Prospek Saham-Saham Properti
IHSG menutup hari
perdagangan pertama setelah libur panjang lebaran dengan naik 1.4% pada Senin 3 Juli kemarin ke posisi
5,910, sehingga dengan demikian IHSG sudah naik 11.6% sejak awal tahun 2017, atau
cukup signifikan (dan ini sesuai dengan analisa kita di awal tahun, anda bisa
baca lagi artikelnya
disini). Namun seperti juga di tahun-tahun sebelumnya, selalu ada saja
saham-saham di sektor tertentu yang seperti ketinggalan kereta (baca: naiknya
nggak setinggi kenaikan IHSG), atau bahkan malah turun.
Dan untuk tahun 2017
ini, atau setidaknya sampai penutupan perdagangan Senin kemarin, sektor
tersebut adalah properti, real estat,
dan konstruksi, dimana indeks sektor ini (anda bisa melihatnya di www.finance.yahoo.com, simbolnya ^JKPROP) sudah turun 4.0% sejak awal
tahun, paling rendah dibanding indeks sektoral lainnya di BEI. Yang menarik
adalah, jika periode waktunya diperpanjang hingga satu tahun kebelakang, maka
IHSG sudah naik 16.6%, sementara indeks properti & konstruksi justru drop
9.0%, atau dengan kata lain gap-nya semakin lebar. Pertanyaannya, ada
apa dengan sektor ini? Dan apakah ini peluang terutama untuk saham-saham properti, mengingat sekarang ini ada
banyak diantara mereka yang PBV-nya sudah kurang dari 1 kali, alias sudah mirip dengan valuasi saham-saham batubara
sebelum mereka mulai naik banyak, satu setengah tahun lalu?
Kompleks Modernpak, salah satu perumahan yang masih dalam tahap pengembangan di pinggir Kota Jakarta, tepatnya di Cakung, Jakarta Timur. |
Jika kita melihat
laporan keuangan emiten-emiten properti di Kuartal I 2017 dimana laba mereka
rata-rata memang turun, maka wajar jika saham Alam Sutera Realty (ASRI) dkk
belakangan ini kurang peminat, tapi sebenarnya bisnis properti itu sendiri
sudah lesu sejak lama. Yup, setelah mengalami puncak booming-nya pada tahun
2012 – 2013 lalu, memasuki 2014 industri properti mulai lesu terutama setelah
Bank Indonesia menerapkan beberapa regulasi seperti menaikkan DP rumah
(istilahnya LTV/loan to value), ketika itu dengan tujuan agar tidak terjadi property
bubble seperti yang terjadi di Amerika beberapa tahun sebelumnya (yang
berujung pada subprime mortgage crisis di tahun 2008), tapi disisi lain
itu praktis menurunkan pendapatan para developer. Kalau anda masih ingat, dulu
orang bisa beli ruko kecil di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, pada harga Rp2
milyar, lalu menjualnya di harga Rp6 milyar, atau naik tiga kali lipat, tidak sampai setahun kemudian. Alhasil ada banyak
orang yang membeli unit properti bukan untuk dihuni tapi untuk langsung dijual
lagi, dengan harapan meraup untung besar dalam waktu singkat, dan biasanya
belinya pake duit bank alias utang (misalnya beli unit apartemen yang belum
jadi, dimana harganya biasanya bakal langsung melonjak ketika unitnya sudah
siap huni, beberapa bulan kemudian).
Tapi ketika bank
memberlakukan peraturan LTV, maka para spekulan ini segera kehilangan mainan
mereka, dan para developer pun gak bisa lagi menggoreng harga unit-unit
propertinya untuk meraup profit maksimal seperti sebelumnya. Sebenarnya kalau
dilihat dari kacamata konsumen pembeli properti itu sendiri, maka kondisi ini
bagus karena mereka bisa membeli rumah dll pada harga yang wajar, tapi tetap
saja hal ini menyebabkan laba Bumi Serpong Damai (BSDE) dkk turun. Indikasi
lesunya industri properti juga tampak dari stagnan-nya konsumsi semen nasional dalam beberapa tahun terakhir, dimana meski
pembangunan infrastruktur di tanah air sekarang ini sedang dikebut, namun
kenaikan permintaan semen dari sektor infra tetap tidak mampu mengimbangi
penurunan permintaan semen dari sektor properti (sebab sekitar 77% permintaan
semen berasal dari sektor housing alias properti, dan sisanya baru
infrastruktur).
Namun seperti halnya
sektor batubara, yang meski sempat sedemikian terpuruknya hingga ada banyak
perusahaan di sektor ini yang menghentikan kegiatan operasionalnya atau bahkan
bangkrut sama sekali pada tahun 2015 lalu, tapi pada akhirnya sektor ini bangkit
lagi, maka penulis percaya bahwa sektor properti cepat atau lambat juga bakal
ramai lagi. Dan meski kita belum tahu kapan itu akan terjadi, tapi kalau ada yang bilang bahwa tahun 2017 ini merupakan titik
terendah industri properti, maka mungkin itu ada benarnya, mengingat beberapa
hal.
Valuasi Saham-saham
Properti: Sudah cukup rendah
Pertama, seperti yang
sudah disebut diatas, sekarang ini valuasi saham-saham properti sudah banyak
yang rendah, setidaknya dari sisi PBV, dimana ada beberapa saham properti yang
PBV-nya tinggal 0.7, 0.6 atau bahkan hanya 0.5 kali. Jika dibandingkan dengan valuasi
dari saham-saham batubara pada titik terendah mereka di awal tahun 2016 lalu,
dimana ketika itu ada beberapa saham yang hanya dihargai pada PBV 0.2 kali atau lebih rendah lagi,
maka valuasi saham properti diatas mungkin tampak belum cukup rendah. Selain
itu, berbeda dengan awal tahun 2016 lalu dimana seluruh saham-saham batubara termasuk
yang big caps seperti sepakat untuk ‘tiarap’ semuanya (termasuk Bukit Asam/PTBA sempat jeblok sampe dibawah 5,000), maka sekarang ini masih ada beberapa
saham properti, misalnya Pakuwon Djati (PWON) atau Summarecon Agung (SMRA),
yang PBV-nya relatif masih tinggi (dua koma sekian kali).
Namun ingat pula bahwa
kinerja fundamental para emiten properti sekarang ini, meski memang laba bersih mereka rata-rata pada turun semua, tapi tidak sampai merugi seperti beberapa
perusahaan batubara di tahun 2015 – 2016 lalu. Dan berbeda dengan perusahaan-perusahaan
batubara dimana ada banyak dari mereka yang sampai berhenti berproduksi atau
bahkan bangkrut sama sekali ketika harga batubara patokan Newcastle mencapai
titik terendahnya di level US$ 52 per ton, maka hingga saat ini para developer masih tetap bisa membangun dan menjual rumah, apartemen dll seperti biasanya (meski
dengan omzet dan margin laba yang tidak lagi setinggi sebelumnya), dan belum
kedengeran ada perusahaan properti yang bangkrut. Dengan kata lain, kalau kita
mengharapkan untuk bisa membeli saham-saham properti pada harga yang sama
rendahnya dengan saham-saham batubara di awal tahun 2016 lalu, maka industri
properti itu sendiri harus terpuruk lebih dalam lagi hingga mencapai titik dimana orang-orang putus asa sama
sekali dengan prospek sektor ini. Yup, penulis masih ingat, persis dua
tahun lalu (Juli 2015, anda bisa baca artikelnya
disini) orang-orang sudah sedemikian putus asa-nya hingga mereka mengatakan
bahwa industri batubara sudah tamat! Karena batubara bakal digantikan oleh shale
gas dll, yang lebih ramah lingkungan. Tapi untuk saat ini, penulis belum
mendengar ada orang yang bilang bahwa industri properti bakal tamat karena akan
digantikan rumah kayu yang lebih ramah lingkungan, atau semacamnya.
Hanya memang itu
kemudian menimbulkan pertanyaan: Apakah itu artinya sektor properti masih bisa
turun lebih rendah lagi, mengingat sektor ini masih belum sampai pada titik despair-nya?
Sementara kalo kita lihat contoh sektor batubara, sektor ini baru pulih lagi
setelah melewati fase despair-nya tersebut?
Tapi penulis bisa jawab,
nggak. Normalnya sektor properti gak akan sampai terpuruk seperti batubara dua
tahun lalu, karena setidaknya dua alasan. Pertama, ketika booming batubara
mencapai puncaknya pada tahun 2011, ada banyak perusahaan-perusahaan batubara
yang memanfaatkan momentum booming tersebut dengan mengambil utang untuk
ekspansi lebih luas lagi, dimana hasilnya bisa ditebak: Ketika kemudian harga
batubara mulai turun dan pendapatan mereka turun, maka laba bersihnya
langsung anjlok hingga minus/rugi karena tingginya beban bunga utang, dan
beberapa perusahaan bahkan sampai bangkrut karena gagal membayar utangnya
tersebut/default. Dan ketika ada banyak perusahaan batubara yang rugi atau
bangkrut, maka tentu saja harga sahamnya terpuruk gila-gilaan.
Tapi untungnya di
sektor properti tidak sampai terjadi kondisi yang sama, dimana hanya sedikit
perusahaan di sektor ini yang utangnya lebih besar dari ekuitasnya, thanks to
Bank Indonesia yang pada tahun 2013 lalu mengeluarkan kebijakan yang, penulis
lupa persisnya seperti apa kebijakan tersebut, tapi intinya adalah melarang
perusahaan-perusahaan properti untuk mengambil utang dalam jumlah besar,
terutama jika utang tersebut dalam mata uang Dollar, mengingat perusahaan properti
memperoleh 100% pendapatannya dalam mata uang Rupiah (jadi beda dengan
perusahaan batubara yang memperoleh pendapatannya dalam Dollar, karena mereka
lebih banyak ekspor). Alhasil ketika industri properti mulai melambat sejak tahun 2014 sampai sekarang, maka meski laba emiten-emiten properti memang
rata-rata turun, tapi hanya sedikit yang merugi, dan tidak ada yang sampai
bangkrut (‘tidak ada yang bangkrut’ disini maksudnya adalah di kelompok perusahaan
Tbk. Kalau untuk developer-developer kecil sih, memang banyak juga yang kolaps).
Dan kedua, mengingat sejak
tahun 2016 kemarin BI kembali melonggarkan peraturan LTV, termasuk menurunkan
BI Rate dalam rangka mendorong kembali penyaluran kredit perbankan termasuk
kredit KPR, maka meski tentunya akan diperlukan waktu hingga kebijakan tersebut
pada akhirnya berdampak positif, tapi setidaknya itu akan mencegah industri
properti itu turun lebih dalam hingga ke fase ‘putus asa’ seperti batubara di
tahun 2015 lalu, karena disisi lain meski kondisi ekonomi sekarang ini belum sebagus tahun 2011 lalu, tapi juga jauh dari kata krisis. Jadi, yap, secara valuasi saham-saham properti pada saat ini
sudah cukup rendah, dimana kecuali terjadi force majeure tertentu atau
IHSG itu sendiri turun, maka normalnya mereka gak akan turun lebih rendah lagi
(kecuali mungkin beberapa saham properti yang PBV-nya masih cukup tinggi).
2018 – 2019: Booming
properti?
Itu pertama, terkait
valuasi saham-saham properti. Yang kedua, kalau kita balik lagi ke tahun 2012 –
2013 dulu, maka coba anda ingat-ingat lagi: Sebenarnya pa sih yang menyebabkan
harga ruko kecil ketika itu bisa melonjak hingga dua atau bahkan tiga kali
lipat hanya dalam waktu gak nyampe setahun?? Ada banyak jawaban untuk
pertanyaan ini, tapi penulis akan menjawabnya dari sudut pandang pelaku pasar: Pada
tahun 2011, Indonesia mengalami puncak pertumbuhan ekonomi berkat booming
komoditas sejak hampir satu dekade sebelumnya (harga batubara ini mulai naik
sejak 2003), yang kemudian menimbulkan banyak ‘orang kaya baru’ alias kelompok middle
class, yakni kelompok masyarakat yang memiliki uang lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, bahkan meski gaya hidup mereka terbilang mewah. Kelompok
middle class ini kemudian mulai tertarik untuk menggunakan ‘uang lebih’ mereka untuk investasi. Dan instrumen
investasi apa yang sejak dulu dikenal palng mudah, paling aman, dan ‘harganya
gak bisa turun’? Benar sekali: Properti!
Entah itu tanah kavling, rumah, apartemen, kos-kosan, hingga condotel. Beberapa
orang mungkin juga menginvestasikan uang mereka di logam mulia alias emas, tapi
properti tetap lebih diminati karena ‘lebih aman’, mengingat harga emas ternyata
juga bisa fluktuatif.
Karena itulah,
permintaan akan properti kemudian meningkat, kali ini bukan lagi untuk dihuni tapi
untuk investasi, dan permintaan tersebut terus meningkat hingga pada satu titik
dimana orang-orang yang kelebihan duit ini
bersedia membeli unit-unit properti pada harga berapapun yang ditawarkan, karena
mereka terlanjur percaya pada mitos bahwa ‘harga rumah gak bisa turun!’ (dan
memang kalimat keramat ini pula yang berkali-kali diucapkan oleh Feni Rose
dkk). Inilah yang kemudian menyebabkan harga-harga properti mulai naik
gila-gilaan, dan kenaikan tersebut semakin gila lagi ketika para spekulan, yakni mereka yang membeli properti bukan untuk investasi melainkan untuk
segera dijual lagi pada harga tinggi,
ikut masuk/ikut membeli unit properti yang ditawarkan developer, dan
alhasil sebuah unit properti harganya bisa naik berkali-kali, jauh sebelum unit
properti tersebut siap huni. Puncaknya adalah pada tahun 2013 lalu, dimana
beberapa developer bahkan sampai berani menjanjikan keuntungan ‘investasi
properti’ hingga ratusan persen hanya dalam hitungan bulan! Anda bisa baca lagi
ceritanya
disini.
Namun seperti yang kita ketahui, selanjutnya sektor properti ini justru melambat sampai sekarang. Nah, jadi balik lagi ke
pertanyaan diatas: Bagaimana caranya agar industri properti rame lagi? Ya
pertama-tama, perekonomian Indonesia
secara umum harus tumbuh terlebih dahulu, daya beli masyarakat harus
menguat, hingga muncul lagi sekelompk orang-orang yang ‘kelebihan duit’, kemudian barulah mereka akan ramai membeli properti. Dan bagaimana
caranya agar ekonomi nasional tumbuh pesat lagi? Ya kita harus lihat lagi, apa
sih tulang punggung perekonomian Indonesia kalau bukan komoditas? Yup, jadi kalau dibuat siklus-nya, pertama-tama harga
batubara, CPO, dll naik dulu, ekonomi kemudian tumbuh, dan barulah setelah itu
industri properti rame lagi. Faktanya, industri properti mencapai masa jayanya pada tahun 2012 - 2013, atau setahun setelah booming komoditas
mencapai puncaknya pada tahun 2011.
Kabar baiknya, seperti
yang kita ketahui setahunan ini harga komoditas, atau paling tidak batubara, mulai
pulih kembali (meski memang harganya gak sampai setinggi tahun 2011 dulu),
dimana jika kondisi ini terus tertahan, ditambah dengan terus berlangsungnya
pembangunan infrastruktur, maka penulis optimis bahwa di tahun 2018 – 2019 mendatang, barulah dampak
positifnya terhadap ekonomi makro akan benar-benar terasa, dan ketika itulah
saham-saham properti akan dapet gilirannya untuk ‘naik panggung’ lagi.
Hanya memang, kalau kita
balik lagi ke kinerja fundamental perusahaan, maka faktanya adalah hingga
Kuartal I 2017 kemarin, mayoritas emiten properti masih belum men-deliver
kinerja yang memuaskan, dan juga belum ada faktor fundamental tertentu yang mungkin
bisa membuat kinerja mereka jadi bagus dalam waktu dekat (selain
dilonggarkannya peraturan LTV, masih diperlukan beberapa faktor positif lainnya
lagi). Jadi kalo penulis sendiri untuk saat ini lebih suka memasukkan
saham-saham properti ke dalam watchlist
saja dulu, untuk nanti masuk kalau timing-nya sudah tepat, just like
what we all did with coal sector, a year ago.
Tapi jika anda sendiri
sudah pegang watchlist tersebut, maka boleh share: Kalau ada dua atau tiga saham properti yang
menurut anda bagus, maka apa saja saham tersebut? Dan bagaimana analisanya?
Buletin Analisis IHSG & Stockpick Edisi Juli
2017 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham langsung
dengan penulis untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
- BSDE
- ASRI
- BKSL
- LPKR
- PPRO
Itu saja pak Teguh, nice analysis :)
- MDLN (PBV 0.5x)
- ASRI (PBV 0.9x)
- BEST (PBV 0.9x)
- DILD (PBV 0.7x)
Masih menunggu timing yang tepat pak Teguh
1. BSDE: market cap property saham terbesar, land bank terbesar
2. PWON: pertumbuhan jangka panjang yg konstan, recurring income yg tinggi
1. BSDE
Landbank terbesar
2. LPCK
Proyek proyek Kota baru Meikarta.
Best
Apln
BAPA dan MDLN
sudah pegang BEST dan BCIP
mohon tanggapan pak teguh
Tapi tetap TLKM yg tidak bisa diduga.
Lpck pbv 0.6x, utang kecil, historis ROE nya besar, faktor kualitatif lippo
Makasih tulisanmya ttng saham property
digabung dengan analisa teknikal,dan jangan lupa tetap menggunakan STOP LOSS
- aplikasi perpajakan baru PSAK 70&71
- pandemic corona
- hancurnya hanrga komoditas
MDLN udah gocap lho sekarang!