Kenapa Saham Murah Kok Masih Turun??
Pada sesi kelas value
investing di Jakarta, 8 Juli kemarin, salah seorang peserta bertanya, ‘Pak
Teguh, kalo dari rumus cara menghitung valuasi saham yang diberikan, maka
kelihatan bahwa saham Telekomunikasi Indonesia (TLKM) terbilang sudah mahal
pada harga 4,000-an. Tapi kenapa kok sahamnya masih naik terus dalam beberapa
bulan terakhir ini?’
Nah, sebelum menjawab
pertanyaan diatas, mari kita lihat lagi apa kata suhu Warren Buffett terkai hal
ini. Pada banyak annual letter-nya di tahun 1960-an, Buffett berkali-kali
menyampaikan kalimat berikut:
‘Saya tidak pernah berusaha untuk memprediksi arah
pergerakan harga saham, ataupun arah pasar saham secara keseluruhan, entah itu
dalam seminggu kedepan, sebulan kedepan, atau bahkan setahun kedepan. Fokus
kami adalah pada pertanyaan apakah saham
yang kami pegang akan naik atau tidak, tapi bukan pada pertanyaan kapan saham tersebut akan naik. Dalam kasus
investasi dimana kami menjadi pemegang saham pengendali perusahaan, maka kami
fokus pada pertanyaan apakah perusahaan akan menghasilkan laba bersih sebesar
sekian Dollar atau tidak, tapi bukan pada pertanyaan kapan laba tersebut akan dihasilkan’.
‘Sebagai contoh, kami saat ini memiliki sebuah perusahaan
Dept. Store, dimana setelah kalau berdasarkan kinerja historisnya, saya bisa
secara yakin mengatakan bahwa Dept. Store tersebut kemungkinan akan
menghasilkan keuntungan yang lebih baik pada bulan Desember dibanding Juli. Namun
jangankan memastikan bahwa keuntungan
di bulan Desember akan lebih baik dibanding Juli, saya bahkan tidak bisa menjamin bahwa kami tidak
akan menderita kerugian di bulan Desember, karena faktanya kerugian itu pernah juga terjadi.’
‘Tapi dengan catatan kami tidak melakukan
kesalahan analisa, dan juga tidak terjadi force
majeure, maka meski terkadang memerlukan waktu cukup lama, namun Dept.
Store tersebut pada akhirnya tetap akan menghasilkan keuntungan seperti yang
diharapkan’.
Penulis sendiri terus
terang butuh waktu beberapa tahun untuk bisa benar-benar mengerti pernyataan
Buffett diatas, tapi pada akhirnya saya memahaminya: Hanya karena sebuah saham sudah mahal maka
bukan berarti dia akan berhenti naik/segera turun, tapi pada akhirnya
nanti dia akan turun juga. Sebaliknya, ketika sebuah saham berundamental bagus
harganya sudah
murah, maka bukan berarti dia akan berhenti turun/segera naik. Tapi selama tidak terjadi perubahan fundamental, maka pada akhirnya nanti dia akan naik
juga. Dalam value investing, kita bisa memperkirakan
bahwa sebuah saham yang mahal cepat atau lambat akan turun, sementara saham
yang murah cepat atau lambat akan naik, tapi kita tidak bisa
menentukan kapan saham itu akan naik/turun (meski normalnya
gak akan terlalu lama/gak akan lebih dari 1 tahun). Termasuk kita juga gak bisa
memperkirakan secara persis bahwa sebuah saham naiknya bisa sampai
berapa, atau sebaliknya turunnya sampai berapa.
Yang bisa kita lakukan, sekali lagi, hanyalah menentukan bahwa sebuah saham
berfundamental bagus terbilang murah pada harga sekian, dan terbilang mahal
pada harga sekian.
Sebagai
contoh, pada Juli 2016 lalu, penulis menemukan peluang di Medco Energi
Internasional (MEDC), terkait kesuksesan perusahaan yang mengakuisisi Newmont
Nusa Tenggara (NNT). Anda bisa baca lagi analisisnya
disini, ketika itu MEDC berada di harga 1,700-an, dimana setelah penulis analisa
lebih lanjut (analisanya dimasukkan ke Ebook
Kuartal III 2016), disimpulkan bahwa best buy MEDC adalah di 1,500
atau dibawahnya, sementara target harganya adalah sekitar 2,500.
