia
masih jauh dari kata damai. Pasca Agresi Belanda, kondisi politik dalam negeri
juga sama sekali tidak stabil, termasuk terjadi pemberontakan di Madiun oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pada September 1948. Sudirman,
yang ketika itu jatuh sakit, mengirim deputi-nya, Kolonel Abdul Haris Nasution, untuk menumpas pemberontakan dan
berhasil, dimana pasukan TNI menembak mati 300 tentara pemberontak dan menawan
ribuan lainnya. Sudirman kemudian mengunjungi Madiun, dan beliau sempat
mengatakan pada istrinya bahwa ia sama
sekali tidak bisa tidur sepanjang terjadinya pertempuran. Pada 5 Oktober
1948, setelah upacara hari ulang tahun TNI yang ke-3, Sudirman jatuh pingsan
dan dilarikan ke rumah sakit, dan barulah ketahuan kalau beliau menderita tuberkulosis. Selama di RS, Sudirman
menyerahkan sebagian besar tugas-tugasnya ke Kol. Nasution.
Sayangnya Sudirman tidak
bisa beristirahat lama-lama. Pasukan Belanda, yang mungkin karena melihat
militer Indonesia melemah pasca pemberontakan Madiun, kembali melakukan aksi
militer, kali ini bertujuan untuk menumpas RI sama sekali, termasuk
menguasai Jogja sebagai Ibukota RI. Pada 17 Desember 1948, Sudirman, yang ketika
itu baru saja kembali bertugas sebagai panglima militer, segera memerintahkan
latihan militer besar-besaran, untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa TNI masih
terlalu kuat untuk diserang, namun gagal karena hanya dua hari kemudian, Belanda keburu melancarkan Agresi Militer II dengan
menyerang langsung ke Jogja, dan mereka segera menguasai seluruh penjuru kota.
Sudirman bergegas menuju Istana Presiden di pusat kota Jogja untuk menemui para pejabat negara RI, untuk mengajak mereka untuk
terus bertempur, namun ajakan tersebut ditolak, dan
Sudirman sendiri tidak diizinkan oleh dokternya untuk melanjutkan peperangan,
mengingat tuberkulosis-nya yang semakin parah.
Dan andai saja ketika
itu Sudirman memutuskan untuk tetap di Jogja, untuk meletakkan senjata dan
menyerah, maka mungkin Indonesia
akhirnya akan bubar sama sekali, dan Nusantara kembali dikuasai Belanda.
Namun Sudirman bersikukuh untuk
melanjutkan perjuangan, sehingga akhirnya disepakati bahwa, Sudirman beserta pasukannya akan terus berperang, kali ini dengan taktik gerilya, namun Presiden Sukarno dan para pejabat Pemerintah RI akan tetap tinggal di kota dan membiarkan mereka ditangkap Belanda, sekaligus membuat Belanda sibuk sehingga pasukan Sudirman punya cukup waktu untuk meninggalkan kota. Rencana tersebut berhasil, dimana ketika Presiden Sukarno dan jajaran pemerintah RI ditangkap dan dikirim ke pengasingan, di waktu yang bersamaan Sudirman beserta pasukannya bergerak ke
selatan menuju Bantul, lalu lanjut ke Trenggalek.
Kemudian, setelah
perjalanan panjang melalui hutan lebat selama berbulan-bulan, termasuk beberapa
kali melakukan kontak baku tembak dengan pasukan Belanda, pada 18 Februari 1949
pasukan Sudirman tiba di Sobo, dekat Gunung Lawu, dimana beliau menilai bahwa
daerah tersebut aman dari kejaran Belanda namun sekaligus tidak terlalu jauh dari Jogja. Setelah rapat dengan para komandan,
diputuskan bahwa TNI akan melakukan serangan besar-besaran ke Pusat Kota Jogja untuk menunjukkan
kepada dunia internasional bahwa Indonesia beserta TNI-nya masih ada! Strateginya
adalah, pasukan gerilya TNI akan melakukan serangan-serangan kecil ke desa-desa
di sekitar Jogja, agar Belanda menempatkan lebih banyak tentara di daerah
sehingga otomatis penjagaan di Kota Jogja akan berkurang, dan setelah itu
barulah pasukan utama TNI bakal menyerang pusat kota. Sudirman kemudian menunjuk Letkol Suharto sebagai komandan lapangan untuk serangan utama tersebut.
Dan pada 1 Maret 1949,
pukul 06.00 pagi, pasukan TNI melakukan serangan mendadak hingga Tentara
Belanda terpaksa mundur meninggalkan kota, dan pada siang hari pukul 12.00,
pasukan TNI berhasil menduduki dan menguasai pusat Kota Jogja! Sebelum kemudian
mundur kembali pada sore hari (ketika bantuan tentara Belanda dari daerah sudah
kembali tiba di Jogja, pasukan TNI sudah keburu mundur).
Tapi meski hanya
menguasai kota selama sekitar enam jam, serangan tersebut sukses merusak reputasi
Pemerintah Belanda di mata dunia internasional, mengingat Belanda sebelumnya
mengklaim bahwa mereka sudah membabat habis TNI. Setelah menerima tekanan dari
United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB), pada Mei 1949 diadakan
Perjanjian Roem-Royen, dimana Tentara Belanda diharuskan untuk mundur sama
sekali dari Jogja dan seluruh wilayah nusantara paling lambat bulan Juli, dan jajaran Pemerintah RI bisa kembali dari pengasingan. Setelah kembali berada di Jogja, Presiden Sukarno
secara personal memerintahkan Sudirman untuk pulang, namun Sudirman memilih
untuk tetap bertahan di markas gerilya-nya, dengan argumen bahwa Belanda bisa
saja melanggar perjanjian dan kembali melakukan agresi militer (sebelum
Roem-Royen, Pemerintah Belanda dan RI sebelumnya sudah membuat Perjanjian
Renville dan Linggadjati, namun Belanda melanggar kedua perjanjian tersebut).
Barulah setelah
dijemput langsung oleh Letkol Suharto, pada bulan Agustus 1949, Sudirman
akhirnya bersedia pulang, dimana beliau disambut langsung oleh
Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta dan lainnya, dan juga disambut upacara
militer besar-besaran di alun-alun Jogja. Masih menderita tuberkulosis,
Sudirman kemudian dirawat di RS Panti Ratih, sebelum kemudian dipindahkan ke
rumah peristirahatan di Magelang, namun kesehatannya terus memburuk. Pada 27
Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui Kemerdekaan Indonesia, dan sebulan
kemudian pada 29 Januari 1950, Sudirman menghembuskan nafas terakhir, dan
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Jogja. Ketika itu usianya baru 34
tahun. Letjend Sudirman kemudian dipromosikan menjadi Jendral, dan pada tahun
1997, beliau kembali dipromosikan ke pangkat tertinggi militer yakni Jendral
Besar (General of the Army).
Jendral Sudirman didampingi ajudannya, Letkol Suharto |
‘Perjuangan’ Kita Sekarang
Ini, dibanding Perjuangan Para Pahlawan
Sebagai investor,
seperti yang pernah penulis sampaikan di artikel lain, saya sangat suka membaca
cerita-cerita sejarah, khususnya kisah perjuangan Jendral Sudirman diatas
dimana penulis sudah hafal diluar kepala. Karena hanya dengan mengingat kembali
jasa-jasa pahlawan seperti itulah, maka kita akan menyadari bahwa kita sangat beruntung hidup di jaman yang
serba mudah seperti sekarang ini. Termasuk ketika penulis mulai stress ketika melihat kinerja portofolio yang tidak sesuai harapan, maka penulis
biasanya bilang ke diri sendiri: Dibanding perjuangan pahlawan-pahlawan kita
dulu, kesulitan yang kamu alami sekarang ini sama sekali gak ada apa-apanya!
Maksud penulis, coba
lihat Jendral Sudirman: Dalam keadaan sakit parah dan tanpa pengobatan yang
memadai, beliau tetap memaksakan diri untuk berjuang, meninggalkan keluarga dan
seluruh harta bendanya, menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk
berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lainnya dalam kondisi yang jauh dari
kata nyaman, sambil terus menanggung risiko ditangkap (atau bahkan ditembak mati) oleh Tentara Belanda, dan selama itu beliau harus kehilangan entah
berapa anak buah karena terluka, tewas, atau tertangkap. Namun hebatnya beliau mampu
untuk tetap fokus, tidak takut, dan
dalam pikiran beliau ketika itu hanya ada satu sumpah: Sampai titik darah
penghabisan, Indonesia harus benar-benar merdeka!
Sementara kita? Well,
kalo penulis sendiri, ketika ‘berjuang’ (baca: bekerja), maka saya menghabiskan
banyak waktu untuk membaca laporan keuangan dll sambil duduk nyaman di kursi
empuk dalam ruangan sejuk ber-AC, dan saya bisa istirahat, makan, dan tidur
kapan saja, termasuk kita bisa pergi ke hutan tapi bukan untuk gerilya,
melainkan untuk piknik menghirup udara segar. Dan satu-satunya risiko yang
dihadapi hanyalah kalo saham kita turun sehingga terpaksa menderita rugi, tapi tidak lebih dari itu. Kita sama
sekali tidak perlu khawatir ditangkap atau ditembak mati oleh tentara musuh,
dan bahkan risiko jatuh sakit pun nyaris tidak ada, karena kita bekerja dalam
lingkungan yang serba nyaman, bersih, dan sehat.
Jadi kalau ada teman
mengeluh, ‘Pak Teguh, gimana caranya ya biar bisa tenang liat saham? Saya masih
suka stress nih, sampe gak bisa tidur gara-gara nyangkut..’, maka
penulis akan bilang, really? Kalau cuma karena itu saja anda gak kuat
mental sampai gak bisa tidur, lalu bagaimana kalau seandainya anda berada dalam
posisi bertanggung jawab untuk menumpas pemberontakan di Madiun?? Atau harus
bertahan di hutan-hutan untuk menghadapi Agresi Militer Belanda??? Bisa-bisa
baru jadi panglima militer sehari, besoknya anda langsung menyerah ke Belanda,
dan Indonesia langsung bubar! Actually, balik lagi ke investasi saham: Kalau
anda gak bisa tenang dalam memegang dana anda yang sekarang, maka bagaimana mungkin anda berharap bisa mengelola
dana yang lebih besar di masa yang akan datang?
Tapi intinya sekali
lagi, seperti yang sudah disampaikan diatas, kita sangat beruntung hidup di
jaman dimana kita, sebagai investor, hanya perlu memikul tanggung jawab yang amat-sangat-ringan,
dimana kalaupun kita gagal dan rugi maka kita akan tetap sehat-sehat saja, dan selalu
ada kesempatan untuk kembali mencoba asalkan anda pantang menyerah. Sudah
tentu, tidak semua orang mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara, apalagi menjadi pahlawan seperti Jendral Besar Sudirman.
Tapi kalau sampai gak bisa tidur cuma karena takut rugi di saham?? Well, anda bisa lebih baik dari itu!
Dirgahayu Indonesia-ku!
Selamat Hari Ulang Tahun RI yang Ke-72!
Info Investor: Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan edisi
Kuartal II 2017 (‘Ebook Kuartalan’)
sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini.
Komentar