Dan
memang MEDC kemudian turun dulu dari 1,700-an tersebut, tapi ternyata turunnya
gak berhenti di 1,500, melainkan bablas sampe mentok 1,200-an, sehingga wajar
jika kemudian muncul komplain: Kalau MEDC
di harga 1,500 sudah murah, kenapa kok MEDC masih
turun sampe dibawah itu? (apalagi MEDC kemudian seperti gak mau naik dari 1,200-an tersebut)
Tapi
meski sempat lama nggak naik-naik, tapi pada akhirnya MEDC naik juga, tepatnya
pada awal tahun 2017, dan ternyata naiknya gak berhenti sampai 2,500, melainkan
maju terus pantang mundur sampe tembus 3,700. Sehingga lagi-lagi muncul
pertanyaan: Kalau MEDC di harga diatas 2,500 sudah mahal, lalu kenapa dia masih
terus naik?
But
still, karena MEDC memang sudah mahal kalo diatas 2,500, maka pada akhirnya dia turun lagi, dan sekarang dia sudah di 2,400 lagi.
Nah,
jadi pada contoh MEDC diatas, kita bisa lihat bahwa dengan menggunakan value
investing, kita bisa menjawab setidaknya dua pertanyaan: 1. MEDC murahnya di
harga berapa? 2. MEDC mahalnya di harga berapa? Dimana jawabannya adalah, kalau
berdasarkan analisa penulis ketika itu: 1. 1,500, 2. 2,500. However, terdapat
tiga pertanyaan lainnya yang ketika itu tidak bisa kita jawab: 1. MEDC turunnya sampe berapa? 2. Kalo nanti dia naik,
maka naiknya/target harganya sampe berapa? Dan 3. Kapan dia naik?
Maksud
penulis adalah, yeap, semua investor termasuk penulis sendiri juga maunya beli saham persis pada harga terendahnya, lalu
jual persis pada harga tertingginya,
dan kita beli saham tersebut persis
sesaat sebelum dia naik! Jadi biar keuntungannya
maksimal, dan nunggunya juga gak pake
lama kaya di Solaria, gitu!
Tapi ya jujur sajalah: Gimana caranya biar bisa begitu??? Memang
kadang-kadang pernah juga kita beli saham yang besok
atau lusanya langsung lepas landas. Misalnya Harum Energy (HRUM), dimana penulis
beli saham batubara ini pada harga 1,050 pada awal Oktober 2016 (baca lagi analisanya disini). Dan masih di bulan Oktober tersebut, HRUM tanpa basa basi langsung terbang
hingga tembus 2,700 pada bulan November, atau naik hingga lebih dari dua kali
lipat hanya dalam dua bulan! Tapi penulis sendiri sejak awal tidak berharap bahwa HRUM akan naik setinggi
itu dan dalam waktu secepat itu, dimana itu kemudian penulis anggap sebagai keberuntungan saja. Pada banyak contoh
saham-saham lain yang kita beli, seringkali kita harus menunggu itu saham ngetem dulu selama berbulan-bulan,
termasuk harus ‘menahan nafas’ karena itu saham ditampilkan dalam warna merah
di software trading (baca: nyangkut).
Tapi dengan sedikit kesabaran, maka pada akhirnya
mayoritas keputusan investasi yang kita lakukan, meski tentu tidak semuanya, akan
menghasilkan buah yang manis. Pada contoh MEDC dan HRUM tadi, meski kedua saham
memerlukan jangka waktu yang berbeda untuk naik, tapi dua-duanya sama-sama
menghasilkan profit yang extraordinary.
Hanya memang, kalau
saham yang anda pegang tidak juga naik setelah beberapa waktu, maka seperti
yang disampaikan Warren Buffett diatas, coba cek lagi: Apakah fundamentalnya memang
bagus? Dan apakah benar harganya murah? Contohnya, seperti yang sudah penulis
sampaikan di
artikel ini, pada tahun 2014 lalu kita pernah rugi besar dari Salim Ivomas
Pratama (SIMP) karena keliru menganggap dia murah pada harga 900, dimana penulis
kemudian cut loss di 700. Intinya kalau kita beli saham kemudian setelah
ditunggu cukup lama dia tidak bergerak sesuai harapan (‘cukup lama’ disini
katakanlah 3 - 6 bulan), maka jangan diam
saja melainkan segera lakukan evaluasi/analisa ulang, karena bisa jadi sejak
awal analisisnya keliru, atau terjadi peristiwa penting tertentu yang mengubah
fundamental atau prospek perusahaan dalam jangka panjang. Tapi kalo gak ada
apa-apa maka hold aja, karena dalam banyak kasus, bisa jadi saham anda tersebut
cuma belum dapat gilirannya saja buat ‘naik panggung’.
Okay, that’s enough, jika
ada pertanyaan maka boleh posting melalui kolom komentar dibawah, nanti akan
dijawab oleh temen-temen pembaca yang lain (soalnya banyak juga kok pembaca blog ini yang sudah expert).
Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis
Saham-saham Pilihan edisi Kuartal II
2017 ('Ebook Kuartalan') akan terbit hari Senin, 7 Agustus mendatang. Anda bisa memperolehnya dengan cara preorder
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar